Makalah Perkembangan Pemikiran Islam Iran: Wilayatul Faqih
Pendahuluan
Perbincangan perihal konsep Wilayatul Faqih cukup marak tamat-simpulan ini. Akan tetapi sebagian barangkali tidak memahaminya dengan baik. Pada ketika yang sama, musuh-musuh Islam sengaja melakukan penafsiran yang menyimpang dan berlawanan dengan desain aslinya. Karena itu ialah sangat perlu bagi kita mengerti desain ini dengan benar, baik dari segi ilmiah maupun dari sisi fiqhiyyah-nya, agar kita dapat menyaksikan betapa bermaknanya desain ini. Makalah ini akan mengurai tentang Wilayatul Fakih serta beberapa kajian yang terkait dengannya.
Pembahasan
A. Pemerintahan Islam Syi’ah Iran
Iran yakni suatu negara yang mayoritas orangnya bermazhab Syi’ah.[1] Dalam mazhab Syi’ah, tema secara umum dikuasai dalam dilema politik yaitu masalah imam. Menurut mazhab Syi’ah Rasulullah saw. Telah menunjuk penggantinya. Karena secara umum dikuasai penduduk negara Iran yakni penganut mazhab Syi’ah, maka mobilitas sosial ditentukan oleh faham kesyi’ahan tersebut. Dengan demikian pemerintahan Islam ialah suatu cita-cita yang mesti ditegakkan.[2]
Untuk mengetahui perlunya menegakkan pemerintahan Islam menurut golongan Syi’ah harus ditelusuri dalam duduk perkara imamah. Masalah yang muncul kemudian ialah perihal siapa yang menggantikan imam saat ia berada dalam keghaibannya. Hal ini menjadi dilema krusial bagi mazhab Syi’ah. Pada tahun 1501, ulama lalu berfungsi dalam memilih kebijakan politik, hal ini ditandai dengan lahirnya dinasti Syafawiyah, dan pada saat itulah untuk pertamakalinya negara Persia (Iran) disebut dengan negara Syi’ah.[3]
Setelah runtuhnya dinasti Syafawiyah, negara Iran berada di bawah pemerintahan dinasti Qajar (1779-1924), yang pada ketika tersebut perluasan dunia Barat mulai masuk ke Iran. Pada saat itulah para ulama kemudian dihadapkan kepada dua tantangan: 1) terhadap Dinasti Qajar yang lebih cenderung terhadap peradaban Eropa dan 2) kepada ekspansi Rusia.[4]
Pada tahun 1907 muncullah syeikh Fazlullah Nuri yang menuntut hak para ulama untuk ikut dalam menentukan kebijakan politik. Dialah yang mengajukan ide hak lima orang mujtahid untuk memveto rencana perundang-perundangan yang berlawanan dengan Islam ke dalam konstitusi. Di samping itu, beliau juga mengajukan ide untuk dimasukkan ke dalam konstitusi bahwa semua legislasi di parlementer harus mendapat persetujuan lima orang mujtahid.[5]
Setelah pergerakan syeikh Nuri, tidak ada lagi ulama yang menyelenggarakan perlawanan terhadap pemerintahan hingga menuntut pergantian konstitusi hingga hadirnya Ayatullah Khomeini. Setelah munculnya Ayatullah, tidak hanya konstitusi yang berganti, akan tetapi seluruh perangkat pemerintahan ikut berganti. Gagasan yang diusung oleh Ayatullah ialah pemerintahan yang mengambil undang-undang dari Alquran al-Karim dan hadist serta puncak kepemimpinan dipegang oleh fakih selaku ganti imam. Ayatullah menggagas negara republik yang berlawanan dari republik berdasarkan pandangan Barat. Republik di sini yaitu cara untuk meligislasi yang ditetapkan oleh dewan fakih.[6]
B. Ayatullah Khomeini dan Alasan Pendirian Negara Islam Syi’ah
Ayatullah, dalam gagasan perlunya mendirikan negara Islam, meyakini bahwa Rasulullah saw. Telah mendirikan negara Islam yang kasatmata.[7] Di samping itu, beliau juga mengutarakan argumentasi lain bahwa sunnah dan sirah Rasulullah saw. menuntut adanya negara Islam yang berdaulat. Di samping itu, menurutnya bahwa ajaran agama Islam bukan hanya sekedar aliran ibadah saja, namun juga lengkap mencakup dilema-duduk perkara sosial. Ia berkeyakinan bahwa dalam Islam terdapat undang-undang yang lengkap, alasannya tanpa kelengkapan tersebut tidak mungkin negara Islam mampu bangkit.
Undang-undang Islam tidak akan cukup tanpa adanya negara Islam. Para pemikir politik Islam yang condong sependapat dengan Ayatullah mirip Waqar Ahmad Husaini juga menyatakan hal yang sama. Hal itu dikarenakan bahwa tanpa adanya negara Islam, maka mustahil untuk mewujudkan ekonomi Islam, hukum Islam, tata cara pendidikan Islam dan sebagainya, dan jika demikian maka Islam telah menyempit terhadap omong kosong belaka.[8] Oleh sebab itu, menurut Ayatullah, mendirikan negara Islam merupakan sebuah kewajiban.
Berdasarkan aneka macam argumentasi tersebut, mendirikan negara Islam yaitu suatu keharusan pada kurun keghaiban para imam, dan karena keabsenan imam tersebut, puncak kepemimpinan diwakili oleh para faqih yang berkompeten.
C. Konsep Wilayatul Faqih
Dalam mengerti konsep Wilayatul Faqih ini kita juga perlu memahami landasan utama rancangan ini, ialah prinsip al-wilayah al-ilahiyyah al-ammah atau otoritas umum Tuhan, wilayatun-Nabi SAW, otoritas Nabi, dan daerah al-aimmah, otoritas para imam a.s. Selain itu kita perlu mengetahui dengan benar peran konstruktif Wilayatul Faqih dalam sebuah Negara Islam. Di sini kita melihat adanya empat tipelogi pemerintahan. Pertama, Pemerintahan Individual yang bertumpu pada kekuatan, seperti pemerintahan para raja dan penguasa-penguasa tempo dulu, dimana kekuatan, kekerasan dan kesanggupan militer ialah landasan utama. Dengan kata lain, siapa yang paling besar lengan berkuasa secara militer dialah yang akan mengendalikan kekuasaan.
Jika kita melihat sejarah tempat di sekitar kita, baik pada periode sebelum atau sesudah Islam, dengan mudah kita dapat melihat bahwa pemerintahan-pemerintahannya termasuk dalam kategori tipe pertama ini. Penguasa-penguasanya memerintah dengan semena-mena. Untuk menjadi penguasa tidak ada standar khusus. Tidak penting apakah sang penguasa, yang lazimnya kepala suku atau komandan militer, seorang yang mahir memerintah atau tidak. Tapi karena beliau kuat, mampu menaklukkan tempat-tempat yang luas, maka dialah yang berkuasa. Tapi bila lalu kekuasaannya melemah, maka giliran kepala suku lain atau penguasa lokal dari keluarga lain yang sukses melaksanakan kudeta terhadap penguasa sebelumnya yang akan berkuasa dan melahirkan dinasti baru.
Demikianlah. Silih berganti kekuasaan berpindah dari tangan satu keluarga ke keluarga lain. Dari satu orang ke orang lain. Tanpa sedikit pun harus menjinjing perbaikan nasib rakyatnya, kecuali menambah penderitaan-penderitaan mereka. Tidak hanya pada masa lalu. Bentuk pemerintahan yang sama juga dapat kita lihat pada banyak pemerintahan-pemerintahan sampaumur ini. Bukankah pemerintahan-pemerintahan yang lahir melalui perebutan kekuasaan-kudeta militer yang kerap dilakukan oleh sekelompok perwira militer tertentu pada banyak negara, yang lazimnya disokong oleh negara asing tertentu, dan memerintah dengan tangan besi dan tunjangan tank dan bedil sama saja dengan pemerintahan-pemerintahan adikara tempo dahulu ? Sama sekali tidak ada bedanya.
Afghanistan (pada masa komunis) misalnya, sekelompok perwira tertentu, yang didukung sarat oleh negara ajaib tertentu (Soviet) memaksakan kekuasaan mereka pada rakyat. Tapi ketika rakyat marah dan para penguasa tidak mampu menjaga kekuasaan mereka, mereka meminta negara asing itu (Soviet) melaksanakan intervensi ke negeri mereka guna mengamankan posisi mereka. Negara yang bersangkutan, dengan dalih mempertahankan pemerintahan yang sah, menduduki Afganistan, membombardir rakyat, dan melakukan kejahatan-kejahatan. Tapi sayangnya dunia membisu saja. Kalau toh ada protes paling-paling protes mulut. Bukankah semua ini adalah penggunaan kekuatan dan kekerasan ?
Tipe kedua, Pemerintahan Individual oleh seorang shalih. Yang mengontrol persoalan negara hanya seorang, tapi seorang yang shalih. Mayoritas rakyat atau paling tidak sebagian besar mendukungnya dan mempercayainya mengontrol problem mereka. Dialah yang memilih semuanya, tapi tidak didasarkan pada kekuatan atau kekerasan mirip tipe pertama, melainkan dengan cara bijak dan adil. Pemerintahan para Nabi contohnya. Para Nabi adalah segalanya. Mereka yang mengontrol, menetapkan, dan berkuasa sarat . Tapi alasannya adalah mereka ialah orang-orang yang shalih, roda pemerintahan dilaksanakan dengan cara yang terbaik. Sesekali mungkin mereka juga melaksanakan musyawarah dengan banyak pihak, namun tetap saja keputusan terakhir di tangan mereka. Tipe pemerintahan ini hanya terbatas pada pemerintahan para Nabi dan Imam-Imam yang suci.[9] Sebab tidak ada jaminan bahwa selain Nabi dan para Imam, mereka tidak akan jatuh pada kekeliruan.
Tipe ketiga, Pemerintahan Demokrasi Liberal. Kedaulatan berada sarat di tangan rakyat ; dalam arti siapapun yang diandalkan dan diseleksi rakyat untuk menjadi penguasa, tidak menjadi duduk perkara apakah yang bersangkutan seorang filosof, pemain film, beragama atau malah seorang atheis, tapi selama rakyat sudah memilihnya, maka dialah yang berkuasa. Model kekuasaan semacam ini dianut oleh banyak negara sampaumur ini. Biasanya berlaku formula 50+1. Maksudnya jika seorang dipilih oleh separuh ditambah satu dari jumlah pemilih, maka sahlah kekuasaannya. Hal ini juga berlaku dalam penetapan undang-undang. Jika anggota legislasi memutuskan peraturan, walaupun peraturan itu bertentangan dengan norma-norma agama dan kemanusiaan, mirip yang terjadi di Inggris yang mengesahkan sikap seks menyimpang, tetapi karena berdasarkan keputusan dewan perwakilan rakyat, maka apapun bentuknya harus tetap dihormati dan dihargai selaku aturan yang sah. Inilah demokrasi gaya Barat.
Keempat, Pemerintahan Demokrasi Primer. Kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi tidak sarat sebagaimana yang dianut tipe ketiga. Melainkan terikat oleh norma-norma tertentu. Rakyat bebas menentukan pilihannya, namun dihentikan memilih sembarang orang. Harus orang-orang yang sesuai dengan hukum dan norma-norma yang berlaku. Demikian pula pada masalah perundang-undangan. Tidak semua ketetapan yang sudah disahkan oleh Parlemen mampu dibenarkan, yakni jika undang-undang itu tidak cocok dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian, baik pada pemilihan seorang penguasa maupun pada tingkat penetapan undang-undang harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Orang-orang Komunis mengklaim bahwa mereka bagian dari tipe ini karena mereka melaksanakan demokrasi yang terikat dengan norma-norma Marxisme. Tapi, terlepas dari kritik-kritik terhadap rancangan dasar komunisme itu sendiri, mereke bekerjsama tidak dapat dikatagorikan pada tipe ini. Sebab dalam prakteknya, mereka tidak beda dengan pemerintahan-pemerintahan tipe pertama.
Lalu di mana letak Pemerintahan Islam? Dengan mudah kita katakan bahwa Islam menganut tipe keempat. Inti Pemerintahan Islam atau Republik Islam bersandarkan terhadap kehendak rakyat, baik pada segi legislasi, penetapan undang-undang, maupun pada sisi hukuman, menjalankan roda pemerintahan. Akan namun tidak dalam arti sarat mirip yang diketahui demokrasi Barat, melainkan terikat oleh aturan-aturan Islam di semua tingkat kekuasaan legislasi, eksekusi, dan yudikasi.
Konsep Wilayatul Faqih sama sekali tidak bertentangan dengan penghargaan Islam yang besar atas keinginanrakyat. Bahkan justru dibangun atas dasar itu. Akan tetapi pastinya tidak sama dengan apa yang dianut oleh Barat. Sebab Barat menganut demokrasi tak terbatas, sementara Wilayatul Faqih tunduk pada hukum-hukum yang telah ditetapkan Islam. Lebih jauh, mari kita ikuti pembahasan berikut ini.
Pada dasarnya setiap negara mempunyai tiga jenis kekuasaan, adalah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada negara yang menganut metode demokrasi terikat seperti negara Republik Islam, maka dalam memutuskan undang-undang penyeleksian anggota atau tubuh eksekutif dan yudikatif telah barang tertentu terikat oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam. Sama sekali tidak boleh keluar dari Islam. Undang-undang yang disahkan oleh dewan perwakilan rakyat sama sekali dilarang bertentangan dengan Islam. Kepala Pemerintahan yang dipilih rakyat mesti memiliki kualifikasi yang tepat dengan keinginanIslam. Demikian pula anggota eksekutif lainnya serta anggota tubuh yudikatif. Seorang hakim dihentikan sembarang orang. Ia mesti menyanggupi syarat-syarat yang sudah ditetapkan Islam dalam kehakiman dan sebagainya. Karena itu tidak ada jalan bagi parlemen misalnya, mengesahkan praktek riba, sebab berlawanan dengan hukum Islam yang mengharamkan riba.
Untuk menjamin berlakunya kedua prinsip ini sekaligus dengan baik, di satu pihak menjunjung tinggi kehendak rakyat dan pada waktu yang berbarengan tidak menyalahi hukum agama Islam, maka perlu dibentuk tubuh yang mengawasi ketiga insitusi tersebut. Dalam Majelis, dewan legislatif, sudah dibentuk apa yang disebut dengan Badan Pengawas Undang-Undang. Tugas terutama yakni mengawasi jangan sampai lahir undang-undang yang berlawanan dengan Islam. Jika ada undang-undang yang berlawanan dengan Islam, mereka berhak menolak dan membatalkannya. Tapi bantu-membantu, bila semua angota dewan legislatif atau paling tidak lebih banyak didominasi angatanya yakni orang-orang yang mahir ihwal Islam, maka Badan Pengawas semacam ini tidak begitu diperlukan alasannya para anggota parlemen dengan sendirinya telah mampu melakukan pengawasan. Tapi sebab pada prakteknya sukar diwujudkan maka badan Pengawas Undang-Undang ini mutlak dibutuhkan, hal ini biar tidak terjadi penyimpangan dari norma-norma Islam.
Demikian pula terhadap pemilihan kepala negara atau presiden. Supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab maka keabsahan pemilihannya selaku presiden tergantung pada persetujuan wali faqih atau hebat agama tertinggi yang diandalkan sebagai penguasa tertinggi. Hal yang sama juga berlaku pada pengangkatan anggota Badan Yudikatif. Meskipun pengangkatan Menteri Kehakiman dilakukan oleh parlemen dan pengangkatan anggota Dewan Kehakiman Tertinggi oleh para hakim atau qadi itu sendiri, namun tetap saja keputusan terakhir ada di tangan wali faqih. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam negara Republik Islam atau negara Demokrasi Agama, kedaulatan rakyat dan kedaulatan agama bergandengan dan menjadi satu. Inilah yang kita sebut dengan Wilayatul Faqih.[10]
Di sini mungkin muncul beberapa pertanyaan. Pertama, bila demikian yang diinginkan oleh Islam, mengapa pemerintahan Nabi dan para Imam tidak demikian? Nabi dan Imam Ali a.s. misalnya, mereka menunjuk pribadi para penguasa di daerah-daerah tanpa melibatkan orang banyak. Bahkan ketiga kekuasaan : legislasi, hukuman, dan yudikasi berada di tangan mereka sekaligus. Selain itu tidak ada sama sekali kotak suara dan sebagainya. Menjawab pertanyaan ini perlu ditegaskan, terdapat perbedaan antara Nabi dan Imam dengan yang lainnya. Nabi SAW dan para imam a.s. yaitu orang-orang yang ma'shum, disucikan Tuhan dan dijamin kebenarannya, sementara lainnya tidak. Cara pandang kita kepada seorang wali faqih tidak sama dengan Nabi atau Imam. Nabi atau Imam punya perhitungannya sendiri yang berlawanan dengan wali faqih. Nabi dan para Imam melakukan musyawarah contohnya, namun musyawarah yang mereka lakukan tidak mempunyai arti untuk melepas sikapnya bila berlawanan dengan pertimbangan orang lain. Tetap saja kata terakhir ada pada Nabi SAWWW atau imam a.s. Selain itu, situasi dan keadaan pada kurun Nabi SAW dan imam a.s. berlawanan sekali dengan apa yang kita hadapi sampaumur ini. Ketika kita mengatakan ini tidak bermakna bahwa terdapat pertikaian antara hukum-aturan agama. Tapi yang dimaksud yakni perbedaan cara penerapannya.
Pertanyaan lain yang mungkin diajukan ialah : Jika mengamati kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka apa salahnya ketiga kekuasaan : legislasi, hukuman, dan yudikasi dipegang sekaligus oleh seorang faqih yang menyanggupi syarat? Dengan demikian maka bentuk pemerintahan yang dilaksanakan adalah bentuk kedua, adalah pemerintahan seorang shalih?
Menjawab pertanyaan kedua ini perlu ditegaskan bahwa yaitu kewajiban seorang faqih yang menyanggupi syarat menentukan cara terbaik pelaksanaan suatu hukum sesuai masanya, atau yang dalam perumpamaan fiqihnya diketahui dengan ungkapan "mur âtu ghibtah al-muslimin", memilih yang terbaik bagi kepentingan kaum Muslimin. Maka jika beliau menentukan lainnya, yang tidak sesuai dengan kepentingan kaum Muslimin, memiliki arti ia melaksanakan kekeliruan, dan dengan sendirinya sudah kehilangan hak memimpin.
Barangkali dari prinsip ini muncul pertanyaan, mana yang lebih baik bagi wali faqih, mengangkat seseorang selaku kepala pemerintahan tanpa meminta persetujuan rakyat banyak atau melalui kesepakatan rakyat, yaitu lewat pemilihan umum, lalu mengukuhkannya jikalau yang bersangkutan memenuhi syarat untuk itu? Mana di antara dua cara ini yang lebih selamat dari kemungkinan keliru? Mana yang lebih mendekati kebenaran? Bukankah seseorang harus mengikuti mana yang lebih baik? Rakyat ialah unsur yang paling penting dalam negara. Maka bila faqih berlangsung seiringan dengan rakyat, bukankah itu lebih baik dan juga lebih diterima rakyat?
Dengan demikian, dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara rancangan Wilayatul Faqih dengan desain kedaulatan rakyat tidak harus berseberangan. Malah bersatu dan berlangsung seiringan. yang dengan sendirinya akan menepis segala bentuk kediktatoran dan kesemena-menaan. Wilayatul Faqih bukan kehendak faqih. Pemahaman ini keliru besar dan melahirkan kesan seolah-olah Islam bertentangan dengan demokrasi. Sama sekali tidak demikian. faqih memang memiliki otoritas besar, namun bukan otoritas diktatorial. Otoritas faqih terikat pada norma-norma Islam dan dibangun atas dasar kepentingan umat.[11] Dari mana faqih mendapatkan otorifas ini? Sudah barang pasti setiap kekuasaan atau pemerintahan mesti mendapat mandat atau wewenang dari Allah SWT.
Bahkan pemerintahan Rasul sekalipun, jika tidak berdasarkan pada wewenang dari Allah, maka pemerintahannya ilegal. Karena itu Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk membentuk pemerintahan. Namun Nabi SAW gres mampu melakukannya sesudah hijrah ke Madinah, ialah sehabis semua syarat untuk itu tercukupi. Setelah Nabi SAW wafat, maka mandat pembentukan pemerintahan ini jatuh pada Imam-Imam pengganti dia. Oleh alasannya adalah itu Syi'ah meyakini bahwa wewenang membentuk pemerintahan cukup umur ini berada di tangan Imam Mahdi a.s. Akan tetapi sebab Imam Mahdi as. ghaib, sementara tidak mungkin umat Islam tanpa pemerintahan yang mengatur urusan mereka sendiri, maka wewenang itu lalu dilimpahkan terhadap para fuqaha (kata jamak : faqih), yang telah menyanggupi syarat. Imam Mahdi a.s. sendiri yang melimpahkan mandat itu kepada para fuqaha.[12]
Seseorang yang berjulukan Ya'kub Ibn lshaq mengajukan pertanyaan terhadap Imam Mahdi a.s. wacana kepada siapa mereka merujuk pada era ghaibah, periode setelah Imam Mahdi a.s. ghaib. Imam Mahdi a.s. menjawab: "Adapun kejadian-kejadian yang terjadi, maka kembalikanlah kepada perawi hadis kami (fuqaha) sebab mereka adalah hujjah bagiku dan saya yakni hujjah bagi Allah SWT." Dalam salah satu kesempatan Imam Ja'far Shadiq a.s. berkata: "Maka mereka berdua (orang yang sedang bertikai -- pen.) hendaknya mencari siapa di antara kau yang telah meriwayatkan hadits kami, meneliti yang halal dan haram serta mengerti hukum-aturan kami, lalu hendaknya mereka membuatnya sebagai hakim, pemutus kasus, alasannya aku sudah mengangkat mereka sebagai hakim."
Selain kedua riwayat di atas, terdapat beberapa riwayat lain yang secara eksklusif atau tidak eksklusif sudah menunjuk faqih selaku pemegang mandat pembentukan pemerintahan pada masa ghaibah.
Terlepas dari semua itu, kewajiban adanya kekuasaan yang mengatur umat adalah sesuatu yang tidak mampu diingkari. Tapi siapa yang paling berhak menduduki posisi tertinggi itu? Melihat kriteria yang dituntut untuk jabatan kekuasaan tertinggi dalam Islam, maka yang paling pasti di antara yang ada ialah kaum fuqaha, dalam arti, orang yang hebat dalam urusan-urusan yang menyangkut Islam, bisa mengontrol negara, dan tahu akan pertumbuhan zaman.[13]
E. Penutup
Sejarah kemajuan politik Iran mencatat bahwa negara tersebut merupakan negara Shi’ah yang menghendaki pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Imam. Konsep Imamah merupakan masalah utama dalam mazhab Syi’ah. Konsep Wilayatul Fakih yang sering dinisbatkan kepada Ayatullah Khomeini merupakan suatu ide perwakilan kepemimpinan dari sang Imam kepada fakih di saat imam tersebut dalam kondisi ghaib. Dalam pandangan kaum Shi’ah dengan demikian, bahwa antara rancangan Wilayatul Faqih dengan rancangan kedaulatan rakyat tidak mesti berseberangan. Wilayatul Faqih bukan kehendak faqih. Pemahaman ini keliru besar dan melahirkan kesan seakan-akan Islam berlawanan dengan demokrasi. Faqih memang memiliki otoritas besar, tetapi bukan otoritas absolut. Otoritas faqih terikat pada norma-norma Islam dan dibangun atas dasar kepentingan umat. Faqih mendapatkan otorifas dari Allah SWT.
Daftar Pustaka
- Alghar, Hamid, Gerbang Kebangkitan Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan. Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1984.
- Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad 20. Bandung: Pustaka, 1998.
- Esposito, John L., Dinamika Kebangkitan Islam. Jakarta: Rajawali, 1987.
- Fajri, Nurul, Kontroversi Tradisionalis dan Rasionalis dalam Sejarah Pemikiran Fikih Syi’ah Imamiyah, dalam Ulumul Qur’an vol. IV, no. 5 tahun 1993.
- Huseini, S. Waqar Ahmad, Sistem Pembinaan Masyarakat. Bandung: Pustaka, 1983.
- Isma’il, M. Syuhudi, Imam Khomeini Tentang Konsep Negara Menurut Syi’ah. Medan: tp., 1989.
- Khomeini, Ayatullah, Pemerintahan Islam. Kuala Lumpur: ABIM, 1983.
- Nadvi, Syed Habibul Haq, Dinamika Islam. Bandung: Risalah, 1982.
- Sihbudi, Riza, Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan, 1991.
________________________
[1] Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah (Bandung: Mizan, 1991), h. 16-17.
[2] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad 20 (Bandung: Pustaka, 1998), h. 271.
[3] Hamid Alghar, Gerbang Kebangkitan Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1984), h. 33.
[4] Syed Habibul Haq Nadvi, Dinamika Islam (Bandung: Risalah, 1982), h. 128.
[5] John L. Esposito, Dinamika Kebangkitan Islam (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 181.
[6] M. Syuhudi Isma’il, Imam Khomeini Tentang Konsep Negara Menurut Syi’ah (Medan: tp., 1989), h. 38.
[7] Ayatullah Khomeini, Pemerintahan Islam (Kuala Lumpur: ABIM, 1983), h. 22.
[8] S. Waqar Ahmad Huseini, Sistem Pembinaan Masyarakat (Bandung: Pustaka, 1983), h. 217.
[9] Nurul Fajri, Kontroversi Tradisionalis dan Rasionalis dalam Sejarah Pemikiran Fikih Syi’ah Imamiyah, dalam Ulumul Qur’an vol. IV, no. 5 tahun 1993, h. 68.
[10] Dikutip dari postingan pada www.alshia.com, didownload pada 23 oktober 2007.
[11] M. Syuhudi Isma’il, Imam Khomeini, h. 38.
[12] Ibid.
[13] Dikutip dari postingan pada www.alshia.com, didownload pada 23 oktober 2007.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon