Pertama kali sepasang indra lihatku menangkap sesosok laki-laki berperawakan ceking itu, aku menduga ia orang aneh. Akan tetapi sesudah nyaris satu ahad saya amati, tampaknya tidak demikian. Meski lusuh, raganya masih tertutup benang-benang baju. Tak seperti orang asing yang umum aku lihat, tak berbaju, celana, bahkan ada yang sehelai benangpun tak ada yang menempel di badannya.
![]() |
Ilustrasi |
Matahari makin meninggi, melumati pepucuk mangga madu yang masih bersanggul titik-titik embun, di pohon yang cenderung ke barat, di depan rumah dinas yang sudah setahun ini aku tempati. Awal kali aku di sini, Kepala Sekolahku masuk ICU. Beliaulah yang memaksaku menempatinya. Fasilitas ini sebaiknya untuk kepala sekolah. Rumah Dinas Kepala Sekolah lebih tepatnya. Dua kamar tidur berukuran dua kali tiga meter, ruang utama empat kali tiga meter dan ruang tamu tiga kali tiga meter. Dilengkapi dapur dan kamar mandi. Cukup untuk keluarga kecilku. Sedangkan anak ku baru berusia satu tahun.
Awalnya aku berencana mengajukan mutasi. Mengingat jarak dengan rumah cukup jauh, lima puluh kilo meter. Sebelum aku menikah, setiap hari saya menempuhnya naik motor. Hingga sebuah berulang kali saya mengalami kecelakaan, saya berniat mutasi. Akan tetapi Kepala Sekolah ku tak kunjung menyetujuinya. Bahkan rumah dinas kepala sekolah yang masih tidak mengecewakan cantik itu, diserahkannya padaku.
Atas restu dari ibu, saya menerimanya. Aku tak bisa tanpa persetujuan darinya. Hati ibu tak bersudut, sehingga mudah tersentuh dari segi manapun. Sentuhan itu akan menciptakan hati memancarkan keikhlasan ke alam semesta, dan menjawabnya dengan rupa yang tak terduga. Aku percaya, saya ukses lolos tes pegawai negeri ini, atas do’a nya pula. Seringkali sekeras apapun usaha seseorang, tidak membawanya memperoleh jalan berhasil. Sukses memiliki banyak dimensi. Kegigihan saja kadang tidak berbuah sukses, namun dengan ibu berdo’a, kelapangan pun secepatnya terbuka.
Ini hari kedua, orang asing itu masih duduk ditempat yang serupa seperti hari kemudian. Matanya melangit, tapi tidak menangkap apapun. Mulut dan hidungnya berasap. Gumpalan gumpalan-gumpalan warna putih keluar dari mulutnya. Sebatang rokok terselip diantara telunjuk dan jari tengahnya. Disampingnya, segelas teh yang telah berkurang seperti bagian. Mungkinkah laki-laki itu orang asing?
Hari ketiga, tanya di cerebrumku makin menguat. Dia timbul dengan warna baju yang selapis lebih baik. Hanya saja baju itu dipakainya dengan terbalik. Lelaki gila! Ini kian membuatku ingin tau darimana orang asing itu dapat busana? Darimana pula beliau dapat duit untuk berbelanja rokok dan segelas teh kemarin?
Aku juga mendapati dia sekali dua kali merenung-renung. Seperti terkenang sesuatu atau seseorang yang mungkin telah menyakitinya. Seringkali dia tiduran di bawah pohon mangga depan rumah. Bahkan pernah aku dapati, dikala jam sekolah telah usai, laki-laki itu duduk di bawah pohon sawo, teras sekolah. Bersandar pada tembok berselimut keramik warna coklat muda. Kedua kaki diselonjorkannya sambil memandang ke arah jalan. Aku makin curiga, jangan-jangan beliau tidak abnormal, cuma berpura-pura saja.
Hari keempat, dia muncul dengan membawa plastik bening berisi es teh. Setelah puas lelaki itu menghisap pipa kecil yang menghubungkan benda cair bercampur bongkahan-bongkahan kecil air beku dengan mulutnya, digantungkannya plastik itu di pagar sekolah. Tak lama sesudah itu beliau berjongkok dan mencabuti rerumputan yang berkembang di sela-sela paving trotoar depan pagar sekolah. Aku lupa memperhatikan seburuk apa baju yang dikenakannya hari itu. Karena saya betul-betul penasaran dengan tingkah orang gila itu.
