Rabu, 02 Desember 2020

Makalah Ma’Rifah Dan Ijtihad

Makalah Ma’rifah Dan Ijtihad
Oleh: Tarmidzi

BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Ma’rifah Dan Ijtihad

Islam ialah agama Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw. dan merupakan agama yang berintikan ke-imanan dan perbuatatan (amal). Keimanan itu ialah aqidah dan pokok yang diatasnya bangkit syari’at Islam, lalu dari pokok-pokok itu keluarlah cabangnya. Perbuatan itu ialah syari’at dan cabang-cabangnya yang dianggap sebagai buah yang keluar dari keimanan serta aqidah itu. Perbuatan dan keimanan, atau dengan kata lain aqidah dan syari’at, ke-duanya itu antara satu dengan yang lain saling sambung-menyambung, hubung-menelepon dan tidak dapat berpisah satu sama yang lain. Ke-duanya bagaikan buah dan pohon, sebagai alasannya dan musabbabnya atau mirip muqaddimah dan natijahnya, maka begitu pula dengan ijtihad dan makrifat kita terhadap Allah SWT.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Ma’rifah Dan Ijtihad

A. Al-Ma’rifah
Sebenarnya ma’rifah kepada Allah SWT yakni seluhur-luhurnya ma’rifat dan bahkan ialah semulia-mulianya ma’rifah. Sebab ma’rifah kepada Allah SWT itulah yang merupakan azas atau fundamen yang di atasnya diresmikan segala kehidupan keruhanian. Dari ma’rifah terhadap Allah SWT itulah kemudia bercabang terhadap ma’rifah kepada nabi dan rasul serta hal-hal yang bekerjasama dengan sifat-sifat ia. Bahkan dari berma’rifah kepada Allah SWT itulah kemudia bercabang kepada ma’rifah dengan alam yang ada di balik alam semesta ini, seperti Malaikat, Jin dan Ruh.

Juga dari Ma’rifah kepada Allah SWT itu pulalah timbulnya ma’rifah akan wacana yang hendak terjadi sehabis kehidupan di dunia ini berkahir, juga tentang kehidupan di alam Barzakh, kehidupan di alam akhirat yang berbentukba’ats (kebangkitan dari kubur) hisab atau perhitungan amal, pahal, dosa, siksa Neraka dan kenikmatan Syurga.

I. Cara Berma’rifah.
Untuk bermakrifah kepada Allah SWT itu mempunyai dua cara.[1] Kedua cara itu adalah:
  • Dengan menggunakan akal anggapan dan mengusut dengan teliti apa-apa yang diciptakan oleh Allah SWT yang berupa benda-bendar yang beraneka ragama ini.
  • Dengan mema’rifati nama-nama Allah SWT serta sifat-sifatNya.
Maka dengan memakai logika dan pikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati nama-nama serta sifat-sifat Allah SWT dari sudut lain akan dapatlah seseorang itu berma’rifat kepada tuhannya, ia akan mempertoleh isyarat ke arah itu.[2]

II. Berma’rifah Dengan Pikiran
Sesungguhnya setiap anggota itu tentu ada peran-tugasnya, sedangkan tuga nalar adalah mengangan-angankan, mengusut, menimbang-nimbang dan memperhatikan, kalau kekuatan-kekuatan yang semacam itu menganggur maka hilanglah pekerjaan nalar, juga menganggurlah tugasnya yang terpenting baginya dan ini niscaya akan dibarengi oleh terhentinya aktivitas hidup, kalau ini telah terjadi, akan mengakibatkan terjadinya kebekuan, kematian dan kerusakan nalar itu sendiri. Agama Islam mengharapkan semoga nalar itu bergerak dan melepaskan kekangannya, secepatnya berdiri dari tidurnya yang nyenyak. Kemudian mengajak untuk mengadakan perenungan dan fatwa. Pekerjaan yang demikian ini termasuk dari inti ibadah terhadap ilahi. Sebagaimana firmannya:

قل إنما أعظكم بواحدة أن تؤمنوا الله مثنى ز فرادى شيئ تتففكروا (سبأ: 46
“katakanlah aku cuma hendak mengajarkan kepadamu semua satu masalah saja, yaitu hendaklah kau semua bangkit di hadapan Allah SWT, dua-dua orang atau seorang-seorang, lalu berfikirlah kamu semua (QS Saba’: 46).

III. Berma’rifah Menurut al-Ghazali
Al-Ghazali mengatakan bahwa ma’rifah itu adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat diraih oleh seorang sufi.[3] Inilah pengetahuan yang lebih tinggi ketimbang wawasan yang mampu diperoleh oleh logika. Makrifah bukanlah hasil fatwa manusia, namun tergantung terhadap karunia dukungan ilahi terhadap hambaNya yang sanggup menerimanya. Karena banyaknya amal, maka datanglah karunia sebagai balasan untuk ganjaran pahala atas amal itu. Apabila perbekalan sudah menjadi suci bersih maka tercapailah maqam atau derajat yang tinggi. Jadi karunia adalah derma, sedangkan maqam yaitu amalan.[4]

Memang sampai dimana tingkat ma’rifah manusia tentang tuhan terdapat perbedaan intrepretasi di kalangan sufi. Menurut al-Ghazali, ma’rifah itu yakni sesuatu yang tidak menyebabkan manusia itu berpadu atau bersatu dengan ilahi. Menurutnya, pengertian ma’rifah yakni mengetahui dengan mata hati, akal. Karena terang dan terangnya pengetahuan itu maka ia ungkapkan dalam kalimat: nazhrun ila wajhillah.[5] Yang berarti melihat atau memandang wajah Allah SWT dengan mata hati bukan dengan mata kepala. Oleh sebab itu menurut al-Ghazali bahwa orang pintar atau orang yang meraih makrifah tidak lagi menyeru ilahi dengan kalimat “wahai Allah SWT” karena kalimat mirip itu menunjukkan bahwa Allah SWT masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang yang berilmu, tabir itu telah tiada, maka tidak perlu lagi saling memanggil.

III. Ma’rifah berdasarkan Zunnun al-Mishri
Ia ialah orang yang pertama, yang membahas ma’rifah secara mendalam, maka ia dipandang sebagai tokoh paham ma’rifah. Beliau membagi ma’rifah perihal tuhan terhadap tiga kelompok:
  • pengetahuan orang awwam: tuhan itu satu diketahui lewat ucapan syahadat.
  • pengetahuan ulama: yang kuasa itu satu dimengerti melalui nalar.
  • wawasan sufi: yang kuasa itu satu, diketahui lewat sanubari pengetahuan dalam arti satu dan dua belum ialah wawasan hakikat wacana tuhan, keduanya disebut dengan ilmu bukan makrifah.
Orang filosif dan mutakallimin mencari ilahi dengan memakai akalnya oleh karena pengetahuan logika dan mantik, maka mengartikan akan adanya, tapi belum pasti mencicipi lezatnya. Yang lebih diutamakan yaitu pandangan baru atau faidh yakni: limpahan karunia yang kuasa atau kasyaf, ialah yang kuasa membuka hijab hatinya dalam alam keruhanian, diwaktu nalar berjalan lagi dan tiba di derajat yang mustawa.[6]

Dengan adanya usaha yang keras, dan didasari keihkalasan sufi untuk mendekatkan diri terhadap ilahi, sedangkan dewa senantiasa menurunkan rahmatnya, di dikala itu terbukalah tabir (hijab) dan terjadinya komunikasi dua arah dalam bentuk makrifah. Zunnun al-Mishri menggambarkan gejala orang yang telah menerima ma’rifah kepada tiga:
  • cahaya ma`rifahnya tidak memadamkan kerendahan hatinya.
  • secara batiniah dia tidak mengakui ilmu yang menyangkal aturan lahiriah.
  • banyaknya karunia yang dia terima tidak menjadikannya melanggar larangan Allah SWT.
Dengan samapainya seorang sufi ke tingkat makrifah, beliau pada hakikinya telah erat benar dengan yang kuasa.

B. al-Ijtihad

I. Pengertian Ijtihad Secara Etimologi (Bahasa)
Dalam bahasa (etimologi) ijtihad berasala dari kata jahada, yang memiliki arti: keseriusan, kesanggupan, kekuatan dan berat. Para ulama mengajukan redaksi yang bermacam-macam dalam mengartikan kata ijtihad secara bahasa:

menurut Ahmad bin Ali al-Mukri al-Fayumi, ijtihad berdasarkan bahasa yaitu:
بذل وسعه و طاقته فى طلبه ليبلغ مجهوده و يصل إلى نهايته
“pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan sesuatu untuk sampai kepada tujuan”.
berdasarkan as-Syaukani, ijtihad secara bahasa yakni:
عبارة عن استفراغ الوسع فى أى فعل
“ibarat pengerahan kesanggupan dalam pekerjaan apa saja”

3. ahli ushul berpendapat
الاجتهاد: استفراغ لفقيه الوسع لتحصيل طن بحكيم
“ijtihad yakni orang yang fakih yang menumpahkan segala kesanggupannya untuk menciptakan dzan/sangkaan dengan sesuatu hukum”.[7]

II. Pengertian Ijthad Secara Terminologi (Istilah)
Pengertian ijtihad secara perumpamaan muncul belakangan yakni pada kala Sahabat. Beberapa pemahaman itu adalah:
berdasarkan Abu Zahrah ijithad itu yaitu:

بذل الفقيه وسعه فى استنباط الأحكام العملية من أدلتها التفصيلية
“upaya eorang mahir fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan aturan amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.

Jelaslah bahwa yang hendak jadi mujthid itu hanyalah orang-orang yang mengenali dalil-dalil kitab dan sunnah dan merupakan mahir fikih.

III. Syarat-Syarat Mujtahid

1. Syarat mujtahid berdasarkan imam al-Ghazali:
a. Mengetahui syari;at serta hal-hal yang berhubungan dengannya.
b. Adil dan tidak melakukan maksiat.

2. syarat mujtahid menurut al-Razi:
a. mukallaf.
b. Mengetahu makna lafaz dan rahasianya.
c. Mengetahui keadaan mukhatab.
d. Mengetahui kondisi lafaz.

3. menuruty as-Syatibi:
a. mengetahui tujuan syara’
b. bisa menetapkan hukum.
c. Memahami ilmu-ilmu bahasa Arab.

4. menurut as-Syaukani:
a. mengenali Quran al-Karim dan hadist yang bertalian dengan aturan.
b. Mengetahui ijma’.
c. Mengetahui bahasa Arab.
d. Mengetahui ilmu ushul fikih.
e. Mengetahui nasikh dan mansukh.

Dan masih banyak syarat-syarat mujtahid banyak sekali versi lainnya oleh para ulama. Melihat begitu banyaknya dan beratnya syarat yang mesti dimiliki oleh seorang mujtahid, tampaknya untuk zaman kini akan sangat sulit untuk terpenuhi.

C. Syarat-Syarat Mujtahid
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat diambil intisari, dari sayarat-syarat mujtahid adalah: orang-orang yang sudah mengenali aturan.
  • hukum Quran al-Karim: dia harus mengenali nama ayat yang amm (lazim) dan mana yang khass (khusus), mujmal, muthlaq dan lain sebagainya.
  • hukum sunnah: beliau mesti mengenali mana hadist yang shahih, dhaif, mutawatir, minggu.
  • hukum bahasa Arab: dia mesti mengerti ilmu-illmu bahasa Arab seperti ilmu: nahwu dan sharf, ushul, mantiq, ma’ani, badi’, serta bacaanya.
Syarat inu diperlukan karena jikalau seseorang tidak mengenali apa yang terebut diatas dengan apakah beliau berijtihad memilih sebuah aturan? Sebab ayat-ayat Quran al-Karim dan hadist nabi yakni berbahasa arab. Dalam kitab syarah as-sunnah dinyatakan pula bahwa seseorang belum dapat dinamakan mujtahid kecuali sesudah berkumpul padanya lima macam ilmu:

1. ilmu kitabullah (ilmu Alquran al-Karim dan asbabun nuzul)
2. ilmu hadist
3. ilmu tentang pendapat ulaman salaf dan khalaf, wacana ijma’ dan ittifaq mreka
4. ilmu bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu perangkat yang lain
5. ilmu qiyas (membandingkan sebuah aturan), bila nash tidak didapati.[8]

D. Lapangan Dan Hukum Ijtihad
Menurut imam al-Ghazali lapangan ijtihad yaitu setiap aturan syara’ yang tidak memiliki dalil qat’i. Sedangkan hukum ijtihad, para ulama menyatakan hukum ijtihad itu mampu wajib ain, wajib kifayah, sunnah dan haram, tergantung terhadap kapasitas mujtahid dan lapangan ijtihadnya.

BAB III
PENUTUP
Makalah Ma’rifah Dan Ijtihad
  • Setelah menelusuri uraian perihal ma’rifah, maka mampu kita ambil intisarinya:
  • ma’rifah terhadap Allah SWT ada dua cara.
  • ma’rifah menurut al-Ghazali yaitu bukan hasil ajaran manusia, melainkan ialah karunia yang kuasa kepada hambaNya yang sanggup menerimanya.
  • menurut al-Ghazali, ma’rifah sesuatu yang tidak menyebabkan insan itu terpadu atau bersatu dengan dewa. Sedangkan menurut al-Mishri, dengan mema’rifah manusia akan bersatu dengan tuhannya sebab tuhan membuka tabir (hijab) sehingga terjadi komunikasi dua arah antara makhluk dan budpekerti.
  • ijtihad sangat penting sebab ummat Islam dewasa ini dihadapkan pada sejumlah peristiwa baru dalam banyak sekali faktor kehidupan, lebih-lebih untuk kasus yang belum ada nashnya.
  • ijtihad sebagai klarifikasi kepada dalil-dalil yang dzanni.
  • ijtihad sebagai suatu saksi kelebihan agama Islam atas agama-agama yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
  • Ahmad Zaini Miftah, Dasar Pokok Hukum Islam. Jakarta, 7 Juni 1969.
  • Department Agama, Alquran Dan Terjemahannya.
  • Hamka, Tasawwuf Dari Abad Ke-Abad. Jakarta: Pustaka Islam, 1953.
  • Musthafa Zahri, Kunci Memahami Tasawwuf. Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1998.
  • Sayyid Sabiq, Aqidah Islam. cet. Ke-II. Bandung, CV. Diponegoro, tth.
  • Tajuddin Abdul Wahab, Jam’ul Jawami’, juz XI.
lihat footnote di sini!

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon