Air mata Warseno jadinya tumpah. Pemerintah Indonesia telah menghentikan program beasiswanya. Teman-sobat sesama penerima peneriman beasiswa “OFP Habibie” pulang ke tanah air. Namun tidak dengannya. Padahal pendidikan S2 nya di Shizuoka University, Jepang, nyaris final. Meski demikian beliau tak patah arang, pasti ada jalan lain, selain dia mesti pulang ke Indonesia. Baginya kala depan tidak akan menyertai mereka yang penakut, ia hanya akan mendekap para pemberani yang tak kenal menyerah.
Seperti sang suami, Ratina, ibunda Warseno yang lebih muda tiga tahun, juga menghimpun rupiah demi rupiah dari bisnisnya sendiri. Ia meninggalkan rumah pukul empat dini hari sambil menggendong karung padi atau bakul nasi berisi sayuran dari kebun. Perempuan itu harus sampai di Pasar Legi Solo sebelum terang tanah, sebab kalau tidak, beliau telah tak akan berjumpa lagi dengan pembeli. Ia beruntung bila di jalan berpapasan dengan gerobak masyarakatlokal, sehingga mampu menumpangkan badan. Bila jalanan sepi, dia harus berjalan kaki sejauh 17 kilometer.
Bapak dan ibu Warseno tak pernah menyuruhnya untuk mencar ilmu. Tak pernah pula bahwa beliau harus perguruan tinggi. Mereka tak banyak omong, namun dia bisa mencicipi bahwa mereka punya harapan besar, dan itu yang menciptakan dia tahu diri. Ibunya yang begitu gigih, yang tak banyak bicara, sekalipun tangan dan punggungnya lecet, tetapi ia tak pernah mengeluh. Itu yang menjadikannya bertekad bahwa S2 nya di Shizuoka harus akhir.
Bersama menguningnya daun-daun pinus, dan memerahnya Bumi Jepang, tanda trend gugur mulai tiba. Bersama itu pula jiwanya terbakar untuk berdiri menghadapi masa depan dan menghapuskan kegagalan abad yang sudah kemudian. Berbekal prestasi akademis dan anjuran dari seorang Profesor di Shizuoka, yang ketika itu menjabat dekan, Warseno mengajukan permohonan beasiswa terhadap Mambusho, Kementrian Pendidikan jika dalam bahasa kita. Ia sadar kesempatannya kecil, karena kuota dari Shizuoka cuma untuk satu orang. Sedangkan saingannya yaitu 55 mahasiswa dari aneka macam negara Asia.
Menghadapi realita itu, Warseno sudah bersiap dengan rencana cadangan. Jika gagal, dia akan cari kerja. Tawaran pucuk pimpinan Yamaha Motor Company, untuk memberikan kursus bahasa Indonesia terhadap administrator mereka yang akan bertugas di Jakarta dan mengajarkan bahasa Jepang kepada orang Indonesia yang diantarmengikuti pelatihan di Jepang, mungkin akan dilakoninya.
Dulu sebelum ia mencar ilmu ke Jepang, Warseno kerap dipandang sebelah mata oleh gurunya. “Pak Guru dan Bu Guru punya murid favorit masing-masing,” kenangnya. Ia kadang-kadang diremehkan. Di kelas, guru sering mengabaikan antusiasmenya dan lebih suka menunjuk murid lain, untuk menuntaskan soal di papan tulis. Berkali-kali beliau angkat tangan, bahkan sampai beliau letih berkata “Saya, Bu. Saya, Pak!”
Warseno memang kurang tanpa kendala berbicara. Suaranya pelan, ditambah dengan postur tubuhnya yang pendek ketimbang sobat-teman sekelasnya waktu itu. Apalagi dasarnya Warseno yaitu seorang yang tidak banyak cakap, pendiam, akan tetapi kalu ditanya guru, senantiasa mampu menjawab. Jika murid pria lainnya suka lari kesana-kemari, ia lebih sering duduk, diam atau membaca.
Rekoso dan laris prihatin telah menemaninya sedari kecil. Warseno terbiasa membuat rangkuman kecil, kemudian dilipatnya seukuran telapak tangan. Ketika menolong bapaknya di sawah, dia sudah biasa melakukan kegiatan itu. Tangan kanan mencabuti rumput, tangan kiri memegang catatan. Itu pula yang dilakukannya saat permulaan-permulaan belajar kanji Jepang. Tangan kanan pegangan ke tiang kereta, tangan kiri pegang buku.
Diantara laku rekoso era lalunya, ada satu insiden yang seringkali Warseno mentok dan ingin menyerah beliau senantiasa teringat muka bapaknya. Sepulang sekolah saat Warseno SMP, dia mendapati bapaknya, Sastro Diharjo duduk membisu di teras rumah mereka. Tak biasanya ia melihat bapaknya seperti itu. Tatapan matanya lempeng ke depan, pikirannya mirip tak ada di tempat, tak berkedip.
Warseno tak berani menyapa.Ia bergegas masuk, melepas sepatu, meletakkan tasnya di kamar, lalu bergegas ke meja makan. Ia lapar sekali sesudah jalan kaki berpanas-panas di siang bolong. Akan tetapi apa yang dilihatnya dibawah tudung saji, menjadikannya lupa akan suara perutnya yang memekik-mekik.
Nasi putih di bakul acak-acakan. Matanya jeli menyaksikan ada titik-tik kotoran. Mafhumlah beliau, mengapa rona muka bapaknya seperti menahan geram. Agaknya ayam piaraan bapaknya sudah berhasil mengkudeta bakul itu, sampai isinya tumpah. Akan tetapi Sastro Diharjo memungutnya lagi.
“Makanlah, Nak, tentu kau lapar,” suruh bapaknya. Warseno patuh, meski terasa ada pasir halus, Warseno tetap tak mau buka bunyi, dia terus makan. Bapak dan anak yang serupa-sama pendiam dan memilih memendam perasaan. Ia tak mampu melewatkan roman wajah sedih, tertekan, mungkin juga murka pada keadaan.
Warseno memang kurang tanpa kendala berbicara. Suaranya pelan, ditambah dengan postur tubuhnya yang pendek ketimbang sobat-teman sekelasnya waktu itu. Apalagi dasarnya Warseno yaitu seorang yang tidak banyak cakap, pendiam, akan tetapi kalu ditanya guru, senantiasa mampu menjawab. Jika murid pria lainnya suka lari kesana-kemari, ia lebih sering duduk, diam atau membaca.
Rekoso dan laris prihatin telah menemaninya sedari kecil. Warseno terbiasa membuat rangkuman kecil, kemudian dilipatnya seukuran telapak tangan. Ketika menolong bapaknya di sawah, dia sudah biasa melakukan kegiatan itu. Tangan kanan mencabuti rumput, tangan kiri memegang catatan. Itu pula yang dilakukannya saat permulaan-permulaan belajar kanji Jepang. Tangan kanan pegangan ke tiang kereta, tangan kiri pegang buku.
Diantara laku rekoso era lalunya, ada satu insiden yang seringkali Warseno mentok dan ingin menyerah beliau senantiasa teringat muka bapaknya. Sepulang sekolah saat Warseno SMP, dia mendapati bapaknya, Sastro Diharjo duduk membisu di teras rumah mereka. Tak biasanya ia melihat bapaknya seperti itu. Tatapan matanya lempeng ke depan, pikirannya mirip tak ada di tempat, tak berkedip.
Warseno tak berani menyapa.Ia bergegas masuk, melepas sepatu, meletakkan tasnya di kamar, lalu bergegas ke meja makan. Ia lapar sekali sesudah jalan kaki berpanas-panas di siang bolong. Akan tetapi apa yang dilihatnya dibawah tudung saji, menjadikannya lupa akan suara perutnya yang memekik-mekik.
Nasi putih di bakul acak-acakan. Matanya jeli menyaksikan ada titik-tik kotoran. Mafhumlah beliau, mengapa rona muka bapaknya seperti menahan geram. Agaknya ayam piaraan bapaknya sudah berhasil mengkudeta bakul itu, sampai isinya tumpah. Akan tetapi Sastro Diharjo memungutnya lagi.
“Makanlah, Nak, tentu kau lapar,” suruh bapaknya. Warseno patuh, meski terasa ada pasir halus, Warseno tetap tak mau buka bunyi, dia terus makan. Bapak dan anak yang serupa-sama pendiam dan memilih memendam perasaan. Ia tak mampu melewatkan roman wajah sedih, tertekan, mungkin juga murka pada keadaan.
“Demi wajahmu, saya ingin “Makara Orang”, Pak,” janjinya dalam hati. Ia benamkan akad itu hingga menghujam jauh ke dalam lubuk hatinya.
Warseno adalah mahasiswa Indonesia pertama dan satu-satunya di kampus Shizuoka pada dikala itu. Ketika menempuh S1, prestasinya menonjol, sehingga menarik perhatian tiga profesor yang mengajar dalam satu grup mata kuliah paling berat di Teknik Kimia. Bahkan dua diantaranya memintanya menjadi tangan kanan. Indeks 3,82 mengantarkannya menjadi mahasiswa terbaik. Mungkin hal itu pulalah yang menciptakan mambusho balasannya menjatuhkan pilihan padanya.
Ia menilai ia tak lebih terpelajar dari belum dewasa lain. Ia cuma merasa tak memilliki kemewahan waktu untuk berguru, sebab sepulang sekolah beliau harus ke sawah menolong bapaknya, lalu menolong ibunya di rumah. Nyapu, nyuci, menimba air dan sebagainya. Ia menyalin rumus di kertas, dilipat-lipat seukuran telapak tangan dan beliau baca sambil ndedeki sawah. Kegigihan, ketekukan buah didikan dan contoh orang tuanya mengakar besar lengan berkuasa pada Warseno.
Dari dusun pinggiran di Solo, dengan harapan sekedar menjadi sarjana, beliau melompat lebih tinggi dan menggapai gelar Doktor nya dengan nilai sempurna, 4.00. Suatu capaian yang hasilnya menuntunnya menempuh Post Doktoralnya di OHIO Ohio State University. Publikasi 18 halaman yang diangkut di jurnal ilmiah kelas dunia, Chemical Enginering Science, menciptakan salah satu Profesor terkemuka di Amerika itu memboyongnya. Mengajak menjadi mitra penelitiannya, sekaligus selaku riset post doctoralnya.
“Berjuanglah di Amerika sana! Buatlah kami besar hati!” teriak para mahasiswa bimbingannya di Shizuoka, sempurna di depan pintu kereta super cepat Shinzaken, melepas kepergian Warseno.
Sumber https://www.aansupriyanto.com/Warseno adalah mahasiswa Indonesia pertama dan satu-satunya di kampus Shizuoka pada dikala itu. Ketika menempuh S1, prestasinya menonjol, sehingga menarik perhatian tiga profesor yang mengajar dalam satu grup mata kuliah paling berat di Teknik Kimia. Bahkan dua diantaranya memintanya menjadi tangan kanan. Indeks 3,82 mengantarkannya menjadi mahasiswa terbaik. Mungkin hal itu pulalah yang menciptakan mambusho balasannya menjatuhkan pilihan padanya.
Ia menilai ia tak lebih terpelajar dari belum dewasa lain. Ia cuma merasa tak memilliki kemewahan waktu untuk berguru, sebab sepulang sekolah beliau harus ke sawah menolong bapaknya, lalu menolong ibunya di rumah. Nyapu, nyuci, menimba air dan sebagainya. Ia menyalin rumus di kertas, dilipat-lipat seukuran telapak tangan dan beliau baca sambil ndedeki sawah. Kegigihan, ketekukan buah didikan dan contoh orang tuanya mengakar besar lengan berkuasa pada Warseno.
Dari dusun pinggiran di Solo, dengan harapan sekedar menjadi sarjana, beliau melompat lebih tinggi dan menggapai gelar Doktor nya dengan nilai sempurna, 4.00. Suatu capaian yang hasilnya menuntunnya menempuh Post Doktoralnya di OHIO Ohio State University. Publikasi 18 halaman yang diangkut di jurnal ilmiah kelas dunia, Chemical Enginering Science, menciptakan salah satu Profesor terkemuka di Amerika itu memboyongnya. Mengajak menjadi mitra penelitiannya, sekaligus selaku riset post doctoralnya.
“Berjuanglah di Amerika sana! Buatlah kami besar hati!” teriak para mahasiswa bimbingannya di Shizuoka, sempurna di depan pintu kereta super cepat Shinzaken, melepas kepergian Warseno.
Sukoharjo, 2019, Kelas Cerpen Ajeng Maharani.
Terinspirasi dari Perjalanan Hidup Prof. Warsito Purwo Taruno.
EmoticonEmoticon