Minggu, 16 Agustus 2020

Makalah Ilmu Hadis Dan Cabang-Cabangnya

A. Pendahuluan

Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits dirayat. Jika ilmu hadits riwayat membicarakan materi hadis yang menjadi kandungan makna, maka ilmu hadits dirayat mengambil pembahasan tentang kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungah dengan sanad atau matan hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan pola Rasulullah , harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai ilmu yang kedua, setiap muslim dan siapapun yang mempelajari dengan baik akan mendapatkan info yang akurat dan akuntabel tentang hadits Nabi/ Rasulullah saw. Di bawah ini akan dibahas tentang pemahaman ilmu hadits, sejarah yang dilalui, dan cabang-cabang ilmu hadits, terurama ilmu hadits yang berkaitan dengan kegiataan takhrij dan observasi sanad hadit Nabi saw.

1. Makna Istilah Ilmu Hadits Dan Kegunaannya

Banyak macam ungkapan yang digunakan para ulama untuk menyebut ilmu hadits. Di antaranya yaitu Ilmu Ushul al-Hadits, Ilmu Mushthalah Hadits, Ilmu Mushthalahi jago al-Atsar, Ilmu Mushthalahi Ahli al-Hadits. Prof. Dr. Hasbi al-Siddiqi, sebagaimana dikutib Syuhudi Ismail dan Nur Sulaiman, mengartikan ilmu Hadits selaku segala pengetahuan yang berafiliasi dengan hadits Nabi.[1] Dari definisi ini, maka cakupan (obyek) ilmu hadits itu sungguh luas. Ia tidak saja menyangkut matan dan sanad hadits, tetapi juga menyangkut setting social-budaya, pilitik dan social ekonomi yang melingkupi hadits Nabi. Berangkat dari pemahaman ini, maka ilmu hadits mampu mengalami pertumbuhan sesuai dengan perkembangan ilmu itu sendiri. Misalnya ilmu sosiologi Hadits, Ilmu Pilitik Hadits dan sebagaimnya.

Definisi ini senada dengan pemahaman yang dirumuskan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani [2]:

معرفة القواعد التى يتوصل بها الى معرفة الراوي والمروي

“Pengetahuan wacana kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kaadaan para perawi dan apa yang diriwayatkan(matan hadits)”

Secara garis besar ilmu-ilmu hadits mampu dibagi menjadi dua, yakni ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah).

Ilmu hadis riwayah yaitu ilmu yang membahas segala perkataan, tindakan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi Saw. Makara ilmu ini titik tekannya pada materi hadits itu sendiri. Wilayah dan ruang lingkup pembahasan Ilmu ini tidak menyinggung apakah hadits itu mutawatir atau ahad, dan juga tidak mempersoalkan apakan hadits tersebut shaih atau tidak, maqbul atau mardud, namun pembahasannya lebih pada apa saja penuturan yang berasal dari nabi saw. Hal ini dilaksanakan kerena ditujukan agar biar mengenali apa saja sikap dan prilaku nabi yang dapat dicontoh dan diteladani. Dengan demikian maka obyek Ilmu hadits Riwayat yakni pribadi Nabi, baik dari segi perkataan, tindakan, penetapan dan sifat-sifat Nabi saw. Dintara kitab-kitab yang mebahas ilmu riwayat yakni kitab Shahih al-Bukhari, shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatha’ Malik, Musnad Ahmad, Sunan al-Darimi dan lain se bagainya.

Sedang Ilmu hadis Dirayat berkisar pada kaidah-kaidah untuk mengetahui kaadaan matan dan sanad hadits, bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilaksanakan oleh para mahir hadis, bagaimana cara memberikan terhadap orang lain, tentang sifat-sifat rawi, bagaimana cara memahami hadits dan sebagainya. Dari dua pokok asasi ini, terbitlah banyak sekali-bagai aneka macam ilmu hadits, seperti ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Tarih al-Rawi, Ilmu al-Jarhi wa al-Ta’dil, Ilmu Asbab al-Nuzul, Ilmu Musykilat al-Hadits dan sebagainya.

Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadits antara lain :

1. Dapat meneladani akhlak Nabi saw, baik dalam hal ibadah maupun muamalah, secara benar.
2. Menjaga dan memelihara hadits Nabi dari segala kesalahan dan penyimpangan
3. Menjaga kemurnian syariat Islam dari berbagai penyimpangan
4. Melaksanakan Syari’at sesuai dengan sunnah Nabi saw.
5. Mengetahu upaya dan perjuangan para ulama dalam mempertahankan dan melestarikan hadits Nabi
6. Dapat mengenali ungkapan-ungkapan yang dipergunakan para ulama hadits

7. Mengetahui tolok ukur yang dipergunakan para ulama dalam mengklasifikasikan kaadaan hadist, baik dari segi kuantitas / jumlah sanad maupun dari segi mutu sanad dan matannya.

8. Dapat mengenali periwayatan yang maqbul (diterima) dan yang mardud (tertolak)
9. Dapat melakukan observasi hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang disepakati para ulama

10. bisa bersikap kritis dan proporsional kepada periwayatan hadits Nabi saw.[3]


2. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

Ilmu ini bekerjsama telah berkembang sejak zaman Rasulullah saw masih hidup. Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan training hadits itu sendiri. Hanya saja beliau belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada dikala Rasulullah saw masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang ialah emberio bagi kemajuan ilmu hadits dikemudian hari. Misalnya wacana pentingnya investigasi dan tabayyun, kepada setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6 menyatakan:
ياأيها الذين ءامنوا إن جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين

“Hai orang-orang yang beriman, jikalau tiba kepadamu orang fasik menjinjing suatu gosip, maka periksalah dengan cermat, biar kamu tidak menimpakan sebuah bencana alam kepada sebuah kaum tanpa mengetahui keadaannya yang mengakibatkan kau menyesal atas perbuatanmu itu”

Demikian pula dalam surat al-Thalaq : 2

وأشهدوا ذوي عدل منكم وأقيموا الشهادة لله ذلكم يوعظ به من كان يؤمن بالله واليوم الآخر ومن يتق الله يجعل له مخرجا

“persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kau dan hendaklah kau tegakkan kesaksian itu alasannya Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari darul baka. Barangsiapa yang bertakwa terhadap Allah pasti Dia akan menyelenggarakan baginya jalan ke luar.”

Ayat di atas terang menawarkan perintah kepada kaum muslimin biar menyelidiki, meneliti dan mengkaji gosip yang dating, khususnya gosip yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua gosip yang datang niscaya diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa bahan isinya. Jika pembawanya orang terpercaya dan adil , maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jikalau mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka gosip akan ditolak.[4]

Sepeninggal Rasulullah saw , para sobat Nabi sungguh hati-hati dalam periwayatan hadits, alasannya adalah konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan terhadap al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat teman Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya saat mulai terjadi pertentangan politik , yang memicu hadirnya firqah di kelompok kaum muslimin ; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama berdiri untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari perjuangan ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dijalankan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri saat menghimpin hadits dari para ulama.[5]

Ketika para ulama hadits membahas ihwal kesanggupan hafalan / daya ingat para perawi (dhabit), membicarakan bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana cara menyelesaikan hadits yang terlihat kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits makin meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (w. 204 H) menulis kitab al-Risalah, sebetulnya ilmu hadits sudah mengalami kemajuan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut sudah dibahas kaidah-kaidah perihal periwayatan, cuma saja masih bercampur dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berhubungan dengan cara menuntaskan haadits-hadits yang bertentangan, namun masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada ketika itu sudah mulai terlihat bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, contohnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w. 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis ihwal rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis perihal persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada era III H ini, maka mampu difahami mengapa kurun ini disebut sebagai permulaan kelahiran Ilmu Hadits, walaupun goresan pena yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.

Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap gres terjadi dikala Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (w. 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’[6].


C. Cabang-Cabang Ilmu Hadits

1. IImu Rijalil Hadis

علم يبحث فيه عن رواة الحديث من الصحابة والتابعين ومن بعدهم

Artinya:
"Ilmu yang membicarakan tentang kaadaan para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi'in, maupun dari angkatan sesudahnya[7] ."

Dengan ilmu ini dapatlah kita mengenali kondisi para perawi menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadis dari sobat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini dijelaskan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-kondisi para perawi itu dalam mendapatkan hadis.

Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu berisikan sanad dan matan. Maka mengetahui kondisi para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari wawasan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang cuma mengambarkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang membuktikan riwayat-riwayat biasa para perawi-perawi, Ada yang menunjukan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menunjukan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudlu'. Dan ada yang menunjukan karena-karena dianggap cacat dan alasannya adalah-alasannya dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang digunakan untuk itu serta martabat perkataan.

Ada yang mengambarkan nama-nama yang sama tulisan berlainan istilah yang di dalam ilmu hadis disebut Mu'talif dan Mukhtalif. Dan ada yang mengambarkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain penduduknya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menunjukan nama- nama yang sama goresan pena dan istilah, namun berlawanan keturunan dalam sebutan, sedang dalam goresan pena serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Mutasyabah. Dan ada juga yang cuma menyebut tanggal wafat.

Di samping itu ada pula yang cuma menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam semua itu para ulama telah berusaha menyusun kitab-kitab yang diharapkan. Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sobat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dijalankan oleh Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa jago lagi, di antaranya, yang penting diterangkan adalah Ibnu Abdil Barr (463 H). Kitabnya bernama AI-Istiab. 

Pada awal abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam suatu kitab besar yang dinamai Usdul Gabah. Ibnu Atsir ini yakni saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid.

Sesudah itu pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqali menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama AI-Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan Al-Istiab dengan Usdul Gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut. Kitab ini sudah diringkaskan oleh As-Sayuti dalam kitab Ainul Ishabah.

Al-Bukhari dan muslim telah, menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan sebuah hadis saja yang dinamai Wuzdan. Kemudian, dalam bagian ini Yahya ibnu abdul Wahab ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.

Ilmu Rijal al-Hadits ini dibagi menjadi beberapa bagian. Antara lain yaitu Ilmu Tarih al-Rawi dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil. Titik tekan kedua ilmu ini berlainan. Ilmu Tarih al-Rawi memfokuskan pembahasannya pada sejarah perjalanan hidup perawi, contohnya kapan seorang rawi itu dilahirkan, di mana, terhadap siapa beliau berlajar hadits, semua orang gurunya, mempunyai berapa murid hadits, semua orang mereka itu, pernah melakukan perlawatan untuk mencari hadits ke mana saja, dimana ia tinggal dan sebagainya. Sedangkan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, lebih menfokuskan kepada kritik perawi; apakan seorang perawi itu adil, kapasitas intelektualnya sehat apa tidak , Jadi titik tekannya pada mutu langsung dan kapasitas intelektualnya.[8]


2. Ilmul Jarhi Wat Takdil

Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya ialah sebuah bab dari ilmu rijalil hadis. Akan namun, sebab bagian ini dipandang selaku yang paling penting maka ilmu ini dijadikan selaku ilmu yang bangkit sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:
علم يبحث فيه عن جرح الرواة وتعديلهم بألفاظ مخصوصة وعن مراتب تلك الألفاظ

Artinya:
"Ilmu yang menandakan wacana catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan wacana penakdilannya (menatap adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu[9]. "

Yang menjadi pembahasan ilmu ini pada prinsipnya adalah melakukan telaah terhadap keadilan dan kedhabitan para perawi hadits. Jadi pada dasarnya membahas kualitas eksklusif perawi dan kapasitas intelektualnya

Mencacat para perawi (ialah mengambarkan keadaannya yang tidak baik, supaya orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), sudah tumbuh semenjak zaman teman. Menurut informasi Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para andal sudah menyebutkan kondisi-kondisi para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sobat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).

Sedangkan dari golongan tabi'in antara lain yakni Asy Sya’bi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam kala mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai periode kedua Hijrah baru didapatkan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya alasannya meng-irsal-kan hadis, adakalanya sebab me-rafa-kan hadits yang sebetulnya mauquf dan adakalanya alasannya beberapa kesalahan yang tidak disengaja, mirip Abu Harun AI-Abdari (143 H).

Sesudah selsai periode tabi'in, ialah pada kira-kira tahun 150 Hijrah, para jago mulai menyebutkan kondisi-kondisi perawi, menta’dil(menilai adil) dan menajrihkan(menilai cacat) mereka. Di antara ulama besar yang memperlihatkan perhatian pada persoalan ini, yaitu Yahya. ibnu Said Al-Qattan (189H), Abdur Rachman ibnu Mahdi (198 H)", setelah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud At-Thayalisi (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan ta’dil. Di dalamnya dijelaskan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.

Di antara pemuka-pemuka al-jarah dan al-ta’dil yaitu Yahya ibnu Main (233 H), Ahmad ibnu Hanbal (241 H), MUhammad ibnu Saad (230 H),Ali Ibnul Madini (234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H),Al-Bukhari (256 H), Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).

Kemudian pada tiap-tiap era terdapat ulama-ulama yang mengamati kondisi perawi, hingga sampai pada ibnu Hajar Asqalani (852 H).

Kitab-kitab yang disusun perihal al-Jarh wa al-Ta’dil, ada berbagai macam. Ada yang pertanda orang-orang yang dipercayai saja, ada yang membuktikan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi seluruhnya. Di samping itu, ada yang menandakan perawi-perawi sebuah kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.

Di antara kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sobat nama-nama tabi'in dan orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar lain, di antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan ibnu Hatim (327 H). Dan yang sungguh memiliki kegunaan bagi mahir hadis dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir.

Diantara kitab-kitab yang menunjukan orang-orang yang dapat dipercayai saja yakni Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu Hibban Al-Busty. Masuk dalam bab ini yakni kitab-kitab yang pertanda tingkatan penghapal-penghapal hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya, Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti.

Diantara kitab-kitab yang menandakan orang-orang yang lemah-lemah saja yaitu: Kitab Ad-Dhuafa, karangan Al-Bukhari dan kitab Ad- Dhu’afa karangan ibnul Jauzi (587 H)

Kitab yang memadukan antara ilmu tarih al-Rawi dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, antara lain ialah kitab Tahdzib al_kamal fi Asma al-Rijal karya Abu Al-Hajjaj Yusuf bin al-Zaki al-Mizzi, dan kitab Tahdzib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-Atsqalani

Sedangkan lambing-lambang yang dipergunakan untuk menta’dil adalah :

ثقة ثقة , ثقة ثبت , ثبت ثبت , ثقة , ثبت , حجة , صدوق , متقن , صالح الحديث , حسن الحديث , مأمون , شيخ , وسط , لا بأس به

Adapun lafadz/ lambing yang diginakan mentajrih yaitu sebagai berikut :

أوضع الناس , أكذب الناس , كذاب, دجال, متهم بالكذب, فلان ساقط, متروك الحديث, ضعيف, مردود الحديث, فلان لين, ليس بقوي,

Selanjutnya, jika dalam evaluasi para ulama terdapat perbedaan, artinya ketika terjadi evaluasi yang berbeda di kalangan para ulama terhadap seorang perawi, maka ada beberapa teori[10] :

1. التعديل مقدم على الجرح

2. الجرح مقدم على التعديل

3. إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعد ل الا اذا ثبت الجرح المقسر

4. لا يقبل الجرح الا بعد التثبت خشية الاشباه في المجروحين


3. IImu Illail Hadis[11]
علم يبحث فيه من اسباب غامضة خفية قادحة في صحة الحديث
Artinya:
Ilmu yang mengambarkan karena-alasannya yang tersembunyi, tidak konkret, yang mampu mencacatkan hadis.

Yakni menyambung yang munqati’, merafa’kan yang mauqu memasukkan satu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang sama itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis.

Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Cacat hadits yang demikian ini tidak dapat dikenali melainkan oleh ulama yang mempunyai wawasan yang tepat ihwal martabat-martabat perawi dan memiliki malakah yang kuat kepada sanad dan matan-matan hadis.

Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, adalah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab ia sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini ialah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.


4. Ilmun nasih wal mansuh[12]
علم يبحث فيه عن الناسخ والمنسوخ من الحديث
Artinya:
"ilmu yang membuktikan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya. "

Apabila didapati suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadis tersebut dinamai Muhkam. Namun jikalau dilawan oleh hadis yang sederajatnya, namun dikumpulkan dengan gampang maka hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.

Banyak para hebat yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam'uh ini, di antaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, adalah Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H) .


5. Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah[13]:
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء فيه
Artinya:
"Ilmu yang mengambarkan alasannya adalah-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan abad-masanya Nabi menurunkan itu."

Penting diketahui, sebab ilmu itu menolong kita dalam mengetahui hadis, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam mengerti Al-Alquran. UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan lalu dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang sudah dicetak pada tahun 1329 H 


6. Ilmu Talfiqil Hadis
عام يبحث فيه عن التوفيق بين الأحاديث المتناقضة ظاهرا

Artinya: "Ilmu yang membahas ihwal cara menghimpun(mempertemikan) hadis-hadis yang(secara lahiriyah) isinya terlihat bertentangan. "

Secara lazim tata cara solusi dengan cara ini mirip dengan tata cara al-Jam'u yang telah berkembang di kalangan ulama hadis. Metode ini meliputi :

a. Penyelesaian berdasar pengertian dengan pendekatan kaedah ushul fiqh. Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang 'amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan mentafsil yang mujmal

b. Penyelesaian berdasar pemahaman kontekstual.
c. Penyelesaian berdasarkan pengertian korelatif.
d. Penyelesaian dengan menggunakan pendekatan ta'wil.
e. Penyelesaian menurut pengertian tanawu' al-ibadah[14]

Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang sudah berusaha menyusun, ilmu ini yaitu Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya berjulukan At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.


REFERENSI

[1]Lihat Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits ( Bandung : Angkasa, 1991), hal. 61; Bandingkan pula dengan Prof. Dr. H. M. Nur Sulaiman (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008) hal. 76

[2]Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits ( Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 68

[3]Lihat ibid, hal 71-72 dan 77. Bandingkan dengan Utang Ranuwijaya, Drs, dan Mundzir Suparta, Drs. Ilmu Hadits (Jakarta : Raja Grafindo, 1993) hal. 24

[4]Sbd. Majid Khon. Dr. Op.cit, hal. 78-79
[5]Ibid, hal. 80
[6]Ibid, hal. 82
[7]Bandingkan dengan Fathur Rahman, Drs. Ikhtisar Musthalah hadits (Bandung : al-Ma’pandai, 1985) hal. 245
[8]Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. Ibid , hal . 258-273
[9]Bandingkan dengan klarifikasi Dr. Abd. Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta : AMZAH, 2008) hal. 85
[10]Syuhudi Ismail, Dr. Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 77-80
[11] Lihat lebih rinci dan bandingkan dengan Fathur Rahman, Drs. Op.cit, hal . 298-304
[12] Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 291-293
[13] Lihat lebih rinci pada Fathur Rahman, Drs. ibid, hal . 286-289
[14]Lihat Edi Safri, Al-Imam al-Syafi'i, Metode solusi Hadis Mukhtalif (Disertasi: IAIN Jakarta, 1990) h. 152-206.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon