Senin, 17 Agustus 2020

Makalah Penerapan Teori Koneksionisme Thorndike

BAB I
A. PENDAHULUAN

Latar belakang

Kegiatan mencar ilmu mengajar ialah satu kesatuan dari dua kegiatan yang searah. Kegiatan belajar ialah acara primer yang mengacu pada acara siswa, sedangkan aktivitas mengajaradalah kegiatan sekunder yang mengacu pada aktivitas guru. Dalam aktivitas mencar ilmu mengajardiperlukan acara siswa dalam setiap aktivitas yang dilakukan sehingga aktivitas belajar mengajar menjadi efektif. Materi pengukuran merupakan bahan yang dibutuhkan untuk mempelajari fisika lebih lanjut.

Untuk dapat memahami materi pelajaran, siswa dituntut lebih aktif dalam setiap kegiatan berguru mengajar yang berlangsung. Untuk itu, perlu diciptakan kondisi yang mengasyikkan sehingga siswa lebih gampang untuk menerima pelajaran. Kenyataan yang terjadi di lapangan, acara mencar ilmu mengajar masih didominasi oleh guru dengan metode ceramah, sedangkan siswa lebih banyak menyimak klarifikasi guru, mencatat hal hal yang diangap penting dan melakukan tugas – peran yang diberikan oleh guru.

Dalam suatu teori pembelajaran, stimulus dan respon sangat berpengaruh terutama dikala anak dalam proses pembelajaran. Stimulus yaitu lingkungan berguru anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons yaitu akhir atau efek, berbentukreaksi fifik kepada stimulans. Belajar bermakna penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan sikap S-R (stimulus-Respon). Teori koneksionisme ini berperan dalam proses pembelajaran yang memberi kesempatan terhadap siswanya untuk ikut di dalamnya. Pada mata pelajaran fiqh yang membicarakan tentang cara mengumandangkan azan di sini menuntut siswa untuk terus menjajal , supaya nantinya dirinya sudah sudah biasa dengan hal tersebut.


BAB II PEMBHASAN

Penerapan Teori Koneksionisme Pada Pembelajaran Fiqh Kelas V Min Medan

B. Sejarah Singkat Thorndike

Awal karir Thorndike dibidang psikologi dimulai dikala ia terpesona kepada pada buku William James yang berjudul “Principles of Psychology, dimana beliau masih menjadi mahasiswa di Universitas Wesleyan. Oleh sebab itu, ia menetapkan untuk mengambil mata kuliah James di Universitas Harvard. Hubungan Thorndike dengan James sangat dekat, tidak hanya sebatas dosen dengan mahasiswa. Hal ini terbukti dengan beberapa tunjangan yang diberikan James kepada Thorndike, antara lain mengijinkan Thorndike untuk tinggal di basementnya dan melakukan eksperimen di laboratoriumnya.

Setelah dia menuntaskan kuliah di Universitas Harvard, Thorndike melakukan pekerjaan di “Teacher’s College of Columbia” dibawah pimpinan James Mc.Keen Cattell. Disinilah minatnya yang besar timbul kepada proses berguru, pendidikan dan inteligensi. Diawal penelitian, Thorndike memakai anak ayam sebagai materi penelitiannya, kemudian diganti dengan kucing, tikus, anjing, ikan, monyet dan orang remaja. Sebenarnya ia juga menggunakan gorilla, tetapi tidak berjalan usang alasannya dia tak memiliki duit untuk membeli dan merawatnya.

Beberapa buku yang pernah ditulis, antara lain :
  • Animal Intelligence : An Experimental Study of Asociation Process in Animal – 1898 (dikala Thorndike berusia 24 tahun)
  • Buku ini berisi penelitian Thorndike terhadap tingkah laku berbagai jenis hewan, yang merefleksikan prinsip dasar dari proses belajar yang dia anut adalah asosiasi
  • Educational Psychology (1903)
  • Buku ini merupakan penerapan prinsip transfer of pembinaan di bidang pendidikan. Berkat buku ini dan prestasinya yang lain, Thorndike diangkat menjadi guru besar di “Teacher’s College of Columbia”.
  • Animal Intelligence – 1911. Sebenarnya buku ini merupakan disertasi doktornya (1898) yang dikembangkan bareng dengan penelitian-penelitiannya yang lain.
Thorndike dianggap selaku pencetus di beberapa bidang, antara lain
  • learning theory
  • educational practice
  • verbal behavior
  • comparative psychology
  • intelligence testing
  • nature-nurture duduk perkara
  • transfer of learning
  • application of quantitatives measures to sociopsychological problems
Produktivitas ilmiah Thorndike sukar untuk diandalkan. Sampai tahun 1947, dia telah menulis sebanyak 507 buku, monographs dan postingan jurnal. Dalam otobiografinya tertulis bahwa dia telah menghabiskan waktu sebanyak 20.000 jam untuk membaca an mempelajari buku ilmiah dan jurnal.


C. Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike

Menurut Thorndike, berguru merupakan kejadian terbentuknya asosiasi-perkumpulan antara kejadian-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus yaitu suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari yaitu sembarang tingkah laku yang dimunculkan alasannya adalah adanya perangsang.

Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam kandang (puzzle box) dimengerti bahwa biar tercapai korelasi antara stimulus dan respons, perlu adanya kesanggupan untuk menentukan respons yang tepat serta lewat usaha –usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) apalagi dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar yaitu “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu teori berguru yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori mencar ilmu koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya persepsi-persepsi Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka beliau dinobatkan sebagai salah satu tokoh aktivis dalam psikologi pendidikan.

Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang sudah dilaparkan dan ditaruh di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya mampu dibuka secara otomatis bila kenop yang terletak di dalam kandang tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menciptakan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa mencar ilmu itu terjadi dengan cara menjajal -coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan main-main ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-tindakan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menyebabkan stimulus yang baru, berikutnya stimulus baru ini akan menyebabkan response lagi, demikian berikutnya, sehingga dapat digambarkan selaku berikut:

tersebut apabila di luar kandang ditaruh masakan, maka kucing berupaya untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing sudah menjamah kenop, maka terbukalah pintu kandang tersebut, dan kucing secepatnya lari ke R S1 R1 dst.

Dalam percobaan daerah makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut bila di luar ditaruh masakan.

Tokoh paling terkenal dari teori koneksionisme ialah Edward Lee Thorndike. Koneksionisme merupakan teori paling awal dari rumpun behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laris insan tidak lain dari sebuah hubungan antara stimulus-respons. Belajar adalah pembentukan kekerabatan stimulus respons sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai kekerabatan stimulus-respons sebanyak-banyaknya yakni orang yang berilmu atau yang sukses dalam berguru. Pembentukan kekerabatan stimulus-respons ini dikerjakan melalui ulangan-ulangan.[1]

Thorndike yaitu seorang pendidik dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Menurutnya, mencar ilmu ialah insiden terbentuknya asosiasi (koneksi) antara peristiwa yang disebut dengan Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus yakni pergeseran dari lingkungan exsternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi/berbuat. Sedangkan respon ialah sembarang tingkah laris yang dimunculkan alasannya adalah adanya perangsang.

Koneksionisme ialah teori yang paling permulaan dari rumpun behaviorisme. Teori mencar ilmu koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949), menurut eksperimen yang dia kerjakan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini memakai hewan-binatang terutama kucing untuk mengenali fenomena berguru. Eksperimennya mencar ilmu pada binatang yang juga berlaku bagi manusia tersebut, disebut Thorndike dengan “trial and error”.

Menurut teori trial and error ( mencoba-coba dan gagal) ini, setiap organsime jikalau dihadapkan dengan situasi gres akan akan melakukan tindakan-langkah-langkah yang sifatnya coba-coba secara membabi buta. Jika dalam usaha menjajal -coba itu secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap menyanggupi tuntutan situasi, maka tindakan kebetulan cocok itu lalu “dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melakukan tindakan yang sesuai itu semakin usang makin efisien.

Ciri-ciri mencar ilmu dengan trial and error :
  • Ada motif pendorong kegiatan
  • Ada aneka macam respon kepada situasi
  • Ada aliminasi respon-tanggapanyang gagal atau salah
  • Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.
Sebagai pola kami kemukakan di sini percobaan Thorndike dengan seeokor kucing yang dibentuk lapar dimasukkan ke dalam sangkar. Pada kandang itu dibentuk lubang pintu yang tertutup yang dapat bila suatu pasak dipintu itu tersentuh. Di luar kandang diletakkan masakan sepiring makanan (daging). Bagaimana reaksi kucing itu? Mula-mula kucing itu bergerak ke sana kemari mencoba-coba hendak keluar melalui aneka macam jeruji kandang itu. Lama-kelamaan pada sebuah dikala secara kebetulan tersentulah pasak lubang pintu oleh salah satu kakinya. Pintu sangkar terbuka, dan kucing itu pun keluarlah menuju masakan.

Percobaan diulang lagi. Tingkah laris kucing itupun pada awalnya sama seperti percobaan pertama. Hanya waktu yangdiperlukan untuk bergerak kesana kemari samapai dapat terbuka lubang pintu menjadi, menjadi makanan singkat. Setelah diadakan percobaan berkali-kali, balasannya kucing itu tidak perlu lagi semakin kemari menjajal -coba, etapi pribadi menjamah pasak pintu dan terus keluar menerima masakan.

Jadi, proses belajar berdasarkan teori Torndike lewat proses:

1) Trial and Error (menjajal -coba dan mengalami kegagalan)
2) Law of effect; yang mempunyai arti bahwa segala tingkah laris yang berakibatkan sebuah kondisi yang memuaskan (cocok dengan tuntutan situasi) akan dikenang dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.[2]

Sedangkan segala tingkah laris yang berakibat tidak menyenangkan akan dihilangkan atau dilupakannya. Tingkah laku ini secara otomatis. Otomatisme dalam mencar ilmu mampu dilatih dengan syarat-syarat tertentu, pada binatang juga pada manusia.

Karena adanya law of effect terjadilah relasi (connection) atau asosiasi antara tingkah laku/reaksi yang dapat mendatangkan sesuatu dengan kesannya (effect). Karena adanya koneksi antara reaksi dengan balasannya itu maka teori Torndike disebut juga Connectionism.

Teori mencar ilmu pada dasarnya ialah penjelasan mengenai bagaimana terjadinya berguru atau bagaimana informasi diproses di dalam anggapan akseptor ajar. Berdasarkan suatu teori berguru, sebuah pembelajaran dibutuhkan mampu lebih meningkatkan perolehan penerima asuh selaku hasil berguru.[3]

Berdasarkan hal ini, Thorndike mengutarakan kalau bentuk paling dasar dari mencar ilmu ialah trial and error learning atau selecting-connecting learning dan berlangsung menurut aturan-aturan tertentu.[4]

Selanjutnya, Dari percobaan ini Thorndike mendapatkan aturan-aturan mencar ilmu sebagai berikut:

1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)

yaitu semakin siap sebuah organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laris, maka pelaksanaan tingkah laris tersebut akan mengakibatkan kepuasan individu sehingga perkumpulan condong diperkuat.

Prinsip pertama teori koneksionisme yaitu belajar sebuah aktivitas membentuk perkumpulan(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, kalau anak merasa senang atau kepincut pada kegiatan jahit-menjahit, maka beliau akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan berguru menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan. Prinsip pertama teori koneksionisme ialah mencar ilmu sebuah acara membentuk perkumpulan(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, kalau anak merasa senang atau terpesona pada aktivitas jahit-menjahit, maka beliau akan condong mengerjakannya. Apabila hal ini dikerjakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menciptakan prestasi memuaskan.

Masalah pertama hukum law of readiness adalah bila kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, beliau tak akan melakukan langkah-langkah lain.

Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, namun dia tidak melakukannya, maka timbullah rasa kekecewaan. Akibatnya, ia akan melakukan langkah-langkah lain untuk meminimalisir atau meniadakan ketidakpuasannya.

Masalah ketiganya yaitu kalau tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melaksanakan tindakan lain untuk menghemat atau meniadakan ketidakpuasannya.[5]

2) Hukum Latihan (Law of Exercise).

ialah semakin sering tingkah laris diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan kian kuat. Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya korelasi stimulus dan respons. Implikasi dari aturan ini yaitu kian sering sebuah pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasainya pelajaran itu.

Prinsip law of exercise ialah koneksi antara keadaan (yang ialah perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih berpengaruh alasannya adalah latihan-latihan, tetapi akan melemah jika koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau tidak boleh. Prinsip memberikan bahwa prinsip utama dalam berguru adalah ulangan. Makin sering diulangi, bahan pelajaran akan semakin dikuasai.

3) Hukum Akibat (Law of Effect).

ialah relasi stimulus respon cenderung diperkuat jikalau akhirnya menggembirakan dan cenderung diperlemah jika balasannya tidak membuat puas. Hukum ini menunjuk terhadap kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akhir yang ditimbulkannya. Implikasi dari aturan ini yakni jika menghendaki supaya seseorang dapat mengulangi respons yang serupa, maka mesti diupayakan semoga menggembirakan dirinya. Belajar akan bergairah apabila mengenali dan menerima hasil yang lebih baik.[6]

Contohnya dengan memberikan hadiah atau pujian. Sebaliknya, apabila yang diharapkan dari seseorang yaitu untuk tidak mengulangi respons yang diberikan, maka mesti diberi sesuatu yang tidak menyenangkannya, misalnya dengan memberi hukuman.

Selanjutnya Thorndike menambahkan aturan aksesori sebagai berikut:

a. Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response)

Hukum ini menyampaikan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan eror yang membuktikan adanya bermacam-macam respon sebelum menemukan tanggapanyang tepat dalm memecahkan persoalan yang dihadapi.

b. Hukum Sikap ( Set/Attitude)

Hukum ini menjelaskan bahwa prilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh korelasi stimulus dengan respon saja, tetapi juga diputuskan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.

c. Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotensi of Element).

Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses mencar ilmu menawarkan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya kepada keseluruhan situasi (respon pilih-pilih).

d. Hukum Respon by Analogy.

Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada suasana yang belum pernah dialami sebab individu sesungguhnya mampu menghubungkan suasana yang belum pernah dialami dengan suasana lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang sudah diketahui ke suasana baru. Makin banyak bagian yang sama maka transfer akan semakin mudah.

e. Hukum perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)

Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari suasana yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dijalankan secara bertahap dengan cara menambahkan bertahap bagian gres dan mencampakkan sedikit demi sedikit komponen lama.

Selain menambahkan aturan-aturan gres, dalam perjalanan penyampaian teorinya Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :

1. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun kekerabatan stimulus respon belum tentu diperlemah.
2. Hukum akhir direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat aktual untuk pergantian tingkah laris yaitu kado, sedangkan eksekusi tidak berakibat apa-apa.
3. Syarat utama terjadinya korelasi stimulus tanggapanbukan kedekatan, namun adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4. Akibat sebuah perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.


Hal-hal yang perlu diamati dalam pendidikan Menurut Thorndike ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses penidikan disekolah, antara lain:

1) Sesuai dengan teorinya, sekolah harus mempunyai tujuan-tujuan penididikan yang dirumuskan dengan terang.

2) Tujuan pendidikan harus sesuai dengan kemampuan siswa.

3) Bahan pengajaran mesti terbagi-bagi menurut unit-unit, sehingga guru dapat memanipulasi berdasarkan bermacam-macam situasi. Misalnya situasi yang menggembirakan, tidak menggembirakan dan lain-lain.

4) Proses mencar ilmu sedikit demi sedikit, dimulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.

5) Motivasi tidak ditimbulkan melainkan dalam kekerabatan memilih ‘apa yang mengasyikkan bagi siswa’ oleh karena tingkah laris ditentukan oleh “eksternal reward” dan bukan oleh “intrisic motivasi”.

6) Buat situasi belajar mirip dengan kehidupan positif sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan kehidupan yang aktual.

7) Pendidikan yang baik ialah menawarkan pelajaran disekolah yang mampu dipakai di luar sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari.

8) Bila siswa mencar ilmu baik secepatnya diberi kado, kalau siswa berbuat salah haruslah di tegur/diperbaiki.[7]


Belajar pada insan (human learning)

Walaupun data utama yang diperolehnya dari percobaan dengan hewan, Thorndike tetap menaruh perhatian kepada belajar insan. Belajar pada manusia masih terdiri dari :

a) Manusia dapat bereaksi terhadap arahan dan keragamannya lebih luas dalam satu situasi sehingga menciptakan mencar ilmu pada manusia lebih biasa dari pada binatang.

b) Tingkah laris manusia masih ialah kebiasaaan namun tidak isominasi oleh situasi latihan yang asli sepeti terjadi pada binatang.

c) Perbedaan insan dan binatang dalam belajar bahwa situasi lebih ikut serta secara aktif didalam berguru mengenai pemilihan semua bagian yang paling kritis dan penting.


Kelemahan dari teori Thorndike adalah:

Terlalu memandang manusia selaku mekanisme dan otomatisme belaka disamakan dengan hewan. Meskipun hanya tingkah laris manusia yang otomatis, tetapi tidak selalu tingkah laris insan itu dapat dipengaruhi secara trial and eror. trial end eror juga tidak berlaku bagi insan.

Memandang mencar ilmu cuma ialah asosiasi belaka antara stimulus dan respons. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar yaitu memperkuat perkumpulan tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan yang terus-menerus.

Karena proses berguru berlangsung secara mekanistik, maka “pengertian” tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam mencar ilmu. Mereka mengabaikan “pemahaman” sebagai unsur yang pokok dalam belajar.

Pelajaran bersifat teacher-centered. Yang terutama aktif adalah guru. Dialah yang melatih bawah umur dan menentukan apa yang harus dimengerti oleh belum dewasa.

Anak-anak pasif artinya kurang didorong untuk aktif berpikir, tak turut memilih bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya.[8]


Kelebihan dari teori Thorndike adalah:

Memberi potensi siswa untuk menjajal sesuatu tersebut

Bila siswa berguru baik secepatnya diberi hadiah, kalau siswa berbuat salah haruslah di tegur/diperbaiki.

Adapun beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam pembelajaran PAI

Pada dikala menerapkan pendekatan koneksionisme perlu diperhatikan prinsip-prinsip Pembelajaran. Oleh sebab itu, dalam mengembangkan acara pembelajaran guru mesti memperhatikan beberapa prinsip kegiatan pembelajaran[9], sebagai berikut:


Berpusat pada siswa: setiap siswa intinya berlainan, dan sudah

ada dalam dirinya minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara belajar (learning style) yang berlawanan antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Begitu juga kemampuan siswa dalam berguru, siswa tertentu lebih mudah mencar ilmu dengan menyimak dan membaca, siswa lain dengan cara menulis dan menciptakan ringkasan, siswa lain dengan melihat, dan yang lain dengan cara melakukan berguru secara langsung. Oleh alasannya itu guru harus mengorganisasikan aktivitas pembelajaran, kelas, bahan pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, media dan sumber berguru dan cara evaluasi yang di sesuaikan dengan karakteristik individual siswa. Karenanya aktivitas belajar yang dikembangkan oleh guru mesti mendorong siswa biar dapat berbagi potensi, bakat serta minat yang dimilikinya secara optimal dan optimal.

b. Pembalikan makna berguru: dalam konsep tradisional berguru cuma diartikan penerimaan isu oleh peserta didik dari sumber berguru dalam hal ini guru. Akibatnya pembelajaran sering diartikan merupakan transfer of knowledge. Dalam kurikulum bebasis kompetensi makna belajat tersebut mesti dibalik dimana mencar ilmu diartikan ialah proses acara dan kegiatan siswa dalam membangun pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi dan atau pengalaman. Dan intinya proses membangun wawasan dan pengertian dapat dijalankan sendiri oleh siswa dengan pandangan, anggapan (entering behavior) serta perasaan siswa. Konsekuensi logis pembalikan makna belajar dalam kegiatan pembelajaran menginginkan partisipasi guru dalam bentuk mengajukan pertanyaan, meminta kejelasan, dan kalau diharapkan menyuguhkan suasana yang berlawanan dengan pengertian siswa dengan harapan siswa tertantang untuk memperbaiki sendiri pemahamannya. Konsekuensi lain dari pembalikan makna mencar ilmu ini, guru lebih banyak berperan membimbing siswa dalam mencar ilmu serta menempatkan diri selaku fasilitator pembelajaran dengan menempatkan siswa yang harus bertanggung jawab dalam membangun pengetahuannya sendiri.

c. Belajar dengan melaksanakan: pada hakikatnya dalam acara berguru siswa melkaukan kegiatan-acara. Aktivitas siswa akan sungguh ideal jikalau dilakukan dengan kegiatan positif yang melibatkan dirinya, khususnya untuk mencari dan mendapatkan serta mempraktekkannya sendiri. Dengan cara ini siswa tidak akan mudah melewatkan apa yang diperolehnya dengan cara mencari dan menemukan serta mempraktekkan sendiri akan tertanam dalam hati sanubari dan pikirannya siswa sebab dia berguru secara aktif dengan cara melaksanakan. Dalam pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, bahan sholat dan praktek ibadah yang yang lain akan efektif dan berkesan bagi siswa bila dipraktekkan secara langsung daripada dengan mewajibkan siswa untuk menghafal tatacara sholat atau ibadah yang lainnya. Siswa semestinya dihadapkan pada situasi faktual yang sebenarnya, bila mustahil dibuat suasana produksi dan bila tidak memungkinkan mampu dijalankan dengan audio-visual (dengar-pandang) dengan menggunakan film strif atau video casset atau CD.

d. Mengembangkan kesanggupan sosial, kognitif, dan emosional: dalam

acara pembelajaran siswa harus dikondisikan dalam suasana interaksi dengan orang lain mirip antar siswa, antara siswa dengan guru, dan siswa dengan masyarakat. Dengan interaksi yang intensif siswa akan gampang untuk membangun pemahamannya. Guru dituntut untuk dapat menentukan banyak sekali strategi pembelajaran yang menciptakan siswa melakukan interaksi denagn orang lain, contohnya dengan diskusi, sosiodrama, berguru secara golongan dan sebagainya. Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan guru harus mendorong terjadinya proses sosialisasi pada diri siswa mesingmasing, dimana siswa belajar saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan-perbedaan (usulan, perilaku, kemampuan maupun prestasi). Pembelajaran juga dikembangkan biar siswa mampu berafiliasi serta bisa menyebarkan tenggang rasa sehingga siswa terdorong untuk saling membangun pengertian yang diselaraskan dengan pengetahuan dan tindakannya.

e. Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah bertuhan: siswa terlahir dengan mempunyai rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah bertuhan. Rasa ingin tahu dan imajinasi yang dimiliki siswa merupakan modal dasar untuk bersikap peka, kritis, berdikari, dan inovatif. Sedangkan fitrah bertuhan merupakan cikal bakal insan untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Dengan pemahaman mirip diatas, maka acara pembelajaran perlu menyebarkan dan memperhatikan rasa ingin tahu dan khayalan siswa serta diarahkan pada pengukuhan rasa keagamaan sesuai dengan tingkatan usia siswa.

f. Mengembangkan ketrampilan pemecahan duduk perkara: dalam kehidupan

sehari-hari setiap orang akan dihadapkan kepada berbagai problem yang mesti dipecahkan. Karenanya diperlukan keterampilan dalam memecahkan duduk perkara. Untuk cekatan dalam memecahkan dilema seseorang mesti belajar lewat pendidikan dan pengajaran. Salah satu tolak ukur kesuksesan belajar siswa banyak diputuskan oleh kemampuannya dan kecerdasannya dalam memecahkan dilema. Karena itu, dalam proses pembelajaran perlu diciptakan situasi yang menantang kepada siswa untuk mencari dan menemukan dilema, serta melaksanakan pemecahan dan mengambil kesimpulan. Agar siswa cekatan memecahkan dilema guru mampu memakai pendekatan ketrampilan proses dalam aktivitas pembelajaran.

Dengan pendekatan keterampilan proses siswa diarahkan untuk dapat mendapatkan ketrampilan dasar pemecahan dilema ialah: mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan. Disamping ketrampilan dasar pemecahan problem siswa dibutuhkan juga memperoleh kemampuan pemecahan duduk perkara secara terintregasi yang mencakup: mengidentifikasi variabel, mendefinisikan variabel secara operasional, menyusun hipotesis, mengumpulkan dan mengolah data, membuat tabulasi data, menghidangkan data dalam bentuk distribusi frekuensi, grafik histogram atau poligon, menghubungkan antar variabel, analisis terhadap data penelitian, mendesain penelitian serta melakukan atau melaksanakan percobaan.

g. Mengembangkan kreatifitas siswa: siswa mempunyai potensi untuk berlawanan. Perbedaan siswa terlihat dalam acuan berfikir, daya imanjinasi, fantasi (pengandaian) dan hasil karyanya. Karena itu, kegiatan pembelajaran perlu dipilih dan di rancang supaya member peluang dan kebebasan berkreasi secara berkelanjutan dalam rangka membuatkan kreatifitas siswa. Kreativitas siswa ialah kesanggupan mengkombinasikan atau menyempurnakan sesuatu berdasarkan data, berita atau bagian-unsur yang telah ada. Secara lebih luas kreativitas merupakan kesanggupan yang dimiliki seseorang dalam menciptakan komposisi, produk atau pemikiran apa saja yang intinya gres, dan sebelumnya tidak diketahui pembuatannya.

Hasil kreativitas mampu berbentuk produk seni, kesusastraan, produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis. Pembelajaran yang menuntut siswa berfikir kreatif, yaitu kesanggupan-berdasarkan data dan informasi yang tersedia mendapatkan banyak kemungkinan jawaban kepada sebuah problem di mana penekanannya yakni kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman balasan. Ciri-ciri pembelajaran yang mendorong kreativitas seseorang selaku berikut: muncul dorongan rasa ingin tahu yang besar, tertarik kepada peran-peran yang beragam yang dirasakan selaku tantangan, berani mengambil resiko untuk menciptakan kesalahan atau dikritik oleh orang lain, tidak gampang putus asa, menghargai keindahan, mempunyai rasa humor, ingin mencari pengalaman-pengalaman gres, dapat menghargai baik diri sendiri maupun orang lain, dan sebagainya.

h. Mengembangkan kesanggupan memakai ilmu wawasan dan teknologi: ilmu wawasan dan teknologi terus mengalami kemajuan dan penyempurnaan. Ilmu wawasan dan teknologi terus mengalami pertumbuhan dan penyempurnaan. Ilmu wawasan dan teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia dalam melaksanakan kehidupannya. Agar ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dibuat insan dapat dimanfaatkan oleh manusia pada umumnya serta siswa pada utamanya, siswa perlu mengenal dan bisa memakai ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dini, serta tidak gelagapan kepada pertumbuhan ilmu dan teknologi.

Dengan demikian aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menunjukkan peluang dan kesempatan terhadap siswa menemukan informasi dari sumber belajar dan media pembelajaran yang menggunakan teknologi. Siswa juga diarahkan untuk mengenal dan mampu menggunakan multi media yang mampu dipakai dalam penghidangan bahan pembelajaran. Salah satu cara yang dapat digunakan supaya siswa mengenal dan bisa memakai teknologi ialah dengan cara memberikan tugas yang mengharuskan siswa berafiliasi pribadi dengan teknologi, misalnya membuat laporan tentang bahan tertentu dari televisi, radio, atau bahkan internet. Atau mempresentasikan tugas yang telah dengan memakai sekurang-kurangnyaOHP dan jika memungkinkan memakai kamera in focus.


I. Penerapan teori koneksionisme pada pembelajaran fiqh

Dalam kajian teori Torndike, penemuan yang telah dilakukannya pada sebuah binatang. Dalam kesempatan ini penulis menciptakan goresan pena wacana penerapan dari teori koneksionisme pada pembelajaran fiqh kelas V MIN Medan.

Seorang guru ketika hendak melakukan sebuah pembelajaran haruslah menggunakan RPP yang sudah ada, alasannya RPP ialah sebuah antisipasi guru dalam memperlihatkan pengajaran terhadap siswa-siswanya. Pada pembelajaran fiqh ini siswa diberi potensi oleh guru untuk mampu melakukan/memperaktikkan ihwal bagaimana cara azan dengan suara yang merdu dan sesuai dengan ilmu Tajwidnya.

Seorang anak di sini mencoba berupaya mengumandangkan azan dengan tajwid dan suara yang merdu. anak yang memiliki bunyi yang standart di sini harus bisa mempraktikkan bagaimana cara azan yang benar. Dalam hal ini seorang guru harus ikut dalam menolong siswanya dalam melakukannya. dengan terus mencoba-cobanya lama kelamaan alhasil akan anggun. Sehingga dalam teori ini bisa membentuk siswa menjadi berani dalam melakukannya dan terbimbing dalam proses pembelajannya. Rangsangan yang baik yang diberikan guru kepada muridnya nanti dapat mencerminkan diri siswa tersebut berani dan memiliki semangat yang tinggi.

J. Implikasinya

teori ini sungguh mendorong siswa untuk berpacu untuk mencoba kepada apa yang beliau dapati saat dalam mencar ilmu tersebut. Keinginan dirinya untuk melakukannya itu sangat mendorong teman-temannya untuk ikut ke dalam proses pembelajaran tersebut. Misalkan: Seorang anak yang yang sedang belajar untuk mengumandangkan azan. Dengan suara yang standart dia ingin terus berguru biar nantinya suaranya tersebut mampu menerima hasil tersebut. Seperti kata pepatah bilang; tanpa gangguan kaji karena diulang.


BAB III
Kesimpulan

Thorndike yakni seorang pendidik dan sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Menurutnya, berguru merupakan insiden terbentuknya asosiasi (koneksi) antara insiden yang disebut dengan Stimulus (S) dengan Respon (R). Stimulus adalah perubahan dari lingkungan exsternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi/berbuat. Sedangkan respon ialah sembarang tingkah laku yang dimunculkan alasannya adalah adanya perangsang.

Koneksionisme ialah teori yang paling permulaan dari rumpun behaviorisme. Teori berguru koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949), menurut eksperimen yang beliau lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan binatang-binatang khususnya kucing untuk mengenali fenomena berguru. Eksperimennya berguru pada hewan yang juga berlaku bagi insan tersebut, disebut Thorndike dengan “trial and error”.

Menurut teori trial and error ( menjajal -coba dan gagal) ini, setiap organsime kalau dihadapkan dengan situasi baru akan akan melaksanakan langkah-langkah-langkah-langkah yang sifatnya main-main secara membabi buta. Jika dalam perjuangan menjajal -coba itu secara kebetulan ada perbuatan yang dianggap memenuhi permintaan situasi, maka tindakan kebetulan cocok itu lalu “dipegangnya”. Karena latihan yang terus menerus maka waktu yang dipergunakan untuk melaksanakan perbuatan yang sesuai itu semakin usang makin efisien.

Kaprikornus, kaiatannya terhadap pembelajaran fiqh ini siswa dituntut untuk dapat melakukan azan, walaupun ia tidak mempunyai bunyi yang elok, sehingga dalam teori ini siswa untuk terus mencobanya.

Daftar Pustaka dan Footnote
  • Muchith M. Saekhan , Pembelajaran Kontekstual, Semarang,: Rasail Media Group, 2009.
  • Muhammad Zainur, Rozikin, Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi Guru-Murid di Era Global, Malang : Averroes Press, 2007
  • Nana Sudjana, Teori Belajar, Jakarta: Lembaga Penerbit F. Ekonomi UI, 1991.
  • Nana Syaodi Sukmadinata,, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007
  • Nasution. S, Didakatik Asas-asas Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004.
  • Purwanto Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
  • Qowaid, Dkk. Inovasi pembelajaran PAI. Jakarta: Pena Citrasatria, 2007.
  • Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis – Mudah dan Implementasinya, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007.
  • Nasution. S, Didakatik Asas-asas Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004.
______________________
[1]. Sukmadinata, Nana Syaodi, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Cet. IV, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),h.168.

[2] Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007). h. 98-99

[3]. Trianto, Model-versi Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik; Konsep, Landasan Teoritis – Praktis dan Implementasinya, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), h. 12.

[4]. Roziqin, Muhammad Zainur, Moral Pendidikan di Era Global; Pergeseran Pola Interkasi Guru-Murid di Era Global, (Malang : Averroes Press, 2007), h. 64.

[5] M. Saekhan Muchith, Pembelajaran Kontekstual, (Semarang: Rasail Media Group, 2009). hal, 51

[6]. Sukmadinata, h. 169.

[7] Nana Sudjana, Teori Belajar, (Jakarta: Lembaga Penerbit F. Ekonomi UI, 1991), H. 63-64

[8] S. Nasution, Didakatik Asas-asas Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 39

[9] Qowaid, Dkk. Inovasi pembelajaran PAI. Jakarta: Pena Citrasatria, 2007. Hlm. 2

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon