Pengaruh Globalisasi Dan Pentingnya Pendidikan Agama Di Sekolah
Oleh : Sudarsana
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu wawasan dan teknologi yang makin pesat sampaumur ini menuntut moralitas dan paham kebangsaan yang tinggi, alasannya ilmu dan wawasan yang tidak disertai dengan tingkat keimanan dan moralitas yang tinggi menjadikan pendidikan kehilangan esensinya sebagai wahana memanusiakan manusia. Banyak orang mempunyai kecerdasan yang hebat dan prestasi yang gemilang secara akademik namun tidak memberikan manfaat yang mempunyai arti dalam lingkungan masyarakatnya, bahkan menjadi racun yang sungguh membahayakan bagi keberadaan budaya dan nilai-nilai kemanusiaan karena kepercayaan dan moralitasnya rendah. Tidak sedikit masalah amoral terjadi yang dikerjakan oleh anak-anak usia sekolah maupun oleh para ilmuwan, baik lewat layar televisi maupun media masa. Bagaimana seorang anak SMP memperkosa rekannya sendiri, membunuh, kecanduan obat-obat terlarang, minum-minuman keras, bunuh diri dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa pendidikan yang dikerjakan selama ini belum menjamah ranah kesadaran siswa.
Pelajaran Agama serta pesan-pesan tabiat yang disampaikan oleh guru di depan kelas, tidak bisa menjiwai setiap gerak langkah siswa dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini tentunya, disebabkan oleh keringnya pembelajaran yang dinikmati siswa, materi-bahan pelajaran agama dianggap selaku pelajaran suplemen yang mesti dihapal, kemudian ditagih disaat ujian. Setelah cobaan final, bahan itupun segera menghilang tanpa bekas. Yang lebih parah lagi, di sekolah selama ini terkesan selaku forum pengekangan, tidak ubahnya mirip penjara, dimana anak-anak bimbing dikekang dengan aturan yang serba ketat dan bahan pelajaran yang begitu padat. Hampir tidak ada pemikiran ataupun wangsit yang berasal dari siswa dapat meningkat dan menjadi perhatian. Dampaknya, dikala bawah umur selesai ujian nasional, mereka ramai- ramai mencoret baju, berteriak dijalanan dan ngebut-ngebutan. Seolah-olah mereka telah bebas dan lepas dari semua pengekangan.
Inilah bahu-membahu cerminan pendidikan Indonesia akil balig cukup akal ini. Apabila situasi ini dibiarkan, maka bisa jadi penduduk akan menjadi masyarakat yang rusak, penduduk yang tidak memiliki nilai-nilai budaya yang harus dijunjung tinggi, penduduk yang melewatkan jati dirinya sendiri. Masyarakat yang pandai dari sisi keilmuan, namun tidak mempunyai kemampuan untuk mengerti dan memahami orang lain bahkan penduduk yang tidak tahu dari mana asalnya. Di sini akan tampakmasyarakat pada keadaan yang sungguh memperihatinkan, alasannya adalah jauh dari nilai-nilai agama dan budaya yang ada. Untuk itu, peranan guru sungguh besar dalam menanamkan nilai-nilai spiritual dan moralitas sedini mungkin, pastinya lewat pembelajaran yang memperlihatkan ruang gerak yang lebih luas terhadap siswa untuk mampu mengerti diri dan orang lain disekitarnya serta mampu memahami dan menjiwai pedoman- anutan agama yang sifatnya doktrinal secara baik dan benar. Guru hendaknya mampu berperan selaku pembimbing untuk menuntun siswa mengawali proses berguru, memimpin siswa supaya hasil proses berguru sesuai dengan tujuan pengajaran, serta sebagai fasilitator dalam merencanakan kondisi yang memungkinkan siswa untuk melakukan aktivitas belajar.
Hal ini dapat dilakukan oleh para guru mulai dari pemilihan metode pembelajaran yang tepat dengan karakteristik bahan pendidikan Agama, serta karakteristik pembelajar, dan pemilihan strategi yang tepat dalam menimplementasikan pembelajaran Agama di Kelas. Terdapat semacam sinyalemen, bahwa harapan tumbuhnya sifat inovatif dan antisipatif para guru Agama dalam praktek pembelajaran untuk pemahaman siswa akil balig cukup akal ini masih belum maksimal. Hal ini, tampak terjadi mulai dari bangku pendidikan formal yang paling rendah sampai akademi tinggi. Semua ini disangka sebagai salah satu faktor penyebab rendahnya mutu dan kuantitas proses dan produk pembelajaran Agama. Kualitas proses pembelajaran Agama dapat dilihat dari pelaksanaan pembelajaran yang tidak lebih dari aktivitas pembelajaran yang bersifat kegiatan rutin, dimana materi pembelajaran tidak hingga menyentuh kesadaran siswa, melainkan cuma sekadar selaku syarat kelulusan cobaan sekolah yang bahan ajarannya mesti dihafal sesuai dengan buku teks.
Hasil pembelajaran ini, jelas tidak menunjukkan arti apa-apa dalam pembangunan moral dan mental siswa sebagaimana yang dibutuhkan dalam tujuan pembelajaran. Banyak aspek yang menghipnotis hasil mencar ilmu siswa, faktor proses ialah inti dari proses pendidikan formal di sekolah yang di dalamnya terjadi interaksi antara aneka macam unsur pengajaran. Komponen-bagian itu dapat dikelompokkan dalam tiga kategori utama yaitu: guru, isi bahan, dan siswa. Interaksi antara ketiga komponen utama tersebut melibatkan fasilitas dan prasarana seperti: versi dan tata cara pembelajaran yang dipakai, media, dan penataan lingkungan tempat mencar ilmu, sehingga tercipta situasi berguru mengajar yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.
PEMBAHASAN
A. Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan
Abad ke-21 ialah era globalisasi dengan ciri-ciri adanya saling keterbukaan dan ketergantungan antarnegara. Akibat saling keterbukaan dan ketergantungan ditambah dengan arus info yang sungguh cepat maka kompetisi antarnegara pun akan kian ketat terutama pada bidang ekonomi. Bagi Indonesia globalisasi ini tidak cuma mempunyai dimensi domestik akan tetapi juga dimensi global. Dari sisi dimensi domestik globalisasi ini memberi potensi positip terutama untuk mengadopsi dan menerapkan penemuan yang datang dari luar untuk meningkatkan peluang potensi kerja bagi masyarakat. Di samping itu dari segi laba domestik, imbas globalisasi ini dapat mendidik penduduk untuk mempunyai acuan pikir kosmopolitan dan pola tindak kompetitif, suka bersusah payah, mau mencar ilmu untuk mengembangkan kemampuan dan prestasi kerja. Dari sisi global, hidup di dalam dunia lebih yang terbuka, dunia yang tanpa batas. Perdagangan bebas serta makin meningkatnya koordinasi regional membutuhkan manusia-insan yang berkualitas tinggi. Kehidupan global merupakan tantangan sekaligus membuka potensi -peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan bagi SDM Indonesia yang bermutu tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja di mancanegara. Di sinilah tantangan sekaligus kesempatan bagi kenaikan mutu pendidikan Indonesia baik untuk menyanggupi SDM yang berkualitas bagi keperluan domestik maupun global.
Tampubolon, (2001:7-11) mengemukakan bahwa dengan kemajuan masyarakat industri dan pancaindustri, Indonesia berada di bawah efek empat proses pertumbuhan sosial yang fundamental dalam abad ke-21, bahkan bahu-membahu sudah mulai dalam tiga dekade terakhir periode ke-20. Globalisasi diartikan sebagai proses saling bekerjasama yang mendunia antarindividu, bangsa dan negara, serta banyak sekali organisasi kemasyarakatan, khususnya perusahaan. Proses ini dibantu berbagai alat komunikasi dan transportasi yang berteknologi canggih, diikuti kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi serta nilai-nilai sosial-budaya yang saling menghipnotis.
Perubahan fundamental akibat globalisasi yaitu keterbukaan yang mengimplikasikan demokrasi dan keleluasaan. Persaingan dalam bidang ekonomi akan semakin keras. Demikian juga, industrialisasi yang menuntut rasionalitas, efektivitas dan efisiensi dalam semua segi kehidupan, termasuk penggunaan waktu. Semuanya mesti diperhitungkan secara rasional, meskipun diakui bahwa rasionalitas dapat berbenturan dengan nilai-nilai tradisi yang emosional, tergolong nilai-nilai keagamaan. Dominasi rasio berkembang pesat melalui pendidikan. Dominasi rasio ini menyebabkan melemahnya kehidupan beragama, sebagaimana mampu dilihat dari berkembangnya sekularisme di dunia Barat yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara.
J. Soedjati Djiwandono dalam makalahnya perihal "Globalisasi dan Pendidikan Nilai" ( dalam Sindhunata, 2001:105) mengemukakan bahwa Negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia kini bukan saja saling terbuka satu sama lain, namun juga saling tergantung satu sama lain, kalaupun ketergantungan itu akan selalu bersifat asimetris, artinya satu negara lebih tergantung pada negara lain dibandingkan dengan sebaliknya. Karena saling ketergantungan dan keterbukaan ini tidak simetris, pengaruh globalisasi atas aneka macam negara juga berlawanan kadarnya. Negara-negara berkembang akan cenderung lebih terbuka pada efek globalisasi dari pada negara-negara industri maju, karena ketergantungan kalangan negara-negara pertama pada kelompok negara kedua yang memiliki kemampuan ekonomi, sumber daya insan, dan teknologi. Demikian juga negara-negara maju akan bertindak selaku pelaku atau subjek, sedangkan kalangan negara berkembang lebih sebagai target atau objek globalisasi.
Dalam konteks pemahaman globalisasi di atas, mampu diprediksi dampaknya terhadap kelompok negara-negara meningkat selaku berikut: (1) golongan negara-negara maju akan lebih dominan pengaruhnya terhadap golongan negara-negara meningkat terutama pada bidang politik dan ekonomi; (2) kelompok negara-negara berkembang tetap pada posisi yang lemah dalam berkompetisi, meskipun secara teori persaingan itu dikerjakan dalam konteks koordinasi; (3) terjadi perubahan dalam cara kehidupan penduduk khususnya generasi muda yang tinggal di kota-kota; (4) kian gampangnya komunikasi internasional, masyarakat mampu mengetahui penemuan global perihal kemajuan ilmu dan teknologi, sebaliknya mampu menenteng efek negatif pada kehidupan generasi muda. Contohnya adalah problem Narkoba yang telah melanda generasi muda Indonesia termasuk siswa SLTP/SLTA dan mahasiswa perguruan tinggi.
Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang kehidupan global di atas, diharapkan paradigma gres pendidikan. H.A.R. Tilar (2000:19-23) mengemukakan pokok-pokok paradigma gres pendidikan selaku berikut: (1) pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia gres yang demokratis; (2) masyarakat demokratis memerlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan penduduk yang demokratis; (3) pendidikan diarahkan untuk membuatkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global; (4) pendidikan harus bisa mengarahkan lahirnya sebuah bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis; (5) di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengembangkan kesanggupan bersaing di dalam rangka kerjasama; (6) pendidikan mesti bisa menyebarkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu penduduk Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat, dan (7) yang paling penting, pendidikan mesti bisa meng-Indonesiakan penduduk Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa gembira menjadi warga negara Indonesia.
Globalisasi yang menjinjing gaya hidup modern cendrung memudarkan nilai-nilai lokal. Hal ini tentunya bertentangan dengan realita hidup bahwa insan itu pertama dibesarkan di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaannya sendiri. Globalisasi haruslah bertumpu dari lokalisme yakni bertumpu terhadap nilai-nilai setempat yang berhubungan dengan perubahan zaman. Nilai-nilai setempat sebagai modal pertama dari hal gres yang disodorkan oleh budaya global. Tanpa kuatnya nilai-nilai setempat yang hidup dalam seorang individu, mustahil beliau memasuki dunia global dengan kekuatan-kekuatannya yang sungguh ahli, sehingga dengan demikian pribadi itu akan hanyut dibawa arus globalisasi tanpa tepi. Globalisasi tidak dengan sendirinya membawa nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu cuma nilai-nilai global yang ikut memelihara dan membuatkan nilai-nilai setempat yang perlu disimak untuk diserap didalam proses pendidikan suatu masyarakat atau bangsa (Tilaar, 2005;28)
Konflik-pertentangan sosial, tindakan-langkah-langkah diskriminasi, sikap yang exklusif dan primordial timbul alasannya adalah belum semua masyarakat merasa, menghayati dan gembira selaku insan Indonesia. Dan di sinilah para pemimpin formal dan informal pada semua aspek kehidupan harus menjadi pola. Untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan aktualisasi pendidikan nasional yang baru dengan prinsip-prinsip : (1) partisipasi masyarakat di dalam mengorganisir pendidikan (community based education); (2) demokratisasi proses pendidikan; (3) sumber daya pendidikan yang profesional; dan (4) sumber daya pendukung yang mencukupi.
Paradigma gres pendidikan di atas mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak lagi dipikulkan kepada sekolah, akan namun dikembalikan terhadap masyarakat dalam arti sekolah dan penduduk sama-sama memikul tanggung jawab. Dalam paradigma gres ini, penduduk yang selama ini pasif terhadap pendidikan, datang-tiba ditantang menjadi penanggung jawab pendidikan. Tanggung jawab ini tidak cuma sekedar memperlihatkan bantuan untuk pembangunan gedung sekolah dan membayar duit sekolah, akan namun yang lebih penting penduduk ditantang untuk turut serta memilih jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, termasuk meningkatkan mutu pendidikan dan menimbang-nimbang kesejahteraan tenaga pendidik semoga mampu menunjukkan pendidikan yang berkualitas terhadap peserta ajar. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah alasannya adalah banyak kendala yang mensugesti, antara lain: (1) bagi penduduk hal ini merupakan problem gres sehingga perlu proses sosialisasi; (2) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota propinsi, kotamadya dan kabupaten, masalahnya lebih sederhana sebab tingkat pendidikan dan ekonomi relatif baik, sehingga tidak sulit memilih orang-orang yang akan duduk pada posisi tanggung jawab ini; (3) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota kecamatan dan desa masalahnya menjadi rumit karena tingkat pendidikan masyarakatnya rendah dengan keadaan kehidupan miskin.
B. Paradigma Pendidikan Agama di Sekolah
Pendidikan agama di sekolah masih diandaikan cuma sebatas teologi dan kepercayaan agama. Padahal ilmu-ilmu agama telah berkembang luas melampaui batas-batas teologi dan doktrin. Kajian sosial perihal sikap umat beragama juga yakni kajian agama. Dengan demikian, pengajaran agama di lembaga-forum pendidikan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan ilmiah. Dengan begitu, para siswa akan memiliki pengetahuan agama secara objektif dan tidak berdasar terhadap wawasan dan doktrin subjektif belaka.
Salah satu informasi utama yang mencuat di seputar kontroversi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional gres-gres ini ialah problem pendidikan agama di sekolah. Ada sejumlah tokoh yang berpendapat bahwa keberagamaan, sebagai urusan privat, semestinya menjadi daerah keluarga dan masyarakat. Undang-undang tidak butuhmengaturnya agar negara tidak mengintervensi kawasan privat. Bahkan ada yang beropini bahwa sekolah lazim tidak perlu melakukan pengajaran agama karena duduk perkara keimanan dan ketakwaaan ialah daerah pengajaran keluarga dan penduduk . Dalam hal ini Tilaar (2005;14) berpandangan bahwa kian banyak pihak yang peduli dan mengupayakan pembentukan insan Indonesia menjadi religius, beriman, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur kian oke adanya. Negara, dalam masalah ini tidaklah masuk ke problem privat melainkan ke problem sosial, yakni sebatas menjagai tegaknya social fairness dalam pelaksanaan pengajaran agama di sekolah, demi keserasian kehidupan bareng antar umat beragama. Kalau siswa diajar agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh guru yang seagama (inilah yang diatur oleh negara melalui Undang-Undang tersebut), kiranya rasa keadilan masyarakat tidak perlu terganggu. Lagi pula, dengan cara demikian sekolah-sekolah swasta bermisi keagamaan akan lebih terdorong untuk melakukan "penawaran spesial" agama tidak secara vulgar di kelas dengan mengajarkan suatu agama pada siswa beragama lain, melainkan melalui cara-cara yang anggun dan berkelas adalah lewat kecemerlangan kebijaksanaan-pekerti agamis yang ditampilkan oleh penganutnya atau oleh budaya sekolahnya.
Mengingat pentingnya pembangunan karakter siswa, walaupun pendidikan agama sudah dijalankan oleh keluarga dan masyarakat, akan lebih baik jika juga dikerjakan sekolah. Yang menjadi masalah yakni paradigma pendidikan agama seperti apakah yang dikembangkan sekolah-sekolah selama ini. Masih sungguh mengecewakannya perilaku susila siswa, juga masih sering terjadinya ketegangan dan keretakan sosial bernuansa agama (seperti yang berjalan di seputar duduk perkara UU Sisdiknas) serta maraknya fenomena kemerosotan budpekerti masyarakat, memberikan bahwa ada duduk perkara serius dalam pembelajaran pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama di sekolah masih jauh dari signifikansi peranannya dalam membangun susila bangsa. Salah kaprah tentang pendidikan agama juga mengakibatkan menyempitnya ruang lingkup pendidikan agama di sekolah-sekolah.
Pendidikan agama yang menekankan kebenaran mutlak agama sendiri sembari memandang agama lain sebagai salah dan sesat, pastilah membawa siswa pada sikap dan perilaku melecehkan agama lain, intoleran, bahkan memiliki potensi memusuhi penganut agama lain. Konflik dan perang atas nama agama, dasar religiusnya yakni sikap ini. Demikian pula pengajaran agama yang terlampau sibuk menekankan ritualisme dan orientasi serba keakhiratan kurang mengaitkan keberagamaan dengan sikap kongkrit duniawi berpotensi menjinjing siswa pada sikap dan perilaku hidup terbelah. Orang dengan sikap ini akan sangat mementingkan kesalehan pribadi (dan biasanya sinis terhadap orang lain yang kurang ritualis), sementara kehidupan sosialnya dalam bekerja, buka usaha, berpolitik, berkuasa, dan lain-lain berlepotan dengan tindak keculasan, kedengkian, kepalsuan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan sebagainya. Dan karenanya, pendidikan agama yang terlampau menekankan aspek kognitif atau intelektual (utamanya hafalan) dan tidak menekankan pembentukan jiwa religius pada siswa, akan mendorong siswa memperlakukan pelajaran agama sebatas untuk kebutuhan menghadapi ulangan atau ujian, bukan untuk membangun kepribadian.
Mengacu pada Charles Y Glock & Rodney Stark (Religion & Society, 1966), keberagamaan (religious commitment) mempunyai lima dimensi. Kesatu, dimensi intelektual (religious knowledge), menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai aliran-aliran agamanya. Kedua, dimensi ritualistik (religious practice), menyangkut tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan ritus-ritus agamanya. Ketiga, dimensi ideologis (religious belief) menyangkut tingkat kepercayaan seseorang tentang kebenaran agamanya, terutama terhadap pemikiran-fatwa yang fundamental atau dogmatik. Keempat, dimensi eksperiensial (religious feeling), menyangkut tingkat intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius seseorang. Kelima, dimensi konsekuensial (religious effect), menyangkut seberapa besar lengan berkuasa aliran-ajaran dan nilai-nilai agama seseorang memotivasi dan menjadi sumber ilham atas sikap-perilaku duniawinya.
Berdasarkan lima dimensi diatas, maka aspek-aspek pendidikan agama di sekolah haruslah dengan urutan skala prioritas dan garapan materi pendidikan mirip berikut ini ; Pertama, pendidikan agama semestinya memprioritaskan dimensi konsekuensial keberagamaan. Ajak dan latih siswa untuk mempraktikkan suruhan-suruhan atau nilai-nilai agama dalam kehidupan faktual duniawi, seperti menjaga kebersihan, bertindak jujur dalam cobaan, tolong-menolong untuk kebaikan, menghargai orang lain (tergolong yang lain agama), dan lain-lain sebagai bagian dari ekspresi keyakinan mereka. Latih siswa menyisakan duit jajan untuk disumbangkan terhadap fakir miskin. Ajak siswa mendatangi penganut agama lain dan buatlah kegiatan bareng untuk membangun sikap penghargaan, toleransi, dan kerjasama antar umat beragama. Ajarkan bahwa agama yakni rahmat bagi kehidupan bersama. Agama harus menjadi faktor perekat, bukan faktor disintegratif; aspek penyelesaian, bukan aspek masalah. Sebab, semua agama mendambakan kehidupan umat manusia yang damai, makmur, dan berkualitas. Siswa penting disadarkan bahwa keberagamaan haruslah membuahkan perilaku hidup baik. Tanpa itu, betapapun "rimbunnya" tampilan keberagamaan seseorang, itu bagaikan kerimbunan ilalang belaka.
Kedua, dimensi eksperiensial digarap dengan upaya-upaya mendatangkan Tuhan dalam kesadaran siswa di setiap ketika dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan, dan kecanggihan alam semesta ciptaan Tuhan, serta dalam aktivitas keseharian siswa. Dengan begitu, Tuhan tidak cuma dihadirkan pada momen-momen langsung ritual saja, melainkan terus menerus dalam setiap langkah kehidupan.
Ketiga, pengolahan dimensi ideologis dilakukan dengan tetap mengedepankan perlunya perilaku kerendahan hati dan kelapangan jiwa. Keyakinan pada kebenaran agama yang dianut siswa dilarang menghasilkan fanatisme sempit, keangkuhan religius, kelumpuhan logika, dan perilaku anti-obrolan. Perlu disadarkan pada siswa bahwa Tuhan yakni Tuhan alam semesta. Tuhan "berbicara" tidak melulu pada kelompok agama tertentu saja, namun pada semua umat manusia. Kebenaran Ilahi terserak di mana-mana. Tanpa kesadaran ini orang gampang terpengaruhi untuk melaksanakan rekruitmen penganut agama lain dengan dalih evakuasi yang berakibat keretakan sosial.
Keempat, pengajaran dan training metode ritus-ritus agama haruslah dilaksanakan sambil menekankan penyadaran siswa bahwa ritualitas lebih merupakan upaya peneguhan kesepakatan keber-Tuhanan seseorang, penjernihan rohani, dan penghadiran Tuhan dalam jiwa, sehingga efektivitasnya haruslah berupa sikap hidup baik. Ritualisme tanpa sikap hidup baik yaitu kebohongan dalam beragama.
Kelima, pengajaran dimensi intelektual di samping menyangkut hal-hal seputar sejarah keagamaan, isi Kitab Suci, dan semacamnya, penting pula mengetengahkan diskursus ihwal bagaimana nilai-nilai luhur agamawi mampu diejawantahkan dalam praksis kehidupan positif di alam sosial Indonesia abad kini dan juga antisipatif terhadap era depan. Dengan demikian, intelektualisme keagamaan menjadi kontekstual dengan suasana zaman.
C. Pentingnya Pendidikan Agama di Sekolah
Agama bagaikan rel yang menuntun insan dalam menuju ke-EsaanNya, yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari dimensi insan sebagai mahluk sosial. Dalam aneka macam realitas sosial agama kerap menjadi kambing hitam dari suatu pertentangan yang biasanya bukan semata-mata berasal dari perbedaan kepercayaan tersebut. Sebut saja pertentangan yang terjadi dinegeri sendiri seperti Ambon dan Poso atau bahkan yang terjadi di Somalia ataupun Isarel-Palestina. Dan, maraknya kembali aksi-aksi terorisme yang berjubahkan agama membuat kita makin bertanya ihwal tugas pendidikan agama di dunia sekolah khususnya sekolah biasa . Seakan pendidikan agama tidak bisa menjawab pertumbuhan dan pergantian-perubahan sosial yang terjadi secara cepat. Pendidikan agama disekolah-sekolah umum (non-agama) selama ini cuma dilihat dalam tataran tekstual dan bila pun secara simpel tidak lebih dari pesraman kilat yang sebenarnya cuma mengisi waktu kosong sekolah dibulan libur dan selaku ajang bisnis para guru-guru agama. Maka, tidaklah mengherankan agama justru seringkali dijadikan landasan untuk membuat konflik.
Pada konteks ketika ini, dimana kesetaraan, penghargaan kepada HAM, dan kesadaran terhadap pluralitas penduduk menjadi tuntutan, maka pertanyaan yang timbul ialah masih relevankah pengajaran agama pada forum pendidikan? Padahal kita tidak bisa menutup mata dari realita bahwa pembelajaran agama di sekolah justru melahirkan individu-individu yang sempit, yang hanya mau mendapatkan kebenaran watak dari agamanya, yang menyebabkan agamanya sebagai tolok ukur tertinggi kebenaran dan pada gilirannya tidak mau mendapatkan dimensi-dimensi kebenaran dari agama lain. Kita juga sulit mengelak ketika agama dinyatakan selaku determinan pemecah-belah masyarakat menjadi kelompok-golongan yang saling berselisih. Penulis melihat bahwa pendidikan agama hanyalah sebuah indoktrinasi yang tidak mengajarkan akseptor latih untuk berpikir kritis.
Para pemuka agama dan guru-guru agama sebaiknya malu saat melihat begitu mudahnya kerusuhan massa terjadi begitu informasi agama dihembuskan. Masyarakat kita mendapatkan nilai-nilai agama melalui sosialisasi yang dijalankan para pemimpin dan guru-guru agama tanpa menyaksikan konteks yang plural, kesudahannya begitu satu agama bersentuhan dengan agama lain gejolak mudah sekali terjadi, bagaimana pemahaman agama cuma menumbuhkan balas dendam bukannya mengasihi sesama insan.
Pembelajaran agama sering kali mencerabut individu dari lingkungannya, peserta latih diajarkan bahwa orang seagama yaitu kerabat, padahal dalam kehidupan sehari-hari akseptor latih bukan hanya bergaul dengan orang seagama, bagaimana posisi orang yang tidak seagama? Tentu saja ini hanyalah suatu pola kecil dan masih banyak contoh lain yang tidak menunjukkan relevansi pendidikan agama. Membebankan pembelajaran agama pada forum pendidikan juga beresiko kepada politisasi agama dimana agama cuma sebagai alat mempertahankan kekuasaan dengan melegitimasi kekuasaan lewat nilai-nilai keagamaan. Saat ini bukan pembenahan pembelajaran agama yang perlu diamati namun merekonstruksi tujuan pendidikan secara menyeluruh. Memang, budpekerti dan budbahasa yakni hal penting yang mesti menjadi perhatian dalam muatan pendidikan, tentu saja budpekerti yang menghargai pluralitas penduduk , penghargaan kepada hak asasi manusia, membentuk berpikir kritis kepada metode yang menindas, serta kontekstual dengan kehidupan sehari-hari penduduk kita. Kalau mau konsisten dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa maka pendidikan juga harus dibebaskan dari indoktrinasi yang pada risikonya cuma menghasilkan truth claim serta membunuh fikiran-pikiran cerdas dan kritis.
Perubahan-pergeseran sosial yang terjadi secara cepat dan meluas menghadapkan insan kembali dengan dirinya sebagai mahluk akhlak dan mempertanyakan kembali makna dan arti hidupnya. Penghadapan ini berkisar disekitar nilai-nilai konfigurasi nilai-nilai yang dipegangnya, haikatnya bersumber pada agama. Maka, mau tak mau seseorang yang beragama terpaksa merenungkan arti pembangunan dan perubahan-pergantian sosial yang dialaminya serta kelakukan sendiri dalam keadaan baru dari perspektif imannya. Karena iktikad, manusia bisa untuk membangun dan menjaga hukum keseimbangan antara kehidupan duniawi dan alam baka, sehingga tidak terhanyut dalam pengejaran dunia materialisme yang berlebihan. Iman membuahkan amal menurut kaidah-kaidah syariat agama dan perjuangan pembangunan sosial pada hakikatnya merupakan perluasan amal untuk menghadapai kemiskinan dan keterbelakangan, bukan cuma pada tingkat perorangan, melainkan sebagai persoalan struktural masyarakat.
Dan, pendidikan agama yang semata-mata cuma menekankan hafalan kaidah-kaidah keagamaan dalam bentuk absurd steril selain menjadi pelajaran yang sungguh menjenuhkan juga akan kurang mempunyai relevansi terhadap usaha pembangunan dan untuk membina anak bimbing menghadapi periode peralihan secara konkret, sebagai manusia adab. Pendidikan agama pada dasarnya berusaha membekali anak didiknya dengan seperangkat nilai, norma, yang diperlukan merupakan pegangan hidup di kemudian hari. Pendidikan agama tidak cuma cukup mengenali budpekerti tapi mencoba menghslokai budpekerti dalam menghadapi kondisi yang nyata. Dalam menghadapi kondisi yang faktual, tentunya diharapkan juga nalar dan ilmu, pemahaman rasional tentang proses-proses perubahan sosial, serta impilkasi-impilikasi sosial oleh ilmu pengertahuan terbaru. Sayangnya, pendidikan agama yang terjadi di negeri ini masih terus berkutat dalam bulat pengertian agama secara tekstual. Dan, bahaya dari pengertian agama secara tekstual sangatlah faktual. Hal ini terus terjadi dan menjadi bagian dari sejarah serta periode depan manusia. Berbagai masalah kekerasan dengan alasan agama terus ada sepanjang zaman.
Pemahaman agama secara tekstual dan kontekstual ialah dua cara memahami perintah Tuhan yang mempunyai imbas yang hebat berbeda. Mengajarkan umat untuk mampu mengetahui suatu sloka secara kontekstual dengan tanpa keluar dari koridor-koridor nilai yang terkandung didalamnya memang tidak mudah dan menyantap waktu yang usang. Memang sangat lebih mudah untuk mengajarkan umat agar hafal teksnya saja. Pemahaman hakiki dari sebuah sloka yaitu hasil dari perenungan eksklusif dengan pertolongan penerangan batin dari sumberNya. Peran pemuka agama hanya sebatas mengarahkan dan memperlihatkan panduan biar pengertian tersebut tidak lepas dari hakikatnya. Tetapi banyak dari pemuka agama yang mengambil peran sebaliknya. Mereka mendominasi dan memaksakan arti dari sebuah sloka terhadap umatnya. Umat cuma boleh patuh secara total, tanpa boleh berpikir secara kritis sedikitpun.
Tugas pendidikan agama tidak terbatas pada individu manusia tetapi juga pada usaha pembangunan suatu bangsa dan keseluruhannya. Dan, peran semua pendidikan adalah membina insan moral, insan yang berahlak atau dengan kata lain memanusiakan manusia. Pendidikan agama di dalam suatu era perubahan sosial mempunyai tugas khusus, dalam arti membina anak asuh untuk berkelakuan benar dalam situasi yang tidak menentu kriteria-patokan moralnya. Karena pergeseran atau kehancuran struktur-struktur sosial usang dan tumbuhnya kondisi – kondisi gres, maka lebih dahulu dibutuhkan insan-manusia yang mempunyai keberanian hidup yang bersedia bisa hidup diatas kaki sendiri dan mencari nafkah sendiri tidak menggantungkan nasibnya pada pemerintah atau birokrasi-birokrasi besar.
Pembanguan sebuah bangsa membutuh wawasan perihal kenyataan – kenyataan sosial yang ada dan kemampuan untuk menilai kenyatan-kenyataan sosial berdasarkan patokan yang ditarik dari sebuah tata cara nilai. Pendidikan agama dalam membentuk insan sopan santun tidak mampu dan dilarang berjalan sendiri, jika pendidikan agama ingin mempunyai relevansi kepada pergantian-perubahan sosial yang terjadi dalam penduduk , dia mesti berjalan dan melakukan pekerjaan sama dengan berbagai program mata pelajaran pendidikan non agama. Karena apabila tidak ada sinkronisasi antara mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan non agama, maka pendidikan agama hanya akan menjadi “hiasan kurikulum” belaka, yang berarti pendidikan agama yang hadir di dalam dunia sekolah selama ini tidak untuk menolong terciptanya sebuah generasi gres yang lebih mampu dalam mengurus pergeseran-pergantian sosial di masyarakat dan pembanguan bangsa pun tidak akan pernah berubah, bangsa ini cuma tinggal menanti detik-detik kehancurannya.
Seperti yang diutarakan oleh Luthfi Assyaukanie (Kompas 15 Maret 2003) bahwa apa yang menjadi duduk perkara bantu-membantu ialah kita terlalu membesar-besarkan tugas pendidikan agama dalam membentuk adab bangsa. Padahal bagaimana korelasi kedua hal tersebut masih belum dapat dibuktikan, bahkan ketika ini menunjukkan realita yang berkebalikan. Adalah ironis bahwa Indonesia yaitu negara beragama yang menekankan pendidikan agama dalam tata cara pendidikannya tetapi masuk dalam klasifikasi negara terkorup. Para pemimpin tak diragukan lagi pehamannya terhadap nilai-nilai agama, namun sikap yang ditunjukkan sungguh jauh menyimpang dari nilai-nilai yang dicita-citakan tersebut.
Kelompok fundamentalis agama menyatakan bahwa kegagalan pengajaran agama membentuk tabiat di Indonesia adalah alasannya agama yang disampaikan dalam pendidikan dikala ini telah jauh melenceng dari jalan yang benar seperti yang disampaikan oleh Tuhan, karena itu walaupun Indonesia mengklaim diri selaku bangsa yang agamais tetapi memiliki etika terburuk. Anggapan ini sebenarnya tak lebih dari perumpamaan frustasi melihat gagalnya pengajaran agama di forum pendidikan. Betapa tidak, berkaca pada negara lain yang lebih sekular, ternyata tata kehidupan mereka lebih tidak korup, lebih higienis dan ber-budpekerti.
Tidaklah berlebihan apa yang diungkapkan oleh Luthfi Assyaukanie bahwa kita tidak bisa membengkak-besarkan tugas pendidikan agama dalam persoalan moralitas dan adab. Masalah moralitas dan etika sebaiknya bukan hanya termuat pada pelajaran agama saja tetapi pada semua mata pelajaran, mata pelajaran agama sebaiknya menjadi mata pelajaran pilihan yang boleh diambil atau tidak oleh peserta latih. Agama ialah daerah privat, alasannya itu pembelajaran agama semestinya menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Kalau kita sungguh-sungguh ingin merealisasikan tata kehidupan yang demokratis maka mestinya kebebasan yang dimiliki penduduk bukan hanya kebabasan untuk menentukan agama tetapi juga kebebasan untuk tidak memilih agama.
UU sisdiknas yang disahkan oleh DPR bareng pemerintah dalam salah satu pasalnya menyebutkan "setiap penerima asuh berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya...." Seharusnya diubah diperluas dengan menyebutkan bahwa penerima bimbing berhak untuk memilih mangambil atau tidak palajaran agama di sebuah lembaga pendidikan, begitu juga lembaga pendidikan tidak mesti memberikan pelajaran agama. Sudah saatnya forum pendidikan mejadi suatu lembaga yang membebaskan. Membebaskan penduduk dari tata cara yang menindas, membebaskan manusia dari keyakinan yang justru mencabut dirinya dari realitas.
Pendidikan mempunyai tugas besar sekali untuk menjadikan pergeseran pada diri umat beragama. Melalui pendidikan dapat dibuat kondisi mental yang lebih aman untuk menyebarkan kebangkitan susila-spiritual yang diinginkan. Demikian pula penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu diusahakan lewat pelaksanaan pendidikan yang sempurna. Namun harus pula disadari bahwa hasil dari proses pendidikan gres terasa secara benar-benar setelah berlalunya satu generasi. Pendidikan harus diikuti dengan terbentuknya Kepemimpinan yang mampu melakukan proses pergantian tersebut sejak sekarang. Bahkan Kepemimpinan itu sangat penting untuk mengakibatkan proses pendidikan yang diperlukan.
Proses pendidikan mencakup banyak sisi, dan setiap aktivitas insan mengandung bagian pendidikan. Namun secara lazim mampu dibilang bahwa pendidikan mencakup tata cara sekolah dan pendidikan luar sekolah. Dua hal itu mesti saling mendukung untuk meraih hasil yang maksimal. Dalam pendidikan luar sekolah yang amat besar kiprahnya yakni pendidikan di lingkungan keluarga. Sebab di lingkungan keluarga insan lahir dan tumbuh di era yang paling memilih bagi pembentukan kepribadiannya. Hal ini utamanya terasa dalam globalisasi yang menciptakan setiap bagian penduduk semakin intensif keterkaitannya dengan unsur penduduk yang lain, demikian pula dengan unsur penduduk mancanegara. Hubungan itu dapat berupa kerjasama atau persaingan yang dalam globalisasi makin intensif kondisinya. Akibatnya yakni bahwa tidak cukup cuma sebagian kecil penduduk berkualitas tinggi untuk meraih pertumbuhan satu bangsa atau satu umat. Harus sebanyak mungkin warga masyarakat mempunyai kualitas tinggi untuk mampu melaksanakan kerjasama dan kompetisi bangsa dan umat.
Hal ini menimbulkan tantangan yang amat berat, yaitu harus ada pendidikan yang besar kuantitasnya sehingga mencakup sebanyak mungkin warga masyarakat, maupun setinggi mungkin kualitasnya untuk seluruh pendidikan yang diselenggarakan. Hal ini ialah tantangan besar untuk pengadaan dan penyediaan sumberdaya, baik sumberdaya insan, sumberdaya uang maupun sumberdaya material. Dan sebab sumberdaya intinya adalah langka, maka timbul tantangan kuat terhadap kemampuan administrasi pendidikan di satu pihak dan di pihak lain adanya komitmen yang kuat pada kepemimpinan bangsa untuk pengadaan sumberdaya itu.
Sebagaimana telah dikemukakan, dampak dari pendidikan luar sekolah, terutama pendidikan di lingkungan keluarga, amat besar terhadap seluruh proses pendidikan. Sedemikian besarnya tugas orang bau tanah dalam membentuk kepribadian anak, yang sudah mulai dibuat semenjak kecil sebelum masuk sekolah. Sebab itu harus ada usaha yang besar lengan berkuasa dan sistematis biar para orang bau tanah memainkan peran itu dengan sebaik-baiknya. Kondisi dan situasi masyarakat serta lingkungan kehidupan pada umumnya berpengaruh besar lengan berkuasa kepada peran orang renta itu.
KESIMPULAN
Memperhatikan hal-hal di atas maka, penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia remaja ini mesti terus ditingkatkan walaupun menghadapi hambatan yang cukup sukar dan berat. Pendidikan agama di sekolah masih sungguh banyak memerlukan perbaikan. Pendidikan dasar dan menengah hanya mempunyai sekolah berkualitas dalam jumlah terbatas, baik yang milik Pemerintah maupun Swasta, sehingga belum cukup menghasilkan lulusan yang mencukupi untuk pelaksanaan pendidikan agama yang luas dan bermutu. Hal ini menenteng konsekuensi bahwa tidak mustahil ada sejumlah siswa yang berkualitas, namun mayoritas siswa selaku kandidat kader bangsa atau umat masih belum dapat dijamin mutunya untuk mengisi dan mengerjakan aneka ragam pekerjaan dan professi yang ada dalam satu penduduk Abad ke 21.
Daftar Pustaka
- Ali. M. 2000. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung. Sinar Baru Algesindo Offset.
- Anam, Saipul. 2005. Indra Djati Sidi Dari ITB Untuk Pembaruan Pendidikan. Jakarta: PT. Mizan Publika.
- Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
- Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar. 2004. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoretis Mudah Bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
- Ary, Donald, Lucy Cheser Jacobs & Asghar Razavieh. t.t. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, Penterjemah Arief Furchan, Surabaya: Usaha Nasional.
- Azwar, Saifuddin. 2002. Pengantar Psikologi Intelegensi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
- Darmaningtyas, 2005, Pendidikan Rusak-Rusakan, LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.
- Daud Ibrahim, Marwah, 1994, Teknologi, Emansipasi dan Transendensi (Wacana Peradaban dengan Visi Islami), Mizan, Bandung.
- Dimiyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
- Djamarah, Syaiful Bahri dan Azwan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
- Erich Fromm, dkk. 2006. Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis, Cetakan ke VI, Penerjemah Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Faure, Edgar. et.al. 1972. Belajar Untuk Hidup Dunia Pendidikan Hari Ini dan Hari Esok. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
- F. O‟neil, William, 2001, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Freire, Paulo, 1999, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebsan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Joni, T. Raka. 1986. Strategi Belajar Mengajar, Suatu Tinjauan Pengantar, Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Ditjen Pendidikan Tinggi Depdikbud.
- Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
- Sadia, I Wayan. 1996. “Pengembangan Model Belajar Konstruktivis dalam Pembelajaran IPA di SMP (Sekolah Menengah Pertama)”. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Bandung: Program Pascarsarjana IKIP Bandung.
- Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
- Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Sukmadinata,
- Sudjana dan Inda Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.
- Sumantri, Mulyani dan Johar Permana. 1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Proyek pendidikan Guru Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Suparno, Paul. 1977. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
- Tilaar, H.A.R. 2004. Paradigma gres pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
- Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Tirta, I Made dan Agus Abdul Gani. 2007. KBK dan Daya Dukungnya. Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Universitas Jember.
- Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan Teori- Aplikasi, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional
EmoticonEmoticon