Sabtu, 05 Desember 2020

Makalah Hadis Periode Rasulullah Dan Teman

BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Hadis Masa Rasulullah dan Sahabat

Sejarah dan Periodisasi penghimpunan Hadis mengalami kurun yang lebih panjang ketimbang dialami oleh Al-Quran, yang hanya memerlukan waktu relatife pendek, ialah sekitar 15 tahun saja. Penghimpunan dan pengkodifikasian Hadis memerlukan waktu sekitar tiga kurun.Yang dimaksud dengan Periodisasi penghimpunan Hadis disini adalah fase-fase yang sudah ditempuh dan dialami dalam sejarah training dan perkembangan Hadis, semenjak Rasulullah SAW masih hidup hingga terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan sampaumur ini.

Para Ulama dan mahir Hadis, secara beragam membagi periodisasi penghimpunan dan pengkodifikasian Hadis tersebut menurut perbedaan pengelompokan data sejarah yang mereka miliki serta tujuan yang hendak mereka capai. Penyusunan kitab Hadis atau penulisan Hadis di dalam sebuah kitab belum terjadi pada periode Rasul SAW dan demikian juga belum ada pada kurun Sahabat. Pada kala Rasul SAW memang ada riwayat yang berasal dari Rasul SAW yang membolehkan untuk menuliskan Hadis, tetapi penulisan Hadis pada masa Rasul masih dikerjakan oleh orang perorang yang sifatnya eksklusif dan tertentu pada orang-orang yang memerlukan menuliskannya atau diizinkan oleh Rasul untuk menuliskannya.

Penulisan Hadis pada masa Rasul SA W dan demikian juga pada kala Sahabat belumlah bersifat resmi. Para Sahabat di abad pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin, pada umumnya, menahan diri dari melakukan penulisan Hadis. Hal tersebut di antaranya sebab adanya larangan Rasul SAW dari menuliskan Hadis-hadis beliau. Namun demikian, di samping adanya larangan, di segi lain Rasul SAW juga memberi peluang kepada para Sahabat untuk menuliskan Hadis-hadis beliau. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kontroversi dalam hal penulisan Hadis antara adanya larangan dan kebolehan dalam menuliskan Hadis.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Hadis Masa Rasulullah dan Sahabat

A. Cara Sahabat Menerima Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Hadis-hadis Nabi yang terhimpun didalam kitab-kitab Hadis yang ada sekarang ialah hasil keseriusan para Sahabat dalam mendapatkan dan memelihara Hadis dimasa Rasulullah SAW dulu. Apa yang diterima oleh para sobat dari Nabi disampaikan pula oleh mereka terhadap teman yang lain yang tidak hadir pasa saat itu dan berikutnya mereka menyampaikan terhadap generasi selanjutnya, dan demikianlah seterusnya hingga hingga terhadap para perawi terakhir yang melakukan kodifikasi Hadis.

Cara penerimaan Hadis pada kurun Rasulullah SAW tidak lah sama dengan cara penerimaan Hadis pada kurun generasi sesudahnya. Penerimaan Hadis pada era Rasulullah SAW dilakukan oleh Sahabat akrab beliau, seperti Khulafaur Rasyidindan golongan Sahabt utama yang lain. Para sobat pada masa Nabi minat yang besar untuk mendapatkan Hadis pada kurun Rasul SAW, oleh sebab nya mereka berusaha keras mengikuti Nabi SAW, biar ucapan, perbuatan dan taqrir beliau dapat mereka terima atau mereke lihat secara pribadi. Apabila ada diantara mereka yang berhalangan, maka mereka mencari teman yang kebetulan mengikuti atau hadir bareng Nabi saat itu untuk meminta apa yang telah mereka peroleh dari dia.

Ada empat cara yang ditempuh oleh para teman untuk mendapatkan Hadis Nabi SAW, yakni:
Mendatangi majelis-majelis taklim yang diadakan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW selalu menyediakan waktu-waktu khusus untuk mengajarkan fatwa-pedoman Islam kepada para Sahabat. Para sahabat senantiasa berupaya untuk menghadiri majelis tersebut walaupun mereka juga memiliki kegiatan dengan pekerjaan nya masing-masing. Apabila mereka berhalangan maka mereka bergantian menghadiri majelis tersebut, sebagaimana yang dilakukan Umar dan tetangganya. Yang hadir menginformasikan info yang mereka peroleh kepada yang tidak dapat hadir.

Kadang-kadang Rasulullah SAW mengalami beberapa peristiwa tertentu, lalu beliau menerangkan hukumnya terhadap para sahabat. Apabila para teman yang hadir melihat kejadian tersebut jumlahnya banyak, maka isu tentang peristiwa itu akan segera tersebar luas. Namun apabila yang hadir cuma sedikit, maka Rasulullah SAW menyuruh mereka yang hadir untuk mengumumkan terhadap Sahabat yang tidak dapat hadir. Adakalanya Rasulullah SAW melihat atau mendengar seorang sahabat melaksanakan suatu kesalahan, lantas ia mengoreksi kesalahan tersebut. Diriwayatkan oleh Umar, bahwa dia melihat seorang sedang berwudhuk untuk sholat, tetapi ia melakukannya tanpa membasuh bagian atas kuku kakinya. Hal tersebut dilihat Rasulullah SAW dan ia menyuruhnya untuk menyempurnakan wudunya dengan menyampaikan ; “Kembalilah engkau berwudu dan baguskan (sempurnakan)-lah wudumu!”. Orang tersebut segera mengulangi wudunya dan lalu barulah ia melakukan shaolatnya.

Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, lalu mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW memberikan pemikiran atau klarifikasi hukum perihal kejadian tersebut. Kasus yang terjadi adakalanya mengenai diri si penanya sendiri, tetapi tidak jarang pula terjadi padi diri Sahabat lain yang kebetulan disaksikannya atau didengarnya. Rasulullah SAW dalam hal ini tidak membedakan diantara Sahabat yang dating bertanya kepada ia, sehingga seorang Badawi yang dating dari kawasan yang jauh pun akan menerima perlakuan yang sama dengan apa yang diperoleh sahabat yang senantiasa mendampingi Rasul SAW. Bahkan apabila seorang Sahabat mendengar sesuatu (secara tidak eksklusif) dari Rasulullah SAW, maka Sahabat tersebut, dalam rangka mengkonfirmasikan informasi tersebut, tanpa segan-segan menanyakan kembali hal tersebut terhadap beliau. Dan pada.umumnya dalam rangka, untukmendapatkan keterangan yang meyakinkan dan menenteramkan hati mereka wacana peristiwa yang terjadi pada diri mereka, para Sahabat merasa malu untuk datang secara pribadi menanyakan terhadap Rasulullah SAW. Akan tetapi diantara mereka ada yang aib untuk bertanya secara pribadi terhadap Rasulullah SAW tentang problem tang dialaminya maka lazimnya Sahabat yang bersangkutan akan mendelegasikan seorang sahabat lainnya untuk mengajukan pertanyaan wacana kedudukan duduk perkara tersebut.

Kadang-kadang para sahabat menyaksikan Rasulullah SAW melaksanakan sesuatu tindakan dan kadang kala yang berhubungan dengan sistem pelaksanaan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Sahabat yang menyaksikan perbuatan tersebut, kemudian menyampaikannya kepada yang yang lain atau generasi sesudahnya. Setelah mendapatkan hadis dengan cara mirip itu, para sahabat selanjutnya mengahapal hadis tersebut sebagaimana halnya dengan Al-Quran.

B. Penulisan Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
Kegiatan baca tulis sesungguhnya sudah dikenal bangsa Arab semenjak kala Jahiliyah, walupun sifatnya belum menyeluruh. Setelah Islam turun acara membaca dan menulis semakin lebih digiatkan dan digalakkan, hal ini khususnya yakni alasannya adalah diantara tuntutan yang pertama yang diturunkan Allah SWT terhadap Nabi melalui Wahyu-Nya yaitu perintah membaca dan berguru menulis(QS Al-Alaq [96] : 1-5).

Pada dasarnya pada kala Rasulullah SAW telah banyak umat Islam yang bisa membaca dan menulis. Bahkan Rasul memiliki sekitar 40 orang penulis wahyu disamping penulis-penulis untuk permasalahan lainnya. Oleh alasannya adalah argument yang mengatakan kurangnya jumlah umat Islam yang cerdik membaca dan menulis ialah penyebab tidak dituliskannya Hadis secara resmi pada periode Rasulullah SAW yakni kurang tepat alasannya adalah ternyata menurut informasi diatas terlihat bahwa sudah banyak umat Islam yang mampu membaca dan menulis.

Mengapa hadis belum ditulis secara resmi pada masa Rasulullah SAW, terdapat aneka macam informasi dan alasan yang terkdang saling bertentangan satu dengan yang yang lain. Diantaranya ditemukannnya hadis yang sebagiannya membenarkan dan mendorong penulisan Hadis, disamping ada hadis lain yang melarang penulisan Hadis ini.

C. Larangan Menuliskan Hadis
Terdapat sejumlah Hadis Nabi SAW yang melarang para Sahabat untuk menuliskan Hadis-hadis yang mereka dengar atau terima'dari Nabi SAW. Hadis-badis tersebut yakni:

1. Hadis Abi Sa'id al,Khudri
Dari Abi Sa'id al,Khudri, bahwasanya RasuI SAW bersabda, "Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dariku selain Alquran maka hendaklah ia menghapusnya. " (H. R. Muslim)

2. Hadis Abi Hurairah
Abu Hurairah berkata, "Nabi SAW sebuah hari keluar dan mendapati kami sedang menuIiskan Hadis-hadis, maka Rasul SAW mengajukan pertanyaan, 'Apakah yang kamu tuliskan ini?' Kami menjawab, "Hadis-hadis yang kami dengar dari engkau ya Rasulallah. " RasuI SAW berkata, "Apakah itu kitab selain Kitab Allah (Quran)?, Tahukah kamu, tidaklah sesat umat yang terdahulu kecuali alasannya adalah mereka menulis kitab--kitab lain bareng Kitab Allah". (H. R. al,Khatib)

3. Hadis Abu Sa'id al-Khudri
Abu Sa'id al-Khudri berkata: "Kami telah berusaha dengan sungguh meminta izin untuk menulis (Hadis) , namun Nabi SAW enggan (memberi izin). " Pada riwayat lain yang berasal dari Abi Sa'id al-Khudri juga, dia berkata, "Kami meminta izin terhadap Rasul SAW untuk menuIis (Hadis) , namun Rasul SAW tidak membolehkan kami. " (H. R. aI-Khatib dan al-Darimi).