Hari kelima, mulutku ini ingin menyuruhnya membuang segala pakaian basah yang dijemurnya di pagar sekolah. Tapi kutahan, salah-salah ia mengamuk dan membuyarkan anak-anak yang kebetulan hari ini sedang senam. Tunggulah hingga anak-anak masuk kelas, begitu kataku dalam hati.
“Orang gila itu siapa ya Pak, jemur baju seenaknya di pagar sekolah?”, tanyaku sambil mendekati Pak Wahana, Guru Olahraga kawasan saya mengajar.
“Oh.. itu to Mas, dikatakan gila ya tidak, dikatakan waras ya bukan. Nanti tak suruh orangya, biar gombal-gombal basah itu tak lagi di jemur di situ.”, jawabnya.
Baca Juga: Tips Membuat Paragraf Pertama Sebuah Cerpen
Lelaki yang saya kira asing itu, ternyata tidak betul-betul aneh. Umurnya sekitar lima puluh tahunan. Kurang lebih sepuluh tahunan perilakunya memang mirip itu. Orang ajaib itu agaknya memang tak betul-betul aneh. Belakangan saya tahu, dia mampu duit dari hasil keringatnya.Ternyata duit, masih tersisa di memori otaknya. Masih tertinggal, tak seperti ingatannya pada keluarganya.
Berpagar gedung... indah...
sepanjang hari....yang melintasi....
silih berubah...
Azan subuh gres saja berlalu, seolah lenyap bersembunyi ke setiap tetes embun yang mengeramasi tanah. Aku masih dengan doa purba, di kawasan yang sama dengan yang sebelum-sebelumnya, di sebuah rumah dinas akomodasi pemerintah, duduk bersimpuh menengadah, di sepasang tangan yang tertangkup sunyi. Sayup-sayup dan makin terperinci suara orang asing itu menyanyikan sebuah lagu. Syair yang tak asing bagiku. Lantunan lagu usaha di pagi buta.
Aku terhenyak. Bukan cuma alasannya adalah untaian kata, lagu ciptaan Gesang itu keluar dari ekspresi lelaki asing itu, melainkan juga beliau membawakannya dengan irama seriosa. Mungkinkah ia dulu seorang yang berpendidikan. Atau ia dulu orang terpandang, yang kemudian menjadi asing alasannya adalah ditinggal seseorang? Ah... saya tak tahu.
Hari kelima, mulutku ini ingin menyuruhnya membuang segala pakaian basah yang dijemurnya di pagar sekolah. Tapi kutahan, salah-salah ia mengamuk dan membuyarkan anak-anak yang kebetulan hari ini sedang senam. Tunggulah hingga anak-anak masuk kelas, begitu kataku dalam hati.
“Orang gila itu siapa ya Pak, jemur baju seenaknya di pagar sekolah?”, tanyaku sambil mendekati Pak Wahana, Guru Olahraga kawasan saya mengajar.
“Oh.. itu to Mas, dikatakan gila ya tidak, dikatakan waras ya bukan. Nanti tak suruh orangya, biar gombal-gombal basah itu tak lagi di jemur di situ.”, jawabnya.
Baca Juga: Tips Membuat Paragraf Pertama Sebuah Cerpen
Lelaki yang saya kira asing itu, ternyata tidak betul-betul aneh. Umurnya sekitar lima puluh tahunan. Kurang lebih sepuluh tahunan perilakunya memang mirip itu. Orang ajaib itu agaknya memang tak betul-betul aneh. Belakangan saya tahu, dia mampu duit dari hasil keringatnya.Ternyata duit, masih tersisa di memori otaknya. Masih tertinggal, tak seperti ingatannya pada keluarganya.
Berpagar gedung... indah...
sepanjang hari....yang melintasi....
silih berubah...
Azan subuh gres saja berlalu, seolah lenyap bersembunyi ke setiap tetes embun yang mengeramasi tanah. Aku masih dengan doa purba, di kawasan yang sama dengan yang sebelum-sebelumnya, di sebuah rumah dinas akomodasi pemerintah, duduk bersimpuh menengadah, di sepasang tangan yang tertangkup sunyi. Sayup-sayup dan makin terperinci suara orang asing itu menyanyikan sebuah lagu. Syair yang tak asing bagiku. Lantunan lagu usaha di pagi buta.
Aku terhenyak. Bukan cuma alasannya adalah untaian kata, lagu ciptaan Gesang itu keluar dari ekspresi lelaki asing itu, melainkan juga beliau membawakannya dengan irama seriosa. Mungkinkah ia dulu seorang yang berpendidikan. Atau ia dulu orang terpandang, yang kemudian menjadi asing alasannya adalah ditinggal seseorang? Ah... saya tak tahu.
Pada suatu malam yang disorot kilau rembulan, saat kunang-kunang mengitari tiang-tiang listrik, angin lirih menyapu plastik transparan hingga beterbangan ke jalan. Pada dikala itu seorang lelaki memarkir kendaraan beroda empat sempurna di depan gerbang sekolah. Setelah tak terdengar bunyi mesin mobilnya, lelaki berdasi dan bersepatu itu membuka pintu, dia turun pelan seperti ragu dan bangkit agak lama di samping mobilnya seraya tak kedip memandang lelaki aneh itu. Aku yang kebetulan hendak memasukkan motor, cuma mampu menatap dari kejauhan. Seketika keadaan disekap sunyi, minus bunyi, kecuali hanya kucing betina yang mengeong, memberi makan anak-anaknya di pojok warung soto Bu Yati.
Setelah menoleh ke sana-kemari, barulah lelaki berdasi itu melangkah pelan ke arahnya. Jantungku berdetak agak kencang, dengan kekhawatiran dan prasangka-dugaan perihal kehadiran laki-laki itu. Mungkinkah itu keluarganya? Beruntung kehawatiranku sirna, setelah tahu lelaki itu menyapa dengan lembut, bibir ranumnya yang disorot bulan tak henti tersenyum. Ia mengatakan begitu santun, seraya tak banyak mengganti posisi duduknya yang bersila di paving, sekitar setengah meter dari lelaki aneh itu duduk. Lantas mereka bercakap.
Aku ingin tau, saya menjajal mendekat. Berpura-pura menggembok gerbang sekolah.
Sepertinya mereka bercakap banyak hal, dan berulang kali kulihat laki-laki berdasi itu memberikan rokok, roti, dan minuman kepadanya.
Baca Juga: Tips Menulis Cerpen dari Mas Ken Hanggara, Catatan Kelas Cerpen
“Saya ingin Mas bisa menyebut angka apa saja yang akan keluar ahad ini. Saya suka berjudi, Mas.” Ucapan laki-laki berdasi kepada orang ajaib itu seolah diterbangkan oleh angin dan tertangkap oleh indra dengarku.
Ada-ada saja. Ternyata apa yang aku dengar dari obrolan bapak-bapak di RT ini tentang kecanduan judi, tak hanya isapan jempol belaka. Bahkan orang waras pun bertanya angka pada orang ajaib. Aku hanya bisa tersenyum, menawan kedua sudut bibirku sampai nyaris mencapai tulang pipi, akan apa yang barusan aku dengar.
Lelaki ajaib itu tak merespons, meski dari kejauhan laki-laki berdasi itu menangis sambil memeluk betisnya. Ia terus membujukku semoga membantunya menyebut nomor. Lelaki asing itu lebih banyak membisu menjiplak bulan, hingga laki-laki berdasi itu pulang dengan kecewa, sesudah menendang keras sebuah botol bekas. Ia yakni satu di antara sekian banyak orang waras yang belakangan saya tahu justru meminta nasehat atau pesan tersirat kepada laki-laki aneh itu.
Aku heran, kenapa di ketika zaman kian maju dan sebagian besar orang memuja rasionalitas justru masih banyak yang memimpikan pesan yang tersirat dari dunia sunyi yang jauh dari jangkauan nalar sehat. Mungkinkah mereka menyebut laki-laki di pojok sekolah itu asing dan menganggap diri mereka waras, tetapi yakin kepada kata-kata laki-laki gila, meminta pendapat dan doa kepada nya? Aku jadi berkesimpulan bahwa kegilaan periode sekarang cuma disekat oleh performa fisik, sementara inti jiwa setiap orang nyaris seluruhnya pernah gila. Ah, ngawur aku.
Bulan mematung di balik rimbun daun mangga madu.
Jumat sehat, sabtu hijau. Dan lelaki gila itu tak tampak lagi. Belakangan aku tahu di jaman orde baru, beliau yaitu aktivis kampus. Bahkan titelnya dokterandus. Desas desus di RT sini, ia sengaja dibentuk ajaib. Banyak hal yang ia tahu ihwal persengkongkolan persengkongkolan pejabat-pejabat yang sering mengajaknya pergi. Dan suara seriosa yang acapkali tedengar tiap pagi itu, kini tak ada lagi. Orang asing depan sekolah tak telihat lagi. Mungkin pergi, mungkin diciduk polisi, atau tergeletak tak sadarkan diri lalu mati, saya tak mengerti.
Setelah menoleh ke sana-kemari, barulah lelaki berdasi itu melangkah pelan ke arahnya. Jantungku berdetak agak kencang, dengan kekhawatiran dan prasangka-dugaan perihal kehadiran laki-laki itu. Mungkinkah itu keluarganya? Beruntung kehawatiranku sirna, setelah tahu lelaki itu menyapa dengan lembut, bibir ranumnya yang disorot bulan tak henti tersenyum. Ia mengatakan begitu santun, seraya tak banyak mengganti posisi duduknya yang bersila di paving, sekitar setengah meter dari lelaki aneh itu duduk. Lantas mereka bercakap.
Aku ingin tau, saya menjajal mendekat. Berpura-pura menggembok gerbang sekolah.
Sepertinya mereka bercakap banyak hal, dan berulang kali kulihat laki-laki berdasi itu memberikan rokok, roti, dan minuman kepadanya.
Baca Juga: Tips Menulis Cerpen dari Mas Ken Hanggara, Catatan Kelas Cerpen
“Saya ingin Mas bisa menyebut angka apa saja yang akan keluar ahad ini. Saya suka berjudi, Mas.” Ucapan laki-laki berdasi kepada orang ajaib itu seolah diterbangkan oleh angin dan tertangkap oleh indra dengarku.
Ada-ada saja. Ternyata apa yang aku dengar dari obrolan bapak-bapak di RT ini tentang kecanduan judi, tak hanya isapan jempol belaka. Bahkan orang waras pun bertanya angka pada orang ajaib. Aku hanya bisa tersenyum, menawan kedua sudut bibirku sampai nyaris mencapai tulang pipi, akan apa yang barusan aku dengar.
Lelaki ajaib itu tak merespons, meski dari kejauhan laki-laki berdasi itu menangis sambil memeluk betisnya. Ia terus membujukku semoga membantunya menyebut nomor. Lelaki asing itu lebih banyak membisu menjiplak bulan, hingga laki-laki berdasi itu pulang dengan kecewa, sesudah menendang keras sebuah botol bekas. Ia yakni satu di antara sekian banyak orang waras yang belakangan saya tahu justru meminta nasehat atau pesan tersirat kepada laki-laki aneh itu.
Aku heran, kenapa di ketika zaman kian maju dan sebagian besar orang memuja rasionalitas justru masih banyak yang memimpikan pesan yang tersirat dari dunia sunyi yang jauh dari jangkauan nalar sehat. Mungkinkah mereka menyebut laki-laki di pojok sekolah itu asing dan menganggap diri mereka waras, tetapi yakin kepada kata-kata laki-laki gila, meminta pendapat dan doa kepada nya? Aku jadi berkesimpulan bahwa kegilaan periode sekarang cuma disekat oleh performa fisik, sementara inti jiwa setiap orang nyaris seluruhnya pernah gila. Ah, ngawur aku.
Bulan mematung di balik rimbun daun mangga madu.
Jumat sehat, sabtu hijau. Dan lelaki gila itu tak tampak lagi. Belakangan aku tahu di jaman orde baru, beliau yaitu aktivis kampus. Bahkan titelnya dokterandus. Desas desus di RT sini, ia sengaja dibentuk ajaib. Banyak hal yang ia tahu ihwal persengkongkolan persengkongkolan pejabat-pejabat yang sering mengajaknya pergi. Dan suara seriosa yang acapkali tedengar tiap pagi itu, kini tak ada lagi. Orang asing depan sekolah tak telihat lagi. Mungkin pergi, mungkin diciduk polisi, atau tergeletak tak sadarkan diri lalu mati, saya tak mengerti.
Sumber https://www.aansupriyanto.com/
EmoticonEmoticon