Selasa, 08 Desember 2020

Makalah Kodifikasi Alquran

BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Kodifikasi Alquran

Mushaf Alquran yang ada di tangan kita kini ternyata sudah lewat perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang mempesona untuk dimengerti. Selain itu jaminan atas keotentikan Quran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya QS.AL Hijr -(15):9:

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (Quran), dan kamilah yang akan menjaganya" Makalah ini akan menguraikan wacana sejarah kodifikasi Quran dari masa Rasulullah sampai masa khalifah Utsman bin Affan, serta penambahan tanda baca Alquran yang banyak dilaksanakan sehabis era Utsman bin Affan.

Usaha pengumpulan dan kodifikasi Quran telah dimulai sejak periode Rasulullah saw. Secara resmi kodifikasi Alquran dimulai pada kurun khalifah Abu Bakar bin Khattab. Pada masa khalifah Utsman, Alquran lalu diseragamkan goresan pena dan bacaannya demi menyingkir dari beberapa hal. Korpus yang diseragamkan inilah yang lalu diketahui dengan mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani lalu diberi harakat dan tanda baca pada masa Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa perbedaan perihal urutan ayat maupun surah mirip yang dicantumkan dalam mushaf Utsmani, hal ini dikarenakan perbedaan usulan para penghapal Quran dan karena turunnya Quran memang tidak berurutan mirip yang terdapat dalam mushaf Utsmani.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Kodifikasi Quran

A. Sejarah Kodifikasi Alquran

1. Pada Masa Rasulullah
Pengumpulan Quran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:

Pertama : al Jam'u fis Sudur
Para sobat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu.[1] Hal ini bisa dikerjakan oleh mereka dengan gampang terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.

Kedua : al Jam'u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika ia berumur 40 tahun yakni 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kala waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya terhadap para sahabat secara langsung dan memerintahkan mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sobat untuk menulis hadis-hadis ia sebab cemas akan bercampur dengan Alquran. Rasul SAW bersabda "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Quran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Quran maka hendaklah dia menghapusnya

Biasanya sobat menuliskan Alquran pada media yang terdapat pada waktu itu berbentukar-Riqa' (kulit hewan), al-Likhaf (lempengan kerikil), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah teman yang menulis Alquran waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Quran sudah terjadi pada abad Rasulullah s.a.w. yaitu hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., dia berkata: "Suatu dikala kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Alquran (mengumpulkan) pada kulit binatang ".

Dari kebiasaan menulis Quran ini menimbulkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang populer yakni: Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma'qal. Adapun hal-hal lainnya yang mampu menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Quran pada waktu itu yaitu Rasulullah SAW melarang membawa goresan pena Quran ke wilayah lawan. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Janganlah kalian membawa catatan Quran kewilayah musuh, alasannya aku merasa tidak kondusif (khawatir) bila catatan Quran tersebut jatuh ke tangan mereka”.

Kisah masuk islamnya sobat `Umar bin Khattab r.a. yang disebutkan dalam buku-bukus sejarah bahwa waktu itu `Umar mendengar kerabat perempuannya yang berjulukan Fatimah sedang membaca awal surah Thaha dari sebuah catatan (manuskrip) Alquran lalu `Umar mendengar, meraihnya kemudian memba-canya, inilah yang menjadi sebab dia mendapat hidayah dari Allah sehingga beliau masuk islam. Sepanjang hidup Rasulullah s.a.w Quran senantiasa ditulis bilamana ia mendapat wahyu alasannya Quran diturunkan tidak secara sekaligus tetapi secara sedikit demi sedikit.

2. Pada Masa Abu Bakar
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Alquran, dan pada abad pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam'ul Alquran[2] yakni pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Alquran yang susunan surah-surahnya berdasarkan riwayat masih menurut pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul). Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-alasannya adalah yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Quran yang terjadi pada periode Abu Bakar ialah Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: " Suatu dikala Abu bakar menemuiku untuk menceritakan ihwal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sungguh banyak utamanya dari kalangan para penghafal Alquran, aku cemas peristiwa serupa akan menimpa para penghafal Alquran di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sobat yang hafal Alquran, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah menyuruh untuk mengumpul-kan Quran, lalu saya berkata terhadap Umar : " bagaimana mungkin kita melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullah s. a. w. ?" Umar menjawab: "Demi Allah, ini adalah suatu kebaikan".

Selanjutnya Umar senantiasa saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka saya oke dengan ajakan umar untuk mengumpulkan Alquran. Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "engkau yaitu seorang cowok yang pintar dan berakal, kami tidak mencurigai hal itu, dahulu engkau menulis wahyu (Quran) untuk Rasulullah s. a. w., maka kini periksa dan telitilah Quran lalu kumpulkanlah menjadi suatu mushaf". Zaid berkata : " Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan saya untuk menghimpun Quran. Kemudian aku teliti Alquran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan watu, dan hafalan para sobat yang lain".

Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, kejadian tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah beliau wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, sehabis dia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang berjulukan Hafsah binti Umar r.a.

Semua sobat sepakat untuk memberikan perlindungan mereka secara penuh kepada apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa menghimpun Quran menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat menolong meneliti naskah-naskah Alquran dan menulisnya kembali. Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas insiden yang bersejarah ini dengan mengatakan : " Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf ialah Abu bakar, agar ia mendapat rahmat Allah karena adalah yang pertama kali mengumpulkan Quran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Alquran selaku Mushaf).

Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Quran selaku Mushaf yakni sobat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H melalui perkataannya ialah : "Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Quran yang dikumpulkan dan di bundel sebagai MUSHAF" dari perkataan salim inilah Abu bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Alquran yang sudah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Alquran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Quran)"

3. Pada Masa Umar bin Khattab
Tidak ada kemajuan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Alquran yang dijalankan oleh khalifah kedua ini selain melanjutkan apa yang sudah dicapai oleh khalifah pertama adalah mengemban misi untuk mengembangkan islam dan mensosialisasikan sumber utama ajarannya yakni Alquran pada kawasan-wilayah daulah islamiyah baru yang sukses dikuasai dengan mengantarpara teman yang dapat dipercaya serta kapasitas ke-Alquranan-nya mampu dipertanggungjawabkan Diantaranya ialah Muadz bin Jabal, `Ubadah bin Shamith dan Abu Darda'.

4. Pada Masa Utsman
Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi ekspansi wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menjadikan umat islam bukan hanya berisikan bangsa arab saja ('Ajamy). Kondisi ini pastinya mempunyai pengaruh kasatmata dan negatif. Salah satu dampaknya adalah saat mereka membaca Quran, alasannya bahasa orisinil mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara pandai oleh salah seorang sobat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman. Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa sebuah saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk kawasan Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu tergolong soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Alquran yang mengarah terhadap perselisihan. Ia berkata : "wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Alquran, jangan hingga mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".

Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang sudah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.[3] Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Quran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan kalau terjadi perbedaan dalam pelafalan biar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy alasannya Quran diturunkan dengan gaya bahasa mereka.[4] Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu bakar dikembalikan lagi terhadap Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk mengkremasi setiap naskah-naskah dan manuskrip Quran selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf.

Mushaf hasil salinan tersebut diantarkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk beliau simpan di Madinah yang belakangan diketahui selaku Mushaf al-Imam. Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf sukses meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga beliau manual kebanggaan dari umat islam baik dari dulu sampai kini sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang sudah berjasa mengumpulkan Quran. Adapun Tulisan yang digunakan oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf ialah berpegang pada Rasm alAnbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik selaku pembeda huruf).

5. Tanda Yang Mempermudah Membaca Quran
Sampai kini, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada kurun khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama didapatkan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (kini St.PitersBurg) dan umat islam dihentikan untuk melihatnya. Pada tahun yang serupa sehabis kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa hingga tahun 1923 M. Tapi sehabis terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada dewan perwakilan rakyat Rusia semoga Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bab asia tengah).

Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang orisinil apa adanya. Sampai sebuah ketika ketika umat islam telah terdapat hampir di semua potongan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berlainan-beda sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang berbentuktanda titik.

Atas persetujuan dari khalifah, jadinya beliau menciptakan tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa sebuah dikala Abul-Aswad adDualy menjumpai seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk islam membaca kasrah pada kata "Warasuulihi" yang sebaiknya dibaca "Warasuuluhu" yang terdapat pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga mampu merusak makna.

Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bulat penuh yang berwarna merah untuk menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan memakai warna hijau untuk menandai Hamzah. Jika sebuah kata yang ditanwin bersambung dengan kata berikutnya yang berawalan abjad Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik dua horizontal seperti "adzabun alim" dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal untuk menandai Idgham mirip "ghafurrur rahim".

Adapun yang pertama kali menciptakan Tanda Titik untuk membedakan karakter-aksara yang serupa karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada periode Dinasti Daulah Umayyah (40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang yakni al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada kala ke II H.

Kemudian pada abad Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk makin membuat lebih mudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran terutama bagi orang selain arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad. Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencamtumkan nomor ayat, gejala waqaf (berhenti membaca), ibtida (mengawali membaca), pertanda identitas surah di awal setiap surah yang terdiri dari nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah 'ain. Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Quran yakni Tajzi' yakni tanda pemisah antara satu Juz dengan yang yang lain berbentukkata Juz dan dibarengi dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk menawarkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz itu sendiri.

Sebelum didapatkan mesin cetak, Alquran disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani dengan cara goresan pena tangan. Keadaan ini berjalan sampai kurun ke16 M. Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang mampu digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Quran untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M. Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini kian memudahkan umat islam memperbanyak mushaf Alquran. Mushaf Quran yang pertama kali dicetak oleh kelompok umat islam sendiri yaitu mushaf edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg Rusia. Kemudian disertai oleh percetakan yang lain, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis Jerman , Fluegel, menerbitkan Quran yang dilengkapi dengan aliran yang amat bermanfaat.

Sayangnya, terbitan Alquran yang diketahui dengan edisi Fluegel ini ternyata mengandung cacat yang fatal sebab tata cara penomoran ayat tidak sesuai dengan metode yang dipakai dalam mushaf tolok ukur. Mulai Abad ke-20, pencetakan Quran dijalankan umat islam sendiri. Pencetakannya menerima pengawasan ketat dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak. Cetakan Quran yang banyak dipergunakan di dunia islam sampaumur ini adalah cetakan Mesir yang juga diketahui dengan edisi Raja Fuad sebab dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Quran dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan menggunakan abjad-abjad yang indah. Pencetakan ini dikerjakan di Turki atas prakarsa spesialis kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.


B. Perbedaan Antara Proses Kodifikasi Pada Masa ‘Utsman dan Abu Bakar
Perbedaan antara proses kodifikasi pada era ‘Utsman dan Abu Bakar, bahwa tujuan pengkodifikasian al-Qur’an pada abad Abu Bakar radliyallâhu ‘anhu yaitu mengumpulkan al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushhaf sehingga tidak ada satupun yang tercecer tanpa mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushhaf saja, dan hal ini dikarenakan belum tampak implikasi yang signifikan dari adanya perbedaan seputar Qirâ`at sehingga mengharuskan tindakan ke arah itu. Sementara tujuan kodifikasi pada masa ‘Utsman ialah mengumpulkan al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushhaf namun mendorong orang-orang supaya bersatu dalam satu Mushhaf saja. Hal ini, alasannya adalah adanya implikasi yang sangat mengkhawatirkan dari beragam model Qirâ`ah tersebut.

Jerih payah pengkodifikasian ini ternyata membuahkan mashlahat yang besar bagi kaum Muslimin, ialah bersatu-padunya umat, bersepakatnya kata serta terbitnya suasana keakraban diantara mereka. Dengan terciptanya hal tersebut, maka kerusakan besar yang ditimbulkan oleh perpecahan umat, tidak bersepakat dalam satu kata serta menyeruaknya kebencian dan permusuhan telah mampu dibuang jauh-jauh. Hal mirip ini terus berlanjut hingga hari ini, kaum Muslimin bersepakat atasnya, diriwayatkan secara mutawatir diantara mereka melalui proses tranfer dari generasi bau tanah terhadap generasi muda dengan tanpa tersentuh oleh tangan-tangan jahat dan para penghamba hawa nafsu. Hanya bagi Allah.[5]


C. Mushaf Utsmani
Dahulunya, AlQuran tidaklah ditulis tetapi dihafal, adapun ditulis itu alasannya adalah ada orang-orang dari luar arab, yang tidak mengerti perihal bahasa arab maka dijadikanlah AlQuran itu ditulis. AlQuran tidaklah berlawanan, bahkan rasulullah bersabda, bahwa AlQuran itu diturunkan dengan tujuh karakter yang memiliki arti ada tujuh cara membacanya. Nah, dari sinilah masalah ini alhasil membengkak. Pada saat Islam telah menyebar ke banyak sekali penjuru dunia, mulai dari Spanyol, Persia sampai daratan Rusia, AlQuran ini mulai banyak orang yang membacanya berlawanan. Sampai sebuah dikala ada dua umat yang saling menyalahkan bacaan, dan memang barangsiapa yang menggandakan AlQuran pada waktu itu (masih jaman shahabat, sepeninggal rasulullah) maka hukumannya yakni penggal.

Maka para shahabat tak main-main dengan problem ini. Dua orang yang sedang bertengkar itu berasal dari Madinah yang satu dari Persia.[6] Dan dikala mereka kemudian menghadap kepada khalifah dikala itu (ustman bin Affan) maka Ustman mendengarkan kedua bacaan itu dan tak ada yang salah dari bacaan itu, namun karena perselisihan sudah banyak dan orang-orang saling menyalahkan maka satu-satunya cara adalah dengan menulis Al Qur'an tersebut dalam satu cara baca. Sebelumnya Al Qur'an sudah dibukukan, tapi masih terpisah dan ada tujuh cara baca.

Dari sinilah lalu para pembesar-pembesar shahabat berunding, kira-kira ejaan yang manakah yang mau dijadikan sebagai satu-satunya bacaan yang digunakan di dalam Al Qur'an. Saat itulah Ustman menyampaikan , "Allah telah meridhai kaum muhajirin dan Anshar, dan mereka juga telah ridha kepada Allah, maka kita memakai cara bacanya kaum muhajirin dan Anshar".

Maka sehabis itu dibukukanlah Al Qur'an dengan cara bacaan kaum muhajirin dan Anshar seperti yang kita terima sampai sekarang. Dan mushaf yang disusun oleh Ustman itu diketahui sebagai Mushaf ustmani. Sebelumnya mushaf itu tidak ada harakat, fathah, dhomah, atau kasrah, gres ada tanda baca itu pada zaman Ali bin Abi Thalib.[7]

Tidak gila kalau mushaf ustmani ialah satu-satunya yang disyahkan. setelah dibukukannya Al Qur'an dan dituliskan mushaf ustmani itu para shahabat tak ada perselisihan lagi. Dan Mushaf-mushaf itu dikirim ke beberapa negara. 3 dikirim keluar negeri satu tinggal di Makkah.


DAFTAR PUSTAKA
  • Ali, K., A Study Of Islamic History. India: Idarah Adabiyah Delli, 1980.
  • Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum kajian dan Budaya, 2001.
  • Bucaille, Maurice, Injil, Alquran, dan Sains Modern, ter. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
  • Hasan, Ali, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj Arkom. Jakarta: Rajawali, 1992.
  • Ridho, M., Utsman Bin Affan Al-Khalifah At-Tsalitsah. Beirut: Daar Kutub, 1982.
  • Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,1990.
  • ’Utsaimin, Muhammad bin Shalih, -Ushûl Fi at-Tafsîr. Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, tth.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon