Minggu, 11 Oktober 2020

Makalah Pendidikan Islam Di Aceh

Makalah Pendidikan Islam Di Aceh
Oleh: Al Husaini M.Daud

BAB I
PENDAHULUAN

Eksistensi Islam di tengah-tengah komunitas penduduk Aceh telah memperlihatkan warna tersendiri dalam sejarah pertumbuhan sosio-kultural bagi masyarakat yang berada di propinsi ujung utara pulau Sumatera. Secara historis, Aceh berisikan banyak sekali negara bagian kecil mirip Peureulak, Samudra Pasai, Pidie dan Daya. Karenanya awal abad XVI, Aceh yaitu satu negara yang besar sesudah seluruh kerajaan bersatu di bawah bendera kekuasaan Aceh Darussalah (cikal bakal nama propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca masa reformasi). Namun ketika Aceh diperintah oleh empat ratu dan sultan-sultan selanjutnya, kerajaan Aceh mengalami kemunduran yang pada balasannya ketika Indonesia merdeka, para pemimpin Aceh memutuskan untuk bergabung dengan republik Indonesia.[2]

Dalam perkembangannya, agama Islam terus mengalami kemajuan dan begitu mengakar dalam masyarakat lewat tugas dan perjuangan para ulama. Hal ini dilakukan bersama lembaga pendidikan yang dibangun , diasuh dan dibinanya, ialah Dayah. Lembaga pendidikan ini di samping berperan sebagai kawasan pembelajaran dan mendidik kader ulama dan pemimpin Aceh secara berkesinambungan juga berperan besar sebagai forum sosial kemasyarakatan yang banyak menunjukkan jasa dan prakarsa bagi pemberdayaan penduduk sekitarnya. Ini terbukti bahwa tidak saja pada abad lampau, tetapi sampai ketika ini alumni dayah tidak cuma berperan selaku pendidik namun juga sebagai tokoh panutan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ulama, Dayah, Meunasah dan Rangkang
Sejak Islam pertama kali sampai ke Aceh, ulama telah memainkan tugas penting dalam berbagai aspek kehidupan rakyat Aceh. Dalam hal ini, sejumlah ahli menatap bahwa faktor jaringan ulama Haramain telah menawarkan warna intelektual di Aceh. Kehadiran mereka dikala itu juga sungguh dibutuhkan oleh masyarakat guna mengajar mereka fatwa-anutan Islam. Di samping itu, para ulama juga menjadi penasehat para raja. Dengan begitu, segala keputusan mereka kesannya menjadi kebijakan kerajaan dalam bidang agama. Hingga dikala sebelum kehadiran penjajah dari benua Eropa, ulama di Aceh telah dijadikan sebagai panutan dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam. Karena itu, tidak sedikit dari mereka yang kemudian menyebarkan pemikiran Islam ke daerah lain mirip Sumatera Barat dan pulau Jawa. Diaspora ini tentu saja lalu menjadikan Aceh kian dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Bukan hanya disitu, karya-karya ulama yang tinggal di Aceh dijadikan materi acuan dalam tradisi keilmuan Islam di Nusantara.[3]

Istilah “Ulama” yakni jamak dari ‘alim sebagai sighah mubalaghah, yang memiliki arti orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam ihwal sesuatu. Kata ulama menunjukkan terhadap keahlian dan spesifikasi. Dengan demikian kata ‘alim berlawanan dengan kata ‘alim yang mempunyai arti orang yang tahu namun belum tentu mendalam.[4] Di dalam al Qur’an sendiri kata ulama, disebut hanya dua kali. Pertama dalam surat al Fathr ayat 28: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” Kedua dalam surat al Syu’ara ayat 197: “Dan tidakkah cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya.” Ayat 28 surat al Fathr mengatakan dalam konteks fenomena alam semesta dengan segala isinya, sedangkan ayat 197 surat al Syu’ara berbicara dalam konteks bahwa kebenaran kandungan al Qur’an sudah diakui (dimengerti) oleh ulama Bani Israil. Berdasarkan dua ayat tersebut dapatlah dikedepankan bahwa alim ulama atau ulama itu, sesuai dengan makna kata ulama itu sendiri yaitu dari alima (mengetahui) yakni orang yang memiliki pengetahuan yang bersifat kauniyah maupun yang bersifat qur’aniyah[5]

Di Nanggroe Aceh Darussalam, ulama memiliki posisi khusus di tengah-tengah masyarakat. Mereka bukan cuma selaku pemimpin spiritual, tetapi juga selaku otoritas yang menjadi rujukan penduduk dalam banyak sekali duduk perkara sosial budaya dan problem-duduk perkara keseharian. Karena itu ulama dayah tersebut menjadi panutan rakyat dan mempunyai kharisma yang tinggi di mata penduduk .

Lebih dari itu, di masa usaha, ulama dayah adalah selaku kekuatan dalam melawan penjajah. Oleh alasannya adalah itu, Snouck Hurgronje, seorang advisor pemerintah kolonial Belanda, menyarankan kepada pemerintahannya untuk menekan para ulama dan menghalangi ruang gerak mereka cuma dalam bidang keagamaan dan seremonial ibadat saja.[6]Orang Aceh ketika itu dianggap sebagai penjahat dan pembunuh oleh Belanda, karena melawan pemerintahannya, walaupun bagi orang Aceh hal tersebut adalah bab dari perjuangan keagamaan mereka.[7] Semua gerakan ini dimotori oleh para ulama, dan dayah ialah pusat kekuatan dan sumber pandangan baru bagi aneka macam ide ke arah perjuangan dan pergantian.

Lembaga pendidikan khas Aceh yang berikutnya disebut Dayah merupakan sebuah forum yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir berbarengan tuanya dengan Islam di Nusantara. Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, adalah zawiyah, yang mempunyai arti pojok[8] Istilah zawiyah, yang secara literal memiliki arti sudut, diyakini oleh penduduk Aceh pertama kali dipakai sudut mesjid Madinah saat Nabi Muhammad saw berdakwah pada kala awal Islam. Pada periode pertengahan, kata zawiyah difahami sebagai sentra agama dan kehidupan gaib dari penganut tasawuf, alasannya adalah itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang sudah dibawa ke tangah-tengah penduduk . Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada dikala tertentu juga zawiyah dijadikan selaku pondok bagi pencari kehidupan spiritual. Dhus, sangat mungkin bahwa disebarkan anutan Islam di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi; Ini mengidentifikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh.[9] Di samping itu, nama lain dari dayah ialah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan tugas rangkang dalam kancah pembelajaran lebih kecil ketimbang dayah.

Ulama Dayah merupakan sebuah komunitas khusus di antara ulama Aceh. Mereka yakni alumni dari dayah. Oleh alasannya itu mereka dianggap lebih terhormat daripada orang yang menimba ilmu di tempat/lembaga pendidikan lain, mirip lulusan madrasah atau sekolah. Orang-orang yang belajar di tempat kecuali dayah dan mampu menguasai ilmu agama secara mendalam disebut selaku “ulama terbaru”, walaupun perbedaannya tidak begitu jelas.[10]

Sementara meunasah, secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni madrasah, yang memiliki arti tempat belajar. Dalam perjalanan waktu kata madrasah itu oleh masyarakat Aceh berobah menjadi meunasah.[11] Terminologinya ialah tempat untuk salat dan juga digunakan untuk mencar ilmu perihal ilmu keislaman pada tingkat dasar tergolong orang yang baru mencar ilmu membaca al Qur’an.[12]Ismuha mengungkapkan bahwa keberadaan meunasah yang ada di setiap desa atau kampung di seluruh Aceh , semenjak zaman kerajaan Aceh, digunakan selaku kawasan berguru agama, mengaji, sebagai daerah salat lima waktu, daerah musyawarah, tempat penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah-tengah penduduk dan sebagai tempat untuk berbagai acara sosial dan keagamaan yang lain.[13] Makara bila disebut sesorang selaku teungku meunasah, maka ia yaitu orang yang mengajar mengaji al Qur’an dan sering menjadi imam salat di meunasah. Taufik Abdullah, dalam Ismail Sunni, menyampaikan bahwa sebelum sebuah kampung dibangun, mereka (masyarakat Aceh) apalagi dulu membangun meunasah sebagai kawasan beribadah dan belajar, gres lalu mendirikan perkempungan. Di samping selaku tempai beribadah, meunasah juga berfungsi selaku sebuah daerah belajar tingkat dasar dalam tiap-tiap gampoung (kampung/desa) saat itu.[14]

B. Urgensitas Lembaga Pendidikan Dayah, Rangkang dan Meunasah
Kendati Dayah atau rangkang dianggap sama dengan pesantren di Jawa atau surau di Sumatera Barat, tetapi ketiga forum pendidikan ini tidaklah persis sama. Setidaknya jikalau ditnjau dari sisi latar belakang historisnya. Pesantren sudah ada sebelum Islam tiba di Indonesia.[15]Masyarakat Jawa kuno telah mengenal forum pendidikan yang mirip denagn pesantren yang diberi nama dengan pawiyatan. Di lembaga ini guru yang disebut Ki ajar hidup dan tinggal bersama dengan muridnya yang disebut Cantrik. Disinilah terjadi proses pendidikan, dimana Ki bimbing mentransfer ilmunya dan nilai-nilai terhadap cantriknya.[16]

Kata pesantren berasal dari “santri” yang memiliki arti seorang yang belajar agama Islam, demikian pesantren memiliki arti tempat orang berkumpul untuk berguru agama Islam.[17] Sedangkan surau di Minangkabau merupakan sebuah institusi penduduk orisinil Minangkabau yang sudah ada sebelum datangnya Islam ke kawasan tersebut. Di abad Hindu – Budha di Minangkabau, suarau memiliki kedudukan penting dalam struktur masyarakat. Fungsinya lebih dari sekedar kawasan aktifitas keagamaan. Menurut ketentuan Adat, suarau berfungsi selaku tempat berkumpulnya para dewasa, laki-laki cukup umur yang belum kawin atau duda.[18]Dengan demikian ketiga institusi ini pada prinsipnya mempunyai latar belakang historis yang berbeda, namun memiliki fungsi yang sama.

Keberadaan forum dayah dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di Aceh sangatlah urgen, dan kebermaknaan kehadirannya sungguh diharapkan dalam membentuk umat yang berpengetahuan, jujur, pintar, bersungguh-sungguh dan rajin beribadah yang kesemuanya itu sarat dengan nilai. Sejarah menandakan bahwa Sultan pertama di kerajaan Peureulak (840 M.), meminta beberapa ulama dari Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di forum ini. Untuk itu sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang dpimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam pertama di kepulauan Nusantara.[19]

Pada kala kesultanan Aceh, dayah menunjukkan tiga tingkatan pengajaran, yaitu rangkang (junior), balee (senior), dan dayah manyang (universitas). Di beberapa dayah cuma terdapat rangkang dan balee, sedangkan di daerah lain hanya ditemui tingkat dayah manyang saja. Meskipun demikian di kawasan tertentu juga terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai bau kencur sampai universitas. Sebelum murid mencar ilmu di dayah, mereka mesti sudah bisa membaca al Qur’an yang mereka pelajari di rumah atau di meunasah dari seorang teungku. Kepergian untuk menuntut ilmu agama di dayah sering disebut dengan meudagang. Metode mengajar di dayah intinya dengan oral, meudrah[20] dan sistem hafalan. Pada kelas yang lebih tinggi, tata cara diskusi dan debat (meudeubat) sangat disarankan dalam segala aktifitas proses berguru mengajar, dan ruang kelas hampir ialah suatu ruang pelatihan. Para teungku umumnya berfungsi selaku moderator, yang kadang-kadang juga berperan selaku pengambil keputusan.[21]

Santri (aneuk dayah) umumnya terdiri dari dua kalangan, adalah santri kalong dan santri mukin/meudagang. Santri kalong ialah bab aneuk dayah yang tidak menetap dalam pondok, tetap pulang ke tempat tinggal masing-masing sehabis berguru. Mereka lazimnya berasal dari tempat sekitar dayah tersebut. Sementara santri meudagang yaitu putra dan putri yang tinggal menetap dalam dayah dan lazimnya berasal dari daerah jauh.[22] Pendidikan dayah terkesan sangat monoton dalam penyusunan kurikulum yang masih berorientasi terhadap sistem lama. Artinya kitab yang diajarkan ialah kitab-kitab periode pertengahan. Secara keseluruhan di bidang kurikulum ternyata tidak ada pergantian dan kemajuan, yang ada hanyalah pengulangan. Hal ini disebabkan dampak dari pendahulu yang begitu berpengaruh sehingga tidak ada tokoh dayah yang berani untuk mengembangkan kurikulum yang representatif. Sistem pendidikan yang dikembangkan di dayah atau rangkang tidak berlawanan dengan apa yang dikembang di pesantren-pesantren di Jawa atau surau-surau di Sumatera Barat, ialah mampu ditinjau dari aneka macam sisi, ialah:

Ditinjau dari segi materi pelajarannya, yang diajarkan adalah mata pelajaran agama semata-mata yang bertitik tolak kepada kitab-kitab klasik (kitab kuning). Pada lazimnya , pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana (kitab jawoe/kitab arab melayu) kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam, tingkatan suatu dayah dapat diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[23]

Ada delapan macam bidang pengetahuan dalam kitab-kitab Islam klasik yang di ajarkan di dayah, adalah 1) nahwu dan saraf (morfologi), 2) fiqh, 3) Ushul fiqh, 4) Hadist, 5) Tafsir, 6) Tauhid, 7) tasawuf dan budbahasa, dan 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.[24] Tinggi rendahnya ilmu seseorang diukur dari kitab yang dipelajarinya. Ditinjau dari segi metodenya adalah hafalan, meudrah dan muedeubat. Dalam tradisi pesantren di Jawa sering disebut sorogan dan wetonan. Ditinjau dari sisi metode pembelajaran adalah non-klasikal. Yakni santri (aneuk dayah) tidak dibagi menurut tingkatan kelas, tetapi berdasarkan kitab yang dipelajarinya. Ditinjau dari segi manajemen pendidikan, maka di lembaga pendidikan ini tidak mengenal nomor induk pelajar, ada rapor, ada sertifikat dan lain sebagainya.[25]

Kebiasaan orang Aceh, mencar ilmu di dayah, atau sering disebut meudagang, umumnya membutuhkan waktu yang tak terbatas. Artinya seorang murid tiba dan meninggalkan dayah kapan dia suka. Beberapa aneuk dayah (santri) belajar di beberapa dayah, berpindah dari satu dayah ke dayah yang lain, setelah berguru beberapa tahun. Jumlah tahun yang dihabiskan oleh seorang murid tergantung pada ketekunannya atau pengukuhan guru bahwa murid itu telah simpulan dalam studinya. Kadang-kadang murid tersebut ingin melanjutkan studinya di dayah hingga dia mampu mendirikan dayahnya sendiri. Dalam kaitan ini, tidak ada penghargaan secara diploma. Karena itu, sehabis belajar dan menerima pengakuan dari teungku chik (pimpinan dayah) mereka menggeluti ke dunia masyarakat dan melakukan pekerjaan sebagai teungku di meunasah-meunasah , menjadi da’i atau imam-imam di mesjid-mesjid.[26]

C. Signifikansi Lembaga Dayah
Realitas sejarah mengungkapkan bahwa lembaga dayah mempunyai empat kegunaan yang sangat signifikan bagi penduduk Aceh, yakni sebagai pusat berguru agama (the central of religious learning), selaku benteng kepada kekuatan melawan penetrasi penjajah, sebagai agen pembangunan, dan sebagai sekolah bagi penduduk .[27]

a. Sebagai sentra mencar ilmu agama. (the central of religious learning)
Pada periode ke-17 M, Aceh sudah menjadi pusat aktivitas intelektual. Banyak sarjana dari negara lain berbondong-bondong tiba untuk balajar ke Aceh. Seorang ulama populer syekh Muhammad Yusuf al Makkasari (1626 – 1699 M.), salah seorang ulama tersohor diwaktunya di kepulauan Melayu pernah berguru di Aceh. Salah satu tarekat yang pernah dipelajarinya di Aceh ialah tarekat al Qadiriyah. Syekh Burhanuddin dari Minangkabau, yang lalu menjadi ulama populer dan menyebarkan agama Islam Ulakan mendirikan surau di Minangkabau, juga pernah mencar ilmu di Aceh bawah panduan syekh Abdul Ra’uf al Singkili.

Atensi ulama dayah terhadap ilmu-ilmu agama tidaklah pupus, walau keadaan ekonomi dan politik masa kesultanan Aceh mengalami era kemunduran. Sebelum kedatangan Belanda, dayah-dayah di Aceh sering dikunjungi oleh penduduk luar Aceh. Dari sejak Hamzah Fansuri hingga hadirnya Belanda, ada 13 ulama dayah yang menulis kitab; karya yang ditulis jumlahnya 114 kitab.[28]Kitab-kitab tersebut terdri dari banyak sekali subjek, seperti tasawuf, abad, nalar, filsafat, fiqh, hadist, tafsir, akhlaq, sejarah, tauhid, austronomi, obat-obatan, dan duduk perkara lingkungan. Bahkan berdasarkan al Attas, bahasa Melayu juga dikembangkan pada periode-kala tersebut. Hamzah Fansuri (1510 – 1580 M.) merupakan seorang pioner dalam pertumbuhan bahasa ini –secara rasional dan sistematis– serta ia sendiri menggunakannya dalam bidang flsafat.[29]Dan banyak karya-karya besar lainnya yang menidentifikasikan bahwa Aceh pernah menjadi selaku pusat kajian keilmiahan yang masyhur melalui perhatian ulama dayah dengan lembaga dayahnya.

b. Sebagai benteng terhadap kekuatan melawan penetrasi penjajah
Ketika perang melawan kolonial Belanda meletus, dayah memainkan peranan penting dalam perlawanan rakyat Aceh melawan tekanan-tekanan penjajah Belanda. Ketika para Sultan dan kaum uleebalang (kaum ninggrat) tidak sanggup lagi melakukan roda pemerintahannya, para prajurit menginginkan pemimpin lain untuk melanjutkan perlawanan dalam rangka mempertahankan tanah air mereka. Maka dikala itu ulama dayah dan dayahnya tampil selaku benteng pertahanan yang cukup handal dan susah ditembus oleh musuh. Ulama dayah yang populer selaku komandan perang antara lain Tgk. Abdul Wahab Tanoh Abee, Tgk. Chk Kuta Karang dan Tgk. Muhammad Saman (selanjutnya dikenal dengan Tgk. Chik di Tiro). Kontribusi mereka bagi tanah Aceh dalam menghadapi penetrasi penjajah sungguh besar dan perlu diingat oleh generasi berikutnya, bahwa mereka adalah aneuk dayah yang berkembang menjadi menjadi panglima perang.

c. Sebagai Agen Pembangunan
Dalam beberapa waktu, beberapa lulusan dayah ada yang menjadi pemimpin formal yang duduk di dingklik pemerintahan, di lain pihak ada juga yang menjadi pemimin informal. Biasanya mereka aktif dalam pembangunan penduduk . Tradisi ini berlangsung hingga dikala ini, meskipun alumni sekolah lain seperti madrasah dan sekolah biasa juga dalam kehidupan penduduk . Sebelum kehadiran Belanda ke Aceh, beberapa ulama yang final dari dayah turut aktif dalam bidang ekonomi, khusunya bidang pertanian, selaku contoh, Tgk. Chik di Pasi memimpin penduduk membangun irigasi, mirip yang dikerjakan oleh Tgk. Chik di Bambi dan Tgk. Chik di Rebee.[30]

Lulusan dayah sudah menawarkan bahwa mereka memiliki perhatian yang besar kepada masyarakat dan aneka macam kepentingan. Hal ini menurut realita bahwa selama meudagang di dayah, mereka melalui pengalaman baru yang berlainan dengan pengalaman mereka dikala berada di kampung halaman. Kaprikornus, lulusan dayah memiliki dua latar belakang kultur yang berlainan, di satu pihak realitas sosial yang mereka jumpai ketika berada di kampung dan di pihak lainsesuatu yang gres yang mereka pelajari di dayah. Dengan demikian mereka mendapatkan bagaimana rancangan yang ideal dam membimbing masyarakat kala mereka menggeluti di kancah kemasyarakatan nantinya.

d. Sebagai Sekolah Bagi Masyarakat
Belajar di dayah tidak memerlukan dana yang banyak. Inilah yang menjadi faktor aternatif bagi masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu. Rakyat mampu mencar ilmu di dayah walaupun miskin. Umumnya, dayah-dayah tdak membebankan murid-muridnya untuk mengeluarkan uang duit pendidikan. Bagi murid yang fakir miskin dayah dengan sendirinya menyediakan masakan, yang diberikan oleh teungku (pimpinan dayah) atau dari masyarakat yang selalu siap membantu.

Tidak mirip halnya dayah, sekolah walaupun bukan sekolah dasar dan madrasah mewajibkan murid-murid untuk membayar uang pendidikan. Sekolah-sekolah juga mewajibkan muruidnya untuk memakai pakaian seragam, hal mana menjadi berat bagi murid dari kelompok fakir miskin. Karena banyak tuntutan pengeluaran duit, bagi penduduk menjadi alasan mengapa mereka memilih dayah selaku daerah belajar. Lebih dari itu, sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya, belajar di dayah sangatlah komprehensif daripada belajar di daerah lain; sebab dayah tidak cuma menawarkan materi agama Islam tetapi juga bimbingan spiritual dan latihan fisik. Sebagai guru, teungku bukan cuma bertanggungjawab dalam hal mengajar, namun juga berfungsi sebagai penasehat, pembimbing, pelatih dan penolong. Hubungan antara murid dan guru lebih pada relasi personal ketimbang korelasi birokrasi.

BAB III
KESIMPULAN

Dayah dalam komunitas masyarakat Aceh merupakan sarana strategis dalam proses transmisi ilmu wawasan, utamanya ilmu-ilmu agama dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain itu fungsi dayah juga selaku institusi yang selalu memberikan respons terhadap masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi di Aceh. Peran dayah dan ulama dayah hasil didikannya menjadi panutan di tengah-tengah penduduk . Ulama dayah mesti senantiasa siap menjadi pengawal bagi terciptanya komunitas intelektual di negeri Seuramo Meukkah.

Di Aceh, ulama dan dayah tidak mampu dipisahkan dari masyarakat. Dayah telah menghasilkan berbagai lulusan agama semenjak pertama kali masyarakat muslim terbentuk di sana. Ulama dayah senantiasa merespons semua urusan yang terjadi di Aceh untuk membimbing masyarakat yang cocok dengan tuntunan aliran Islam. Konsistensi kesepakatan mereka kepada Aceh dan masyarakat telah menjinjing mereka menjadi kelompok yang dihormati dan besar lengan berkuasa di propinsi yang sekarang ini berjulukan Nanggroe Aceh Darussalam.

FootNote
-------------------
  • [1]Sebuah realitas bahwa Islam hadir ke nusantara dijalankan secara damai tanpa pendudukan kawasan oleh kekuatan militer. Islam dalam batas-batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam aktivitas dakwah pertama itu tidak bertendensi apapun selain bertanggungjawab menunaikan keharusan tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan sejarah dan prasasti pribadi yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan tugas mereka. Ditambah lagi wilayah nusantara ini sangat luas dengan perbedaan kondisi dan suasana. Oleh alasannya itu, wajar jikalau terjadi perbedaan pendapat perihal kapan, dari mana dan dimana pertama kali Islam tiba ke nusantara. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 7 – 8.
  • [2]M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. 1.
  • [3]Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, “Membangun Kembali Jati Diri Ulama Aceh (Pengantar Penerjemah),” dalam M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. xi-xii.
  • [4]Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2004), h. 29.
  • [5]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:Djambatan, 1992), h. 105.
  • [6]James T. Siegal, The Rope of God (Berkeley: 1969), h. 82 – 83.
  • [7]Anthony Reid, The Blood of The People: Revolution and The End of Tradisional Rule in Northern Sumatera (Kuala Lumpur: 1979), h. 7.
  • [8]Muntasir, “Dayah Dan Ulama Dalam Masyarakat Aceh,” dalam Sarwah, vol II, h. 43.
  • [9]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 33.
  • [10]M. Hasbi Amiruddin, “Ulama Dayah: Peran dan Responnya kepada Pembaruan Hukum Islam,” dalam Dody S.Truna dan Ismatu Ropi (ed.), Pranata Islam Di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 119.
  • [11]A. Hasyimi, Mnera Johan (Bandung: Bulan Bintang, 1976), h. 104.
  • [12]Amiruddin, Pranata Islam, h. 119.
  • [13]Ismuha,”Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah.” Dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Raja grafindo Persada, 1996), h. 7.
  • [14]Ismail Sunni, Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Batara Karya Aksara, 1980), h. 211.
  • [15]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 34.
  • [16]Daulay, Dinamika Pendidikan, h. 125-126.
  • [17]Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan Madrasah (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 7.
  • [18]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. 3 (Jakarta: Kalimah, 2001), h. 118.
  • [19]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 36 – 37.
  • [20]Meudrah yakni sebuah metode dimana murid datang satu per satu terhadap seorang teungku rangkang dengan kitabnya atau copy teks (kurah) yang sedang mereka pelajari, kemudian teungku membaca teks, menunjukkan komentar dan catatan dalam bacaannya tersebut, kemudian meminta murid untuk membaca kembali teks yang sudah dia bacakan.
  • [21]Rusdi Sufi, Pandangan dan Sikap Ulama di Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: LIPI, 1987), h. 29.
  • [22]Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 52.
  • [23]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 144.
  • [24]Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 51.
  • [25]Daulay, Dinamika Pendidikan, h. 128.
  • [26]Mengajar di sebuah meunasah dan menjadi imam salat ialah pekerjaan suka rela. Dalam hal ini teungku tidak dibayar kecuali dari sedekah. penghasilan mereka sebagai guru tersebut ditemukan dari profesi selaku penjualatau petani; meski beberapa ulama yang memimpin dayah juga bekerja selaku petani, tukang kayu, servis mekanik, dsb.
  • [27]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 42.
  • [28]Alyasa’ Abu Bakar dan Wamad Abdullah, “Manuskrip Dayah Tanoh Abee, kajian keislaman di Aceh pada kurun kesultanan,” dalam Kajian Islam, No. 2. h. 35.
  • [29]Syed M. Naquib al Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudyaan Melayu (Bandung: Mizan, 1990), h. 68.
  • [30]Baihaqin A.K, “Ulama dan Madrasah di Aceh.” dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 117.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)