BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Biografi Imam Muslim
Makalah Biografi Imam Muslim
Sebagaimana yang dikenali bareng , kegiatan penghimpunan hadis Nabi saw. yang dilakukan oleh ulama-ulama hadis terdahulu merupakan sebuah perjuangan yang tidak gampang dilakukan dan memerlukan perjalanan waktu yang panjang. Tidak mengherankan bila seorang ulama dapat menghabiskan waktu belasan atau berpuluh tahun untuk mampu menyusun sebuah kitab hadis.
Dalam aktivitas penghimpunan hadis tersebut, ulama hadis menyelenggarakan perlawatan ke berbagai kawasan untuk mengunjungi tempat tinggal para periwayat hadis. Masa hidup para penghimpun hadis itu ada yang sezaman dan ada yang tidak sezaman. Selain itu, bentuk susunan dan metode observasi yang mereka gunakan untuk menghimpun hadis juga berlainan-beda berdasarkan hasil ijtihad mereka masing-masing. Dengan demikian tidak seluruh hadis Nabi saw. terhimpun dalam satu kitab. Sebab lainnya lagi sehingga tidak seluruh hadis terhimpun dalam suatu kitab tertentu adalah sebab mungkin ada sebuah riwayat hadis yang tidak sampai kepada penghimpun tertentu; atau mungkin riwayat hadis itu hingga juga kepadanya, tetapi menurut hasil penelitiannya riwayat dimaksud tidak menyanggupi patokan yang sudah ditetapkannya. Jadi memang cukup berdalih, mengapa kitab himpunan hadis Nabi saw. tidak satu macam saja.[1]
Salah satu ulama hadis yang telah berjasa besar dalam acara penghimpunan hadis adalah Imam Muslim. Karya tulisnya yang berjudul ¢a¥³¥ Muslim menerima pengukuhan jumhur ulama selaku kitab hadis berkualitas tinggi dan sungguh diandalkan kesahihannya setelah ¢a¥³¥ al-Bukhari.
Dalam makalah ini penulis akan menjajal memaparkan tema yang berjudul ¢a¥³¥ Muslim yang pembahasannya mencakup biografi Muslim, sistematika penulisan dan kandungan ¢a¥³¥nya, penilaian dan komentar ulama, serta kitab-kitab syarahnya. Semoga makalah ini mampu memberikan penjelasan yang mencukupi sesuai dengan tema yang disebutkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Biografi Imam Muslim
Makalah Biografi Imam Muslim
A. BIOGRAFI IMAM MUSLIM
Beliau yaitu Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, berasal dari suku Qusyairi yang ialah kabilah Arab terkenal.[2] Lahir tahun 204 H dan ada yang menyampaikan tahun 206 H. Sejak berusia dini ia telah berguru, yaitu tahun 218 H. Ia mencar ilmu terhadap guru-gurunya di negerinya, lalu melakukan pengembaraan untuk belajar. Berkali-kali beliau pergi ke Baghdad. Di tengah-tengah perjalanan ilmiah itu, ia banyak berjumpa imam hadis dan para hafidz di Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan lain-lain.[3] Sewaktu Imam Bukhari tiba ke Naisabur, dia banyak menemui beliau. Keutamaan dan keluasan ilmunya segera di kenal. Ia berguru terhadap Imam Ahmad ibn Hambal, guru Bukhari Ishaq ibn Rahuyah dan masih banyak yang lain. Adapun yang meriwayatkan darinya (muridnya) antara lain Imam Turmidzi, Ibn Khuzaimah, Yahya ibn Sa’id, dan Abdurrahman ibn Abi Hatim.[4]
Imam Muslim sukses mencapai puncak keilmuan sehingga beberapa imam lebih mendahulukan ia ketimbang guru-guru yang lain era itu dalam ihwal hadis. Imam-imam abad itu sungguh memuji dia, demikian juga secara umum dikuasai andal ilmu sesudah dia. Imam Muslim menyusun banyak buku, mirip: al-Asma’ wa al-Kunya, Ifrad asy-Syamiyin, al-Aqran, al-Intifa’ bi julud as-Siba’, al-Musnad al-Kabir, al-Jami’, al-Tamyiz, Rijal ‘Urwah, dan lain-lain. Namun karya terpentingnya adalah al-Musnad as-¢a¥³¥ al-Mukhta¡ar min as-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an Rasul Allah.[5] Kitab ini umumdiringkas dengan istilah Sah³h Muslim. Imam Muslim wafat pada tanggal 25 Rajab tahun 261 H di Nashr Abad, salah satu kampung di Naisabur dalam usia 55 tahun.[6] Ia meninggalkan lebih dari dua puluh karya dalam bidang hadis dan dalam bidang yang lain yang mengindikasikan kedalaman ilmunya, selain kekuatan pemahaman dan keluasan ilmunya.
B. SISTEMATIKA PENULISAN DAN KANDUNGAN SAHIHNYA
Imam Muslim menyusun kitabnya itu (Sah³h Muslim) dari tiga ratus ribu hadis yang didengarnya pribadi. Untuk menyeleksinya, ia menghabiskan waktu sekitar lima belas tahun. Dalam hal ini dia menyatakan: “aku tidak akan meletakkan suatu hadis pun dalam kitabku kecuali dengan hujjah, dan aku tidak akan menggugurkan suatu hadis pun dari kitabku kecuali dengan hujjah pula.” Ia juga mengatakan: “Tidaklah semua hadis ¢a¥³¥ yang ada padaku aku letakkan dalam kitabku ini. Aku hanya meletakkan yang disepakati kesa¥³¥annya oleh ulama.” Maksudnya, hadis ¢a¥³¥ yang menyanggupi syarat-syarat yang sudah disepakati ulama.[7]
Imam muslim sungguh bangga dengan kitab Sah³h-nya, mengenang perjuangan yang telah dia curahkan dikala mengumpulkannya. Ibnu ¢olah menyebutkan bahwa Imam Muslim pernah berkata: “Seandainya para jago hadis selama 200 tahun menuliskan/menghimpun hadis, maka hasil mereka ialah al-Musnad ini.” Yakni kitab ¢a¥³¥-nya tersebut.”[8]
Menurut perhitungan M. Fuad ‘Abd al-Baqi, kitab ini berisi 3.033 hadis. Metode perkiraan tidak didasarkan pada metode isnad, namun pada subyek. Seperti kita ketahui, mu¥addi£in biasa menghitung lewat isnad. Maka bila sistem ini diterapkan, jumlahnya mungkin akan meningkat dua kali.[9] Al-Khatib menyebutkan, bila hadis-hadis dalam ¢a¥³¥ Muslim tersebut dihitung berdasarkan sanad-sanad yang beragam, maka jumlahnya meraih sepuluh ribu hadis.[10]
Baik Imam al-Bukhari atau Imam Muslim tidak seorang pun di antara keduanya yang menyebut secara tegas syarat-syarat yang diterapkan dalam menaruh hadis pada kitab shahihnya. Yang mampu dikenali bahwa masing-masing men-takhrij hadis yang memenuhi syarat-syarat kesa¥³¥an, yaitu bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi «abith[11] dari perawi lain yang adil lagi «abith pula, sejak permulaan hingga akhir sanadnya tanpa ada syu©u© [12] dan tanpa ‘illat.[13]
Imam muslim berbeda dengan Imam al-Bukhari dalam menentukan dan menghukumi kebersambungan sanad. Ia berpendapat bahwa kesejamanan (al-mu’a¡arah) cukup mampu mengakibatkan sebuah riwayat diterima, meski tidak ada riwayat yang valid tentang bertemunya perawi dengan gurunya. Sedangkan al-Bukhari tidak menilainya sebagai mutta¡il, kecuali ada riwayat yang valid bahwa keduanya pernah saling berjumpa (liqa’).[14] Imam Muslim menganggap bahwa perawi £iqat tidak akan meriwayatkan kecuali dari orang yang dia dengar dari orang itu, dan tidak akan meriwayatkan dari orang itu kecuali hadis-hadis yang didengarnya.
Kesimpulannya adalah bahwa Imam Muslim merasa cukup dengan kesejamanan antara perawi dengan gurunya (‘an’anah), sedang Imam al-Bukhari tidak merasa cukup dengan kesejamanan, namun mensyaratkan adanya pertemuan antara keduanya walaupun cuma sekali. Namun menurut al-Khatib, syarat yang dipakai oleh Imam Muslim itu tidak menurunkan mutu kitabnya, walaupun harus diakui syarat al-Bukhari lebih ketat. Namun yang jelas keduanya men-takhrij hadis-hadis yang memenuhi syarat-syarat kesa¥³¥an.[15]
Oleh karena itu, ketelitian dan kehati-hatian Imam Muslim dalam menetapkan syarat-syarat dalam Sah³h-nya, menempatkan kitabnya berada pada posisi yang tinggi sebagai sumber rujukan yang valid dalam mengumpulkan hadis Nabi saw. Sikap ketelitian dan kehati-hatian Imam Muslim dalam memasukkan hadis ke dalam kitabnya seperti terdapat dalam Kitab at-Tamyiz. Apabila seorang rawi keliru dalam meriwayatkan suatu hadis, maka Imam Muslim kemudian menyebutkan riwayat-riwayat lain yang aneka macam untuk menjelaskan kekeliruan itu. Misalnya, hadis tentang salat malam. Ibnu Abbas menuturkan bahwa dia bangkit di sebelah kiri Nabi saw, kemudian Nabi saw menariknya kesebelah kanan. Yazid ibn Abu Ziyad meriwayatkan hal itu dari Kuraib, bahwa Ibnu Abbas bangun di sebelah kanan Nabi saw. lalu Nabi menariknya ke sebelah kiri. Untuk menjelaskan kekeliruan dalam riwayat ini, Imam Muslim kemudian menuturkan tiga belas sanad, atau dengan kata lain, tiga belas hadis berasal dari Kuraib, di mana disebutkan bahwa Nabi saw menarik Ibnu Abbas dari sebelah kiri ke sebelah kanan.[16]
Selain itu, Imam Muslim juga menuturkan sanad-sanad secara lengkap dengan cabang-cabangnya sampai pada masa ia, yaitu masa ketiga. Tetapi ia hanya cukup menyebutkan orang-orang (sanad-sanad) dari generasi ketiga saja, ialah orang-orang yang hidup pada paruh pertama dari abad kedua. Seandainya beliau menyebutkan sanad-sanad itu selengkapnya dengan bentuknya yang terakhir pada abad beliau sendiri, maka barangkali beliau akan menyebutkan enam puluh atau tujuh puluh hadis.[17]
C. PENILAIAN DAN KOMENTAR PARA ULAMA DAN PAKAR
Dapat diakui bahwa Imam Muslim sudah mencurahkan segenap kemampuannya untuk menyusun kitab ¢a¥³¥ secara ilmiah yang bertumpu pada syarat-syarat kesah³han yang telah disepakati oleh para ahli hadis dan umat Islam dapat mendapatkannya dengan sangat bagus. Ulama dan para ahli hadis juga sepakat bahwa kedua ¢a¥³¥ (¢a¥³¥ al-Bukhari dan ¢a¥³¥ Muslim) merupakan kitab yang paling ¢a¥³¥ setelah Quran al-Karim. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah mengatakan: “Di atas bumi ini, tidak ada kitab yang lebih ¡a¥³¥ dibanding Sah³h al-Bukhari dan Sah³h Muslim setelah Alqur’an.”[18]
Sementara Imam ad-Dahlaw³ mengatakan: “Adapun kitab ¢a¥³¥ al-Bukahri dan ¢a¥³¥ Muslim, ahli hadis telah berpendapat bahwa hadis-hadis mutta¡il marfu’ yang ada di dalamnya niscaya bermutu ¡a¥³¥ dan kedua kitab itu secara mutawatir telah kita terima dari para penyusunnya.[19]
Untuk periwayat berstatus al-Mukharrij, ulama kebanyakan berpendapat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang diriwayatkan oleh selain al-Bukhari dan Muslim. Tetapi dalam hal ini perlu dinyatakan bahwa ketentuan tersebut bersifat lazim. Maksudnya, hadis yang termaktub dalam kitab-kitab ¢a¥³¥ al-bukhari dan ¢a¥³¥ Muslim pada umumnya berkualitas lebih tinggi ketimbang hadis yang termaktub dalam kitab-kitab hadis selain dari kedua kitab hadis tersebut. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan, ada hadis tertentu yang termaktub dalam kitab lain, misalnya dalam Sunan Abi Daud, kualitasnya lebih tinggi ketimbang hadis yang termaktub dalam ¢a¥³¥ al-Bukhari ataupun ¢a¥³¥ Muslim. Karena bagaimanapun juga, kualitas sanad hadis diputuskan oleh kualitas para periwayat dan persambungannya, serta bukan diputuskan oleh kitab yang menghimpunnya. Ulama menempatkan al-Bukhari dan Muslim pada kedudukan yang lebih tinggi ketimbang para al-Mukharrij yang lain alasannya adalah standar kesahihan sanad yang diterapkan oleh al-Bukhari dan Muslim di kitab ¡a¥³¥-nya masing-masing lebih ketat daripada para al-Mukharrij yang lain.[20]
D. KITAB-KITAB SYARAHNYA
Ulama-ulama hadis sesudah Muslim banyak memberikan komentar yang berbentuksyarah atau ringkasan kepada Kitab ¢a¥³¥ Muslim tersebut. Tercatat jumlahnya nyaris 50 buah kitab syarah dan ringkasan (ikhti¡ar), antara lain:
- Al-Mufham fi Syarh Muslim, oleh Abd al-Ghafir ibn Ismail al-Farisi
- Al-Mua’llim fi Syarh Muslim, oleh Abi ‘Abd Allah Muhammad ibn Ali ibn ‘Umar al-M±ziri al-M±liki
- Ikm±l al-Mu’allim bi Faw±id Syarh Muslim, oleh Abi al-Fadhl ‘Iy±d ibn Musa al-Yahsibi
- Syarh ¢a¥³¥ Muslim, oleh Abi Umar ibn U£man ibn ¢olah
- Al-Minh±j fi Syarh ¢a¥³¥ Muslim, oleh Abi Zakaria Yahya ibn Syaraf an-Nawawi
- Ikm±l al-Ikm±l, oleh Abi Rh Isa ibn Mas’d az-Zawawi al-Maliki.[21]
BAB III
PENUTUP
Makalah Biografi Imam Muslim
PENUTUP
Makalah Biografi Imam Muslim
Berdasarkan pemaparan yang telah dituliskan sebelumnya mampu dikenali bahwa Imam Muslim adalah ulama hadis yang sudah berjasa besar dalam menghimpun dan memilih hadis Nabi saw. sehingga tersusun suatu kitab hadis yang mempunyai kevalidan dan tingkat kesahihan yang tinggi. Beberapa ulama menyebutkan bahwa ¢a¥³¥ al-Bukhari dan ¢a¥³¥ Muslim menjadi kitab rujukan yang paling ¢a¥³¥ setelah Alquran al-Karim. Sebagai ciptaan insan, kitab ¢a¥³¥ Muslim juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan yang memanggil aneka macam komentar dan kritikan dari ahli-ahli hadis sesudahnya. Tetapi bagaimanapun juga, Imam Muslim sudah menawarkan sebuah karya besar yang sungguh berguna bagi generasi sesudahnya khusus berhubungan dengan hadis-hadis Rasulullah, sekaligus meninggalkan suatu karya tulis ilmiah yang bermutu dan bernilai tinggi. Oleh karena itu, telah sepantasnya bagi generasi selanjutnya untuk mampu menghargai dan memperlihatkan apresiasi yang besar atas karyanya tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Cetakan kedua, 1995
- Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, U¡l al-Had³£, Dar al-Fikr, Beirut, 1989
- Muhammad az-Zahrani, Tadw³n as-Sunnah an-Nabawiyyah, Maktabah as-¢ad³q, Madinah, tt
- Muhammad ¬iya’ ar-Rahman al-A’zhimi, Dirasat fi al-Jar¥ wa at-Ta’d³l, Maktabah al-Ghurba’ al-Atsriyyah, Madinah, 1995
- Muhammad ¬iya’ al-‘Umri, Buhu£ fi T±rikh as-Sunnah al-Musyarrifah, Maktabah al-‘Ulm wa al-Hukm, Madinah, 1984
- Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Ali Mustafa Yakub, Pustaka Firdaus, Cetakan kedua, Jakarta, 2000
- ------------------------------------, Memahami Ilmu Hadis, Penerjemah: Meth Kieraha, Cetakan ketiga, Lentera, Jakarta, 2003
- Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Citapustaka Media, Bandung, 2005
- Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Penerjemah: Tim Pustaka Firdaus, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993
- Yahya ibn Syaraf an-Nawawi ad-Dimsyiqi as-Syafi’i, Sa¥³¥ Muslim bi Syarh an-Nawawi, Juz-1, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1995
____________________
[1] M. Quraisy Syihab dalam mengantarkan buku M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Cetakan kedua, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, h. xiv
[2] Yahya ibn Syaraf an-Nawawi ad-Dimsyiqi as-Syafi’i, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Juz-1, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1995, h. 3
[3] Muhammad ¬iya’ ar-Rahman al-A’zhimi, Dirasat fi al-Jarh wa at-Ta’d³l, Maktabah al-Ghurba’ al-Atsriyyah, Madinah, 1995, h. 414
[4] Lihat lebih lanjut dalam Sah³h Muslim bi Syarh an-Nawawi, op cit., h.
[5] Muhammad Mushtafa Azami, Memahami Ilmu Hadis, Penerjemah: Meth Kieraha, Cetakan ketiga, Lentera,
[6] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Penerjemah: Tim Pustaka Firdaus, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, h. 350
[7] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, U¡l al-Had³s: ‘Ulmuh wa Mu¡thalahuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1989, h. 315
[8] Muhammad az-Zahran³, Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah, Maktabah as-Shad³q, Madinah, tt, h. 122
[9] M. M. Azami., Memahani.. op cit., h. 166: lihat juga, Akram ¬iya’ al-‘Umr³, Buhu£ fi T±rikh as-Sunnah al-Musyarrifah, Maktabah al-‘Ulm wa al-Hukm, Madinah, 1984, h. 247
[10] al-Khatib, op cit., h. 316
[11] Secara leksikal, «abith memiliki arti kukuh, kuat cermat, terpelihara, dan hapal dengan sempurna. Dengan demikian periwayat yang «abith adalah periwayat yang kukuh, cermat dan kuat hapalannya. Secara terminologis, Ibn Hajar al-‘Asqalani menerangkan bahwa «abith adalah orang yang besar lengan berkuasa hapalannya terhadap sesuatu yang pernah didengarnya, kemudian mampu memberikan hapalan tersebut manakala diharapkan. Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, Citapustaka Media, Bandung, 2005, h. 169
[12] syu©u© (ke-sya©©-an) secara bahasa dapat bermakna: yang jarang, yang menyendiri, yang abnormal, ganjil, menyalahi aturan, dan menyalahi orang banyak. Ulama berbeda pendapat wacana pengertian sya©© dalam hadis. perbedaan pertimbangan yang mencolokada tiga macam. Yakni, pertimbangan yang dikemukakan oleh al-Syafi’i, al-Hakim, dan Abu Ya’la al-Khalil³. Lebih lanjut lihat: M. Syuhudi Ismail, op cit., h. 139
[13] ‘Illat mempunyai arti penyakit, sebab, argumentasi, atau halangan. Dengan demikian, tidak ada ‘Illat-nya berarti hadis tersebut tidak berpenyakit, tidak ada alasannya yang melemahkannya, dan menghalanginya. Secara terminologis, ‘Illat yakni suatu sebab yang tidak nampak atau kurang jelas yang dapat mencacatkan kesahihan suatu hadis. Jika dikatakan suatu hadis tidak ber-’illat, memiliki arti hadis tersebut tidak memiliki cacat disebabkan adanya hal-hal yang tidak baik, yang kurang jelas. Dikatakan kurang jelas, karena jikalau dilihat dari segi lahirnya, hadis tersebut tampakotentik. ‘Illat tersebut menimbulkan mutu hadis menjadi lemah atau tidak otentik. Ramli Abdul Wahid, op cit., h. 170.
[14] Akram ¬iya’ al-‘Umr³, op cit., h. 247
[15] ‘Ajaj al-Khatib, op cit., h. 316
[16] Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Ali Mustafa Yakub, Pustaka Firdaus, Cetakan kedua, Jakarta, 2000, h. 645
[17] Ibid, h. 646
[18] ‘Ajjaj al-Khatib, op cit., h. 317
[19] Ibid.
[20] M. Syuhudi Ismail, op cit., h. 192-193
[21] Muhammad az-Zahrani, op cit., h. 129-130
EmoticonEmoticon