Ketiga riwayat di atas menunjukkan bahwa Rasul SAW melarang para Sahabat menuliskan Hadis-hadis beliau, dan bahkan beliau menyuruh Sahabat yang telah menuliskannya untuk meniadakan Hadis-hadis tersebut. Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, maka lahirlah pendapat di kelompok para ulama yang menyatakan bahwa menuliskan Hadis Rasul SAW yakni tidak boleh. Bahkan di kelompok para Sahabat sendiri terdapat sejumlah nama yang menyakini akan larangan penulisan Hadis tersebut, seperti Abu Sa'id al-Khudri, 'Abd Allah ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy' ari, Abu Hurairah, Abd Allah ibn 'Abbas, Jan Abd Allah ibn 'Umar.

D. Perintah (Kebolehan) Menuliskan Hadis
Terdapat sejumlah Hadis yang mengizinkan, bahkan menyuruh untuk menuliskan Hadis, sebagai padanan dari Hadis-hadis yang melarang dari menuliskan Hadis. Di antara Hadis-hadis yang membolehkan atau memerintahkan menuliskan Hadis ialah:

1. Hadis Rafi’
Dari Raft' ibn Khudaij bahwa ia menceritakan, kami bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami mendengar dari engkau banyak hal (Hadis-hadis), apakah (boleh) kami menuliskannya?" Rasulullah menjawab, "Tuliskanlah oleh kau untukku dan tidak ada keberatan (tidak ada dosa)" (H. R. al-Khatib)

2. Hadis Anas ibn Malik
Dari Anas ibn Malik bahwa beliau berkata; "Rasulullah SAW bersabda: 'Ikatlah ilmu itu dengan goresan pena (menuliskannya). "

3. Hadis Abi Hurairah
Hadis ini berasal dari al-Walid ibn Muslim dari al-Auza'i dari Yahya ibn Abi Katsir dari Abi Salamah ibn 'Abd al-Rahman dari Abi Hurairah, beliau menceritakan ihwal khutbah Nabi SAW di Mekah saat penaklukkan kotaMekah. Setelah penyampaian khutbah tersebut, seorang laki-laki dari negeri Yaman yang bemama Abu Syah bangun seraya berkata:

Berkata Abu Syah, "Tuliskanlah bagiku khutbah itu ya Rasulullah." Maka Rasulullah SAW bersabda: "Tuliskanlah oleh kamu untuk Abu Syah." Walid berkata, "Aku bertanya kepadaal Auza'i, 'Apakah yangdimaksudkan dengan perkataan Rasulullah "catatlah olehmu untuk Abu Syah." Auza'i menerangkan, "Yang dimaksud dengannya adalah khutbah yang didengamya dari Rasul SAW. " (H. R. Bukhari dan Ahmad)

4. Hadis ‘Abd Allah ibn’Amr
Dan 'Abd Allah ibn 'Amr, saya berkata: Ya Rasuulalh (bolehkah) aku menuliskan apa yang saya dengar dari engkau? Rasulullah menjawab: "Boleh". Aku berikutnya mengajukan pertanyaan: "Dalam keadaan marah atau bahagia?" Rasul SAW menjawab: "Ya, bergotong-royong aku tidak mengatakan sesuatu kecuali yang haq (kebenaran). (H. R. Ahmad).

Keempat Hadis di atas menawarkan bahwa Rasul SAW membolehkan bahkan menganjurkan para Sahabat untuk menuliskan Hadis-hadis beliau.


Faktor-Faktor Yang Menjamin Kesinambungan Hadis

Ada beberapa faktor yang mendukung terpeliharanya kesinambungan Hadis sejak masa Nabi SAW, ialah:

1. Quwwat al-dzakirah, yaitu kuatnya hafalan para Sahabat yang mendapatkan dan mendengarkan eksklusif Hadis-Hadis dari Nabi SAW, dan dikala mereka meriwayatkan Hadis-Hadis yang telah menjadi hafalan mereka tersebur terhadap Sahabat lain ataupun generasi selanjutnya,. mereka menyampaikannya persis seperti yang mereka hafal dari Nabi SAW.

2. Kehati-hatian para Sahabat dalam meriwayatkan Hadis dari Rasulullah SAW. Hal ini mereka kerjakan yakni sebab takut salah atau tercampurkan sesuatu yang bukan Hadis ke dalam Hadis. Karena kehati-hatian tersebutlah, maka sebagian Sahabat ada yang sedikit sekali meriwayatkan Hadis, mirip 'Umar ibn al-Khaththab. Selain itu, para Sahabat hanya akan meriwayatkan Hadis manakala diperlukan saja, dan ketika meriwayatkannya me:reka berusaha secermat mungkin dalam pengucapannya.

3. Kehati-hatian mereka dalam mendapatkan Hadis, adalah bahwa mereka tidak buru-buru dalam mendapatkan Hadis dari seseorang kecuali bila bareng perawi itu ada orang lain yang ikut mendengarnya dari.Nabi SAW atau dari perawi lain di atasnya. Menurut AI-Hafidz al- Dzababi. Abu Bakar adalah orang pertama yang sangat berhati-hati dalam mrnenerima Hadis. Diriwayatkan Ibn Syihab dari Qubaishah ibn Dzu'aib bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta bab warisan. Abu Bakar berkata kepadanya, "Tidak kudapatkaurn di dalam Al-Qur'an bab untukmu, dan tidak kuketahui pula bahwa Rasulullah menyebutkan bab untukmu,” Kemudian Abu Bakar mengajukan pertanyaan para Sahabat, maka Al_Mughirah bangkit dan berkata, “Kudengar Rasulullah SAW memberinya seperenam bab.” Abu Bakar selanjutnya bertanya, “Adakah bersamamu orang lain (yang mendengarnya)?” Maka bangkit Muhammad Ibn Maslamah memperlihatkan kesaksian tentang hal itu. Abu Bakar kemudian, menurut kabar tersebut, melakukan pertolongan bagian tersebut.

4. Pemahaman kepada Ayat “Innaa nahnu nadjalnaa dzikra waannaalahuu lahaafidhuun”

Mustafa al-Siba’I berpendapat bahwa yang dijamin terpelihara dari usaha pengubahan (pemutarbalikan) adalah Al-Dzikir dan Al-Dzikr, selain Al-Alquran, juga meliputi Sunnah atau Hadis. Dan bila pertimbangan ini mampu diterima, maka ini ialah factor penjamin yang cukup penting, alasannya adalah yang sifatnya pribadi dari Allah SWT.

E. Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Pada kala kekhalifahan Khulafa' al.-Rasyidin, khususnya kurun Abu Bakar al-Shiddiq dan 'Umar ibn al­Khaththab, periwayatan Hadis yakni sedikit dan agak lamban. Dalam masa ini periwayatan Hadis dijalankan dengan cara yang ketat dan sungguh hati-hati. Hal ini tampakdari cara mereka mendapatkan Hadis. Abu Bakar sebagaimana yang telah diterangkan diatas dalam kasus bagian seorang nenek dalam harta warisan, bahwa ia meminta kesaksian (syahadah) seseorang lainnya untuk mendapatkan Hadis yang disampaikan oleh Mughirah ibn Syu 'bah, dan dikala itu yang menjadi saksi atas kebenaran bahwa Hadis tersebut adalah berasal dari Nabi SAW yaitu Muhammad ibn Maslamah.

Demikian juga halnya dengan 'Umar ibn al-Khaththab, bahwa dia tidak gampang menerima suatu Hadis sebagaimana yang tampakdalam informasi berikut. Ketika Abu Musa al-Asy'ari bertamu kepada Umar, ia mengucapkan salam sampai tiga kali. “Umar mendengarnya, namun tidak menjawab, sebab ia mengira Abu Musa akan masuk menemuinya. Dugaan tersebut ternyata meleset, karena dilihatnya Abu Musa kembali pulang. Ketika 'Umar mengejarnya dan menanyakan mengapa dia berbalik pulang, Abu Musa menjelaskan bahwa Rasul.ullah SAW pemah bersabda, “Apabila seseorang mengucapkan salam sampai tiga kali dan tidak juga dijawab oleh si pemilik rumah, maka hendaklah beliau pul.ang kembali”. Umar tidak puas atas informasi Abu Musa tersebut, bahkan Umar mengancamnya dengan eksekusi kalau beliau tidak dapat mendatangkan bayyinah, yaitu seorang saksi atas informasi yang disampaikan Abu Musa tersebut. Dan, pada dikala itu tampillah Ubay ibn Ka'ab memberikan penjelasan ihwal kebenaran riwayat tersebut, sehingga hasilnya Umar menerimanya dan seraya berkata, “Aku tidak bermaksud menuduhmu yang bukan-bukan, tetapi aku cemas jika orang-orang mengatakan wacana Rasul SAW dengan mengada-ada” Menurut Ibn Qutaibah Umar Ibn al_Khaththab yakni orang yang paling keras dalam menentang mereka dalam periwayatan Hadis. Hal itu dimaksudkannya untuk menyingkir dari kekeliruan dalam periwayatan Hadis.

Sejarah mencatat bahwa dalam periode Khulafaurrasyidin, utamanya abad Abu Bakar dan Umar, begitu sedikit dan lamban. Hal ini disebabkan kecenderungan mereka secara biasa untuk menyedikitkan riwayat (taqlil al-riwayat), di samping sikap hati-hati dan teliti para Sahabat dalam menerima Hadis. Pada dasarnya mereka bersikap demikian yaitu sebab cemas akan terjadi kekeliruan (al-khatha') dalam meriwayatkan Hadis, alasannya adalah Hadis merupakan sumber pedoman Islarn sehabis Al-Qur'an. Ketelitian serta kehati-hatian dalam mendapatkan sebuah Hadis tidak cuma tampakpada diri para Khulafa' al-Rasyidin, namun juga pada para Sahabat yang-lain, mirip Abu Ayyub al-Anshari. Abu Ayyub pernah melakukan perja­lanan ke Mesir cuma dalam rangka untuk mencocokkan sebuah Hadis yang berasal dari 'Uqbah ibn Amir.

Sikap keseriusan dan kehati-hatian Sahabat dalam memelihara Hadis disertai pula oleh para Tabi'in yang datang sesudah mereka. Hal ini tampaksebagaimana yang dilakukan oleh para Tabi'in di Basrah. Mereka menilai perlu untuk mengkonfirmasikan Hadis yang diterima dari Sahabat yang ada di Basrah dengan Sahabat yang ada di Madinah. Makara, sekalipun sebuah Hadis itu diterima mereka dari Sahabat, para Tabi'in masih merasa perlu untuk mencek kebenaran Hadis tersebut dari Sahabat yang lain.

F. Penyebar Luasan Periwayatan Hadis
Setelah Nabi SAW wafat, ialah pada kurun sobat, para Sahabat tidak lagi mengurung diri di Madinah. Mereka sudah mulai menyebar ke kota-kota lain selain Madinah. Intensitas penyebaran Sahabat ke kawasan-kawasan ini tampakbegitu besar utamanya pada abad kekhalifahan 'Utsman ibn 'Affan, yang memberikan keleluasaan kepada para Sahabat untuk meninggalkan kota Madinah. Wilayah kekuasaan Islam pada masa 'Utsman telah meliputi seluruh jazirah Arabia, wilayah Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon), seluruh tempat Irak, Mesir, Persia, dan tempat Samarkand.

Pada biasanya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat mendirikan masjid-masjid di kawasan-tempat baru itu dan di daerah-daerah yang baru itu sebagian dari mereka berbagi anutan Islam dengan jalan mengajarkan Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW kepada penduduk lokal. Dengan tersebarnya para Sahabat ke kawasan-kawasan diikuti dengan semangat mengembangkan anutan Islam, maka tersebar pulalah Hadis-Hadis Nabi SAW. Sejalan dengan kondisi di atas, dan dengan adanya permintaan untuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat yang baru memeluk agama Islam, maka Khalifah 'Utsman ibn 'Affan, dan demikian juga Ali ibn Abi Thalib, mulai menawarkan fleksibilitas dalam periwayatan Hadis. Akibatnya, para Sahabat pun mulai mengeluarkan khazanah dan koleksi Hadis yang selama ini mereka miliki, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Mereka saling memberi dan mendapatkan Hadis antara satu dengan yang yang lain, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan iktsar riwayah al-Hadits (peningkatan kuantitas periwayatan Hadis). Keadaan yang demikian semakin menarik perhatian para masyarakatdi daerah setempat untuk tiba menemui para Sahabat yang berdomisili di kota mereka masing-masing untuk mempelajari Al-Qur'an dan Hadis, dan mereka inilah yang lalu dikenal selaku generasi Tabi'in yang berperan dalam menyebarluaskan Hadis pada masa selanjutnya.

Periwayatan Hadis pada periode Tabi’in umumnya masih bersifat dari verbal ke mulut (al-musyafahat), mirip seorang murid pribadi mendapatkan Hadis- Hadis dari sejumlah guru dan mendengarkan langsung dari penuturan mereka, dan selanjutnya disimpan melalui hafalan mereka. Perbedaannya dengan periode sebelumnya ialah, bahwa pada kala ini periwayatan Hadis sudah semakin meluas dan banyak sehingga diketahui ungkapan iktsar al-riwayah (pembanyakan riwayat). Dan, bahkan pada masa ini pulalah dikenal tokoh-tokoh Sahabat yang bergelar al-muktsirin (yang banyak mempunyai Hadis) dalam bidang Hadis yang terdiri atas 7 orang dan di antaranya yang terbanyak yaitu Abu Hurairah. Pada masa Tabi'in ini mulai diketahui pula apa yang disebut dengan rihlah, adalah perjalanan yang dijalankan oleh seseorang dari satu kota ke kota lain dalam rangka mencari Hadis-Hadis yang disangka dimiliki oleh Sahabat yang berdomisili di kota lain tersebut. Tradisi rihlah untuk menerima Hadis sebetulnya sudah mengakar pada Sahabat semenjak zaman Rasul SAW. Namun, pada abad itu rihlah lebih bersifat lazim untuk tujuan mencari isu pemikiran Islam yang dinilai “gres”. Umpamanya, diriwayatkan bahwa Dhamam ibn Tsa'labah pernah melakukan rihlah ke hadapan Nabi SAW guna mendengarkan AI-Qur'an dan anutan Islam yang dibawa dia sesaat setelah ia mengenali adanya misi kerasulan Muhammad SAW. Dhamam lalu kembali ke kaumnya segera sehabis secara tulus menyatakan keislaman dirinya.

Pada periode Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'i al-Tabi'in tradisi rihlah semakin meningkat dan terarah terhadap kegiatan mencari dan menerima Hadis secara khusus. Banyak di antara mereka yang menempuh perjalanan panjang dan bikin capek serta menyantap waktu yang cukup usang untuk tujuan menyimak sebuah Hadis atau mencek validitas Hadis tersebut, atau karena ingin bertemu dan bersilaturahmi dengan Sahabat untuk berikutnya mendapatkan Hadis dari mereka. Yang terakhir ini lazimnya dikerjakan oleh para Tabi'in. Dengan cara demikian, terjadilah pertukaran riwayat antara satu kota dengan kota yang lain.

G. Penulisan Hadis pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Meskipun ada riwayat yang berasal dari Rasul SAW yang mengizinkan untuk menuliskan Hadis, dan terjadinya kegiatan penulisan Hadis pada abad Rasul SAW bagi mereka yang diberi keleluasaan oleh Rasul SAW untuk melakukannya, namun para Sahabat, pada umumnya menahan diri dari melaksanakan penulisan Hadis di era pemerintahan Khulafa' al-Rasyidin. Hal tersebut adalah karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur'an al-Karim dan sekaligus Sunnah (Hadis). Akan namun, kondisi yang demikian tidak berjalan lama, karena ketika 'illat larangan untuk menuliskan Hadis secara sedikit demi sedikit hilang maka semakin banyak pula para Sahabat yang mengijinkan penulisan Hadis.

Abu Bakar al-Shiddiq, umpamanya, yakni seorang Sahabat yang berpendirian tidak menuliskan Hadis. Diriwayatkan oleh AI-Hakim dengan sanadnya dari Al-Qasim ibn Muhammad, dari 'A'isyah r.a., ia ('A'isyah) mengatakan bahwa ayahnya mengumpulkan Hadis yang berasal dari Rasul SAW yang jumlahnya sekitar 500 Hadis. Pada suatu malam Abu Bakar membolak-balikkan badannya berkali-kali, dan tatkala Subuh datang beliau meminta kepada A'isyah Hadis-Hadis yang ada padanya. Selanjutnya, saat 'A'isyah tiba membawa Hadis-Hadis tersebut, Abu Bakar menyalakan api, lalu memperabukan HadisHadis itu.

Demikian pula halnya dengan 'Umar ibn al-Khaththab yang semula berpikir untuk mengumpulkan Hadis, tetapi tidak usang berselang, beliau berbalik dari niatnya tersebut. Diriwayatkan oleh 'Urwah ibn al-Zubair, sebenarnya 'Umar ibn al-Khaththab berencana hendak menuliskan Sunnah, maka ia meminta pedoman para Sahabat lainnya wacana hal itu, dan para Sahabat mengisyaratkan biar Umar menuliskannya. Umar lalu melakukan istikharah kepada Allah selama sebulan, dan karenanya dia mengambil suatu keputusan yang disampaikannya di hadapan para Sahabat, di suatu pagi, seraya berkata, “Sesungguhnya saya berencana hendak membukukan Sunnah, tetapi saya teringat sebuah kaum sebelum kau yang menuliskan beberapa kitab, maka mereka asyik dengan kitab-kitab tersebut dati meninggalkan Kitab Allah; dan bergotong-royong aku, “Demi Allah, tidak akan mencampurkan Kitab Allah dengan apa pun untuk selamanya.” Pada riwayat lain lewat jalur Malik ibn Anas, Umar, dikala ia berbalik dari niatnya untuk menuliskan Sunnah, menyampaikan, “Tidak ada suatu kitab pun yang mampu menyertai Kitab Allah.”

Dari pernyataan 'Umar di atas, tampakbahwa penolakannya terhadap penulisan Hadis ialah disebabkan adanya kekalutan berpalingnya umat Islam kepada mempelajari sesuatu yang lain selain Al-Qur'an dan menelantarkan Kitab Allah (Al-Quran). Justru itu, beliau melarang umat Islam untuk menuliskan sesuatu lainnya dari Al-Qur'an, termasuk Hadis. Dan terhadap mereka yang telah telanjur menuliskannya, “Umar menyuruh mereka untuk membawanya kepadanya, dan lalu ia sendiri membakarnya”

Para Sahabat lain yang juga melaksanakan larangan penulisan Hadis pada kurun-periode permulaan itu di antaranya, yakni 'Abd Allah ibn Mas'ud, 'Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibn 'Abbas, dan Abu Sa'id al-Khudri. Akan tetapi, tatkala karena-alasannya larangan penulisan Hadis tersebut, ialah kekhawatiran akan terjadinya percampur bauran antara Al-Qur'an dengan Hadis atau dengan yang lainnya sudah hilang, maka para Sahabat pun mulai merenggangkan larangan tersebut, dan bahkan di antara mereka ada yang justru melakukan atau mengusulkan untuk menuliskan Hadis. Hal tersebut yakni seperti yang dilaksanakan Umar, yakni tatkala ia melihat bahwa pemeliharaan terhadap Al-Qur'an sudah kondusif dan terjamin, beliau pun mulai menuliskan sebagian Hadis Nabi SAW yang berikutnya dikirimkannya kepada sebagian pegawainya atau sahabatnya. Abu 'Utsman al-Nahdi menyampaikan, “Ketika kami bareng 'Utbah ibn Farqad, ’Umar menulis kepadanya tentang beberapa urusan yang didengarnya dari RasuI SAW, yang di antaranya yakni tentang larangan Rasulullall SAW memakai sutera,”

Demikian pula halnya dengan para Sahabat lain yang semula melarang melaksanakan penulisan Hadis, namun sesudah kegelisahan akan tersia-sianya Al-Qur'an, salah satu penyebab utama pelarangan penulisan Hadis tersebut, hilang, maka mereka mulai mengizinkan, bahkan melakukan sendiri, penulisan Hadis. Akan halnya Tabi'in, sikap mereka dalam hal penulisan Hadis adalah mengikuti jejak para Sahabat. Hal ini tidak lain adalah alasannya para Tabi'in memperoleh ilmu, termasuk di dalamnya Hadis-Hadis Nabi SAW, adalah dari para Sahabat. Dengan demikian adalah wajar jika mereka bersikap menolak penulisan Hadis manakala karena-karena larangannya ada, sebagaimana yang dikerjakan oleh Khulafa' alRasyidin dan para Sahabat lainnya; dan sebaliknya, manakala alasannya-alasannya larangan tersebut sudah hilang maka mereka pun setuju untuk membolehkan penulisan Hadis, bahkan sebagian besar dari mereka mendorong dan meng­galakkan penulisan dan pembukuannya.

Sejalan dengan pendirian dan perilaku para Sahabat, adalah ada yang pro dan ada yang kontra terhadap penulisan Hadis, alasannya adanya Hadis-Hadis yang melarang penulisan Hadis di samping ada yang membolehkannya, maka perilaku para Tabi'in juga demikian, yakni ada di antara mereka yang pro dan ada pula yang kontra. Di antara mereka yang menentang penulisan Hadis ialah 'Ubaidah ibn 'Amr alSal-mani (w. 72 H), Ibrahim ibn Yazid al-Taimi (w. 92 H), Jabir ibn Zaid (w. 93 H), dan Ibrahim al-Nakha'i (w. 96 H).

Keengganan para Tabi'in dalam penulisan Hadis ini kian meningkat tatkala mereka menyadari bahwa banyak di antara hebat Hadis di periode itu menyertakan pendapatnya saat meriwayatkan Hadis, sehingga dikhawatirkan jika riwayat tersebut dituliskan akan terikut pula dituliskan pertimbangan sang perawi, dan umat yang datang kemudian sehabis mereka kemungkinan besar akan menerka bahwa usulan sang perawi tersebut adalah Hadis juga. Kebanyakap ahli Hadis pada era Tabi'in yaitu juga jago Fiqh (Fuqaha), dan mahir Fiqh condong memadukan antara Hadis dengan pendapatnya sehingga dikhawatirkan pertimbangan dan ijtihadnya tersebut disatukan dengan Hadis-Hadis Rasul SAW. Sebagai pola, yakni sebagaimana yang diriwayatkan berikut ini:

Te1ah tiba seorang laki-Iaki terhadap Sa'id ibn alMusayyab, salah seorang Fuqaha dari kelompok Tabi'in yang meriwayatkan larangan menuliskan Hadis. Laki-laki tersebut menanyakan sebuah Hadis terhadap Ibn al-Musayyab, yang dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan mengemukakan Hadis tersebut kepada pria tadi. Setelah itu, laki-laki tersebut menanyakan ihwal pendapat Ibn alMusayyab berkenaan dengan Hadis tadi, yang pertanyaan tersebut secepatnya dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan mengemukakan pendapatnya. Laki-laki itu ternyata menuliskan usulan Ibn al-Musayyab tersebut gotong royong dengan Hadis yang baru saja di diktekan oleh Ibn alMusayyab. Melihat peristiwa itu, salah seorang yang ketika itu hadir bersama Ibn al-Musayyab berkata, “Apakah pendapatmu juga dituliskannya, wahai Abu Muhammad?” Mendengar hal itu, Sa'id ibn al-Musayyab berkata kepada pria tadi, “Berikan kepadaku lembaran catatan itu.” Laki-laki tersebut memberikannya, dan Ibn al-Musayyab secepatnya mengoyaknya.

Berdasarkan insiden di atas, tampakbahwa yang sebetulnya tidak disukai oleh para Ulama dari kalangan Tabi'in adalah penulisan pertimbangan mereka bahu-membahu dengan Hadis NabiSAW, dan bukan penulisan Hadis itu sendiri. Karena bila hal itu terjadi, besar kemungkinan akan terjadi percampuran antara usulan mereka dengan Hadis Nabi SAW. Hal ini serupa dengan pelarangan penulisan Hadis yang dijalankan oleh Rasul SAW dan para Sahabat sebelumnya, yang tujuan khususnya adalah semoga tidak terjadi percampuran antara Hadis dengan Al-Qur'an.

Oleh karena itu, saat kegundahan akan terjadinya percampuran antara penulisan Hadis dengan pertimbangan perawinya sudah dapat diselesaikan, maka sebagian besar Tabi'in menawarkan fleksibilitas bahkan mendorong murid-murid mereka untuk menuliskan Hadis-Hadis yang mereka ajarkan. Terdapat di kalangan Tabi'in itu sendiri mereka yang sangat bersemangat dalam menuliskan Hadis-Hadis yang mereka terima dari para Sahabat. Di antaranya yaitu Sa'id ibn Zubair (w. 95 H) yang menuliskan Hadis-Hadis yang diterimanya dari Ibn 'Abbas. Demikian juga halnya dengan 'Abd al-Rahman ibn Harmalah yang diberi kelonggaran oleh Sa'id ibn al-Musayyab (w. 94 H) untuk menuliskan Hadis-Hadis yang berasal dari dirinya saat 'Abd al-Rahman mengeluhkan buruknya hafalannya kepada Ibn al-Musayyab. 'Amir al-Sya'bi, seorang Ulama Fiqh dari kelompok Tabi'in, bahkan menyuruh para muridnya untu'k menuliskan setiap Hadis yang disampaikannya kepada mereka, dengan menyampaikan, “Apabila kau mendengar sesuatu (Hadis), dariku maka kamu tuliskanlah Hadis tersebut walau di dinding sekalipun.” Dorongan yang sama untuk menuliskan Hadis bagi para muridnya juga dikerjakan oleh Al-Dhahhak ibn Muzahim (w. 105 H).

Kegiatan penulisan Hadis, di masa Tabi'in semakin meluas pada akhir kala pertama dan awal masa kedua Hijriah. 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz (61-101 H), selaku seorang Amir al-Mu'minin saat itu, juga turut aktif secara pribadi mencari dan menuliskan Hadis. Diriwayatkan dari Abi Qilabahal-Jarmi al-Bashri (w. 104 H), ia mengatakan, “Keluar bareng kami 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz di sebuah hari untuk melaksanakan shalat zuhur dan beliau menenteng kertas bersamanya. Selanjutnya beliau juga keluar bersama karni untuk melaksanakan shalat asar, juga sambil membawa kertas, dan pada ketika itu aku mengajukan pertanyaan kepadanya, “Wahai Amir al-Mu'minin, kitab apakah ini?” Dia menjawab, “Ini adalah Hadis yang diriwayatkan oleh 'Aun ibn'Abd Allah, dan Hadis tersebut mempesona perhatianku sehingga aku menuliskannya”


BAB III
PENUTUP
Makalah Hadis Masa Rasulullah dan Sahabat

Penerimaan Hadis pada abad Rasulullah SAW dikerjakan oleh Sahabat bersahabat beliau, seperti Khulafaur Rasyidindan kelompok Sahabat utama yang lain. Para sobat pada periode Nabi minat yang besar untuk memperoleh Hadis pada kurun Rasul SAW secara langsung. Apabila ada diantara mereka yang berhalangan, maka mereka mencari sobat yang kebetulan mengikuti atau hadir bareng Nabi ketika itu untuk meminta apa yang telah mereka peroleh dari dia. Hadis belum ditulis secara resmi pada periode Rasulullah SAW alasannya adalah terdapat berbagai keterangan dan argumentasi yang sering kali saling bertentangan satu dengan yang yang lain. Diantaranya ditemukannya hadis yang sebagiannya membenarkan dan mendorong penulisan Hadis, disamping ada hadis lain yang melarang penulisan Hadis ini.

Faktor-aspek yang menjamin kesinambungan Hadis yakni Quwwat al-dzakirah, yaitu kuatnya hafalan para Sahabat yang menerima dan menyimak pribadi Hadis-Hadis dari Nabi SAW, dan ketika mereka meriwayatkan Hadis-Hadis yang telah menjadi hafalan mereka tersebur terhadap Sahabat lain ataupun generasi selanjutnya,. mereka menyampaikannya persis mirip yang mereka hafal dari Nabi SAW. Dan Kehati-hatian para Sahabat dalam meriwayatkan Hadis dari Rasulullah SAW. Hal ini mereka kerjakan yaitu alasannya takut salah atau tercampurkan sesuatu yang bukan Hadis ke dalam Hadis. Kekhawatiran akan terjadinya percampuran antara penulisan Hadis dengan pendapat perawinya sudah mampu tertuntaskan, maka sebagian besar Tabi'in memperlihatkan kelonggaran bahkan mendorong murid-murid mereka untuk menuliskan Hadis-Hadis yang mereka ajarkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof.Dr. Nawir Yuslem M.A. Ulumul Hadis. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 2001
2. Prof.Dr. Nawir Yuslem M.A. 9 Kitab Induk Hadis. Jakarta : Hijri Pustaka Utama, 2006

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon