Kamis, 01 Oktober 2020

Makalah Pengembangan Madrasah

BAB I
PENDAHULUAN

Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu berkembang dan berkembang dari bawah, dalam arti penduduk (umat) yang didasari oleh tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi penerus. Oleh alasannya itu madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam.[1]

Kemudian posisi ilmu biasa terus menguasai searah perkembangan kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Madrasah itu kini disebut sekolah biasa berciri khas agama, di mana ilmu agama cuma menjadi bab kecil kurikulum lembaga ini.

Kemudian dalam makalah ini, kami akan menerangkan lebih lanjut ihwal pengembangan madrasah yakni perihal madrasah sehabis kemerdekaan, pengembangan mutu madrasah, dan pengembangan kurikulum madrasah.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Madrasah Setelah Kemerdekaan
Di Indonesia madrasah selaku lembaga pendidikan Islam dalam proses pengembangannya telah mengalami taktik pengelolaan dengan tujuan yang berganti diubahsuaikan dengan tuntutan zaman. Pada zaman sebelum kemerdekaan, madrasah dikelola untuk tujuan idealisme ukhrawi semata, yang mengabaikan tujuan hidup duniawi.

Akibatnya, dalam kehidupan kewarganegaraan, timbullah perbedaan mutu hidup warga negara Indonesia antara pihak produk pendidikan sekolah lazim yang bercorak sekuler, dengan pihak produk dari pendidikan madrasah yang berorientasi pada kehidupan ukhrawi semata.

Oleh alasannya adalah itu seiring dengan tuntutan kemajuan penduduk sehabis proklamasi kemerdekaan 1945, Madrasah yang eksistensinya tetap dipertahankan dalam penduduk bangsa, diusahakan agar strategi pengelolaannya makin mendekati metode pengelolaan sekolah lazim; bahkan secara pragmatis semakin terintegrasi dengan program kependidikan di sekolah biasa . Sebaliknya, sekolah biasa mesti makin dekat kepada pendidikan agama.[2]

Usaha ini dilaksanakan sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk Indonesia pada ketika itu. Serta taktik pengelolaan madrasah tersebut mendorong ke arah posisi yang menguntungkan bagi era depan perkembangannya.

Akan tetapi pengelolaan ini juga masih ada kelemahannya, diantaranya kurang efektifnya pendidikan agama dan bahasa Arab, jikalau lulusannya dijadikan input bagi mahasiswa IAIN, disamping kelemahan kualitas lulusan untuk input universitas biasa .

2. Pengembangan Kualitas Madrasah
Pada proses pengembangannya, pengurusan tentang penyelenggaraan sekolah-sekolah agama tergolong madrasah menjadi tanggung jawab dan wewenang Departemen Agama.

Adapun usaha-perjuangan pemeritah untuk mengembangkan training madrasah baik kualitas maupun kuantitasnya dilaksanakan dalam bidang sebagai berikut :

Pembinaan Deversifikasi Kelembagaan Madrasah, diantaranya yaitu didirikannya Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada tahun 1958 yang berjalan selama 8 tahun dengan bahan pelajaran agama, umum dan keterampilan dalam bidang ekonomi, industrialisasi dan transmigrasi.[3]

Penegrian Madrasah, yakni dengan menegrikan Sekolah Rakyat Islam (SRI) menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri sebanyak 235 pada tahun 1962 menurut keputusan Menteri Agama No. 104 tahun 1962.[4] Pemerintah menegrikan beberapa madrasah swasta namun dengan seleksi yang ketat dengan mengutamakan pada madrasah yang secara keseluruhan masih membutuhkan intervensi pemerintah.[5]

Pembinaan pendidikan dan pengajaran, meliputi bidang-bidang kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana, pengawasan dan lain-lain terhadap Madrasah Negeri dan Swasta. Ada juga usaha-perjuangan kenaikan tamatan madrasah dengan digulirnya SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama 3 Menteri) adalah menteri agama, menteri keagamaan dan kebudayaan dan menteri dalam negeri yang berisi :

1) Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah lazim.
2) Lulusan madrasah mampu melanjutkan ke sekolah lazim.
3) Siswa madrasah mampu berpindah ke sekolah lazim yang setingkat.[6]

Akan tetapi meskipun madrasah telah dibina oleh pemerintah, lembaga pendidikan ini tetap gigih dalam mengembangkannya dan melakukan pekerjaan sama dengan pemerintah.

3. Pengembangan Kurikulum Madrasah
Berbagai upaya untuk mengembangkan kualitas madrasah terus digulirkan, begitu pula usaha menuju ke kesatuan tata cara pendidikan nasional dalam rangka pelatihan kian ditingkatkan. Usaha tersebut mulai terlaksana, terutama dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri. Di antara pengembangan kurikulum di madrasah ialah :

Kurikulum 1976 berdasarkan SKB 3 Menteri
Berdasarkan SKB 3 Menteri tersebut, yang dimaksud dengan madrasah yaitu forum pendidikan yang mengakibatkan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sedikitnya 30%, disamping mata pelajaran lazim. Madrasah dalam hal ini memiliki tiga jenjang atau tingkatan; Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang masing-masing sejajar dengan SD, SMP dan SMA.[7]

1. Kurikulum 1984 menurut SKB 2 Menteri
Menindak lanjuti SKB 3 Menteri, dikeluarkan lagi SKB Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama No. 299/U/1984 dan No. 45 tahun 1984, wacana Peraturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. Dari sini lahirlah kurikulum 1984, yang menampung hal strategis sebagai berikut :

a) Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTS, MA) tahun 1984 dikerjakan lewat acara intra kurikuler, ko kurikuler dan extra kurikuler, baik dalam acara inti maupun acara pilihan.

b) Proses mencar ilmu mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keselarasan antara cara seseorang mencar ilmu dan apa yang dipelajari.

c) Penilaian dijalankan secara kesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan mengembangkan proses dan hasil mencar ilmu serta pembuatan program.[8]


2. Kurikulum 1994
Kurikilum 1994 dirancang dan dikembangkan dengan segera dan sarat pertimbangan, dengan menekan sekecil mungkin kekurangan yang terdapat pada kurikulum sebelumnya, utamanya pada syaratnya bukan pelajaran yang ditaggung siswa dan orientasinya yang menekankan pada target hasil belajar bukan pada proses pembelajarannya.

Pada kurikulum 1994, guru diberi wewenang untuk berimprovisasi dengan kurikulum yang telah disusun. Guru leluasa mengontrol alokasi waktu dalam mengajarkan setiap pokok bahasan atau subpokok sesuai dengan kebutuhan. Guru pun diberi kewenangan dalam menentukan metode, penilaian, dan sarana pembelajaran sesuai dengan keperluan, sehingga siswa aktif dalam pembelajaran, baik fisik, mental (intelektual dan emosional), maupun sosial.[9]

3. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
KBK mampu diartikan sebagai sebuah konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kesanggupan melaksanakan (kompetensi) tugas-peran dengan persyaratan performasi tertentu, sehingga akibatnya mampu dirasakan oleh peserta bimbing berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.[10]

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
KTSP dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, kesempatansosial/ daerah, karakteristik sekolah/ daerah, sesuai budaya penduduk lokal dan karakteristik penerima asuh.[11]

Upaya pengembangan dan peningkatan mutu bagi madrasah terus dikembangkan sesuai dengan permintaan zaman yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka madrasah pun tak mauketinggalan.

Akan tetapi intinya dari banyak sekali pengembangan kurikulum yang ada, pendidikan agama Islam yang pada awalnya merupakan ciri khas dari madrasah itu sendiri yang tetap menduduki porsi lebih minim dibandingkan pendidikan lazim.

MADRASAH DARI MASA KE MASA
BERBICARA wacana pertumbuhan madrasah tidak mampu lepas dari perkembangan Islam di Indonesia. Bermula dari impian para pemeluk Islam mempelajari dan mendalami lebih jauh tentang aliran agamanya, timbul pendidikan agama yang secara sporadis dilaksanakan di rumah-rumah, laga, masjid, lalu berubah menjadi forum yang disebut pondok pesantren.

Pesantren menjadi forum pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejarah tidak mencatat secara persis kapan pesantren mulai ada. Namun sekurang-kurangnya bisa dikenali, pada permulaan era ke-17 terdapat pesantren di Jawa yang didirikan oleh Sunan Malik Ibrahim di Gresik (tahun 1619).

Baru pada selesai masa ke-19, Belanda atas nasehat Snouck Hurgronje mulai memperkenalkan metode pendidikan klasikal untuk memperluas dampak pemerintah kolonialnya dan menandingi efek pesantren yang luar biasa. Pesantren selalu waspada kepada politik etis Belanda.

Setelah menyadari perlunya perubahan atau penambahan tata cara pendidikannya, maka gres pada awal era ke-20, pesantren memperkenalkan metode klasikal yang disebut madrasah. Sistem ini dilengkapi dengan wawasan biasa -meskipun masih sangat terbatas- sebagai tanggapan konkret atas terjadinya pergantian-perubahan akibat politik etis kolonial.

Madrasah telah mengajarkan pengetahuan lazim semenjak awal, sesuai dengan kebutuhan. Namun ia tetap merupakan pengembangan dari pesantren, menekankan pendidikan keagamaan Islam, utamanya menyangkut disiplin kepercayaan, syari'ah dan budbahasa. Titik tekan ini masih bisa dipertahankan secara menonjol hingga tamat periode penjajahan Jepang.

Prestasi yang dapat dilihat yaitu munculnya para alumni yang mendapat legitimasi dari masyarakat sebagai ulama atau kiai. Mereka dinilai tangguh dan mampu membuatkan dirinya di bidang keilmuan agama Islam, juga memiliki kepekaan tinggi terhadap dilema sosial dan lingkungan.

Madrasah dengan titik tekan bahan pendidikannya di atas, diperkuat lagi dengan sikap non-kooperatif para pendirinya kepada pemerintah kolonial Belanda, sengaja tidak menelorkan anak latih selaku tenaga kerja dan birokrat kolonial. Kegiatan pendidikan yang diciptakan pesantren dan madrasahnya tidak diproyeksikan pada produktifitas kerja.

Madrasah dan pesantren bahkan menentang paham priyayiisme yang sengaja diangkat oleh Belanda untuk menawan pengaruh masyarakat terhadap timbulnya 'nilai lain' balasan perbedaan status sosial. Ijazah-ijazah formal sebagai tanda kesuksesan pendidikan murid, belum bisa mempengaruhi mereka untuk mengubah persepsi, dari dasar menimba ilmu li wajhillah ke arah persepsi yang bersifat duniawi. Dari sini muncul budpekerti kemandirian, sebuah ciri utama dan identitas madrasah waktu itu, sesuai dengan induk pengembangnya ialah pesantren.

KETIKA permulaan abad kemerdekaan RI hingga adanya SKB Tiga Menteri, madrasah dengan persentase lumayan masih konsisten bangkit di atas orientasinya sendiri. Perubahan struktur sosial lalu mendorong pesantren mengikuti keadaan dengan kebutuhan fundamental yang dipolakan oleh tata cara pendidikan nasional. Berbagai unsur bidang studi yang semula belum menjadi wilayah garapan madrasah, lalu timbul.

Dulu madrash cuma mengenal metode klasikal dalam bentuk shiff (kelas) satu hingga dengan enam atau sampai belasan (mirip di Madrasah Mamba’ul Ulum). Kini, pengelolaannya kian berkembangdengan sistem manajerial madrasah. Ada komponen kurikulum secara terorganisir, ketatausahaan yang lengkap dan sebagainya. Pendek kata, madrasah mulai berupaya berbagi dirinya sesempurna mungkin, selaku segi lain dari sistem pendidikan nasional, khususnya pada waktu forum ini menjadi rival Departeman Agama dengan kebijaksanaanya membentuk MWB (Madrasah Wajib Belajar).

Bila pada awal kemerdekaan, madrasah pada galibnya menolak campur tangan pemerintah, sikap itu timbul terutama sebab negara gres ini berwatak duniawi dan nasionalistis. Sedangkan madrasah yang dikontrol swasta memiliki tradisi keagamaan. Mulai abad MWB itu, rnadrasah mengakomodasikan sikap. Subsidi pemerintah dalam bentuk material mulai diterima. Maknanya, dia mulai membuka keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri -walaupun secara selektif- mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan khususnya bagi yang kekurangan tenaga guru.

Ide peningkatan madrasah yang tiba dari pemerintah untuk mengubah orientasi terhadap teladan metode pendidikan mulai diterima, sekurang-kurangnya diperhitungkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk dan ragamnya yang sesuai dengan peningkatan kualitasnya. Sejak ini, banyak pergeseran-pergeseran besar di madrasah. Akan namun secara ideal saat itu madrasah masih mampu konsisten pada titik tekan disiplin ilmunya, meskipun dipandang dari sudut prestasinya mengalami penurunan.

Ilustrasi di atas memberikan, madrasah bisa menunjukkan daya adaptasi untuk menyerap unsurunsur penemuan. Lebih dari itu, madrasah mempunyai daya tangkap terhadap problem yang dihadapi oleh penduduk sekelilingaya.

Yang menjadi dilema kini yakni, apakah proses peresapan bagian-bagian gres dan pergeseran hasil daya tangkap terhadap persoalan masyarakat itu memperkuat identitasnya semula (karakter keagamaan dan kemandiriannya), atau justru memperlemah dan risikonya menghilangkan sama sekali identitasnya? Apakah proses dan perubahan itu memperlihatkan makna gres bagi identitas usang tersebut?

SUATU fenomena lain yang ialah kelanjutan dari proses itu yaitu saat SKB Tiga Menteri tahun 1975 dipraktekkan pada madrasah. Sejak itu madrasah dituntut mengikuti aneka macam kemajuan sosial lebih jauh lagi dan beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB itu bahwasanya merupakan bentuk pengukuhan saja dari permintaan itu.

Mulailah madrasah menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah dan madrasah negeri. Apalagi sesudah terbukanya peluang penegerian madrasah atau sedikitnya memfilialkan dengan negeri, ujian persamaan negeri dan UUB di madrasah.

Perubahan di madrasah kini tidak cuma terjadi pada kurikulum silabusnya dengan literatur yang baru, akan tetapi wawasannya juga berubah. Pendidikan di madrasah mulai berimplikasi pada keperluan hidup murid dan status sosial mereka di periode mendatang. Ijazah formal madrasah, ijazah hasil ujian persamaan negeri menjadi amat penting dan besar lengan berkuasa mengubah pandangan ke arah duniawi.

Nilai berguru li wajhillah mulai pudar atau hilang sama sekali, digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan priyayiisme yang dahulu ditentang oleh madrasah, kini justru ditolerir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitatif dengan banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian negeri. Komponen pendidikan agama menjadi sesuatu yang rutin saja. Rasa ketergantungan kepada pihak lain mulai memindah budbahasa kemandiriannya.

Gambaran di atas menunjukkan adanya perubahan nilai di madrasah. Orientasi dan titik-tekan materi pendidikan yang secara esensial menjadi identitasnya semula, menjadi hambar dengan konsekuensi mengganti posisi madrasah menjadi tidak terperinci. Akhirnya madrasah di mata para akseptor didik yang kritis, kurang mendapat perhatian kecuali kadang-kadang dianggap hanya sebagai daerah pelarian berguru.

STRUKTUR sosial dan sistem nilai yang berkembang di penduduk mempunyai pengaruh yang besar lengan berkuasa kepada pendidikan tergolong di madrasah. Jika pemerintah kini sedang mengupayakan agar tahun 2000 Indonesia telah mampu tinggal landas terbang meraih status "negara maju", pasti akan terjadi berbagai perubahan besar. Antara lain peranan sektor industri akan makin besar, memindah peranan sektor pertanian yang selama ini menjadi acuan lapangan kerja sebagian besar masyarakatIndonesia, khususnya 80% penduduk desa.

Bersamaan dengan itu, sektor jasa yang selama ini relatif masih terbatas juga akan mengalami pergantian besar, di mana peranan modal dan keahlian akan sangat memilih. Alam lingkungan tidak begitu ramah lagi, antara lain disebabkan laju perkembangan penduduk yang terus membengkak dan akan banyak mempengaruhi keleluasaan dan kelestariannya.

Semua perubahan yang hendak terjadi itu tentu akan menghipnotis pendidikan madrasah. Sedangkan pergeseran yang terjadi pada diri madrasah, dengan serinya rnembawa kemelut dalam wawasan yang dimilikinya. Madrasah tidak dapat mengganti pengetahuan pendidikannya begitu saja, tanpa kehilangan identitas diri semula.

Tanpa bisa memecahkan masalah dilematik mirip itu, madrasah terang tidak bisa melakukan kerja pengembangan apapun yang bersifat konsepsional. Di sinilah madrasah dihadapkan kepada kala esok yang cerah atau suram, tergantung kesanggupan madrasah berbagi dirinya sekaligus memecahkan masalah dilematik di atas.

Satu hal yang mesti dijalankan oleh madrasah dalam pengembangan diri adalah, melihat masalah-masalah dasar yang dihadapi madrasah. Masalah-dilema dasar itu mampu dilihat dari aneka macam sudut pandang, baik yang bersifat internal (mirip mutu pimpinan dan pengurus pendidikan madrasah), maupun yang bersifat eksternal (seperti aspirasi umat, perkembangan sosial dll). Namun intinya, problem utama yang dihadapi madrasah yakni:

a. Masalah identitas diri madrasah, dalam keterkaitannya dengan karakteristik dan kemandiriannya terhadap forum-lembaga lain di penduduk .

b. Masalah jenis pendidikan yang diseleksi selaku alternatif dasar yang akan dikelola untuk membuat satu metode pendidikan yang masih memiliki titik-tekan keagamaan, namun pengetahuan lazim tetap diberi porsi cukup sebagai basis mengantisipasi pertumbuhan aspirasi masyarakat.

c. Masalah sumber daya internal yang ada dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di periode esok.

SATU hal yang rumit bagi madrasah ialah, usaha pengembangan yang diarahkan untuk mendekatkan atau menetralisir sama sekali polarisasi dua orientasi-orientasi agama dan orientasi lazim- menuju keseimbangan dalam porsi yang sama. Tujuan itu juga erat korelasinya dengan identitas madrasah. Madrasah yakni madrasah, bukan sekolah biasa dan tentu memiliki identitas sendiri, meskipun "madrasah" dari sisi bahasa ialah nama lain dari "sekolah".

Madrasah selaku lembaga pendidikan lslam, kecuali mempunyai identitas sendiri, juga memiliki tujuan bagi sasaran didiknya. Dilihat dari sudut sasaran ini, ada dua dimensi yang mesti dipertimbangkan dalam menetapkan tujuan pendidikan. Secara mikro dapat dipandang, penerima didik selaku makhluk individu, dan secara makro dipandang sebagai makhluk sosial.

Sebagai individu, dia diperlukan menjadi insan "akram” dan "shalih" dalam artinya yang luas. Sedangkan sebagai makhluk sosial diperlukan menjadi insan yang bertanggung jawab terhadap masyarakat, dalam rangka melakukan dua peran utama 'khalifatullah" di atas bumi ini, yakni ’ibadatullah dan 'imaratul ardli (beribadah terhadap Allah dan membangun di atas bumi). Kesemuanya itu diarahkan untuk mencapai tujuan hidup insan, yaitu sa'adatud darain.

Madrasah yang juga sebagai media usaha rnempertahankan aliran Islam, amat penting diusahakan kelestarian dan keberadannnya di tengah-tengah penduduk Indonesia yang sedang membangun dan akan tinggal landas. Madrasah mesti mampu secara dinamis dan inovatif menjawab segala tantangan seraya memperkuat misinya, tanpa kehilangan identitasnya yang hakiki. Dalam hal ini, madrasah dihentikan menutup mata sebelah kepada kenyataan-realita yang dihadapi, akan namun juga tidak senantiasa melihat (menggandakan) kemajuan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya.

PROBLEMATIKA madrasah dewasa ini perlu disimak dan diamati secara akurat, sebagai materi mengaca diri untuk memetakan kesempatannya di masa mendatang. Upaya ini mesti berangkat dari kondisi objektif, khususnya di bidang pendidikan yang mensugesti proses perkembangan madrasah itu sendiri.

Dewasa ini, setiap anggota penduduk dengan banyak sekali latar belakang stratifikasi sosialnya memiliki pandangan dan persiapan pendidikan yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya dari segi kegunaan simpel sebagai sebuah bidang usaha yang bersifat irit. Di pihak lain pendidikan dipandang selaku fasilitas pembinaan kehidupan nilai-nilai budaya.

Pandangan pertama menumbuhkan kecenderungan perlunya menempatkan perjuangan pendidikan selaku sarana mutlak untuk membentuk mutu insan yang bertumpu pada produktivitas kerja. Sedangkan persepsi kedua menekankan pendidikan tabiat dan budaya. Sementara itu, tujuan pendidikan nasional seperti dalam GBHN, untuk memajukan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, kemampuan, mempertinggi akal pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan semoga dapat menumbuhkan manusia-insan pembangunan yang mampu membangun dirinya sendiri serta tolong-menolong bertanggung jawab atas pembangunan bangsa-bangsa".

Pengertiannya, pendidikan ialah fasilitas yang sangat strategis dalam proses pembangunan yang mempunyai cakupan lebih luas lagi daripada kedua pandangan di atas.

Madrasah kebanyakan, utamanya dalam dekade terakhir ini, tampaknya mempunyai kecenderungan mencari pemecahan problematika dengan caranya sendiri. Rumusannya mampu jadi terpengaruh aneka macam acuan persepsi di atas atau alasannya adalah lingkungan yang menuntut sikap akomodatif pada dirinya.

Pada prinsipnya, bentuk pemecahan itu ialah mengkompromikan antara wawasan di atas dengan konsekuensi orientasinya sendiri menjadi tidak terang, walaupun arah sasaran jadinya jelas untuk mengejar dapat dipercaya atau akreditasi langsung mau pun tidak eksklusif, demi mensejajarkan dirinya dengan "sekolah" (baca: bukan madrasah). Lalu berdirilah Madrasah Aliyah IPA (sekarang ada A2), ada lagi Aliyah IPS (kini A3) dan lain sebagainya.

Madrasah tidak lagi mempermasalahkan "identitas". Otonomi madrasah yang notabene "swasta" dan "mampu berdiri diatas kaki sendiri" mulai berkurang. Upaya pengembangan kurikulum tersendiri untuk menanggulangi dilema-persoalan yang dihadapi masyarakat -tergolong komponen pendidikan agama sekalipun- mulai kurang dihiraukan demi mengejar status. Etatisme (kehidupan serba-negara) mulai mempengaruhi sikap, pandangan ataupun wawasannya.

Ijazah formal menjadi amat penting, bahkan manfaat ekonomisnya selalu diintrodusir terhadap para penerima ajar selaku motivasi kegairahan kenaikan proses mencar ilmu-mengajar. Ironisnya, berdasarkan Dr. Ir. Seno Sastroamidjojo -guru besar Universitas Diponegoro- masyarakat sendiri mendukungnya. Opini lazim menyampaikan, ijazah ialah legitimasi untuk memperoleh pekerjaan.

Jadi proses pendidikan sekarang ini tidak lagi memacu kreativitas alumninya untuk menciptakan pekerjaan, namun mencari dan menunggu datangnya pekerjaan. Ini sebuah proses ketergantungan. Lebih tandas lagi, sosiolog Dr. Loekman Sutrisno dari UGM- menyampaikan, “Yang ada sekarang adalah intelektual-intelektual yang cuma berorientasi pada ekonomi. Kemudian muncul erosi, di antaranya tanda-tanda mahasiswa ingin cepat final, dapat pekerjaan dan jadi birokrat".

DAMPAK dari realita-kenyataan di atas, secara kurang disadari oleh madrasah, ialah adanya semacam ambivalensi pengetahuan pada diri madrasah yang menimbulkan semakin kurang jelasnya orientasi yang dimiliki.

Kredibilitas formal suatu forum pendidikan dengan segala konsekuensinya, secara argumentatif tidak mungkin dikesampingkan. Tapi secara sportif mesti diakui, hal itu melemahkan, bahkan mendangkalkan misi madrasah yang memiliki ciri intrinsik berupa tradisi keilmuan agama Islam. Tata nilai Islami sebagai sumber tumpuan yang mampu melaksanakan transformasi kultural dan membentuk perilaku rasional Islami dalam membangun manusia seutuhnya, mulai diabaikan.

Problem masyarakat yang belum menerima perhatian serius dari kelompok madrasah, yakni kian meledaknya secara dahsyat jumlah anak usia sekolah yang sangat membutuhkan bimbingan dan pendidikan agama Islam. Sebagai indikatornya, mushala, masjid, majelis ta'lim dan madrasah yang secara kuantitatif meningkat, semuanya dibanjiri oleh sekurang-kurangnya 70% dari golongan muda, pelajar dan mahasiswa.

Namun berbarengan dengan itu, eksponen Muslim yang bisa menguasai pedoman Islam makin langka. Apalagi hingga menguasai totalitas ilmu agama yang meliputi iman, syari'ah dan adat. Kenyataan ini menunjukkan kemunduran mutu anutan Islam bagi penerima ajar. Tenaga andal agama secara kuantitatif mau pun kualitatif tidak mencukupi ketimbang kebutuhan penduduk . Kesenjangan yang fundamental antara Islam dan pemeltak terelakkan lagi.

Giliran selanjutnya, tidak tidak mungkin akan terjadi pemahaman dangkal kepada pedoman Islam, dan akan timbul pandangan langsung atas pemikiran Islam yang universal. Terbukti di dalam proses transformasi kultural remaja ini, ada kecenderungan masyarakat untuk berorientasi pada tata nilai yang non-Islami. Ini mungkin sebab kurangnya intensitas upaya mengangkat nilainilai Islamiyah ke perrnukaan secara aplikatif di tengah-tengah pertumbuhan penduduk .

Sebab lain adalah, masih sulitnya menampilkan kegiatan bercorak Islam yang bertolak dari falsafah Pancasila. Hal ini menyangkut kekerabatan antara agama dan dasar negara yang rumit. Kenyataan yang diilustrasikan itu, membutuhkan pemecahan tuntas dengan tahapan-tahapan yang cocok dengan keadaan objektif mau pun peluangdan misi madrasah.

Madrasah (di samping pesantren) dewasa ini merupakan lembaga pendidikan Islam yang masih memiliki dapat dipercaya dari masyarakat di dalam menanamkan nilai-nilai Islami maupun penyebaran fatwa Islam. Namun sejauh mana madrasah bisa mengemban amanat tersebut, akan bergantung pada kesanggupan mencari alternatif-altematif pemecahan problematika madrasah itu sendiri. Madrasah harus mampu merumuskan sendiri kesempatannya yang lebih utuh dengan desain-desain strategis dan planning operasional yang tidak semata-mata utopis.

ANALISIS mengenai keberadaan madrasah dan masyarakatnya di atas, mengirimkan terhadap pandangan lebih jauh mengenai kesempatan madrasah berangkat dari kerangka contoh strategis. Pendidikan di madrasah tidak cuma diarahkan bagi penerima didik selaku individu, tetapi juga selaku anggota penduduk . Jangkauan waktu pun tidak cuma untuk sekarang, namun jauh ke depan. Pembinnan seperti ini perlu direncanakan matang, karena hal itu ialah proses normatif dan teknis, yang pastinya akan bisa diraih lewat satu kemajuan panjang dan kompleks, di mana semua aspek-aspeknya tidak gampang dikuantifikasikan.

Di sinilah dibutuhkan sebuah seni manajemen yang, di satu sisi memprioritaskan kenyataan-realita yang hidup "di sini hari ini", sedangkan di segi lain mengutamakan, aspirasi pendidikan Islam yang perlu direalisasikan "di hari esok". Segi pertama berjangka pendek, yang kedua berjangka panjang.

Agar bernilai strategis, keperluan jangka pendek tidak mampu dibiarkan bekerjasama semata-mata atas efek kebutuhan pragmatis, namun harus ditetapkan dan dirancang; secara selektif supaya dengan kemajuan itu mampu dicapai segi kedua secara sinkron dan harmonis. Dalam hal tersebut, semenjak sekarang madrasah perlu merumuskan tindakan kongkrit yang memiliki nilai spesifik dalam konteks komunitas nasional.

Tapi intensitas pendidikan dan pengajaran Islam yang universal tetap dicernakan dalam sebuah kerangka acuan paripurna dan terpadu antara pemenuhan keperluan pragmatis (produktivitas kerja) dan pembentukan etika dan huruf ''ke-akram-an" dalam arti "kelebihtakwaan". Watak ketakwaan itu tidak saja menekankan hal-hal yang semata-mata ritual formal, akan tetapi mencakup etika kemasyarakatan dan segala aspek kehidupan.

Dalam tahapan tertentu harus ditanamkan juga kesanggupan mendapatkan kenyataan hidup dan adaptasi antara keperluan manusia dan aliran agama. Demikian juga keperluan akan penafsiran atau reinterpretasi ajaran agama hingga titik tertentu, untuk mempertahankan aktualitas dan kontekstualitas aliran agama serta untak mengetahui kaitan berpengaruh antara agama dan kehidupan.

Konsep ini akan mengirimkan madrasah bisa melaksanakan transformasi kultural yang sarat dengan motivasi dan nilai-nilai Islamiyah. Bila madrasah tidak bisa melaksanakan tugas transformasi kultural secara total, ia justru akan terbawa proses transformasi budaya di luarnya.

Karena itu, pendidikan agama mesti bisa menumbuhkan perilaku dan tingkah laris langsung yang tanggap kepada persoalan sektoral yang terjadi dalam kehidupan, baik yang berwawasan mikro mau pun makro. Konsekuensinya, pendidikan agama harus menumbuhkan keberanian manusia didiknya untuk melakukan opsi-pilihan yang dianggap sempurna bagi kehidupan, untuk merumuskan sendiri balasan yang dituntut oleh aneka macam tantangan yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kemampuan madrasah dalam hal membentak dirinya sendiri seperti di atas dengan desain-desain yang aplikatif serta dapat diproyeksikan dalam banyak sekali aktivitas aktual, diperlukan akan mampu membentuk imuan-ilmuan Muslim yang akram serta shalih. Di samping itu, beliau juga mempunyai kepekaan yang tinggi dan antisipasi jauh kepada masalah dan kemaslahatan makhluk dalam rangka melakukan tugasnya sebagai khalifah Allah, adalah 'ibadatullah dan 'imaratul ardli, yang pada gilirannya akan bisa rnencapai tujuan simpulan dari kehidupan ini, yakni sa'adatud darain.

Di sinilah letak tanggung jawab madrasah untuk mempertahankan identitasnya, menjadi lembaga tafaqquh fiddin secara utuh dan paripurna. Dalam komunitas nasional dan dalam bundar metode pendidikan nasional, madrasah bisa menjadi alternatif ideal yang bisa melahirkan ilmuwan Muslim yang mempunyai integritas keagamaan dan sosial.

PENUTUP
Keberadaan madrasah semenjak Indonesia merdeka hingga sekarang pada hakikatnya yakni kelanjutan dari keberadaan madrasah sejak awl berdirinya. Perbedaan utama ihwal eksistensi madrasah di zaman ini terletak pada perhatian pemerintah yang sungguh tinggi kepada usaha kenaikan mutu dan kuantitas madrasah baik negeri maupun swasta.

Madrasah terus dikembangkan sesuai dengan permintaan zaman, mirip perkembangan ilmu wawasan dan teknologi melalui proses pergeseran kurikulum dari tahun ke tahun.

REFERENSI
  • Aly, Abdullah & Djamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1998
  • Arifin, M, Kapita Selekta Pendidikan: (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi Aksara, 1995
  • Daulay, Hardar Putra, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001
  • Nata, Abudin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafindo, 2001
  • Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang: UMM Press, 2006
  • Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
  • Mulyasa, E, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002
  • Mulyasa, E, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007
Footnote
------------
[1] Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 23.
[2] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan : (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 109.
[3] Hardar Putra Daulay, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 75.
[4] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grafindo, 2001), 206.
[5] Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 122.
[6] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan……,206.
[7] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 74.
[8] Ibid, 77.
[9] Ibid, 80.
[10] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 37.
[11] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), 8.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)