Senin, 30 November 2020

Makalah Sekte-Sekte Dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Sekte-sekte dalam Islam

Munculnya sekte-sekte dan pemikiran akidah tersebut diawali dari sebuah gerakan-gerakan yang ingin berusaha melakukan rekonstruksi, purifikasi, penemuan dan lain sebagainya kepada anutan-pedoman konvensional dan normatif dalam sebuah agama atau doktrin tertentu. Tapi kerap kali, perjuangan-usaha yang dilakukan kadang kala membuat suatu pemikiran-aliran yang menyimpang jauh dari agama asalnya, sehingga sekte-sekte yang meningkat tersebut jadinya menciptakan sebuah aliran-aliran dan bahkan menyebabkan sebuah agama yang baru pula.  Makalah ini nantinya akan memperlihatkan sedikit klarifikasi mengenai doktrin dan agama secara sekilas, ditambah dengan deskripsi tentang kedatangan dan pertumbuhan sekte-sekte dan pemikiran doktrin yang datang dalam sebuah masyarakat atau komunitas agama, akan menjadi pembahasan utama dari goresan pena ini.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Sekte-sekte dalam Islam

A. Tentang dogma dan agama
Tulisan ini akan diawali dengan sebuah pertanyaan sederhana, mengapa manusia itu harus beragama? tanggapan yang mungkin benar bahwa agama ialah fitrah (keperluan dasar) insan. Ini dikarenakan manusia ialah makhluk yang lemah dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupannya, untuk itu ia membutuhkan suatu kekuatan baru. Kekuatan gres itu tidak timbul dari dirinya, maka muncullah cita-cita yang bermuara pada keyakinan.[1] Makara, keyakinan merupakan awal dari agama. Sebelum seseorang beragama, tentunya beliau harus percaya dulu dengan agama yang hendak dianutnya, setelah percaya dan percaya baru lalu mengamalkan pedoman-pedoman agama tersebut. Agama berkaitan dengan doktrin terhadap sesuatu yang gaib (numinous) dan suci (sacred)[2], sehingga insan yang lemah itu percaya bahwa sesuatu yang suci tersebut akan dapat membantunya dalam menangani berbagai duduk perkara dalam kehidupannya.

Rudolf Otto, dalam bukunya The Idea of Holy (1917) yakin bahwa rasa ihwal suatu yang gaib ini (numinous) yaitu dasar-dasar dari agama: “perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menerangkan asal-usul dunia atau menemukan landasan bagi sikap beretika: Kekuatan gaib dirasakan oleh insan dengan cara yang berlawanan-beda. Terkadang menginspirasikan kegirangan liar dan memabukkan, kadang kala ketenteraman mendalam, kerap kali orang merasa kecut, kagum dan hina dihadapan kedatangan kekuatan misterius yang menempel dalam setiap faktor kehidupan”.[3]

Akibat dari rasa percaya manusia pada sesuatu yang mistik tadi balasannya menimbulkan iktikad kepada tuhan, dewa-dewa dan roh-roh. Konsekuensi yang timbul dari keyakinan ini adalah hadirnya pemujaan (cult) dan ibadat-ibadat yang dilakukan dalam bentuk yang bermacam-macam, sesuai dengan dogma yang dianutnya. Di sini, iktikad tersebut berkembang membentuk lembaga-forum, seperti upacara-upacara peribadatan, adanya pemimpin agama, kitab-kitab suci, ajaran-pemikiran yang berisi perintah dan larangan dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, kepercayaan nantinya memunculkan agama, sehingga agama, sebagaimana sudah diterangkan di atas mampu diartikan sebagai bentuk kepercayaan-dogma yang dilembagakan dan terstruktur.

Menarik usulan DR Ibnu Hajar bahwa kepercayaan itu yang melahirkan agama, bukan agama yang melahirkan akidah. Sebuah pernyataan yang tepat, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa setiap orang yang mendapatkan wahyu ilahi untuk menyampaikan suatu agama terhadap umat manusia, apalagi dahulu beliau harus yakin dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jika tidak ada doktrin kepada wahyu, agama tidak akan timbul dan meningkat seperti sekarang ini.

Selanjutnya agama meningkat dengan berbagai dimensinya. Berbicara wacana agama, maka kita akan memasuki wilayah yang cukup luas. Mulai dari jenis agama yang bermacam-macam, defenisi yang bermacam-macam dan pendekatannya yang berlapis-lapis,[4] agama juga memasuki kawasan ilmu pengetahuan dan menjadi budaya. Persentuhan agama dan ilmu wawasan, melahirkan banyak sekali disiplin ilmu yang bervariasi pula, mirip sejarah agama, sosiologi agama, filsafat agama, antropologi agama dan seterusnya.

Dalam sejarah umat insan, agama memiliki tugas penting bagi peradaban insan. Bagi sebuah masyarakat, agama dijadikan selaku ajaran-fatwa yang dapat menjinjing insan terhadap derajat yang tinggi. Maulana Muhammad menyatakan bahwa: “agama ialah kekuatan yang telah merealisasikan pertumbuhan manusia mirip sekarang ini. Seorang Ibrahim, seorang Musa, seorang Isa, seorang Krisna, seorang Budha, seorang Muhammad, secara bergiliran dan sesuai dengan derajatnya masing-masing, telah mengubah sejarah manusia dan mengangkat derajat mereka dari lembah kehinaan menuju puncak ketinggian budpekerti yang tak pernah diimpikan”.[5] Oleh alasannya adalah itu, salah satu tujuan agama ialah untuk menciptakan manusia yang mempunyai nilai-nilai yang mampu menjadikan insan tersebut berbudi pekerti luhur dan mulia, sesuai dengan aliran-pedoman agama yang dianutnya masing-masing.

Namun dalam perjalananya, agama-agama yang memiliki tujuan mulia tersebut, ternyata tidak semua dapat bertahan dengan berbagai dinamika yang kian kompleks, sehingga ajaran-ajarannya yang dianggap mapan, ternyata bisa diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu yang muncul dari agama tersebut. Pertanyaan yang lalu timbul yaitu, bagaimana agama dapat melahirkan sekte-sekte atau ajaran-pemikiran gres dari agama tersebut, sehingga tak jarang aliran-pemikiran atau sekte tersebut berkembang menjadi agama gres yang pedoman-ajarannya bisa begitu jauh berlainan dari nilai-nilai agama asalnya? Berikut ini akan dibahas sedikit perihal sekte-sekte dan aliran (gerakan) doktrin dalam agama dengan berbagai dinamikanya.

B. Sekte dan Aliran Kepercayaan
Karena muncul dari dari sebuah iman atau agama, maka sekte-sekte atau anutan-fatwa keagamaan merupakan konteks yang tidak mampu dipisahkan dari kajian agama dan kajian dalam ilmu-ilmu sosial, karena menyangkut individu dan sekelompok orang yang aktif di dalamnya. Beberapa andal dalam hal ini menjajal mengklasifikasi aliran-anutan tersebut. Soemarno W.S. bareng hebat riset yang lain menggolongkannya terhadap tiga jenis, yakni:

Golongan iktikad perorangan, ialah golongan yang berisikan satu dua orang yang melakukan keyakinan untuk kepentingan diri pribadi tanpa perjuangan perluasan terhadap orang lain. Golongan perguruan tinggi dogma, yang mendapatkan murid dan mempropagandakan ajarannya. golongan perdukunan, di mana ilmu perdukunan dan pengobatan asli dipraktekkan bagi penduduk yang memerlukannya.[6]

Dari penggolongan di atas, diketahui bahwa sekte-sekte, gerakan iktikad, pemikiran kebatinan dan lain-lain, masuk kedalam jenis yang pertama dan kedua, namun bukan berati bahwa jenis yang ketiga terbebas pengklasifikasian tersebut. Bisa jadi jenis yang ketiga memiliki kesempatanuntuk menjadikan pedoman-fatwa yang mampu mewujudkan aliran-fatwa keyakinan yang gres. Uraian di bawah ini, akan membahas mengenai sekte-sekte dan pedoman-pemikiran doktrin tersebut.

Kata sekte berasal dari bahasa Latin “secta” yang berarti “golongan yang mengikuti” (sequi) dan dalam ungkapan Inggris disebut sects. Pada mulanya sekte digunakan untuk ajaran filsafat, agama, atau partai dengan ajaran atau kebiasaan khusus yang menyimpang dari golongan secara umum dikuasai.[7] Para anggota sekte lazimnya akan memilih sisi-segi tertentu dari sebuah anutan dan menolak lainnya dari ajaran agama seluruhnya.

Dalam sejarah agama-agama besar dunia, sekte-sekte atau aliran tertentu bukan ialah barang baru. Dalam agama Islam antara tahun 1090 hingga 1275 ada suatu organisasi yang bernama The Assasin (Hasyasyin/Nizariah) yang dipimpin oleh Hasan al-Sabbagh yang bertahan kurang lebih dua era lamanya.[8] Sekte ini merupakan gerakan sempalan syiah Ismailiah yang bermarkas di Iran. Ciri khas dari sekte ini adalah mereka menyantap sejenis tanaman yang mampu menghilangkan kesadaran pemakainya sehingga berani untuk melakukan penculikan dan pembunuhan. Begitu juga dengan agama Nasrani, pada periode pertama telah ditemui pendeta-pendeta artifisial yang menerapkan aliran-fatwa yang menyimpang dari ajaran gereja.[9] Begitu juga dengan agama-agama lainnya mirip Yahudi, Hindu, Budha, dan lain sebagainya, masing-masing mempunyai golongan keagamaan yang menyimpang dari fatwa agama asalnya.

Konsep sosiologi mengenai sekte dan ajaran (gerakan) akidah biasanya mengacu pada kelompok religius, kecil maupun besar, dari bentuk organisasi yang sederhana maupun yang rumit, yang oleh anggota dan bukan anggotanya dianggap suatu penyimpangan dalam hubungannya dalam konteks iktikad dan budaya yang lebih luas. Penyimpangan tersebut mempunyai konotasi negatif bagi non-pengikut, namun berkonotasi aktual bagi para pengikutnya. Sehingga penyimpangan ini ialah ciri khas yang tetap dipertahankan oleh masing-masing pengikut suatu anutan.

Ada dua alasan mengapa selama ini sekte lebih sering dipelajarai daripada ajaran (gerakan) keyakinan. Pertama, untuk kebutuhan tertentu, ternyata tidak penting membedakan keduanya, dan para ilmuan sosial biasa menggunakan istilah “sekte” untuk menyebut pemikiran-aliran tersebut. Kedua, meskipun sekte sudah dikenal selaku perumpamaan yang merendahkan, (umat Katolik telah usang menggunakan istilah ini untuk menyatakan tindakan murtad yang menyimpang dari doktri resmi) para hebat sosiologi kurun 20 sudah memakai istilah tersebut tanpa menyiratkan evaluasi apapun. Orientasi ini timbul dari persepsi para ilmuan bahwa beberapa gerakan sekte memberi pengaruh amat penting terhadap kemajuan konsepsi Barat ihwal individualisme, organisasi relawan, dan demokrasi terutama sekte-sekte protestan periode 17.[10]

Di sisi sebaliknya, ajaran akidah (cults) tidak memilki dampak kreatif pada penduduk . aliran keyakinan tidak mau menjadi golongan terpencil. Mereka memperlihatkan laba konkrit dan khusus pada pengikut, jadi bukan persepsi konprehensif ihwal keselamatan sebagaimana biasanya disampaikan sekte-sekte religius. Upaya membedakan sekte dan gerakan (ajaran) dogma menjadi semakin rumit pada awal tahun 1970-an, alasannya kian maraknya kalangan “pergerakan agama gres” yang kontroversial.[11] Para wartawan dan pemimpin gerakan kemudian menjulukinya sebagai gerakan akidah yang bermaksud untuk mendorong kendali aturan atas berbagai kegiatan mereka, terutama teknik dan tata cara konversi dalam memeprtahankan kandidat pengikut. Namun banyak gerakan baru ini lebih sempurna disebut sekte dari sudut pandang sosiologis.

Kajian modern perihal kalangan agama yang menyimpang pertama kali muncul di Jerman pada permulaan masa ke-20 oleh Max Weber dan Ernst troeltsch. Sebagai ahli sosiologi, Weber kesengsem pada donasi sekte Katolik pada konsep rasionalitas modern dan ekonomi individu. Troeltsch, selaku jago teologi yang memahami sosiologi, secara khusus kesengsem pada sejarah Katolik di mana terdapat relasi saling efek antara ortodoksi gereja dengan heterodoksi sektarian (serpihan dari iktikad resmi).[12] Setelah Weber dan Troeltsch, para pengkaji masalah gerakan religius sejak pertengahan masa 20 kesengsem pada banyak masalah.

Salah satunya ialah peneliti Amerika berjulukan Jessica Stern dalam bukunya Terror in the Name of God: Why Religious Millitants Kill (2003) mencoba meneliti bagaimana karakter manusia-insan yang menjadi pimpinan agama dan para pengikut mereka, yang dalam kenyataannya justru melakukan banyak sekali kekejaman mirip terorisme, pembunuhan, dsb., sehingga mereka bisa menjadi lebih jahat (evil) dibandingkan dengan kejahatan yang konon ingin mereka berantas itu sendiri. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana sekte-sekte tersebut sukses melaksanakan indoktrinasi kepada anggotanya sehingga mereka punya pemahaman yang berpengaruh tentang aliran yang diterimanya. Sebagai acuan, penganut sekte tertentu di Amerika Serikat diindoktrinasi dengan akidah bahwa orang-orang kulit gelap (Negro) yakni keturunan kera yang bergelantungan dari pohon ke pohon dengan ekornya.[13]

Tetapi orang-orang semacam apakah yang mampu diindoktrinasi mirip itu? Menurut Stern, mereka yaitu orang-orang ambivalent, galau memandang abad depannya, dan tidak tahu harus memilih jalan yang mana. Mereka bisa berisikan orang-orang yang secara sosial-ekonomi kurang punya harapan ke era depan, namun mampu juga dari orang-orang muda, termasuk dari kalangan berakal, yang merasa tersisihkan dari keluarganya, atau tidak puas kepada pemerintah dan sebagainya.[14] Sejajar dengan hal itu, alasan orang kepincut pada suatu sekte disebutkan antara lain: kebutuhan untuk mengaktikan emosionalitas dalam ibadat dan korelasi yang hangat dalam umat atau komunitas yang relatif kecil. Dalam beberapa sekte, anggota-anggotanya merasa diterima sepenuhnya, ikut dalam pengurusnya, mampu menyumbang pada ibadatnya dan lain sebagainya.[15]

Istilah sekte sering menyiratkan pengertian jelek, dan perumpamaan gerakan akidah utamanya berkaitan dengan sifat kontroversial dari berbagai praktek gerakan-gerakan ini. Sebagian diantaranya dituduh melakukan usaha ‘mencuci otak’ pera pengikutnya atau terlibat dengan prilaku seksual yang menyimpang. Gerakan ini kadangkala terjerumus dalam tindak kekerasan fisisk yang tragis, kasus-perkara populer yang terjadi di dunia Barat menawarkan tindak bunuh diri, atau pembunuhan massal lebih dari 900 pengikut People’s Temple di Jonestown, Guyana tahun 1978; maut 78 anggota Branch Davidians di Waco, Texas tahun 1993; dan maut sekitar 50 anggota Solar Temple di Chiery, Swiss tahun 1993.[16]

Strategi yang digunakan para pemimpin sekte atau kelompok keagamaan yang menyimpang untuk untuk meninggikan citra diri semoga dihormati dan disegani oleh para anggotanya, antara lain dengan mengajarkan ihwal hari akhir zaman dan pengadilan selesai yang menyebabkan kecemasan di satu pihak dan usulan sumbangan yang mampu diberikan oleh sekte agama tersebut di pihak lain. para anggota pun diharuskan untuk saling melindungi rekannya sekelompok dari ancaman pengaruh dari luar. Yang gagal melakukan ini, akan ditegur dan dipermalukan di depan anggota-anggota yang lain, dan untuk memastikan eksklusivisme mereka, lazimnya mereka menentukan tempat yang juga eksklusif dan terisolir.

Misalnya pada tahun 1985, di sebuah kawasan pinggiran di negara bab Arkansas, sejumlah 200 orang anggota pasukan pemerintah AS, mengepung suatu pemukiman yang terisolir dari keramaian, yang dihuni oleh pengikut sekte Katolik yang bernama CSA (Convenant, the Sword and the Arm of the Lord) yang dipimpin oleh pendeta James Ellison. Kelompok sekte ini telah mengantisipasi serangan lawan dari luar, yaitu dengan cara menyebar ranjau di sekeliling pemukiman mereka, dan menawarkan materi pangan untuk penghuni dalam pemukiman yang cukup untuk lima tahun.[17]

Bagaimana cara James Ellison mampu mengumpulkan anggotanya yang begitu fanatik dan mau melaksanakan apa saja yang diperintahkannya? Salah satu caranya ialah dengan membuat aliran sendiri yang menawan, sebab menunjukkan penyelesaian yang tegas dan jelas. Ajaran yang diciptakan sendiri ini, dilakukan juga dengan cara meramu banyak sekali ajaran menjadi satu. Shoko Ashara, pemimpin sekte Aum Shinrikyo, misalnya, meramu doktrinnya menurut gabungan pemikiran-pedoman Hindu, Budha dan Katolik. Untuk mempertahankan legitimasi otoritasnya, dia meminta kesetiaan penuh anggota-anggotanya. Dalam aliran-fatwa yang diciptakan sendiri itu, dikembangkan pula iktikad-iktikad yang mengajarkan bahwa pemimpin sekte adalah manusia hebat, yang tidak mampu melakukan kesalahan (dalam istilah Islam disebut ma’sum) seperti Yesus dan nabi-nabi. Karena itu, ia boleh saja melaksanakan hal-hal yang menyimpang tanpa disalahkan, contohnya melaksanakan hubungan seks partner manapun yang dia sukai, meminta agar anggota-anggotanya menyerahkan seluruh kekayaannya kepadanya dan sebagainya. [18] penyerahan harta kekayaan ini juga terjadi dalam sekte Kiamat-pondok Nabi, pimpinan Mangapin Sibuea di Bandung.[19]

Bagaimana dengan Indonesia?, tidak jauh berlawanan juga, bahkan sekte-sekte dan anutan-pemikiran doktrin meningkat dengan pesatnya. Misalnya: sekte Lia Aminuddin, sekte akhir zaman-pondok nabi pimpinan Mangapin Sibuea, pemikiran Madi di Sulawesi, Parmalim di Sumatera Utara dan seterusnya. Pada tahun 1965 tercatat lebih dari 300 sekte atau ajaran-aliran iktikad yang ada di Indonesia,[20] jika disertakan dengan ajaran-fatwa yang meningkat belakangan ini, maka jumlahnya tentu lebih banyak lagi. Menurut Mustofa, kriminolog Universitas Indonesia menyatakan, munculnya pedoman-fatwa sesat atau “nyeleneh” dalam suatu agama mampu berawal dari ketidak puasan kepada status quo. Kemapanan aliran atau mazhab tertentu mampu jadi teramat membosankan bagi sebagian kalangan. Sehingga mereka pun mencoba mencari bentuk baru yang lebih pas sekurang-kurangnyabagi dirinya. Apalagi, agama menyerupai seni, kepuasan tiap individu berbeda saat beribadah. Terlebih, sekarang individualisme makin tak terelakkan.[21]

BAB III
PENUTUP
Makalah Sekte-sekte dalam Islam

Pada hakikatnya agama menawarkan pelayanan kepada manusia untuk menjalani kehidupan yang bagus dan keselamatan di dunia dan akhirat. Namun dalam prakteknya, manusia terkadang menafsirkan pemikiran-pemikiran agama tersebut kedalam banyak versi, sehingga muncul dari sebuah agama sekelompok orang yang menyimpang dari ajaran-ajaran resmi dari agama tersebut. Maka muncullah yang disebut sekte, gerakan kepercayaan, aliran kebatinan, dan lain sebagainya. Namun, dibalik hadirnya sekte-sekte tersebut, mampu menjadi pelajaran berharga dan faktor kajian yang cukup mempesona, khususnya dalam kajian ilmu sosial ihwal agama.

MAU LIHAT FOOTNOTENYA..? klik disini

DAFTAR PUSTAKA
  • Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
  • A. Heuken S.J. Ensiklopedi Gereja, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1994
  • Ensiklopedi Islam, Jilid I, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2003
  • Hadi Rahman dalam Forum Keadilan, 5 juni 2005
  • Jessica Stern, Terror in the Name of God; Why Religious Millitants Kill, Harper Collin Publisher, New York, 2003
  • Maulana Muhammad Ali, Islamologi, Darul Kutubiah Islamiah, Cet. Kelima, Jakarta, 1996
  • M. Habib Mustopo, Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya, Usaha Nasional, Surabaya, 1988, h. 59
  • Nur Ahmad Fadhil Lubis, Agama Sebagai Sistem Kultural, IAIN Press, Medan, 2000
  • Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung, 2001
  • Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kebatinan, Kerohanian, kejiwaan, Kanisius, Cet. Kesebelas, Yogyakarta, 1995

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon