Selasa, 01 Desember 2020

Makalah Islam Transformatif, Dinamis Dan Teologi Pembangunan

Makalah Islam transformatif, Dinamis dan Teologi Pembangunan
Oleh : Ummi Kamilah MG

BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Islam transformatif, Dinamis dan Teologi Pembangunan

Proses modernisasi pasca kemerdekaan negara-negara Islam pada pertengahan abad ke-20 ini, di samping menjinjing kemajuan di beberapa bidang, juga menimbulkan problem baru di dunia Islam. Berbagai pergantian tidak mampu disingkirkan, tergolong perubahan-pergantian ke arah yang tidak diinginkan. Salah satunya perubahan keadaan umat Islam yang makin tertinggal jauh dari peradaban Barat Modern. Kondisi itu pada gilirannya menciptakan dunia Islam sungguh bergantung pada negara-negara maju di Barat dalam bidang ekonomi, politik dan teknologi. Bahkan akhirnya ketergantungan tersebut menjadikan bentuk-bentuk kolonialis baru negara-negara maju kepda dunia Islam yang rata-rata menempati status negara ke tiga.

Menghadapi ketergantungan dan ketertinggalan itu, para pemikir Islam kekinian berupaya keras mencari jalan keluar, sebagaimana hal itu pernah dilaksanakan oleh para pemikir pembaharu Islam sebelumnya. Mereka mencari sebab-sebab ketertinggalan tersebut lalu membangun paradigma pemikir-pemikir baru yang berkaitan bagi umat Islam untuk menghadapi persoalan kontemporer. Dalam mencari pemecahan problem tersebut, para pemikir Islam memiliki perbedaan pendekatan berpikir antara pendekatan tradisionalisme dan revivalisme, yaitu yang pertama lebih menekankan nilai-nilai Islam yang telah meningkat dan terlembagakan ke dalam suatu masyarakat serta aneka budayanya. Sedangkan pendekatan kedua lebih menekankan kembali terhadap nilai-nilai Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabatnya, dan kurang mengapresiasi budaya-budaya lokal sebagaimana golongan tradisional.[1]

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Islam transformatif, Dinamis dan Teologi Pembangunan

A. Islam Transformatif: Sebuah Paradigma Baru
Islam transformatif ialah penelusuran dialogis, bagaimana agama mesti membaca dan memberikan jawaban terhadap ketimpangan sosial. Adapun rancangan teologis kritis disodorkan sebagai pendekatan mengerti hubungan agama dengan kekuasaan, modernisasi dan keadilan rakyat. Agama intinya bukanlah identitas sekelompok manusia. Agama diturunkan sebagai hidayah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan yang melawan nilai-nilai dasar kemanusiaan.[2] Agama tidak mampu bicara dengan sendirinya, namun harus ditransformasikan dan ditafsirkan oleh umat manusia. Transformasi inilah yang mampu disebut selaku bentuk riil dari gerakan sosial baru. Tetapi sebelum melaksanakan transformasi, umat sejatinya sudah dengan jelas melakukan kajian-kajian kritis atas fenomena sosial yang terjadi.[3]

Umat agama-agama tidak akan pernah berhenti bergerak. Dia selalu dinamik sesuai dengan pergantian dan pertumbuhan sosial yang ada. Bagaimana umat atau jamaah mengetahui teks, kemudian menjadi penting dibahas. Mengingat, perkembangan yang terus terjadi sehingga teks tidak kehilangan makna historis dan konteks sosialnya. Terjadi perdebatan sengit pada aras teks ini. Ada pihak yang tetap beropini bahwa teks suci keagamaan tetap mesti dimengerti sebagaimana adanya. Dia mesti dibaca secara tekstual. Sementara itu ada pihak yang berpendapat bahwa teks mesti dimengerti secara kontekstual, tidak literalis sebagaimana adanya. Hal ini karena, teks datang pada jamaah bukan tanpa konteks sosial yang kosong. Teks hadir dalam kondisi sosial tertentu, bukan kevakuman sosial. Di sinilah lalu teks harus diketahui secara kontekstual, sehingga teks agama memiliki hubungannya sepanjang periode. Yang paling penting yaitu substansi dan spirit dari teks tersebut yang harus dimengerti dan diaktualkan.[4]

Akhirnya, dalam konteks kemajuan zaman ini dan kala depan, keterlibatan agama memerlukan jadwal baru, berupa teologi (Islam) yang bervisi transformatif. Yakni suatu rumusan normatif tentang bagaimanakah seharusnya (rumusan teologi transformatif) agama terlibat dalam masalah-duduk perkara sosial, sesuai dengan perkembangan zaman.

Pemikiran transformatik, sebuah persepsi pedoman yang bertolak bahwa Islam yang utama adalah kemanusiaan. Oleh karena itulah, secara terus-menerus umat Islam harus menjadi kekuatan yang mampu melakukan motivasi dan mentransformasi penduduk dari pelbagai aspeknya dalam skala yang teoritis maupun praksis. Dalam persepsi pemikir transformatif ini, Islam haruslah menjadi gerakan pemberdayaan masyarakat (empowerment) dan community development sehingga Islam mengarah pada pembebasan insan dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan dan seterusnya. “Pembumian” Islam menjadi corak paling lebih banyak didominasi dari gerakan transformatif ini.

Dalam tataran teoritis mereka berupaya menunjukkan teori sosial alternatif, salah satunya “ilmu sosial profetis”, seperti yang disediakan Kuntowijoyo, dan Ilmu Sosial Transformatif oleh Moeslim Abdurrahman. Ada sedikit perbedaan antara Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo ketika menempatkan Islam dalam proses pergantian sosial. Kuntowijoyo lebih melihat Islam sebagai basis analisisnya, dengan sedikit mengabaikan analisis menurut perkembangan ilmu-ilmu sosial lain yang ditulis oleh cendekiawan Barat. Sementara Moeslim Abdurrahman melihat proses sosial dari dimensi Islam yang disintesakan dengan ilmu-ilmu sosial lain, sekalipun ditulis oleh ilmuwan sosial Barat.[5] Belakangan ini, di kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) muncul sebuah pedoman baru perihal teologi Islam transformatif, yang mengawali cara berteologinya dengan mempertanyakan dasar perkiraan dan ideologis dari[6]:
  • Pertama, teologi yang konformis, ialah golongan-kelompok agamawan yang prihatin kepada duduk perkara kemiskinan dan keterbelakangan, namun contoh kerjanya dalam menangani problem tersebut dikerjakan secara pragmatis, tanpa analisis sosial.
  • Kedua, teologi yang modernis, yang melihat persoalan kemiskinan dan keterbelakangan sebagai problem mentalitas–meminjam istilah JJ Rostow– precondition of take off
Teologi transformatif (selaku paradigma radikal) menjajal menyaksikan proses imperialisme budaya (dalam perilaku, selera, gaya hidup, dan tata nilai penduduk ) dalam ideologi modernisasi, sekaligus mencari alternatif bagaimana masyarakat mampu mengatur made of production[7] (relasi-kekerabatan bikinan) dan segala bentuk buatan ideologi dan info dalam masyarakat, sehingga masyarakat dibutuhkan bisa mewujudkan potensi-peluangdirinya–tujuan spiritualitas itu–secara optimal–, tanpa kendala struktural.

Teologi transformatif sebagai bentuk keterlibatan agama di kurun depan–di Indonesia, memang masih baru dan sedang mencari bentuk. Tetapi kiranya, inilah bentuk teologi sosial baru Islam di Indonesia yang kini sedang merambah menghadapi banyak sekali macam bentuk hegemoni kapitalisme yang terbungkus dalam ideologi modernisasi.

Teologi transformatif ialah bentuk teologi yang berangkat dari tradisi ilmu sosial kritis. Pada umumnya, kelompok “teolog-teolog” yang bervisi transformatif ini, diinspirasikan oleh paradigma teori sosial yang–dalam bahasa Kuntowijoyo menilai struktur sosial sungguh memilih bentuk-bentuk struktur teknik dan struktur budaya.[8]

Metodologi yang digunakan dalam analisis sosial pada teologi ini, yaitu analisis ekonomi-politik, yang memasukkan komponen kekuasaan (power) sebagai variabel analisis, utamanya dalam membicarakan dan menyaksikan perkembangan kapitalisme.[9]

Pembicaraan perihal teologi transformatif ini di kalangan teolog Indonesia, banyak diadvokasi oleh tokoh-tokoh mirip M. Sastraprateja, A. Suryawisata, dan Dr. Banawiratma (dari kelompok Nasrani). Sedangkan dari kelompok Islam biasanya orang merujuk pada tokoh-tokoh mirip M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Moeslim Abdurrahman, M. Habib Chirzin, Mansour Fakih, dan juga Masdar F. Mas’udi. Pada umumnya, mereka ini yaitu para ahli-andal ilmu sosial yang meminati teologi, dan atau sebaliknya, para teolog yang hendak memakai analisis ilmu sosial radikal.[10]

Obsesi teologi transformatif yaitu ingin menganalisis penyebab kemiskinan, keterbelakangan dan kemunduran umat dari sudut pandang struktural. Selama ini, teologi modernisasi telah memecahkan persoalan tersebut dengan menunjukkan bahwa “ada yang salah” dalam berteologi selama ini. Dalam bahasa retoriknya, pada dasarnya keterbelakangan dan kemunduran umat disebabkan oleh perilaku fatalistik, dan penyerahan diri kepada nasib, atau sebab etos sosial dan etos kerja yang rendah.[11]

Kritik teologi transformatif yaitu: bahwa keterbelakangan bukan disebabkan faktor-aspek teologis, budaya, atau mentalitas, namun lebih disebabkan oleh akibat “ketidakadilan kekerabatan antara dunia maju dan Dunia Ketiga, yang berwatak imperialisme pada tingkat global, dan bentuk-bentuk eksploitasi serta kekerabatan-korelasi yang tidak adil pada tingkat lokal, yang dilaksanakan lewat relasi dan cara bikinan yang menghisap.[12]

Cara berpikir struktural semacam itu, adalah khas di kelompok teologi transformatif yang berupaya memperhitungkan penderitaan dan kebutuhan yang dinikmati para pelaku dalam suatu kalangan sosial, dengan cara melihatnya selaku balasan dari pertentangan struktural di dalam tatanan sosial yang ada. Teologi ini berusaha menggambarkan pertentangan-konflik struktural tersebut, dengan cara menawarkan penjelasan secara historis ihwal alasannya-karena terjadinya penindasan.

Prof. Dawam Rahardjo, salah seorang tokoh di lingkungan Islam yang menggagas teologi ini dekade pada 80-an, menyebutkan pendekatan ini dengan perumpamaan “historis-struktural,” yang keuntungannya ialah: pertama, mampu menghasilkan ajaran yang tidak utopis-normatif. Kedua, bisa memperluas pengetahuan yang sering terlihat sempit saat orang memanfaatkan versi-versi absurd dan imitasi. Ketiga, bisa menciptakan bahan-bahan yang berguna untuk menyusun rencana “rekayasa sosial” secara lebih sempurna dan berhubungan , karena mengamati kemajuan masyarakat. Keempat, menyelamatkan kita dari pemikiran lompat jauh ke tampang,” yang sering dijadikan dasar untuk melegitimasikan pola-acuan manajemen yang totaliter.[13] Tentu saja “analisis-struktural” di atas, dilakukan bukan pada taraf teologi, melainkan pada level analisis sosial.

Teologi transformatif tidaklah memisahkan antara teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari kritik dialogis, ke kritik tafsir, lalu mencari tafsir alternatif dan mewujudkannya dalam tindakan praksis sosial selaku praksis teologis.[14] Dengan demikian, kelompok teologi transformatif berusaha mempergunakan, sekaligus mensintesakan aneka macam analisis sosial dan tafsir Kitab Suci atas realitas sosial-keagamaan dewasa ini.

Mereka, contohnya membaca ihwal keadaan masyarakat agama remaja ini, melalui Harvey Cox –yaitu ilustrasi ihwal sekularisasi, dan kebangkitan agama di Dunia Ketiga–, perihal kesangsian/kritik ideologis dari Karl Marx, terutama kritik kapitalisme, wacana tafsir yang kaya dari Quran mengenai realitas sosial.[15] Usaha untuk melaksanakan eksperimentasi teologis transformatif, dijalankan selain dengan mencar ilmu dari kekurangan cara kerja NGO (lembaga swadya penduduk ) –yang tidak secara eksplisit memasukkan paradigma teologi dalam proses pengembangan penduduk – juga dengan mencari pendekatan gres. Yaitu melalui penafsiran teks dengan kesadaran akan konteksnya dan kemudian mempelajari konteks secara dialogis. Dengan cara empiris dan mengganti kondisi penduduk ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT. Perbedaannya dengan kecendrungan Islamisasi yakni bahwa teologi transformatif ini lebih menekankan pada hubungan dialogis antara teks dan konteks, dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realita menurut versi ideal. Di samping itu, berdasarkan Moeslim Abdurrahman,[16] pengembangan teologi transformatif juga sebagai upaya untuk menanggulangi perdebatan tentang opsi antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan penduduk . Sebab, dalam eksperimentasi teologi transformatif, pada dasarnya umat yang hidup bersama selaku simbol-simbol keyakinannya diberi kesempatan untuk menggali kekuatan dari simbol-simbol keagamaannya. Itu dalam mengatasi ketimpangan struktural yang mengungkungnya. Oleh alhasil, dalam proses teologi transformatif, selain juga harus melibatkan kegiatan analisis sosial bersama untuk memahami konteks, juga perlunya refleksi iktikad bersama yang terungkap dalam simbol-simbol keagamaannya. Di sinilah sebetulnya dibutuhkan kerjasama antara para teolog, analisis ilmu sosial dan para tokoh penduduk untuk memberi fasilitas kepada proses transformasi sosial.

Transformasi rupanya memang jalan yang paling manusiawi untuk mengganti sejarah kehidupan umat insan. Sebab dalam proses ini yang berlaku yaitu pendampingan dan bukan pengarahan terlebih pemaksaan. Transformatif, intinya juga yaitu gerakan kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi dan transendensi yang bersifat profetik. Yakni pengubahan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris. Suatu cita-cita yang melambangkan penjunjungan tinggi harkat dan harga kemanusiaan, akidah orang dihargai dan perbedaan pertimbangan menjadi tradisi. Untuk mencapai suasana mirip itu, mesti disadari memang tidak mudah. Namun rasanya harus ada yang memulai. Yaitu, semua orang yang dalam pandangan hidupnya merasa perduli terhadap masalah ketimpangan sosial selaku tantangan keyakinan bareng .[17]

Islam itu transformatif, din al-ishlah, agama perbaikan, “keharusan” memperjuangkan otonomi penduduk , “tidak bergantung pada negara” dan juga kemungkinan “perbaikan penduduk ,” yakni penduduk yang demokratis, egaliter, populis, berdikari dan sebagainya.[18]

B. Trend Baru Teologi Transformatif
Tampaknya respon kalangan “modernisasi Islam” berangkat dari kepedulian akan keterbelakangan umat Islam di dunia kini. Keterbelakangan itu disebabkan oleh kepicikan berpikir, kebodohan dan ketertutupan dalam mengerti aliran agamanya sendiri. Itulah yang menciptakan Islam tertinggal dari kemajuan yang diraih Barat.

Paradigma “modernisasi Islam” condong melakukan liberalisasi pandangan yang adaptif terhadap kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan perilaku kritis kepada bagian negatif dari proses modernisasi. Jadi bagi kelompok “modernisasi Islam”, persoalannya adalah bagaimana dengan tradisi teks membuatkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial. Hal ini sungguh berlainan dengan kalangan “Islamisasi” yang cenderung berupaya menggali teks dalam rangka menertibkan pergeseran sosial. Kalangan “Islamisasi” sebenarnya lahir dari rasa kegelisahan bahwa Barat telah merasuki peradaban kaum muslimin dengan sifat yang dekaden kepada agama.

Bagi golongan “teologi transformatif”, semua problem peradaban insan sekarang ini dianggap berpangkal pada persoalan ketimpangan sosial-ekonomi, alasannya adalah adanya struktur yang tidak adil. Kalangan “Teologi Transformatif” menyimpulkan bahwa agama dalam proses modernisasi kini ini melahirkan tiga corak,[19] yaitu:
  • Pertama, tampil selaku alat rasionalisasi atas modernisasi, dengan melahirkan pertumbuhan teologi rasional yang mengacu pada tumbuhnya kepentingan intelektualisme sekelompok akademikus.
  • Kedua, selaku alat legitimasi atas nama melancarkan dan mendukung berhasilnya acara-acara modernisasi. Program-program ini dirancang dan dijalankan secara teknokratis berdasarkan paradigma perkembangan ekonomi, dan bukan untuk kemajuan nilai-nilai dasar pembangunan harkat kemanusiaan sendiri. Dalam konteks mirip ini, corak teologi yang mayoritas yakni teologi paralelisme yang bersifat justifikatif.
  • Ketiga, golongan penduduk tertentu, terutama “kaum dhuafa”, yang tidak terserap ke dalam dialog besar proses modernisasi cukup umur ini, terpaksa menghanyutkan diri dalam keinginan teologi eskatologis yang bersifat eskapistis. Mereka tidak jarang memberikan sikap hidup fatalistis: bahwa “dunia hanyalah tempat bersinggah untuk minum”, bahwa “dunia hanyalah penjara bagi orang-orang yang beriman dan nirwana bagi orang-orang kafir”, dan lain sebagainya.
Kaprikornus agama dalam tiga corak di atas tidak berangkat atau menyentuh problem yang ada dalam kenyataan. Agama berhenti dan hanya asyik mempersoalkan kerangka utopis pada tingkat super-struktur. Dalam situasi yang semacam itu, teologi mesti dirumuskan kembali menurut realitas struktural yang betul-betul hidup dalam realita sehari-hari dan dihadapi oleh kelompok-kalangan penduduk Indonesia.

Yang paling penting, prinsip “Teologi Transformatif” itu tidak bersifat ortodoksi dan mesti terkait dengan ortopraksis. Ia harus berwatak fasilitatif, dalam arti memberi kemudahan sebagai kerangka bacaan menyaksikan realitas. Juga tidak ada kekerabatan patron-klien dalam membaca keinginanTuhan. Dan mementingkan isi dari pada bentuk istilah simbolis agama. Serta dengan terperinci menuju impian perwujudan penduduk muttaqien, dengan setiap orang memiliki derajat yang setara di hadapan kebenaran Allah SWT.[20]

Makna “teologi” dalam konteks ini, bekerjsama bukan saja ilmu kalam, ialah suatu ilmu tradisional Islam, yang sistematisasinya terkonsentrasi pada empat masalah dasar, mirip usaha mengetahui adanya Tuhan dan berbakti kepada-Nya, mengenali apa yang baik dan jelek, dan melakukan apa yang bagus dan buruk itu. Namun, juga tergolong apa yang kurang dieksplorasi dalam tradisi kalam yang kita kenal selama ini, yakni Fiqih. Lagi-lagi, fiqih di sini bukan hanya fiqh al-ashghar, seperti yang selama ini ada, tetapi juga meliputi fiqh al-akbar–dalam pemahaman Abu Hanifah–yang isinya bukan cuma ihwal ilmu fiqih saja, tetapi juga mencakup dimensi akidahnya. Fiqih ini menyangkut landasan ushuliyah atau dasar-dasar pokok mengenai akidah yang nantinya mendasari rincian fiqih itu (fiqh al-ashghar atau fiqih dalam pemahaman sempit tadi).[21]

Kalau asas dunia terbaru ialah rasionalisasi-fungsional, maka asas teologi Islam terbaru ialah rasionalitas nalar-budi yang terkurung dalam dirinya yang otonom dan memiliki kebenaran, sebuah bentuk rasionalisme idealis. Di sini terdapat kesesuaian yang begitu rapi. Teologi–yang mempunyai kekuatan legitimasi religius, menjadi sejalan dengan tujuan modernitas. Di satu sisi, ini memang kelihatan progresif, namun di segi lain, ternyata teologi ini jugalah yang merefleksikan struktur penindasan pada kala modern ini.[22]

Teologi yakni salah satu bentuk kesadaran masyarakat yang intinya merefleksikan bagaimana kondisi material tersebut diatur. Teologi Rasional merupakan salah satu bentuk dari teologi yang memperlihatkan legitimasi untuk suatu hubungan produksi penduduk . Kaprikornus, bila kepentingan sebuah transformasi masyarakat yakni ke arah keadilan sosial untuk penduduk yang dhu’afa’, maka teologi ini sama sekali tidak relevan, karena tidak mencerminkan moral revolusioner dari penduduk dhu’afa’. Teologi tersebut lebih ialah kekuatan legitimatif bagi mereka yang mendapatkan keuntungan dari kondisi penduduk yang sedang berjalan.[23]

Teologi selama ini masih bersifat mikro, masih sungguh menekankan pada aspek perorangan an sich. Padahal, masalah keadilan sampaumur ini telah bersifat makro, sudah menyangkut struktur-struktur sosial insan. Namun, persoalannya ialah apakah hal ini juga menjadi tanggung jawab teologi? Bukankah pemecahannya terletak dalam ilmu-ilmu empiris seperti ilmu sosial? Jawabannya sederhana saja, jika teologi itu menyangkut kesadaran manusia yang paling mendalam perihal kekerabatan manusia dengan Tuhan dan sesamanya, teologi yakni suatu dorongan hati, sebuah segi yang paling dalam dari diri manusia, yang bersifat psikologis, namun memiliki implikasi sosiologis. Maksudnya, teologi sungguh mungkin menjadi ideologi, yaitu sebuah kekuatan yang sangat mengendalikan bagaimana manusia mesti hidup dan bertindak menurut apa yang diyakininya.[24]

Pembaruan teologi yang bersifat rasional, dalam kacamata kaum dhu’afa’ terperinci tidaklah memadai, alasannya adalah cuma melihat ajaran dan pranata agama menurut nalar melulu dengan mendukung kebebasan menafsirkan ayat-ayat sehingga sesuai dengan akal. Sampai di sini, jelas Teologi Rasional sangat menopang elit terbaru dan tunduk terhadap tujuan modernitas itu sendiri. Nyatanya mereka–yang membutuhkan Teologi Rasional–yakni mereka yang sudah terlatih dan sudah biasa dengan kaidah rasionalitas-fungsional. Sementara kaum dhu’afa’, atas dasar tujuan mereka–yaitu suatu humanisasi struktur-struktur sosial yang menindas ini–pastinya sama sekali tidak membutuhkan teologi semacam itu. Mereka memerlukan teologi yang berparadigma lain, ialah sebuah teologi-sosial yang membebaskan, yang menunjukkan mereka kesepakatan dan cita-cita demi suatu kehidupan yang lebih baik. Paradigma pembaruan teologi yang mesti diusahakan ke arah itu yakni teologi yang menawarkan kawasan yang benar-benar terhadap suatu peralisasian manusia.[25]

Dalam rangka inilah, kelihatan pentingnya kesadaran struktural dalam teologi, yang ciri khasnya ialah aksentuasi terhadap perjuangan pengembangan kesadaran kritis manusia berdasarkan suatu teologi. Teologi ini sendiri, dasar normatifnya adalah visi sosial keagamaan (Alquran) yang dimasak dengan filsafat sosial, dan seterusnya tradisi-tradisi radikal yang telah menggariskan dasar teori sosial kaum dhu’afa’ melalui agresi politik sebagai agresi pendidikan dan berikutnya agresi kebudayaan (baca: cultural action for freedom). Isi teologi tersebut sebagian bersifat analsis sosial, sebagian lagi refleksi teologi.

Kalangan teologi transformatif beranggapan bahwa proses pemerataan ekonomi dalam rangka pembasmian kemiskinan, cuma mungkin dilaksanakan secara efektif jikalau prakondisi sosial yang mutlak diwujudkan terlebih dulu, utamanya yang menyangkut perombakan kelembagaan atau struktur sosial yang ada. Tujuannya adalah mentransformasi alokasi sumber daya, sehingga dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kebutuhan rakyat banyak. Karena itu, kelompok transformis ini–yang melihat kemungkinan proses pembangunan dengan pergeseran struktural–perlu terlebih dahulu melihat aspek-faktor eksternal seobjektif mungkin.

Tanpa memasukkan kepelikan analisis sosial ekonomi, maka golongan teologi transformatif mengasumsikan bahwa, proses pembangunan sebaiknya dilakukan sebagaimana didefenisikan kelompok transformis di atas. Karena itu, peran teologi transformatif ini dalam proses pembangunan yakni menawarkan “kritik ideologi” atas usaha-usaha dominasi alat-alat produksi, dominasi teknologi, dan dominasi makna, yang disadari atau tidak, telah menjadi bab dari strategi pembangunan developmentalisme, yang biasa disebut dengan “pertumbuhan plus” (growth plus development strategy).[26]

Dengan begitu, semakin kuatlah pemikiran teologi yang bervisi transformatif, yang tekanannya bukan lagi mengusahakan penduduk ke arah kemodernan, tetapi lebih mentransformasikan struktur-struktur sosial kemasyarakatan yang menindas, ke arah struktur sosial yang lebih fungsional dan humanis, demi perealisasian martabat insan.

C. Islam Dinamis
Islam dinamis lebih ditekankan terhadap penegakan nilai-nilai fatwa Quran dalam kehidupan modern khususnya di Indonesia. Islam ialah agama yang mengandung metode pergerakan yang dinamis[27]: walaupun ayat dan Sunnah terbatas, akan tetapi ayat-ayat dan Sunnah itu mengacu pada terlaksananya maqashid al-syari’at, yang belum pasti tergambar teks ayat secara eksplisit. Inilah yang mau dijadikan pemikiran dan landasan berpijak guna menjawab segala tantangan yang dihadapi manusia dalam kehidupan di dunia, untuk kebahagiaannya di darul baka. Maqashid syari’at ini mampu diketahui lewat ijtihad selaku prinsip gerakan dalam struktur pemikiran Islam.

Sebagai ijtihad sosialisasi dan pembumian ilham-inspirasi Quran pada dataran kehidupan insan yang selalu berkembang dan mengalami perubahan digunakanlah tata cara ijtihad tahqiq al-manath. As-Syathiby mendefenisikan tahqiq al-manath sebuah metode penerapan hukum–yang sudah digali mujtahid dari kandungan nash–terhadap duduk perkara yang sedang dihadapi sehingga maksud syari’at dapat tercapai dan ia menyebutnya sebagai ijtihad yang tidak akan berhenti hingga akhir zaman.[28] Yang menjadi pusat kajian dalam tahqiq al-manath ini bukan lagi Quran dan Hadis, melainkan manusia dengan lingkungannya yang selalu meningkat dan berganti.

Dalam melaksanakan Ijtihad tahqiq al-manath, ijtihad istinbathi memegang peranan yang amat penting, sebab wawasan perihal esensi dan pandangan baru lazim sebuah ayat tetap menjadi tolak ukur dalam penerapan hukum lewat tahqiq al-manath, serta kekeliruan dalam memutuskan ide ayat akan membawa kekeliruan dalam menilai dilema-masalah gres dan penerapan aturan terhadapnya. Pada segi lain ide hukum yang sudah digali dari Alquran melalui ijtihad istinbathi, kadang kala tidak mampu dipraktekkan dalam suatu maslah disebabkan beberapa faktor yaitu:
  • Pertama, kondisi sosial mukallaf di ketika turunnya ayat sangat berlainan dengan keadaan yang dihadapi mujtahid. Sehingga apabila pandangan baru ayat itu diterapkan, tujuan syari’at tidak tercapai lagi, atau akan mengorbankan maksud syara’ lain yang lebih penting.
  • Kedua, terkadang masalah kontemporer seperti dengan masalah yang dimaksud dalam Quran dan hadis, tetapi jikalau diteliti lebih cermat mampu jadi tidak sama alasannya adalah inti permasalahannya berlainan.[29]
Untuk menjawab permasalahan tersebut, tata cara ijtihad tahqiq al-manath menempuh dua pendekatan: Pertama, mencari hukum lain yang lebih sesuai dengan kondisi yang dihadapi insan. Hukum yang dimaksud di sini bisa dari salah satu ‘illat yang diproduk lewat takhrij al-manath,[30] dalam arti mengganti opsi tanqih al-manath selaku ide hukum satu ayat, atau ide aturan sebuah ayat yang ditemukan lalu.

Kedua, tidak memberlakukan pandangan baru aturan sebuah ayat, dan tidak pula mengganti dengan yang lain, yang dalam kajian ushul fiqh dikenal dengan istilah iqaf al-tanfidz. Ijtihad tahqiq al-manath didemonstrasikan dalam rangka membumikan hukum Islam itu pada dataran sosial yang selalu berkembang dan mengalami perubahan.[31]

Iman mesti terlibat kepada umat manusia atau–meninjam istilah Kuntowijoyo–agama harus melakukan “konkretisasi”. Artinya, fatwa-fatwa abstrak agama harus dibawa pada realitas konkret manusia. Agama harus berpihak dalam pertarungan antara ma’ruf dan munkar. Ketika terjadi ketidakadilan, maka agama mesti menyuarakannya dan membela rakyat yang tertindas. Ketika ada korupsi dan kongkalikong, agama mesti mengingatkan dan bersikap tegas. Dan ketika negara sedang mengalami krisis ekonomi dan kekurangan materi masakan, maka agama harus membantu dengan memobilisasi massa supaya terlibat dalam proses pemecahan umat tersebut dan memberi hukum tegas kepada orang yang menghalangi proses pemenuhan kebutuhan lazim masyarakat dengan menimbun bahan makanan. Memakai bahasa Olaf Schumann, teologi tidak boleh mengurung diri dalam benteng tempat ia menikmati isolasi dari kehidupan sekitarnya. Di sinilah terletak makna iktikad ialah keterlibatan dalam mengatasi masalah manusia. Setidaknya ada tiga alasan[32] untuk menyebutkan bahwa beriman bermakna ketabahan untuk melakukan tindakan seperti tersebut di atas.
  • Pertama, Tuhan tidak akan memerintah seorang Rasul atau menurunkan kitab suci kecuali untuk membebaskan umat manusia dari kesengsaraannya lalu membentuk umat yang adil, sejahtera, dan menebarkan kasih sayang kepada umat insan.
  • Kedua, rukun iman enam–dalam konteks mazhab-mazhab Sunni–yang diajarkan Nabi Muhammad saw bukanlah pedoman yang mutlak baku jumlah dan formulasinya. Sehingga sungguh masuk akal bila Mazhab Syi’ah memiliki rukun kepercayaan yang berbeda dan tak heran jika ada yang menyatakan bahwa jumlah rukun akidah itu satu atau dua. Jumlah enam dari rukun akidah pada era Nabi saw adalah alasannya adalah permintaan epitisme zaman dalam proyek rekayasa manusia kamil.
  • Ketiga, secara teologis, dari aneka macam aliran agama-agama sudah diakui adanya titik temu. Karena itu yang diharapkan sekarang yaitu bagaimana kesadaran pluralisme sebagai realitas sosial yang harus untuk mengakui eksistensi agama lain itu dibawa terhadap sikap ikhlas berarti bagi kehidupan seluruh umat. Pluralisme tidak hanya perlu diakui sebagai realitas sosial namun lebih dari itu ialah apa yang perlu dilaksanakan dengan adanya pluralisme. Perlu adanya langkah dari tahap pengesahan pluralisme kepada bentuk langkah-langkah yang merupakan pengejewantahan dari legalisasi kepada pluralisme.
BAB III
PENUTUP
Makalah Islam transformatif, Dinamis dan Teologi Pembangunan

Transformasi sesungguhnya adalah konsep yang luas dan menyeluruh. Sebab menyangkut pembaharuan beberapa faktor secara bersama-sama, secara reflektif, baik yang berhubungan dengan ajaran, maupun kelembagaan dan deretan sosial. Sedangkan visi, juga mempergumulkan ketentuan normatif dengan hasil pembacaan realitas. Jika pergulatan ini tidak terjadi, visi itu tidak mungkin akan lahir. Mengapa, karena ayat akan tetap dipelajari sebagai ayat–dan bukan ruhnya yang diambil untuk memerangi pergantian sosial. Dalam zaman modernisasi sekarang, saat proses dehumanisasi mengancam solidaritas kemanusiaan, telah saatnya mencari rumusan visi yang lebih besar. Yaitu bagaimana mengutuhkan kembali kekerabatan sosial yang terkoyak-koyak oleh ketimpangan cukup umur ini, dalam kesadaran iman yang konkret, walau dimulai dengan serangkaian aktivitas transformatif yang sekecil apapun. Memfungsikan agama dalam konteks sekarang dan di kala yang hendak tiba, tidak lagi cukup dengan berbicara atau menafsirkan ihwal Tuhan (seperti arti “teologi” selama ini, “ilmu ihwal Tuhan”), namun tidak kalah penting, ikut terlibat mengubah kondisi material yang telah membawa penduduk dalam situasi dehumanisasi itu.

Mau lihat footnote klik disini

DAFTAR PUSTAKA
  • Abdurrahman, Moeslim. Menuju Masyarakat Egalitarian: Transformasi. Jakarta: API, 1987.
  • ----------------------------. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
  • ----------------------------. Wong Cilik dan Kebutuhan Teologi Transformatif” Makalah. Jakarta: P3M, 1989.
  • al-Zuhaily, Wahbah. Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar al-Kitab, 1978.
  • Baso, Ahmad. Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
  • Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membatu. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
  • Fakih, Mansour. “Mecari Teologi untuk Kaum Tertindas,” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta: LSAF, t.t.
  • Harahap, Syahrin. Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Alquran dalam Kehidupan Modern di Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.
  • Rachman, Budi Munawir-. Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001/
  • Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
  • Nurhakim, Moh. Islam: Tradisi dan Reformasi “Pragmatisme” dalam Pemikiran Hassan Hanafi. Jakarta: Banyumedia Publishing, 2003.
  • Qodir, Zuly. Islam Liberal “Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia. Yogyakarta: 2003.
  • Rahardjo, M. Dawam. “Pendekatan Historis-Struktural: Menemukan Format Pembangunan,” dalam Prisma, No. 10, 1986.
  • Segundo, J.L. Liberation of Theology. Dublin, Gill and Mcmillan, 1997.
  • Syathiby, Abu Ishaq Asy-. Al-Muwafaqat fi Ushul al Ahkam Jili IV. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
  • Syaltut, Syekh Mahmud. Al-fatawa. Mesir: Dar al-Qalam, tt.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon