Etika merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan. dalam kajian filsafat dan alquran akhlak ialah dasar yang penting untuk di pelajari. oleh alasannya itu makalah ini secara rinci membicarakan bagaimana budpekerti dalam pandangan filsafat dan al-quran secara islami. Etika ialah istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang memiliki arti: etika istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka budpekerti berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang serupa dan disepakati tentang sesuatu tindakan, apakah perbuatan itu baik atau jelek, benar atau salah dan patut atau tidak pantas untuk dilakukan.
Secara fisik, insan ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kelemahan-kelemahan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kekurangan-kekurangan jasmaniah tersebut juga memperlihatkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, yaitu orang yang amat jelek rupa. Tetapi, kejelekan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di periode kini yakni para tunanetra.[1] Apakah sikap mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka memiliki cacat kepribadian?. Adalah salah bila menilai rohani tergantung pada jasmani. Setiap manusia yang berpenampilan baik dalam sisi jasmaniahnya belum dapat dipastikan mempunyai tingkah laku atau perangai yang bagus. hal di atas memperlihatkan bahwa evaluasi seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya.
Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menganggap dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa yang lain, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum pegawapemerintah yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang merupakan “panutan penduduk ” terlibat masalah korupsi dan kolusi, serta acuan-teladan yang lain.
Jika dipersempit masalahnya kedalam penduduk Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku langkah-langkah di atas ialah muslim, maka muncul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam sudah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu adat?, jikalau beliau mengetahui bahwa dalam Islam ada pemikiran akhlak, lantas mengapa beliau masih tetap melakukan tindakan yang buruk tersebut?.
Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama bahwa beliau memang tidak paham akan sikap-perilaku yang cocok dengan tuntunan adab islami. Kedua, dia mengetahuinya, namun tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya ihwal maksud dan pesan yang tersirat yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini dapat dimengerti bahwa budpekerti yang berisi tuntunan-tuntunan sikap muslim, ternyata tidak cuma selaku “masakan siap saji” yang langsung mampu dimakan tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, bahan-materi apa yang terkandung di dalamnya, apakah kuliner tersebut sesuai dengan kondisi tubuhnya dan tidak menjinjing kemudharatan bagi kesehatannya.
Oleh alasannya adalah itu, adat, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan diketahui maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini, filsafat adab dan watak menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, namun untuk mengoreksi kembali agar tuntunan tersebut lebih terasa berarti.
Dalam sebuah “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot biar seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan menaruh wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (utamanya orang Indonesia rata-rata berbadan kecil dan tidak berbulu lebat), alasannya kalau seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya cuma tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menimbulkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
Contoh di atas terkait dengan permasalah adab atau filsafat adat, yakni bagaimana kita mampu mendapatkan dan menatap nilai-nilai yang bagus bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, budbahasa mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani hingga ke abad modern ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa sebenarnya insan hidup, bagaimana bekerjsama manusia mesti bersikap dalam memandang diri dan kehidupannya, dan menatap nilai-nilai yang mesti dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan rancangan-desain yang mampu diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi adat pun berlanjut sampai menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan berbagi konsep-desain etika warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam anutan Islam.
Secara defenisi, etika atau lazimnya disebut filsafat watak yakni citra rasional perihal hakekat dan dasar tindakan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang memilih klaim bahwa tindakan dan keputusan tersebut secara akhlak diperintahkan atau dilarang.[2] Etika juga merupakan kebiasaan susila dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adab istiadat.[3] Oleh alasannya itu observasi akhlak senantiasa menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi desain-desain budbahasa, justifikasi atau penilaian kepada keputusan sopan santun, sekaligus membedakan antara tindakan dan keputusan yang baik dan buruk.
Dalam agama Islam, konsep-rancangan budbahasa, keagamaan dan prilaku individu dan sosial sesungguhnya sudah terdapat pada teks-teks suci, namun tidak berisi teori-teori akhlak dalam bentuk baku meskipun dia membentuk keseluruhan ethos Islam. Kaprikornus bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sungguh penting dalam studi budbahasa Islam. Oleh alhasil, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.
Para filosof muslim awal dalam kajiannya tentang adab apakah Neo-Platonis mirip al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis mirip Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak terbelakang atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, tetapi mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan akhlak filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an mirip cara-cara penulis muslim lazimnya , akan namun dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Makara untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci ialah dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof yaitu logika.[4]
Etika
Secara fisik, insan ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kelemahan-kelemahan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kekurangan-kekurangan jasmaniah tersebut juga memperlihatkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, yaitu orang yang amat jelek rupa. Tetapi, kejelekan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di periode kini yakni para tunanetra.[1] Apakah sikap mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka memiliki cacat kepribadian?. Adalah salah bila menilai rohani tergantung pada jasmani. Setiap manusia yang berpenampilan baik dalam sisi jasmaniahnya belum dapat dipastikan mempunyai tingkah laku atau perangai yang bagus. hal di atas memperlihatkan bahwa evaluasi seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya.
Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menganggap dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa yang lain, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum pegawapemerintah yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang merupakan “panutan penduduk ” terlibat masalah korupsi dan kolusi, serta acuan-teladan yang lain.
Jika dipersempit masalahnya kedalam penduduk Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku langkah-langkah di atas ialah muslim, maka muncul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam sudah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu adat?, jikalau beliau mengetahui bahwa dalam Islam ada pemikiran akhlak, lantas mengapa beliau masih tetap melakukan tindakan yang buruk tersebut?.
Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama bahwa beliau memang tidak paham akan sikap-perilaku yang cocok dengan tuntunan adab islami. Kedua, dia mengetahuinya, namun tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya ihwal maksud dan pesan yang tersirat yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini dapat dimengerti bahwa budpekerti yang berisi tuntunan-tuntunan sikap muslim, ternyata tidak cuma selaku “masakan siap saji” yang langsung mampu dimakan tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, bahan-materi apa yang terkandung di dalamnya, apakah kuliner tersebut sesuai dengan kondisi tubuhnya dan tidak menjinjing kemudharatan bagi kesehatannya.
Oleh alasannya adalah itu, adat, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan diketahui maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini, filsafat adab dan watak menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, namun untuk mengoreksi kembali agar tuntunan tersebut lebih terasa berarti.
Dalam sebuah “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot biar seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan menaruh wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (utamanya orang Indonesia rata-rata berbadan kecil dan tidak berbulu lebat), alasannya kalau seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya cuma tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menimbulkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
Contoh di atas terkait dengan permasalah adab atau filsafat adat, yakni bagaimana kita mampu mendapatkan dan menatap nilai-nilai yang bagus bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, budbahasa mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani hingga ke abad modern ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa sebenarnya insan hidup, bagaimana bekerjsama manusia mesti bersikap dalam memandang diri dan kehidupannya, dan menatap nilai-nilai yang mesti dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan rancangan-desain yang mampu diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi adat pun berlanjut sampai menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan berbagi konsep-desain etika warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam anutan Islam.
Secara defenisi, etika atau lazimnya disebut filsafat watak yakni citra rasional perihal hakekat dan dasar tindakan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang memilih klaim bahwa tindakan dan keputusan tersebut secara akhlak diperintahkan atau dilarang.[2] Etika juga merupakan kebiasaan susila dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adab istiadat.[3] Oleh alasannya itu observasi akhlak senantiasa menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi desain-desain budbahasa, justifikasi atau penilaian kepada keputusan sopan santun, sekaligus membedakan antara tindakan dan keputusan yang baik dan buruk.
Dalam agama Islam, konsep-rancangan budbahasa, keagamaan dan prilaku individu dan sosial sesungguhnya sudah terdapat pada teks-teks suci, namun tidak berisi teori-teori akhlak dalam bentuk baku meskipun dia membentuk keseluruhan ethos Islam. Kaprikornus bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sungguh penting dalam studi budbahasa Islam. Oleh alhasil, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.
Para filosof muslim awal dalam kajiannya tentang adab apakah Neo-Platonis mirip al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis mirip Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak terbelakang atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, tetapi mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan akhlak filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an mirip cara-cara penulis muslim lazimnya , akan namun dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Makara untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci ialah dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof yaitu logika.[4]
Etika
EmoticonEmoticon