Selasa, 01 Desember 2020

Makalah Ijab Kabul Beda Agama

Makalah Pernikahan Beda Agama
Oleh : Fadlah Mardiyah Pulungan


BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Pernikahan Beda Agama

“Rasa cinta dan kasih sayanglah yang mengakibatkan bumi tercipta, berputar memberikan setiap peradabannya.” Demikian Jalaluddin Rumi berujar. Menurutnya cintalah yang menjadi alasannya semuanya. Rasa yang keberadaannya jauh di luar kuasa insan, sejauh khayal yang melayang, insan hanya dapat mewakilkannya dengan kata. Ia ialah fitrah pinjaman Allah. Allah yang menganugerahkan rasa cinta dan kasih sayang terhadap makhluk-Nya, alasannya adalah memang ia yaitu zat yang senantiasa dipenuhi ribuan cinta. Ia ciptakan semburat rasa itu agar antara makhluk saling berkasih sayang, bertemu selaku makhluk Allah atas nama cinta, untuk suatu ketika nanti kembali kepada-Nya alasannya adalah cinta.

Sejarah cinta sudah menerangkan terciptanya sebuah peradaban. Bukan satu atau dua pasangan bertemu dan tengggelam dalam rasa yang Tuhan semburatkan itu, untuk kemudian menyambungkan dua makhluk Tuhan pada ikatan cinta yang membentuk sebuah peradaban gres, dua hati yang menikah. Demikian halnya dengan Ratna, seorang gadis yang beragama Islam dan Herman seorang pria yang beragama non-Islam. Mereka berhasrat menikah, tetapi perbedaan agama menjadi penghalang di antara mereka. Makara apa yang harus dilakukan mereka?

Pernikahan beda agama ini, ialah duduk perkara khilafiyah dalam agama Islam. Para ulama masih mempermasalahkan kebolehan nikah beda agama. Apakah nikah beda agama dihalalkan secara syari’at (aturan Islam), atau ternyata diharamkan?. Hal ini muncul alasannya adalah dalil-dalil agama Islam yang menerangkan ijab kabul beda agama sendiri masih membutuhkan pemahaman yang mendalam. Artinya, dalil yang berkenaan dengan nikah beda agama tidak memperlihatkan kepastian aturan, sehingga memerlukan ijtihad dalam aturan kebolehannya. Itulah dinamika problem nikah beda agama. Surat al-Baqarah ayat 221, oleh sebagian ulama dijadikan landasan tidak diperbolehkannya nikah beda agama. Dalam makalah ini penulis ingin membahas bagaimana pandangan mazhab klasik dan mazhab liberal tentang ijab kabul beda agama ini.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Pernikahan Beda Agama

A. Pengertian Pernikahan beda agama
Nikah menurut bahasa yaitu الضم, bermakna berkumpul. Sedangkan menurut syara’ yakni sebuah komitmen yang menimbulkan kebolehan wathi (setubuh) dengan lafaz Inkah atau Tajwij. [1]Akad tersebut adalah ikatan yang sungguh berpengaruh atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan mempunyai tujuan yang mulia, yaitu merealisasikan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[2] Pernikahan beda agama adalah suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama dan kepercayaannya.

B. Pernikahan beda agamaa Menurut Mazhab Klasik
Dalam Islam, menikah dengan Ahli Kitab itu diperbolehkan. Alasannya sebab ahli kitab yakni orang orang yang yakin terhadap kitabullah. Mereka yakni orang Yahudi dan Nasrani yang percaya terhadap kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa A.S dan Injil yang diturunkan terhadap Nabi Isa A.S. Dalam Islam, menikah dengan perempuan andal kitab memang diperbolehkan, berdasarkan petunjuk al-Qur’an berikut ini:
االيوم احل لكم الطيبات و طعام الدين اوتوا الكتاب حل لكم و طعامكم حل لهم و المحصنات من المؤمنات والحصنات من الدين اوتوا الكتاب من قبلكم ادا اتيتمو هن اجورهن محصنين غير مساقحين ولا متخدي اخدان ومن يكفر بالايمان فقد حبط عمله وهو في الاخراة من الخاسرين
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang bagus-baik. Dan kuliner orang-orang jago kitab itu halal bagimu, sedang makananmu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan juga bagimu mengawini perempuan yang mempertahankan kehormatannya di antara wanita yang beriman dan wanita mahir kitab sebelummu bila kamu sudah mengeluarkan uang maskawin mereka dengan maksud menikahinya bukan untuk berzina dan juga bukan untuk menjadikannya selaku gundik….. [3] (Q.S. al-Maidah : 5)

Dalam ayat ini Allah mengijinkan mengawini orang-orang mahir kitab (pada umumnya ulama menafsirkan Ahli kitab yaitu Yahudi dan Kristen). Di samping itu, akad nikah yang dijalankan dengan perbedaan agama secara historis pernah dijalankan oleh orang-orang Islam terdahulu di kala Nabi. Nabi menikahi perempuan keturunan Yahudi dari suku Quraidlah dan Musthalik, dan seorang wanita dari Gubernur Romawi Mesir bernama Maria al-Qibtiyah, (perihal perempuan-perempuan ini ada pertimbangan yang mengatakan mereka tidak masuk Islam ketika dinikahi dan sudah masuk Islam apalagi dahulu). Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqash Thalhah bin Zubair, Ibnu Abbas, Hudzaifah yaitu para sobat yang menikah dengan perempuan di luar Islam. Pernikahan seperti ini juga pernah dijalankan oleh para tabi’in mirip Sa’id bin al-Musayyab, Said bin Zubair, al-Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah.[4]

Berdasarkan hal di atas maka Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengijinkan menikah dengan hebat kitab. Walaupun akad nikah beda agama pernah dipraktekkan oleh Nabi, para sobat dan para tabi’in, Abdullah bin Umar beropini bahwa menikahi perempuan Yahudi atau Kristen itu tidak diperbolehkan. Abdullah bin Umar pernah berucap: Allah telah melarang orang muslim menikahi orang musyrik. Maka saya tidak tahu mana syirik yang lebih besar daripada seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya yaitu Isa, padahal sebenarnya Isa itu hanyalah hamba Allah dan Rasulullah di antara rasul-rasulnya lainnya.[5]

Sungguhpun banyak pola dari para sobat yang saleh dan para tabi’in yang menikah dengan andal kitab, hendaknya berhati-hati sebelum melaksanakan perkawinan yang beda agama dan keyakinan itu. Memang para teman mempunyai sifat yang pantas diteladani dan mereka hidup dengan penuh takwa dan kesederhanaan. Setelah mereka menikahi perempuan hebat kitab yang berbeda agama dan peribadatannya itu, para sahabat mengenali bagaimana cara mengontrol istri sehingga anak-anak mereka tidak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan ibunya. Oleh alasannya adalah itu, menikah dengan perempuan ahli kitab kebanyakan diperkenankan tetapi dianggap makruh hukumnya. Para ulama empat mazhab sudah membahas dan memperlihatkan pandangan wacana hukum masalah perkawinan dengan perempuan andal kitab, yakni:

Menurut Mazhab Hanafi, menikahi perempuan mahir kitab itu haram hukumnya bilamana perempuan jago kitab itu berada di suatu negeri yang sedang berperang dengan kaum muslimin (dar al-harb), alasannya mengawini perempuan ahli kitab ini akan mampu mengakibatkan kerugian dan berbahaya. Dalam kondisi perang itu, belum dewasa hasil perkawinan itu akan lebih condong terhadap agama ibunya. [6]

Mazhab Maliki sebaliknya, mengajukan dua alternatif pandangan, pertama menikah dengan wanita jago kitab itu hukumnya makruh sama sekali, baik wanita itu seorang kafir zimmi maupun penduduk dar al-harb. Pendapat kedua , menikahi wanita ahli kitab itu bukan makruh sebab al-qur’an mendiamkannya. Sifat mendiamkan dianggap sebagai persetujuan, jadi kawin dengan perempuan hebat kitab boleh-boleh saja. Sebaliknya bagi mahir kitab tidak ada kewajiban kalau kedua orangtuanya mesti dari golongan hebat kitab. Perkawinan itu akan tetap sah sekalipun ayahnya spesialis kitab dan ibunya yakni seorang penyembah berhala.

Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali meyakini bahwa kedua orang tua perempuan itu haruslah ahli kitab, kalau ibunya seorang penyembah berhala,maka perkawinan dengan jago kitab itu tidak diperkenankan, sekalipun perempuan itu sudah dewasa dan mendapatkan agama ayahnya.[7] Selain itu, untuk mengenali siapa sesungguhnya yang dimaksud jago kitab oleh para ulama, maka di bawah ini penulis menerangkan beberapa pendapat ulama tentang hal tersebut :

1. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dalam kitab al-Ummnya menyampaikan :

(قال الشافعي) رحمة الله تعالى : ويحل نكاح حرائر اهل الكتاب لكم مسلم لان الله تعالى احلهن بغير استسناء واجب الى لو لم ينكحهن مسلم[8]
Dihalalkan menikahi wanita merdeka dari mahir kitab bagi setiap laki-laki muslim tanpa kecuali sebab Allah Ta’ala sudah menghalalkannya dan saya lebih menyukai jikalau pria muslim tidak menikahinya.

Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa ahli-kitab yang dihalalkan yakni jago kitab Yahudi dan Nasrani, tidak termasuk Majusi, juga tidak termasuk ahli kitab, orang-orang Arab yang masuk ke dalam Yahudi dan Katolik sebab asal agama mereka sesat dengan menyembah berhala lalu mereka pindah kepada agama hebat kitab bukan alasannya adalah mereka beriman dengan Taurat dan Bibel dan sembelihan mereka juga tidak halal. Demikian juga tidak termasuk hebat kitab orang-orang ‘azam ialah yang bukan orang-orang Arab yang masuk ke dalam agama andal kitab karena asal agama nenek moyangnya yakni penyembah berhala.[9]

b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm di dalam al-Mahalla menyampaikan bahwa yang tergolong jago kitab yang boleh dinikahi yaitu Yahudi, Katolik, dan Majusi.[10] Ibnu Kasir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim jil. II, h. 27, mengumumkan bahwa Abu Sur Ibrahim Ibn Khalid al-Kalbi (w. 860) yang merupakan seorang pengikut Imam Syafi’i demikian juga Ahmad ibn Hanbal, mengizinkan menikmati kuliner dan sembelihan orang Majusi dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.

c. Muhammad Abd al-Karim Syahristani (w. 548 H/1153 M, andal ilmu kalam)
Berpendapat bahwa hebat Kitab terdiri dari Yahudi dan Nasrani, tetapi tidak terbatas pada keturunan Bani Israil. Adapun pengikut agama lain yang mempunyai kitab-kitab suci mirip Majusi disebut oleh Syahristani selaku syibh Ahli kitab (mirip dengan hebat kitab). Syibh ahl-kitab diperlakukan sebagaimana kaum Zimmi yang lain, tetapi kaum perempuan tidak boleh dikawini dan sembelihannya dilarang dikonsumsi.

d. Pendapat yang lebih longgar dikemukakan oleh Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan beberapa mahir fikih lainnya, seperti Abu Sur.
Kelompok ulama ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab ialah seluruh komunitas yang mempercayai nabi atau kitab suci yang diturunkan Allah SWT. Ahli kitab menurut pemahaman mereka tidak hanya terbatas pada keturunan Yahudi dan Katolik. Oleh sebab itu, seandainya ada komunitas yang mempercayai suhuf nabi Ibrahim atau Zabur yang diturunkan terhadap nabi Daud maka mereka adalah jago kitab.

Islam membolehkan menikah dengan ahli kitab dengan aneka macam macam pendapat ulama di atas, tetapi menikah dengan orang musyrik dalam bentuk apapun sama sekali dilarang, baik orang yang menyembah berhala, orang yang keluar dari Islam (murtad), penyembah sapi atau hewan lainnya, menyembah pepohonan ataupun menyembah batu. Larangan Islam ini berdasarkan pernyataan dari al-qur’an surat al-Baqarah ayat 221 selaku berikut:

ولا تنكحواالمشركات حتى يؤمن ولامة مؤمنة خير من مشركة ولو اعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو اعجبكم اولئك يدعون الى النار والله يدعوا الى الجنة والمغفرة بادنه ويبين اياته للناس لعلهم يتدكرون
Dan janganlah kamu nikahi perempuan-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari pada perempuan musyrik, meskipun beliau menarik hatimu. Dan janganlah kau menikahkan orang-orang musyrik dengan perempuan-perempuan mukmin, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun beliau menarik hatimu. Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu agar kamu mengambil pelajaran”. ( al-Baqarah : 221)[11]

Diriwayatkan dalam Asbabun Nuzul, larangan menikah dengan orang di luar Islam, rupanya dinukilkan pada kurun Rasulullah saw. Yaitu suatu peristiwa yang dianggap selaku penyebab turunnya surat al-Baqarah ayat 221.

Suatu dikala diutuslah seorang laki-laki tampan bernama Marsad, orang kaya dari Bani Hasyim ke Mekkah untuk membawa kaum muslimin yang ditawan. Sesampainya di Mekkah datang seorang perempuan berjulukan Unaq, kekasih Marsad dikala dia masih musyrik. Unaq yaitu seorang wanita cantik dan belum memeluk Islam. Sebelumnya Marsad sudah memutuskan keterkaitannya dengan Unaq. Waktu itu Unaq sengaja mengunjungi Marsad, dan bertanya tentang relasi mereka, “Hai Marsad, apakah engkau masih ingin denganku?” Marsad menjawab, “Islam sudah menghalangi kekerabatan antara engkau dan saya, tindakan itu haram bagi kami.” Jawaban Marsad ini tak menyurutkan niat Unaq untuk merayu dan mendapatkan kembali Marsad. “Tetapi jika engkau menginginkan aku akan kawin dengan engkau,” kata Unaq. “Baik, kata Marsad, saya akan meminta izin terhadap Rsulullah. Sesampainya di Madinah Marsad menceritakan peristiwa itu dan bertanya terhadap Rasulullah wacana Unaq, “apakah halal bagi saya untuk mengawininya”, untuk menjawab pertanyaan ini turunlah surat al-Baqarah ayat 221.

Abdullah bin Abbas menyebutkan sebab turunnya ayat di atas, berkaitan dengan perkara Abdullah bin Rawahah, sobat nabi SAW, yang memiliki budak wanita. Pada suatu ketika Abdullah bin Rawahah marah terhadap budak perempuan ini. [12]Ketika nabi SAW mengetahuinya, lantas dia bertanya kepada Abdullah bin Rawahah sebagai berikut, Nabi bertanya: apa yang terjadi wahai Abdullah? Abdullah bin Rawahah menjawab: “Wahai Rasulullah SAW, budak perempuan itu berpuasa, berdoa dan menyucikan dirinya, serta beriman terhadap Allah dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau ialah Rasulullah. Nabi Saw: “Kalau demikian, dia adalah seorang mukminah. Abdullah bin Rawahah: “Maka demi Allah yang sudah mendelegasikan engkau membawa kebenaran, aku akan memerdekakannya dan menikahinya. Setelah Abdullah menikahi budak wanita tadi, banyak orang muslim mencelanya dengan alasan Abdullah menikahi budak perempuannya. Celaan yang dilontarkan ini menurut bahwa mereka yang mencela itu lebih senang mengawini wanita musyrik hanya lantaran kelebihan keturunannya. Berdasarkan peristiwa yang terjadi pada Abdullah inilah ayat al-Qur’an di atas diturunkan.

Berdasarkan hal di atas, maka mampu dikatakan perkawinan orang mukmin dengan orang musyrik itu akan menyesatkan pihak orang muslim karena akan membawa terhadap jalan kemusyrikan. Ikatan suami istri itu bukan hanya hubungan seksual semata, melainkan relasi batin dan budaya. Oleh karena itu, perkawinan tadi tidak boleh di dalam Islam. Memang benar, boleh jadi seorang muslim itu akan mempengaruhi orang musyrik, semoga keluarga dan keturunan orang musyrik tersebut dapat berkenan memeluk Islam. Kemungkinan yang lain juga boleh jadi bahwa mampu menyeret pasangan yang muslim, bahkan keluarga dan keturunannya menuju jalan kemusyrikan. Yang paling mungkin diakibatkan dalam perkawinan mukimin musyrik itu ialah bercampurnya antara keturunan muslim dan non muslim. Orang non muslim mungkin saja menyepakati akhir semacam ini, namun seorang muslim tidak mampu melakukan tindakan semacam ini. Orang yang betul-betul muslim, tidak akan pernah mengambil resiko cuma untuk membuat puas nafsu syahwatnya semata-mata. Orang muslim malah lebih senang mengatur hawa nafsunya dibandingkan dengan melakukan sesuatu yang mau menyesatkan keimanannya, membuatnya musyrik ataau paling tidak bagi keturunannya.

Ibn Katsir juga menerangkan, bahwa ayat 221 ini merupakan pengharaman dari Allah kepada kaum muslimin supaya tidak menikah dengan wanita musyrik. Yaitu para penyembah berhala seraya menegaskan bahwa wanita musyrik tidak halal dinikahi. [13]Ibnu Katsir juga mempertegas pendapatnya dengan menjelaskan surat al-Mumtahanah sebagai informasi Allah selain surat al-Baqarah, yang melarang menikahi orang di luar Islam.

يايها الدين امنوا ادا جاءكم المؤ منات مهاجرات فامتحنوهن الله اعلم بايمانهن فان علمتمو هن مؤمنات فلا تر جعو هن الى الكفار لا هن حل لهم ولا هم يحلوب لهن واتوهم ما انفقوا ولا جناح عليكم ان تنكحو هن ادا ما اتيتمو هن اجو رهن ولا تمسك بعصم الكوافر واسئلوا ما انفقتم وليسئلوا ما انفقوا دلكم حكم الله يحكم بينكم والله عليم حكيم (الممتحنه : )
Hai orang-orang yang beriman jika datang berhijrah kepadamu wanita-perempuan yang beriman maka hendaklah kau uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengenali tentang keimanan mereka, maka kalau kau sudah mengetahui bahwa mereka (betul-betul ) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka terhadap (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka itu tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan berikanlah terhadap (suami-suami) mereka mahar yang sudah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang teguh pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kau minta mahar yang telah kau bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kau dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana (al-mumtahanah : 10).[14]

Pada kurun Khulafaur Rasyidin, ijab kabul dengan non muslim pernah tidak boleh keras oleh salah satu sahabat Nabi, Umar bin Khattab. Sayyidina Umar pernah memerintahkan terhadap siapa saja Islam untuk menceraikan perempuan-wanita yang mereka nikahi yang berasal dari luar Islam. Sahabat nabi ini, menghawatirkan akad nikah beda agama terjadi hanyalah sebab ketertarikan semata dan muncul dari semangat hawa nafsu.[15]

Ulama lima Mazhab sepakat perempuan dan pria muslim dihentikan menikah dengan orang yang tidak memiliki kitab. Orang yang tidak memiliki kitab yakni kalangan yang tidak menerima kitab adalah Injil, Taurat, Zabur dan al-Qur’an. Para ulama lima mazhab menyepakati orang di luar ini merupakan kelompok orang musyrik adalah para penyembah berhala, penyembah matahari, penyembah bintang, dan kelompok orang zindiq, yaitu kelompok orang yang tidak yakin pada adanya Tuhan.

Selain itu disepakati juga golongan orang Majusi terlarang menikahi dengan orang Islam. Hal ini disebabkan kelompok Majusi sudah mengubah kitab suci yang orisinil. Banyak pula disebutkan orang Majusi selaku kalangan orang yang menyembah api, suatu langkah-langkah yang tidak mampu ditolerir sebab tindakan itu menyekutukan Allah.[16]

C. Hukum Nikah Beda Agama Menurut Mazhab Liberal
Dalam duduk perkara halal dan haramnya kawin antar agama, para Ulama senantiasa berpegangan pada surat al-Baqarah ayat 221, surat al-Mumtahanah ayat : 10 dan surat al-Maidah ayat 5. Dengan mengacu pada pemahaman literal surat al-Maidah ayat 5 itu, maka menikahi perempuan Ahli Kitab itu jelas boleh, kebolehan mana telah diujarkan al-Qur’an dengan sungguh terperinci dan tegas tanpa syarat apapun. Dari ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip di atas akan diuraikan hal-hal berikut ini; antara kaum musyrik dan Ahli Kitab dan dengan siapa al-Qur’an mengharamkan orang Islam melaksanakan perkawinan.

1. Antara Kaum Musyrik dan Ahli Kitab
Al-Qur’an selaku kitab suci yang berasal eksklusif dari Allah memiliki banyak keutamaan. Salah satunya yaitu ketelitian pemilihan dan penempatan kosa kata dan redaksi kalimatnya. Pemilihan dan penempatan itu bukan suatu kebetulan, namun mengandung makna filsafat bahasa tersendiri dan dalam. Satu kosa kata atau satu kalimat yang dipilih hanya menunjuk terhadap makna atau aturan tertentu secara khusus dari kosa kata atau kalimat itu.

Al-Qur’an secara cermat dan jelas membedakan pengertian antara kaum musyrik dan andal kitab. Dalam surat al-Baqarah, 2:105, Allah berfirman artinya : “Orang-orang kafir dari Ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak mengharapkan diturunkannya sebuah kebaikan kepadamu dari Tuhanmu…” Dalam surat al-Bayyinah, 98:1, Allah juga menyebutkan “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang kafir musyrik tak akan melepaskan (iman mereka) sampai tiba terhadap mereka bukti yang aktual.”[17]

Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Qur’an menggunakan kata penghubung “dan” (al-Qur’an: waw) antara kata kafir Ahli Kitab dan kafir Musyrik. Ini memiliki arti bahwa kedua kata, Ahli Kitab dan Musyrik, itu memiliki arti dan makna yang berlawanan. Sebelum menerangkan perbedaan antara kedua kata itu, perlu kiranya di sini diberikan apalagi dulu beberapa catatan keterangan wacana makna kafir.

Kata kafir (kufr )dari segi bahasa bermakna menutupi, istilah-istilah kafir (kufr ) yang terulang sebanyak 525 kali dalam al-Qur’an, semuanya dirujukkan kepada arti “menutupi”, adalah menutup-nutupi lezat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Ketuhanan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti fatwa-anutan-Nya yang disampaikan lewat rasul-rasul-Nya.[18]

Di dalam Al-Qur’an, disebutkan beberapa jenis kekafiran yang antara satu dengan lainnya tingkatannya berlainan-beda. Kafir (kufr ) ingkar, yaitu kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap keberadaan Tuhan, Rasul-rasulnya dan seluruh fatwa yang mereka bawa. Kafir (kufr ) juhud, ialah kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-anutan Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. Ia tidak jauh berbeda dengan kekafiran ingkar (no. 1).

Kafir munafik (kufr nifaq), ialah kekafiran yang mengakui Tuhan, Rasul dan pedoman-ajarannya dengan pengecap tetapi mengingkari dengan hati, menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran. Kafir (kufr ) syirik, memiliki arti mempersekutukan Tuhan dengan menimbulkan sesuatu, selain dari-Nya, sebagai sembahan, objek pemujaan, dan atau daerah menggantungkan impian dan dambaan, syirik digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari kekuasaan Tuhan, juga mengingkari Nabi-nabi dan wahyu-Nya.

Kafir (kufr ) nikmat, yaitu tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan memakai nikmat itu pada hal-hal yang tidak diridhai-Nya. Orang-orang muslim pun mampu masuk dalam kategori ini (lihat:al-Naml, 27:40; Ibrahim, 14:7; al-Imran, 3:97)

Kafir murtad, yakni kembali menjadi kafir sehabis beriman atau keluar dari Islam. Kafir Ahli Kitab, yaitu non Muslim yang yakin kepada Nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui Nabi terhadap mereka.[19]

Ada berbagai macam kekafiran lainnya lagi, namun buat sementara mampu kita ambil kesimpulan, bahwa istilah kafir mencakup makna yang luas, yang dibawahnya terdapat ungkapan-perumpamaan yang lebih khusus yang arti dan maknanya berbeda antara satu dan lainnya. Kalau Allah menyebutkan dalam al-Qur’an ungkapan kafir musyrik, maka itu maknanya mesti berbeda dengan makna ungkapan dari kata Ahli Kitab, dan kalau hanya disebutkan kafir saja maka maknanya perlu diketahui bahwa kata itu harus menunjuk kepada salah satu dari jenis-jenis kekafiran yang ada.

Allah, secara terperinci dan eksplisit, menyatakan dalam kitab suci-Nya akan Ahli Kitab bahwa iktikad mereka didasarkan pada perbuatan syirik, sepertt kata mereka, dalam firman Allah: "…bantu-membantu Allah itu yaitu al-Masih putra Maryam ."(al-Ma’idah, 5;17), dan mereka juga berkata ,"…bahwa Allah yang ketiga dari trinitas …″ (al-Ma’idah,5: 73), dan mereka berkata lagi:"..al-Masih putra Allah…″(al-Taubah, 9:30). Begitu pula dengan orang –orang Yahudi berkata, disebutkan dalam firman Allah:"….Uzair putra Allah…″(al-Maidah,9:30). Apa yang telah mereka lakukan itu yakni tindakan syirik, tetapi al-Qur’an sebagi wahyu yang datang langsung dari Allah telah memilih dan menempatkan kata dari ungkapan yang sungguh tepat sekali, maka al-Qur’an tidak pernah menyebutkan mereka seluruhnya itu dengan kata "musyrik" selaku panggilan dan istilah bagi mereka. Mereka tetap diundang Allah dengan istilah Ahli Kitab. [20]Karena kemusyrikan tidak secara otomatis melekat pada institusi sebuah agama.

Hal yang dapat dimengerti dengan baik dari ayat- ayat al-Qur’an di atas adalah bahwa setiap perbuatan syirik tidak menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik. Karena pada kenyataannnya Yahudi dan Nasrani sudah melaksanakan perbuatan syirik , tetapi Allah tidak mengundang dan menyebut mereka selaku musyrik, tapi dipanggil dengan Ahli Kitab. Sebuah analogi logis dapat pula kita kembangkan yaitu bahwa orang-orang Islampun mampu melakukan tindakan syirik, dan memang kenyataannya ada, namun mereka tidak dapat disebut sebagai kaum musyrik. Sebab selaku konsekuensi logisnya, jikalau salah seorang suami-istri dari keluarga muslim sudah disebut musyrik, perkawinan mereka batal dengan sendirinya dan wajib cerai, namun realita ini tidak pernah diterima. Betapa banyak terdapat dalam kenyataan hidup ini pada orang-orang beragama, termasuk orang-orang muslim, melakukan perbuatan syirik dalm kehidupan sehari-harinya Kemusyrikan itu tampakdari firman Allah, artinya, “Sembahlah Allah, dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatupun…” (QS.4:36). Menyembah dan menimbulkan Tuhan-ilahi lain selain Allah adalah tindakan syirik, bahkan ada orang-orang yang menyebabkan hawa nafsunya sebagai Tuhan :"Tidakkah engkau mengetahui orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya"(QS.45:23). Artinya, orang yang mempertuhankan hawa nafsu, harta, kedudukan, dan lain sebagainya, telah melakukan tindakan syirik. [21]

Dapatkah pelaku-pelaku syirik ini dikategorikan sebagai kaum musyrik, dan diharamkan mengawininya oleh orang-orang Islam? Kami berpendapat tidak! Surat al-Baqarah, 2:221 tidak mengatakan dengan kemusyrikan seperti itu. Kesimpulan yang dapat diambil ialah bahwa setiap perbuatan syirik tidak secara pribadi menjadikan pelakunya sebagai musyrik, tetapi sebaliknya setiap orang musyrik telah jelas pelaku syirik.

Karena itu perlu diidentifikasi mengenai siapa sebetulnya yang dikategorikan oleh al-Qur’an selaku musyrik, yang kemudian haram dikawini oleh orang-orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab Samawi, baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih orisinil; disamping tidak seorang Nabipun mereka percayai.[22] Adapun Ahli Kitab adalah orang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab Samawi, baik yang telah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang dogma dan amalan. Sedangkan yang disebut dengan orang-orang mukmin yaitu orang-orang yang yakin dengan risalah Nabi Muhammad baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam, yang berasal dari Ahli Kitab atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja.[23]

Begitu jelasnya perbedaan antara kaum musyrik dengan Ahli Kitab, sehingga kita dilarang mencampuradukkan makna dan arti antara keduanya; dimana musyrik diartikan Ahli Kitab dan Ahli Kitab diartikan musyrik. Bila Allah mengharamkan mengawini perempuan musyrik, mirip yang terdapat pada surat al-Baqarah: 221, “janganlah kau menikah dengan wanita-perempuan musyrik sebelum mereka beriman….” Maka tidak sempurna jikalau ayat al-Qur’an itu dimengerti bahwa yang dimaksudkan dengan perempuan Musyrik itu ialah wanita Ahli Kitab. Bahkan Imam Muhammad Abduh lebih spesifik dan terperinci beropini, sebagaimana dinukilkan oleh sang murid, Rasyid Ridha, bahwa wanita yang haram dikawini oleh laki-laki muslim, dalam al-Baqarah 221, itu adalah wanita-perempuan Musyrik Arab. Apakah masih ada hingga sekarang orang-orang seperti Musyrik Arab itu? bila ada, aturan dapat berlaku, tetapi bila tidak maka dengan sendirinya tidak ada satu doktrin dan agamapun yang menjadi kendala dalam melaksanakan perkawinan.[24]

Karena itu, persepsi yang memasukkan non-Muslim selaku musyrik ditolak dengan beberapa argumentasi berikut: pertama, dalam sejumlah ayat yang lain al-Qur’an membedakan antara orang-orang musyrik dan jago kitab (Katolik dan Yahudi). Dalam beberapa ayatnya, al-Qur’an menggunakan huruf “waw” yang dalam kaidah bahasa Arab disebut “athfun”, yang memiliki arti pembedaan antara kata yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Atas dasar ini, terdapat perbedaan antara kata musyrik dengan hebat kitab. Abu Ja’far ibn jarir al-thabari dalam jami’ al-bayan al-ta’wil al-qur’an, tergolong salah seorang ulama terkemuka yang menafsirkan “musyrik” sebagai orang-orang yang bukan andal kitab. Musyrik yang dimaksud dalam al-baqarah 221 sama sekali bukan Kristen dan yahudi. Yang dimaksud musyrik dalam ayat tersebut adalah orang musyrik arab yang tidak memiliki kitab suci.[25] Kedua, larangan menikahi “musyrik”, alasannya dikhawatirkan perempuan musyrik atau pria musyrik memerangi orang-orang islam. Ketiga, dalam masyarakat arab terdapat tiga kalangan masyarakat yang disebut kalangan lain, ialah musyrik, Nasrani, dan yahudi. romawi dan Persia. Yang membedakan kelompok Nasrani, yahudi, musyrik ialah pedoman monotheisme. Musyrik tampaknya murni sebagai kekuatan politik, sedangkan yahudi dan Kristen adalah mereka yang sedikit banyak mempunyai persinggungan teologis dengan Islam. [26]

2. Ahli Kitab
Ibn Umar salah seorang sobat Nabi, mempunyai pendapat menyamakan antara kaum Musyrik dan Ahli Kitab dan mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan-permpuan mereka. Akan tetapi nyaris seluruh sobat Nabi, tabi’in , ulama-ulama abad awal dan kontemporer tidak sependapat dengan Ibnu Umar, bahkan bertentangan dengan praktek para sahabat dan tabi’in.[27]

Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa Ahli Kitab adalah Yahudi dan Kristen, dan kebolehan menikah dengan wanita-wanita mereka hanyalah mereka yang berada dalam Darul Islam. Akan tetapi para teman dan tabi’in tidak sependapat dengan Abdullah bin Abbas. Sebab, sekalipun dalam suasana perang tidak ada diantara mereka yang beropini bahwa kawin dengan wanita Ahli Kitab haram, karena surat al-Maidah mengijinkan perkawinan tersebut secara lazim.

Imam syafi’i beropini, bahwa Ahli Kitab hanya terbatas pada orang-orang Yahudi dan Kristen dari Bani Israil saja, sedangkan dari bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Kristen tidak tergolong Ahli Kitab. Karena Nabi Musa dan Nabi Isya diutus cuma pada Bani Israil saja, bukan terhadap bangsa-bangsa yang lain.[28]

Imam Abu Hanifah dan lebih banyak didominasi ulama fiqh berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan maka beliau tergolong Ahli Kitab, dan tidak disyaratkan Yahudi dan Katolik. Bila ada orang yang cuma percaya kepada Shuhuf Nabi Ibrahim atau Zabur saja, maka iapun tergolong Ahli Kitab. Bahkan diantara Ulama Salaf ada yang beropini bahwa setiap umat yang memiliki kitab dapat disangka selaku kitab Samawi, maka mereka juga ialah Ahli Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.

Dalam kitab klasik pun disebutkan orang-orang Majusi mempercayai kenabian Zoroaster dan Allah , menurunkan wahyu kepadanya selaku kitab suci yang berjulukan Zend Avesta. Orang-orang beragama Sabian, yakni agama dari golongan ginostik, atau yang mengenal kehidupan Agung, kitab suci mereka bernama Ginza mereka mempercayai bahwa Hernes, Plato dan beberapa filosuf dan semua pembawa syariat sudah mendapatkan wahyu Samawi dari Allah yang ajarannya mengandung perintah larangan, surga, neraka. Karena tingginya pemikiran mereka, terutama pemikiran etika dan bersesuaian dengan aliran agama, maka pemikir Islam, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Aristoteles seorang filosuf Yunani yaitu seorang manusia yang bersifat Ilahi (seorang Nabi).[29]

Dalam pandangan ulama zaman modern, seorang pakar mirip Rasyid Ridha, menegaskan bahwa penganut agama Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai Ahli Kitab. Rasyid Ridha memfatwakan bahwa pria muslim diharamkan menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221 ialah perempuan musyrik Arab era kemudian. Itulah pertimbangan mufassir Ibn Jazir Al-Thabari. Sedangkan orang-orang Majusi, Sabian, penyembah berhala di India, China dan semacam mereka, mirip orang-orang Jepang ialah Ahli Kitab, yang kitab mereka mengandung paham monotheisme (tauhid) hingga sekarang. Karena itu halal menikahi perempuan-perempuan mereka. Jadi dapat ditegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan lainnya, selain musyrik Arab mesti diperlakukan selaku Ahli Kitab, dengan halal menikahi wanita-perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka.[30]

3. Perkawinan Perempuan Muslimah Dengan Non Muslim
Dalam problem ini terdapat masalah serius, sebab tidak ada teks suci, baik al-Qur’an, Hadits atau kitab fiqh sekalipun yang memperbolehkan ijab kabul seperti itu. Tapi mempesona juga untuk dicermati, alasannya tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru Hadits yang tidak begitu terperinci kedudukan nya, Rasulullah bersabda, kami menikahi perempuan-wanita Ahli Kitab dan pria Ahli Kitab dihentikan menikahi wanita-perempuan kami (muslimah). Khalifah Umar Ibn Khattab dalam sebuah pesannya, seorang muslim menikahi perempuan Katolik, akan tetapi laki-laki Katolik dihentikan menikahi perempuan muslimah.[31]

Setelah diteliti, Hadits yang disebutkan di atas dikomentari oleh Shudqi Jamil al-‘Athar selaku hadis yang tidak sahih. Hadis tersebut tergolong Hadis Mauquf yaitu Hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al-Syafi’i dalam kitabnya, al-Umm. Sedangkan ungkapan Umar Ibn Khattab merupakan sebuah ungkapan kegalauan kalau wanita-wanita Muslim dinikahi pria non muslim, maka mereka akan pindah agama. Dan umat Islam pada ketika itu memerlukan kuantitas dan sejumlah penganut yang setia.

Makara, soal pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslim ialah wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada ketika itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar ketika ini, sehingga ijab kabul antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya selaku aturan yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan usulan gres, bahwa wanita muslim boleh menikah dengan pria muslim, atau ijab kabul beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan ajaran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa al-Qur’an sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama Samawi dan mereka membawa fatwa amal saleh sebagai orang yang hendak bersama-Nya di surga nanti. Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkan perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda supaya satu dengan yang yang lain saling mengenal. Dan akad nikah antar beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut agama mampu saling berkenalan secara lebih dekat.[32]

Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya akad nikah ialah untuk membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah rentannya korelasi antar agama saat ini, ijab kabul beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.

Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dikerjakan oleh al-Qur’an sejak larangan pernikahan dengan orang musyrik , kemudian membuka jalan bagi akad nikah dengan Ahli Kitab ialah sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita mesti melihat agama lain bukan sebagai kelas dua.[33]

BAB III
PENUTUP
Makalah Pernikahan Beda Agama

Pernikahan beda agama yaitu sebuah perkawinan antara pria dan wanita yang berlawanan agama dan kepercayaannya. Dalam Islam, menikah dengan Ahli Kitab itu diperbolehkan sedangkan dengan musyrik sama sekali dilarang. Walaupun ijab kabul beda agama pernah dipraktekkan oleh Nabi, para teman dan para tabi’in, Abdullah bin Umar berpendapat bahwa menikahi wanita Yahudi atau Kristen itu tidak diperbolehkan. Menurut Mazhab Liberal non-Muslim berbeda dengan musyrik hal itu dapat dilihat dari beberapa alasan yang telah mereka ejekan. salah satu argumentasi mereka ialah bahwa yang dimaksud “musyrik” dalam al-baqarah 221 sama sekali bukan Katolik dan Yahudi. Tapi orang musyrik Arab yang tidak mempunyai kitab suci. Kaprikornus menurut mereka boleh menikah dengan non muslim. Selain itu berdasarkan Rasyid Ridha, bahwa penganut agama Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan agama-agama lain mampu dikategorikan selaku Ahli Kitab, alasannya mereka bukan tergolong musyrik Arab. Makara menikahi perempuan-perempuan mereka yaitu halal.

Mau lihat foot note klik disini

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Dimyati, I’anat Al-thalibin, juz III, Indonesia: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t.
  • Abi Abd Allah Muhammad Ibn Idris as-Syafi’I, Al-umm, jil. V, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
  • Abu Al-Ainain Badran, Al-Alaqah Al-Ijtima’iyah Wa Ghair al-Muslimin (Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, t.t.), h. 29-31, dikutip oleh Zainun Kamal, Kawin Antar Umat Beragama, makalah langsung.
  • Abu Al-A’la Al-Maududi, Al-Islam fi Mawajahah Al-Tahaddiyah Al-Mu’assharah, Kuwait: Dar Al-Kalam, 1983
  • A. Rahman I Doi, Penjelasan Tentang Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002.
  • Ahmad Munjab Mahali, Asbab-an-Nujul, Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta:Grafindo Persada, 2002.
  • Al-Jaziri Abdur Rahman, Kitab al-Fiqh, ala Mazhahi al-Arba’ah, Vol. IV, Kairo, 1970
  • Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Samara Mandiri, 1999
  • Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur’an, Jakarta : Bulan Bintang, 1991
  • Ibn Hazm al-Andalusi, Al-Mahalla bi al-Asar, jil. XI, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995.
  • Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir (terj) Dr. Abdullah bin Muhammad, Abdurrahman bin Ishaq, Pustaka Imam Syafi’I, 2002
  • Jamil Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina (Beirut: Dar Al-Andalus, 1981), h. 47, dikutip oleh Zainun Kamal, Kawin Antar Umat Beragama, makalah langsung.
  • Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina berhubungan dengan The Asia Foundation, 2004
  • Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jil. V, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t
  • M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.
  • Nasrul Umam syafi’I & Ufi Ulfiah, Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama? Semarang: Qultum Media, 2004.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon