PENDAHULUAN
Pengertian adab atau umumnyadisebut budpekerti tabiat adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang memilih klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara sopan santun diperintahkan atau dihentikan. Etika juga merupakan kebiasaan sopan santun dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan budbahasa istiadat.Oleh alasannya itu observasi etika senantiasa menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi desain-rancangan adat, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan budpekerti, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang bagus dan jelek.
Secara fisik, insan ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kekurangan-kelemahan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kelemahan-kekurangan jasmaniah tersebut juga memperlihatkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, yakni orang yang amat buruk rupa. Tetapi, keburukan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di kurun kini adalah para tunanetra.[1] Apakah sikap mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka mempunyai cacat kepribadian?. Adalah salah bila menilai rohani tergantung pada jasmani. Setiap insan yang berpenampilan baik dalam sisi jasmaniahnya belum dapat ditentukan mempunyai tingkah laku atau perangai yang baik. hal di atas menunjukkan bahwa evaluasi seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya.
Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menilai dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa lainnya, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum pegawapemerintah yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang ialah “panutan penduduk ” terlibat kasus korupsi dan kolusi, serta pola-teladan lainnya.
Jika dipersempit masalahnya kedalam penduduk Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku langkah-langkah di atas adalah muslim, maka timbul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam sudah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu adat?, jikalau ia mengerti bahwa dalam Islam ada pedoman adab, lantas mengapa ia masih tetap melaksanakan tindakan yang jelek tersebut?.
Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya mampu dibagi menjadi dua: Pertama bahwa dia memang tidak paham akan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tuntunan etika islami. Kedua, dia mengetahuinya, tetapi tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya tentang maksud dan pesan yang tersirat yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini mampu diketahui bahwa budpekerti yang berisi tuntunan-tuntunan perilaku muslim, ternyata tidak cuma selaku “kuliner siap saji” yang langsung dapat disantap tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, materi-materi apa yang terkandung di dalamnya, apakah kuliner tersebut sesuai dengan keadaan tubuhnya dan tidak menenteng kemudharatan bagi kesehatannya.
Oleh alasannya adalah itu, adab, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan dipahami maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini, filsafat adat dan susila menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, tetapi untuk mengoreksi kembali supaya tuntunan tersebut lebih terasa mempunyai arti.
Dalam suatu “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot biar seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan meletakkan wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (khususnya orang Indonesia rata-rata bertubuh kecil dan tidak berbulu lebat), sebab jikalau seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya hanya tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menyebabkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
Contoh di atas terkait dengan permasalah budpekerti atau filsafat etika, yakni bagaimana kita dapat mendapatkan dan menatap nilai-nilai yang bagus bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, adab mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani sampai ke masa terbaru ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa bantu-membantu insan hidup, bagaimana bergotong-royong manusia mesti bersikap dalam menatap diri dan kehidupannya, dan memandang nilai-nilai yang mesti dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan konsep-rancangan yang mampu diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi etika pun berlanjut sampai menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan menyebarkan konsep-konsep akhlak warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam fatwa Islam.
Secara defenisi, akhlak atau umumnyadisebut filsafat budpekerti ialah citra rasional perihal hakekat dan dasar tindakan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang memilih klaim bahwa tindakan dan keputusan tersebut secara akhlak ditugaskan atau dilarang.[2] Etika juga ialah kebiasaan adab dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan etika istiadat.[3] Oleh alasannya adalah itu observasi adab selalu menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi rancangan-konsep adab, justifikasi atau evaluasi kepada keputusan watak, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan jelek.
Dalam agama Islam, rancangan-rancangan budpekerti, keagamaan dan prilaku individu dan sosial bekerjsama sudah terdapat pada teks-teks suci, tetapi tidak berisi teori-teori adab dalam bentuk baku meskipun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sungguh penting dalam studi akhlak Islam. Oleh balasannya, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.
Para filosof muslim permulaan dalam kajiannya tentang akhlak apakah Neo-Platonis mirip al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak kurang pandai atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, tetapi mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan budpekerti filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an seperti cara-cara penulis muslim umumnya, akan namun dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Kaprikornus untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci ialah dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof yaitu logika.[4]
PERSOALAN ISTILAH: Etika, Moral, dan Akhlak
Etika ialah istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adab istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk memutuskan ukuran yang serupa dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau jelek, benar atau salah dan layak atau tidak pantas untuk dilakukan.
Di dalam New Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of watak philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but the ideal of human conduct.[6] (Etika yakni ilmu ihwal filsafat moral, tidak mengenai fakta, namun tentang nilai-nilai, tidak perihal sifat tindakan insan, namun wacana idenya).
Sebagian orang berpendapat bahwa budbahasa sama dengan budpekerti. Persamaan itu memang ada, sebab keduanya membahas dilema baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan adat dalam pandangan filsafat adalah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan kawasan dengan ukuran tingkah laris yang bagus dan jelek sejauh yang mampu diketahui oleh nalar fikiran. Akan namun dalam perjuangan meraih tujuan itu, budpekerti mengalami kesulitan, alasannya persepsi masing-masing kalangan di dunia ini perihal baik dan buruk memiliki ukuran atau kriteria yang berbeda. Setiap kalangan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[7]
Adapun perkataan budpekerti, berasal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang berdasarkan lughat diartikan kebijaksanaan pekerti, perangai, tingkah laku dan sopan santun. Kata tersebut mengandung sisi-sisi keterkaitan dengan perkataan khalqun yang memiliki arti insiden, serta bersahabat keterkaitannya dengan khaliq yang bermakna pencipta, dan makhluq yang memiliki arti diciptakan. Perumusan pengertian budbahasa muncul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk.[8]
Sementara perkataan budbahasa berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos yang memiliki arti etika istiadat. Dalam bahasa Indonesia, tabiat diterjemahkan dengan arti budbahasa. Yang dimaksud dengan sopan santun ialah sesuai dengan wangsit-ilham biasa yang diterima wacana langkah-langkah manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh lazim diterima dalam lingkungan tertentu dan telah terlembagakan dalam sebuah penduduk .
Ketiga perumpamaan di atas merupakan perumpamaan-ungkapan yang banyak dipakai untuk mengungkapkan makna yang sama atau hampir sama. Para peneliti adat secara sadar banyak menyebutkan adat selaku sopan santun atau juga adat. Filsafat susila disebut juga filsafat adab dan sebagainya. Istilah-perumpamaan di atas yang maknanya disamaratakan pada dasarnya tetap mempunyai perbedaan, karena dalam sisi semantik dapat dimengerti bahwa setiap kata intinya mempunyai karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata yang lain. Karena apabila ada dua kata atau lebih, mempunyai makna sama maka akan ada pemubaziran dalam berbahasa.
Untuk mampu membedakannya maka mampu dimengerti bahwa etika menetapkan ukuran sesuatu bertitik tolak dari akal asumsi, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya dengan budpekerti dalam persepsi Islam. Dalam persepsi Islam, ilmu adab ialah suatu ilmu wawasan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran adab Islam sesuai dengan fitrah akal dan asumsi yang lurus. Sementara perbedaannya antara adab dan akhlak, yakni adab lebih banyak bersifat teori, sedangkan watak lebih banyak bersifat mudah.
Jika kita boleh mempesona garis batas antara moral dan adat, maka susila adalah aturan-hukum normatif (dalam bahasa agama Islam disebut budbahasa) yang berlaku dalam sebuah masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata budbahasa dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedang etika yaitu bidang kajian filsafat. Realitas watak dalam kehidupan penduduk yang terjernihkan melalui studi kritis (critical studies) ialah kawasan yang dibidangi oleh budbahasa. Jadi studi kritis kepada moralitas menjadi kawasan budbahasa, sehingga watak tidak lain yaitu objek material daripada akhlak.[9]
Berbeda dari budbahasa (filsafat budbahasa), maka etika lebih dimaksudkan selaku sebuah ‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu mempertanyakan dan memeriksa secara kritis apalagi dahulu.
Akhlak atau moralitas yakni merupakan seperangkat tata nilai yang ‘sudah jadi’ dan ‘siap pakai’ tanpa dibarengi, bahkan menghindari studi kritis. Sedangkan adat justru sebaliknya, bertugas untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa kemudian yang telah menggumpal dan mengkristal dalam lapisan masyarakat.[10]
Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap ungkapan budbahasa, budbahasa dan akhlak, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau nyaris sama, yakni tata adab, kesusilaan, kebijaksanaan pekerti, tabiat, budbahasa, perangai dan tingkah laku atau kelakuan.
ETIKA DALAM AL-QUR AN
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal bahwa al-Qur’an berisi nilai-nilai ethos yang balasannya membentuk metode adat Islam. Namun tidak dalam bentuk baku, alasannya adalah teks-teks suci tersebut memuat banyak penafsiran. Term-term dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan problem adat akan menjadi konsentrasi pembahasan ini. Tentunya tidak seluruhnya dapat diuraikan. Ada beberapa hal yang dianggap paling menyentuh dalam konsep etika seperti penggunaan kata al-khayr, al-birrr, al-qisth, al-ma’ruf, dan beberapa kata yang lain akan dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan menjadi dasar-dasar pembentukan budpekerti Islam.
Dalam pedoman Islam, penggunaan kata-kata di atas menawarkan bahwa konsep utama dalam al-Qur’an ialah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan bahwa dalam lingkungan adat insan setiap desain sucinya hanyalah refleksi yang suram—atau palsu yang sangat tidak sempurna—dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu terhadap respon khusus yang diperoleh dari perbuatan-tindakan ketuhanan.[11] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin menjiplak perilaku etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.
Banyak para andal merasa kesusahan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berhubungan dengan konsep moral dan akhlak religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-tindakan yang baik biasa disebut shalihat, sedangkan tindakan yang jelek disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara biasa disebut itsm atau wizr ialah dosa atau kejahatan yang arti asalnya yakni beban.[12]
Term-term di atas menjadi dasar umat Islam kepada pengembangan konsep-desain budpekerti, yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan kepada term-term tersebut juga diterangkan dalam al-Qur’an serta masing-masing mempunyai alhasil. Perbuatan-tindakan shalihat akan membawa manusia kepada konsekuensi yang bagus bagi pelakunya dan tindakan-tindakan sayyiat juga akan menjinjing pelakunya terhadap akhir yang mampu merugikan dan menambah beban dirinya sendiri.
BEBERAPA MASALAH ETIKA
Sebelum masuk kedalam pembahasan atau urusan yang berhubungan dengan budpekerti, maka perlu diketahui tipe atau karakteristik yang dapat memungkinkan kita menyaksikan desain-konsep fatwa para pemikir muslim berkaitan dengan desain adat. Madjid Fakhry menerangkan karakteristik etika Islam dengan membaginya ke dalam dua tipe, yakni: akhlak teologis dan adab filosofis.
Tipe adat teologis di dalamnya terdapat tiga aliran besar: (a) ajaran rasional yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Qadariah dan Mu’tazilah, (b) semi rasionalis dan voluntaris yang diresmikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari yang condong lebih tunduk terhadap kepada otoritas kitab suci daripada kaidah-kaidah rasional. Penganut pemikiran ini adalah al-Baqilaini, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali dan Fakhr al-din al-Razi. Aliran yang ketiga yaitu anti rasionalis (zahiriyah), yang mewajibkan semoga kitab suci sebagai sumber pokok kebenaran diinterpretasikan secara harfiah. Tokoh-tokohnya di antaranya Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah.
Sedangkan akhlak filosofis pada awalnya dipengaruhi ajaran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya budpekerti yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi mencerminkan dampak filsafat Plato dan Sokrates seperti yang dibentuk oleh pedoman Cynic dan Stoa. Dalam goresan pena-goresan pena para filosof mirip al-Farabi, Ibnu Sina, dan Yahya ibn ‘Adi, pengaruh Platonisme lebih terasa dalam tulisan-goresan pena mereka dan dimensi politik mulai tampak pada era ini, di mana sebelumnya tidak ada. Di dalam karya adab Miskawaih, Platonisme berperan selaku dasar pijakan penjelasan terperinci sistem budpekerti di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo Platonisme dan Stoa saling bertemu, yang mungkin di bawah pengaruh komentar Porphiry yang salah mengenai karya Aristotelas Nicomachean ethics yang populer berasal dari sumber-sumber Arab. Akan namun di sini pulalah dimensi politik menjadi berkurang. Dimensi politik timbul kembali secara penuh dalam tulisan-goresan pena Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan budbahasa dibandingkan dengan pendahulunya.[13]
Sejauh yang mampu dimengerti perihal pokok-pokok pembahasan adab, di bawah ini akan dapat dilihat beberapa pandangan pemikir muslim—khususnya para filosof—dalam beberapa hal seperti duduk perkara jiwa, tingkah laris (etika), kebaikan dan keburukan.
1. Jiwa
Pembahasan ihwal jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari era klasik sampai modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, problem jiwa masih menjadi perbincangan hangat. Ada yang menilai jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga mempunyai arti nafsu, apakah ia juga bermakna akal, masing-masing jago punya pertimbangan yang berlainan-beda alasannya adalah dalam pedoman Islam duduk perkara jiwa yaitu diam-diam Tuhan. Secara niscaya insan tidak mengenali hakekat bahu-membahu, manusia cuma mengetahui sedikit saja lewat gosip teks suci.[14]
Jiwa manusia ialah rahasia Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-Nya serta teka teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan dan barangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan memuaskan. Memang jiwa menjadi sumber wawasan beragam dan tidak tebatas, tetapi belum lagi dimengerti hakikatnya dengan segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber anggapan yang jelas, namun sebagian besar anggapan-asumsi wacana jiwa diliputi oleh kegelapan dan kerahasiaan, meskipun manusia semenjak kurun pertamanya sampai sekarang ini masih senantiasa berusaha dan menilik apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya dengan tubuh. Permasalahan jiwa dalam kajian budpekerti berfokus pada pengenalan terhadap jiwa tersebut sehingga digali potensi-potensinya untuk melahirkan kondisi jiwa yang baik dan melahirkan tindakan yang baik pula, sesuai dengan fitrah dan kemauan jiwa kemanusiaan.
Para filosof muslim, nyaris semua setuju menyatakan bahwa dalam kajian adab, modal dasar yang mesti dimengerti apalagi dulu yaitu wawasan wacana jiwa. Setiap tingkah laku atau tindakan yang lahir merupakan cermin dari keadaan jiwanya. Perilaku yang baik akan lahir dari keadaan jiwa yang sehat, sedangkan sikap yang buruk merupakan alasannya dari kondisi jiwa yang jelek pula.
Al-kindi menjelaskan, bahwa dalam diri insan, terdapat ruh atau jiwa yang mempunyai tiga daya atau kekuatan. Daya kasar yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal.[15] Seseorang yang mampu menguasai tiga daya tersebut dan mampu mengendalikannya ke arah yang bagus maka orang tersebut sudah berhasil dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya.
Perhatian yang khusus kepada persoalan jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah sudah membahas tentang kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi sisi-segi kejiwaan menjadi dua sisi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tanam-flora, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa insan, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan yang lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang bekerjsama. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan ihwal wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[16]
Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah terhadap budbahasa yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati insan dan memancarkan jadinya kepada anggotanya. Seseorang yang ingin menulis manis, pada awalnya harus memaksakan tangannya membiasakan menulis anggun. Apabila kebiasaan ini sudah usang, maka paksaan tidak dibutuhkan lagi alasannya digerakkan oleh jiwa dan hatinya.[17]
Ibnu Miskawaih, seorang filosof muslim yang populer dengan kitabnya Tahdzib al-Akhlak menjelaskan bahwa jiwa ialah sesuatu yang bukan tubuh, bukan pula bab dari tubuh dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa” tersebut kian jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa makin sempurna, apabila jiwa bebas dari indera, maka jiwa semakin kuat dan tepat serta makin bisa menilai yang benar dan menangkap ma’qulat yang mudah. Inilah dalil terjelas bahwa moral dan subtansi jiwa ini berbeda dengan budpekerti wadah bernafsu, dan bahwa jiwa ialah subtansi yang lebih mulia dan mempunyai moral yang lebih tinggi ketimbang semua benda yang ada di alam ini.[18]
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bagian: fakultas yang berhubungan dengan berfikir, melihat dan menimbang-nimbang realitas segala sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam marah, berani, khususnya berani menghadapi bahaya, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan beragam kehormatan; fakultas yang membuat kita memiliki nafsu syahwat dan makan, harapan pada nikmatnya masakan dan minuman, senggama, dan ditambah kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya. Ketiga fakultas ini berbeda satu dari yang yang lain. Hal ini mampu dimengerti dari realita terlalu berkembangnya salah satu dari ketiga fakultas itu, dan merusak yang yang lain. Salah satu dari ketiganya mampu menghapus tindakan-tindakan dari yang lain, atau kadang-kadang dianggap sebagai tiga jiwa, dan terkadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa.
Fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya adalah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas binatang, dan organ tubuh yang dipakai ialah hati. Adapun fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas hewan buas, dan organ badan yang dipergunakan disebut jantung.[19]
2. Tingkah laku (Akhlak)
Pemikir muslim yang intens terhadap pembahasan budbahasa yakni Al-Ghazali. Teori-teori etikanya terdapat dalam kitab Mizan al-‘Amal dan dalam karya budbahasa religiusnya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam kitab-kitabnya ia menggambarkan bahwa tingkah laris seseorang yaitu “lukisan batinnya” karena adanya adaptasi-adaptasi yang mewujud kepada prilaku atau adab. Ia menerangkan bahwa kepribadian insan pada dasarnya mampu menerima pembentukan, tetapi lebih condong kepada kebaikan ketimbang kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya jikalau membiasakan kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.[20]
Akhlak itu yakni kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan gampang dan tidak perlu berfikir menumbuhkan tindakan-perbuatan dan tingkah laris manusia. Apabila lahir tingkah laris yang indah dan terpuji maka dinamakan adat yang bagus, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah adab yang buruk. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa budpekerti yang bagus dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri insan, ialah kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[21]
Murtadha Muthahhari menerangkan bahwa tindakan insan mampu dibagi menjadi tiga jenis:
1. perbuatan watak, yang di atas tingkat binatang.
2. perbuatan immoral, yang setingkat dengan hewan.
3. tindakan antimoral, yang dibawah tingkat binatang.[22]
Apabila seseorang hanya menimbang-nimbang dirinya sendiri mirip binatang, ini bukan akhlak, namun immoral. Tetapi, kadang dalam sikapnya yang hanya mempertimbangkan diri sendiri, dia mendapat penyakit mental, dan kemanusiaannya didedikasikan bagi kehewanannya dan mempunyai kecenderungan kepada pembunuhan diri. Sikap keserakahan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kezaliman, dan sikap-sikap jelek yang lain akan meruntuhkan tindakan budbahasa dan kemanusiaannya, sehingga manusia bisa jatuh kedalam perbuatan immoral dan antimoral.
Sementara Ibnu Bajjah[23] membagi perbuatan-tindakan insan kepada dua bab. Bagian pertama, ialah tindakan yang muncul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua yaitu tindakan yang muncul dari pedoman yang lurus dan kemauan yang higienis dan tinggi dan bagian ini disebut “perbuatan-perbuatan insan.”
Pangkal perbedaan antara kedua bab tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan tindakan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menerangkan kedua macam perbuatan tersebut, beliau mengemukakan seseorang yang terantuk kerikil, lalu beliau luka-luka, kemudian dia melempar watu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal alasannya watu itu telah melukainya, maka ini adalah tindakan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang sudah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.
Kalau melemparkannya agar watu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan adat, alasannya adalah berdasarkan Ibnu Bajjah, hanya orang yang melakukan pekerjaan di bawah dampak fikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan sisi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.[24]
Setiap orang yang mau menundukkan sisi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain cuma mesti mengawali dengan melakukan sisi kemanusiaannya. Dalam kondisi demikianlah, maka sisi hewani pada dirinya tunduk terhadap ketinggian sisi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, alasannya adalah kelemahan ini timbul disebabakan ketundukannya terhadap naluri.
3. Baik dan Buruk
Dalam duduk perkara baik dan jelek, Ibnu ‘Arabi memakai istilah cahaya dan kegelapan yang berasal dari kaum Zoroaster. Wujud positip yakni sumber segala kebaikan dan wujud negatif ialah basis dari semua kejahatan. Sesuatu yang dianggap buruk alasannya satu atau beberapa alasan[25], yakni:
Ibnu ‘Arabi menerangkan kerelatifan baik dan jelek dalam cara lain. Penilaian kita terhadap kebaikan dan keburukan dari hal-hal yaitu relatif menurut wawasan kita. Kita katakan hal atau tindakan itu jelek, oleh karena ketidaktahuan akan adanya baik yang tersembunyi di dalamnya. Setiap hal mempunyai aspek eksternal dan internal. Di dalam aspek internal terletak tujuan dari sang pencipta dan bila kita awam terhadap tujuan mirip itu, kita cenderung mudah mengatakan hal itu selaku yang jelek. Ibnu ‘Arabi mencontohkannya seperti makan obat. Di sini adalah sebuah perkara jelek yang nampak, seperti rasa mual yang disebabkan oleh rasa obat itu di mana pasien mencaci obatnya sebagai jelek, alasannya pasien tidak mengetahuinya.[26]
Miskawaih beropini bahwa kebaikan ialah hal yang mampu diraih oleh insan dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berhubungan dengan tujuan diciptakannya insan. Sedangkan keburukan ialah penghambat insan mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berbentukkemalasan dan keengganan mencari kebaikan.[27]
Ia berikutnya membagi jenis kebaikan pokok dan tindakan jahat. jenis kebajikan pokok tersebut: kearifan, sederhana, berani, gemar memberi, dan adil. Sementara kebalikan dari tindakan baik di atas yakni, kurang pandai, rakus, pengecut, dan lalim.
Manusia menurut perilakunya mampu dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang bagus dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, kelompok ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya ialah mayoritas, sama sekali tidak akan condong kepada kebaikan. Di antara kelompok tersebut ada kelompok yang mampu beralih kepada kebaikan dan kejahatan, alasannya adalah pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
Miskawaih tidak menjelaskan dengan rinci siapa orang-orang yang masuk dalam tiga klasifikasi tersebut. Namun secara implisit, mungkin kita mampu mengatakan bahwa para nabi dan rasul serta orang-orang yang dimuliakan dan disucikan Allah, masuk dalam klasifikasi yang pertama, yaitu kelompok insan yang awalnya baik dan tidak akan condong terhadap kejahatan. Sementara golongan kedua dan ketiga ialah klasifikasi insan awam dan lazim.
KESIMPULAN
1. Etika ialah gambaran rasional tentang hakekat dan dasar tindakan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang memilih klaim bahwa tindakan dan keputusan tersebut secara akhlak diperintahkan atau tidak boleh.
2. Etika Islam ialah pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara etika Yunani dan budpekerti yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan suatu bentuk baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat adat, di mana budbahasa sebagai desain-rancangan mudah menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian akhlak.
3. Para filosof muslim, nyaris semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang mesti diketahui terlebih dulu ialah wawasan perihal jiwa.
4. Akhlak itu adalah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak butuhberfikir menumbuhkan tindakan-tindakan dan tingkah laris insan.
5. Kebaikan ialah hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berhubungan dengan tujuan diciptakannya insan. Sedangkan kejelekan merupakan penghambat insan mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berbentukkemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.
------------------
[1] Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M. Hashem, Lentera, Jakarta, 1994, h. 15
[2]Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xv
[3] Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985, h. 18
[4] Ibid., h. xvii
[5] Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996, h. 13
[6] Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965, h. 560
[7] Hamzah Ya’kub, Op cit.,
[8] Ibid., h. 11
[9] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, h. 147
[10] Ibid.,
[11] Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, h. 27-28
[12] Madjid, h. 2
[13] Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xix
[14] Dalam al-Qur’an dibilang jiwa (ruh/nafs-jiwa) menjadi sumber hidup dan diambil dari tuhan (lihat: QS. Shad: 71-72) dan bahwa jiwa itu ialah belakang layar Tuhan pada makhluknya, yang oleh sebab itu jikalau manusia tidak mampu mengetahui hakekatnya, maka tidaklah mengherankan. (lihat: QS. al-Isra’: 85) al-Qur’an juga mengumumkan perihal “jiwa penegur” (al-nafs al-lawwamah) yang membenci kepada tindakan-tindakan rendah (QS. al-Qiyamah: 1-2) kemudian perihal tingkatan jiwa tertinggi, adalah “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muthmainnah) (QS. al-Fajr: 27) dan kawasan kembali semua jiwa adalah Tuhan (QS. al-Zumar: 42). Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 121
[15] Harun Nasution, Filsafat & mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 18
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 126
[17] Hamzah Ya’kub, h. 92
[18] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terjemahan. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1997, h. 36
[19] Ibid., h. 43-44
[20] Hamzah Ya’kub., h. 91
[21] Ibid., h. 92
[22] Muthahhari., h. 85
[23] Ahmad Hanafi, h. 159
[24] Ibid.,
[25] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995, h. 215-217
[26] Ibid., h. 218
[27] Ibn Miskawaih., h. 40-41
[28] Hamzah Ya’kub., h. 90
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comPengertian adab atau umumnyadisebut budpekerti tabiat adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang memilih klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara sopan santun diperintahkan atau dihentikan. Etika juga merupakan kebiasaan sopan santun dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan budbahasa istiadat.Oleh alasannya itu observasi etika senantiasa menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi desain-rancangan adat, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan budpekerti, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang bagus dan jelek.
Secara fisik, insan ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kekurangan-kelemahan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kelemahan-kekurangan jasmaniah tersebut juga memperlihatkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, yakni orang yang amat buruk rupa. Tetapi, keburukan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di kurun kini adalah para tunanetra.[1] Apakah sikap mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka mempunyai cacat kepribadian?. Adalah salah bila menilai rohani tergantung pada jasmani. Setiap insan yang berpenampilan baik dalam sisi jasmaniahnya belum dapat ditentukan mempunyai tingkah laku atau perangai yang baik. hal di atas menunjukkan bahwa evaluasi seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya.
Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menilai dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa lainnya, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum pegawapemerintah yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang ialah “panutan penduduk ” terlibat kasus korupsi dan kolusi, serta pola-teladan lainnya.
Jika dipersempit masalahnya kedalam penduduk Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku langkah-langkah di atas adalah muslim, maka timbul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam sudah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu adat?, jikalau ia mengerti bahwa dalam Islam ada pedoman adab, lantas mengapa ia masih tetap melaksanakan tindakan yang jelek tersebut?.
Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya mampu dibagi menjadi dua: Pertama bahwa dia memang tidak paham akan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tuntunan etika islami. Kedua, dia mengetahuinya, tetapi tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya tentang maksud dan pesan yang tersirat yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini mampu diketahui bahwa budpekerti yang berisi tuntunan-tuntunan perilaku muslim, ternyata tidak cuma selaku “kuliner siap saji” yang langsung dapat disantap tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, materi-materi apa yang terkandung di dalamnya, apakah kuliner tersebut sesuai dengan keadaan tubuhnya dan tidak menenteng kemudharatan bagi kesehatannya.
Oleh alasannya adalah itu, adab, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan dipahami maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini, filsafat adat dan susila menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, tetapi untuk mengoreksi kembali supaya tuntunan tersebut lebih terasa mempunyai arti.
Dalam suatu “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot biar seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan meletakkan wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (khususnya orang Indonesia rata-rata bertubuh kecil dan tidak berbulu lebat), sebab jikalau seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya hanya tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menyebabkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
Contoh di atas terkait dengan permasalah budpekerti atau filsafat etika, yakni bagaimana kita dapat mendapatkan dan menatap nilai-nilai yang bagus bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, adab mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani sampai ke masa terbaru ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa bantu-membantu insan hidup, bagaimana bergotong-royong manusia mesti bersikap dalam menatap diri dan kehidupannya, dan memandang nilai-nilai yang mesti dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan konsep-rancangan yang mampu diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi etika pun berlanjut sampai menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan menyebarkan konsep-konsep akhlak warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam fatwa Islam.
Secara defenisi, akhlak atau umumnyadisebut filsafat budpekerti ialah citra rasional perihal hakekat dan dasar tindakan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang memilih klaim bahwa tindakan dan keputusan tersebut secara akhlak ditugaskan atau dilarang.[2] Etika juga ialah kebiasaan adab dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan etika istiadat.[3] Oleh alasannya adalah itu observasi adab selalu menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi rancangan-konsep adab, justifikasi atau evaluasi kepada keputusan watak, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan jelek.
Dalam agama Islam, rancangan-rancangan budpekerti, keagamaan dan prilaku individu dan sosial bekerjsama sudah terdapat pada teks-teks suci, tetapi tidak berisi teori-teori adab dalam bentuk baku meskipun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sungguh penting dalam studi akhlak Islam. Oleh balasannya, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.
Para filosof muslim permulaan dalam kajiannya tentang akhlak apakah Neo-Platonis mirip al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak kurang pandai atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, tetapi mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan budpekerti filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an seperti cara-cara penulis muslim umumnya, akan namun dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Kaprikornus untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci ialah dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof yaitu logika.[4]
PEMBAHASAN
Etika ialah istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adab istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk memutuskan ukuran yang serupa dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau jelek, benar atau salah dan layak atau tidak pantas untuk dilakukan.
Di dalam New Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of watak philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but the ideal of human conduct.[6] (Etika yakni ilmu ihwal filsafat moral, tidak mengenai fakta, namun tentang nilai-nilai, tidak perihal sifat tindakan insan, namun wacana idenya).
Sebagian orang berpendapat bahwa budbahasa sama dengan budpekerti. Persamaan itu memang ada, sebab keduanya membahas dilema baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan adat dalam pandangan filsafat adalah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan kawasan dengan ukuran tingkah laris yang bagus dan jelek sejauh yang mampu diketahui oleh nalar fikiran. Akan namun dalam perjuangan meraih tujuan itu, budpekerti mengalami kesulitan, alasannya persepsi masing-masing kalangan di dunia ini perihal baik dan buruk memiliki ukuran atau kriteria yang berbeda. Setiap kalangan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[7]
Adapun perkataan budpekerti, berasal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang berdasarkan lughat diartikan kebijaksanaan pekerti, perangai, tingkah laku dan sopan santun. Kata tersebut mengandung sisi-sisi keterkaitan dengan perkataan khalqun yang memiliki arti insiden, serta bersahabat keterkaitannya dengan khaliq yang bermakna pencipta, dan makhluq yang memiliki arti diciptakan. Perumusan pengertian budbahasa muncul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk.[8]
Sementara perkataan budbahasa berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos yang memiliki arti etika istiadat. Dalam bahasa Indonesia, tabiat diterjemahkan dengan arti budbahasa. Yang dimaksud dengan sopan santun ialah sesuai dengan wangsit-ilham biasa yang diterima wacana langkah-langkah manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh lazim diterima dalam lingkungan tertentu dan telah terlembagakan dalam sebuah penduduk .
Ketiga perumpamaan di atas merupakan perumpamaan-ungkapan yang banyak dipakai untuk mengungkapkan makna yang sama atau hampir sama. Para peneliti adat secara sadar banyak menyebutkan adat selaku sopan santun atau juga adat. Filsafat susila disebut juga filsafat adab dan sebagainya. Istilah-perumpamaan di atas yang maknanya disamaratakan pada dasarnya tetap mempunyai perbedaan, karena dalam sisi semantik dapat dimengerti bahwa setiap kata intinya mempunyai karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata yang lain. Karena apabila ada dua kata atau lebih, mempunyai makna sama maka akan ada pemubaziran dalam berbahasa.
Untuk mampu membedakannya maka mampu dimengerti bahwa etika menetapkan ukuran sesuatu bertitik tolak dari akal asumsi, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya dengan budpekerti dalam persepsi Islam. Dalam persepsi Islam, ilmu adab ialah suatu ilmu wawasan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran adab Islam sesuai dengan fitrah akal dan asumsi yang lurus. Sementara perbedaannya antara adab dan akhlak, yakni adab lebih banyak bersifat teori, sedangkan watak lebih banyak bersifat mudah.
Jika kita boleh mempesona garis batas antara moral dan adat, maka susila adalah aturan-hukum normatif (dalam bahasa agama Islam disebut budbahasa) yang berlaku dalam sebuah masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata budbahasa dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedang etika yaitu bidang kajian filsafat. Realitas watak dalam kehidupan penduduk yang terjernihkan melalui studi kritis (critical studies) ialah kawasan yang dibidangi oleh budbahasa. Jadi studi kritis kepada moralitas menjadi kawasan budbahasa, sehingga watak tidak lain yaitu objek material daripada akhlak.[9]
Berbeda dari budbahasa (filsafat budbahasa), maka etika lebih dimaksudkan selaku sebuah ‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu mempertanyakan dan memeriksa secara kritis apalagi dahulu.
Akhlak atau moralitas yakni merupakan seperangkat tata nilai yang ‘sudah jadi’ dan ‘siap pakai’ tanpa dibarengi, bahkan menghindari studi kritis. Sedangkan adat justru sebaliknya, bertugas untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa kemudian yang telah menggumpal dan mengkristal dalam lapisan masyarakat.[10]
Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap ungkapan budbahasa, budbahasa dan akhlak, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau nyaris sama, yakni tata adab, kesusilaan, kebijaksanaan pekerti, tabiat, budbahasa, perangai dan tingkah laku atau kelakuan.
ETIKA DALAM AL-QUR AN
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal bahwa al-Qur’an berisi nilai-nilai ethos yang balasannya membentuk metode adat Islam. Namun tidak dalam bentuk baku, alasannya adalah teks-teks suci tersebut memuat banyak penafsiran. Term-term dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan problem adat akan menjadi konsentrasi pembahasan ini. Tentunya tidak seluruhnya dapat diuraikan. Ada beberapa hal yang dianggap paling menyentuh dalam konsep etika seperti penggunaan kata al-khayr, al-birrr, al-qisth, al-ma’ruf, dan beberapa kata yang lain akan dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan menjadi dasar-dasar pembentukan budpekerti Islam.
Dalam pedoman Islam, penggunaan kata-kata di atas menawarkan bahwa konsep utama dalam al-Qur’an ialah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan bahwa dalam lingkungan adat insan setiap desain sucinya hanyalah refleksi yang suram—atau palsu yang sangat tidak sempurna—dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu terhadap respon khusus yang diperoleh dari perbuatan-tindakan ketuhanan.[11] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin menjiplak perilaku etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.
Banyak para andal merasa kesusahan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berhubungan dengan konsep moral dan akhlak religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-tindakan yang baik biasa disebut shalihat, sedangkan tindakan yang jelek disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara biasa disebut itsm atau wizr ialah dosa atau kejahatan yang arti asalnya yakni beban.[12]
Term-term di atas menjadi dasar umat Islam kepada pengembangan konsep-desain budpekerti, yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan kepada term-term tersebut juga diterangkan dalam al-Qur’an serta masing-masing mempunyai alhasil. Perbuatan-tindakan shalihat akan membawa manusia kepada konsekuensi yang bagus bagi pelakunya dan tindakan-tindakan sayyiat juga akan menjinjing pelakunya terhadap akhir yang mampu merugikan dan menambah beban dirinya sendiri.
Sebelum masuk kedalam pembahasan atau urusan yang berhubungan dengan budpekerti, maka perlu diketahui tipe atau karakteristik yang dapat memungkinkan kita menyaksikan desain-konsep fatwa para pemikir muslim berkaitan dengan desain adat. Madjid Fakhry menerangkan karakteristik etika Islam dengan membaginya ke dalam dua tipe, yakni: akhlak teologis dan adab filosofis.
Tipe adat teologis di dalamnya terdapat tiga aliran besar: (a) ajaran rasional yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Qadariah dan Mu’tazilah, (b) semi rasionalis dan voluntaris yang diresmikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari yang condong lebih tunduk terhadap kepada otoritas kitab suci daripada kaidah-kaidah rasional. Penganut pemikiran ini adalah al-Baqilaini, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali dan Fakhr al-din al-Razi. Aliran yang ketiga yaitu anti rasionalis (zahiriyah), yang mewajibkan semoga kitab suci sebagai sumber pokok kebenaran diinterpretasikan secara harfiah. Tokoh-tokohnya di antaranya Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah.
Sedangkan akhlak filosofis pada awalnya dipengaruhi ajaran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya budpekerti yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi mencerminkan dampak filsafat Plato dan Sokrates seperti yang dibentuk oleh pedoman Cynic dan Stoa. Dalam goresan pena-goresan pena para filosof mirip al-Farabi, Ibnu Sina, dan Yahya ibn ‘Adi, pengaruh Platonisme lebih terasa dalam tulisan-goresan pena mereka dan dimensi politik mulai tampak pada era ini, di mana sebelumnya tidak ada. Di dalam karya adab Miskawaih, Platonisme berperan selaku dasar pijakan penjelasan terperinci sistem budpekerti di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo Platonisme dan Stoa saling bertemu, yang mungkin di bawah pengaruh komentar Porphiry yang salah mengenai karya Aristotelas Nicomachean ethics yang populer berasal dari sumber-sumber Arab. Akan namun di sini pulalah dimensi politik menjadi berkurang. Dimensi politik timbul kembali secara penuh dalam tulisan-goresan pena Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan budbahasa dibandingkan dengan pendahulunya.[13]
Sejauh yang mampu dimengerti perihal pokok-pokok pembahasan adab, di bawah ini akan dapat dilihat beberapa pandangan pemikir muslim—khususnya para filosof—dalam beberapa hal seperti duduk perkara jiwa, tingkah laris (etika), kebaikan dan keburukan.
1. Jiwa
Pembahasan ihwal jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari era klasik sampai modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, problem jiwa masih menjadi perbincangan hangat. Ada yang menilai jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga mempunyai arti nafsu, apakah ia juga bermakna akal, masing-masing jago punya pertimbangan yang berlainan-beda alasannya adalah dalam pedoman Islam duduk perkara jiwa yaitu diam-diam Tuhan. Secara niscaya insan tidak mengenali hakekat bahu-membahu, manusia cuma mengetahui sedikit saja lewat gosip teks suci.[14]
Jiwa manusia ialah rahasia Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-Nya serta teka teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan dan barangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan memuaskan. Memang jiwa menjadi sumber wawasan beragam dan tidak tebatas, tetapi belum lagi dimengerti hakikatnya dengan segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber anggapan yang jelas, namun sebagian besar anggapan-asumsi wacana jiwa diliputi oleh kegelapan dan kerahasiaan, meskipun manusia semenjak kurun pertamanya sampai sekarang ini masih senantiasa berusaha dan menilik apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya dengan tubuh. Permasalahan jiwa dalam kajian budpekerti berfokus pada pengenalan terhadap jiwa tersebut sehingga digali potensi-potensinya untuk melahirkan kondisi jiwa yang baik dan melahirkan tindakan yang baik pula, sesuai dengan fitrah dan kemauan jiwa kemanusiaan.
Para filosof muslim, nyaris semua setuju menyatakan bahwa dalam kajian adab, modal dasar yang mesti dimengerti apalagi dulu yaitu wawasan wacana jiwa. Setiap tingkah laku atau tindakan yang lahir merupakan cermin dari keadaan jiwanya. Perilaku yang baik akan lahir dari keadaan jiwa yang sehat, sedangkan sikap yang buruk merupakan alasannya dari kondisi jiwa yang jelek pula.
Al-kindi menjelaskan, bahwa dalam diri insan, terdapat ruh atau jiwa yang mempunyai tiga daya atau kekuatan. Daya kasar yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal.[15] Seseorang yang mampu menguasai tiga daya tersebut dan mampu mengendalikannya ke arah yang bagus maka orang tersebut sudah berhasil dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya.
Perhatian yang khusus kepada persoalan jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah sudah membahas tentang kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi sisi-segi kejiwaan menjadi dua sisi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tanam-flora, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa insan, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan yang lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang bekerjsama. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan ihwal wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[16]
Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah terhadap budbahasa yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati insan dan memancarkan jadinya kepada anggotanya. Seseorang yang ingin menulis manis, pada awalnya harus memaksakan tangannya membiasakan menulis anggun. Apabila kebiasaan ini sudah usang, maka paksaan tidak dibutuhkan lagi alasannya digerakkan oleh jiwa dan hatinya.[17]
Ibnu Miskawaih, seorang filosof muslim yang populer dengan kitabnya Tahdzib al-Akhlak menjelaskan bahwa jiwa ialah sesuatu yang bukan tubuh, bukan pula bab dari tubuh dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa” tersebut kian jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa makin sempurna, apabila jiwa bebas dari indera, maka jiwa semakin kuat dan tepat serta makin bisa menilai yang benar dan menangkap ma’qulat yang mudah. Inilah dalil terjelas bahwa moral dan subtansi jiwa ini berbeda dengan budpekerti wadah bernafsu, dan bahwa jiwa ialah subtansi yang lebih mulia dan mempunyai moral yang lebih tinggi ketimbang semua benda yang ada di alam ini.[18]
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bagian: fakultas yang berhubungan dengan berfikir, melihat dan menimbang-nimbang realitas segala sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam marah, berani, khususnya berani menghadapi bahaya, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan beragam kehormatan; fakultas yang membuat kita memiliki nafsu syahwat dan makan, harapan pada nikmatnya masakan dan minuman, senggama, dan ditambah kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya. Ketiga fakultas ini berbeda satu dari yang yang lain. Hal ini mampu dimengerti dari realita terlalu berkembangnya salah satu dari ketiga fakultas itu, dan merusak yang yang lain. Salah satu dari ketiganya mampu menghapus tindakan-tindakan dari yang lain, atau kadang-kadang dianggap sebagai tiga jiwa, dan terkadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa.
Fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya adalah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas binatang, dan organ tubuh yang dipakai ialah hati. Adapun fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas hewan buas, dan organ badan yang dipergunakan disebut jantung.[19]
2. Tingkah laku (Akhlak)
Pemikir muslim yang intens terhadap pembahasan budbahasa yakni Al-Ghazali. Teori-teori etikanya terdapat dalam kitab Mizan al-‘Amal dan dalam karya budbahasa religiusnya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam kitab-kitabnya ia menggambarkan bahwa tingkah laris seseorang yaitu “lukisan batinnya” karena adanya adaptasi-adaptasi yang mewujud kepada prilaku atau adab. Ia menerangkan bahwa kepribadian insan pada dasarnya mampu menerima pembentukan, tetapi lebih condong kepada kebaikan ketimbang kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya jikalau membiasakan kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.[20]
Akhlak itu yakni kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan gampang dan tidak perlu berfikir menumbuhkan tindakan-perbuatan dan tingkah laris manusia. Apabila lahir tingkah laris yang indah dan terpuji maka dinamakan adat yang bagus, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah adab yang buruk. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa budpekerti yang bagus dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri insan, ialah kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[21]
Murtadha Muthahhari menerangkan bahwa tindakan insan mampu dibagi menjadi tiga jenis:
1. perbuatan watak, yang di atas tingkat binatang.
2. perbuatan immoral, yang setingkat dengan hewan.
3. tindakan antimoral, yang dibawah tingkat binatang.[22]
Apabila seseorang hanya menimbang-nimbang dirinya sendiri mirip binatang, ini bukan akhlak, namun immoral. Tetapi, kadang dalam sikapnya yang hanya mempertimbangkan diri sendiri, dia mendapat penyakit mental, dan kemanusiaannya didedikasikan bagi kehewanannya dan mempunyai kecenderungan kepada pembunuhan diri. Sikap keserakahan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kezaliman, dan sikap-sikap jelek yang lain akan meruntuhkan tindakan budbahasa dan kemanusiaannya, sehingga manusia bisa jatuh kedalam perbuatan immoral dan antimoral.
Sementara Ibnu Bajjah[23] membagi perbuatan-tindakan insan kepada dua bab. Bagian pertama, ialah tindakan yang muncul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua yaitu tindakan yang muncul dari pedoman yang lurus dan kemauan yang higienis dan tinggi dan bagian ini disebut “perbuatan-perbuatan insan.”
Pangkal perbedaan antara kedua bab tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan tindakan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menerangkan kedua macam perbuatan tersebut, beliau mengemukakan seseorang yang terantuk kerikil, lalu beliau luka-luka, kemudian dia melempar watu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal alasannya watu itu telah melukainya, maka ini adalah tindakan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang sudah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.
Kalau melemparkannya agar watu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan adat, alasannya adalah berdasarkan Ibnu Bajjah, hanya orang yang melakukan pekerjaan di bawah dampak fikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan sisi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.[24]
Setiap orang yang mau menundukkan sisi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain cuma mesti mengawali dengan melakukan sisi kemanusiaannya. Dalam kondisi demikianlah, maka sisi hewani pada dirinya tunduk terhadap ketinggian sisi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, alasannya adalah kelemahan ini timbul disebabakan ketundukannya terhadap naluri.
3. Baik dan Buruk
Dalam duduk perkara baik dan jelek, Ibnu ‘Arabi memakai istilah cahaya dan kegelapan yang berasal dari kaum Zoroaster. Wujud positip yakni sumber segala kebaikan dan wujud negatif ialah basis dari semua kejahatan. Sesuatu yang dianggap buruk alasannya satu atau beberapa alasan[25], yakni:
- alasannya satu atau lain agama memandangnya demikian.
- relatif terhadap prinsip akhlak atau standar kebiasaan yang disahkan oleh kalangan penduduk .
- karena hal-hal dan tindakan itu berlawanan dengan temperamen individual
- sebab hal-hal dan tindakan itu tidak mampu membuat puas harapan-harapan natural, watak atau intelektual dari sebuah individu dan sebagainya
- alasannya terdapat kelemahan atau kekurangan
Ibnu ‘Arabi menerangkan kerelatifan baik dan jelek dalam cara lain. Penilaian kita terhadap kebaikan dan keburukan dari hal-hal yaitu relatif menurut wawasan kita. Kita katakan hal atau tindakan itu jelek, oleh karena ketidaktahuan akan adanya baik yang tersembunyi di dalamnya. Setiap hal mempunyai aspek eksternal dan internal. Di dalam aspek internal terletak tujuan dari sang pencipta dan bila kita awam terhadap tujuan mirip itu, kita cenderung mudah mengatakan hal itu selaku yang jelek. Ibnu ‘Arabi mencontohkannya seperti makan obat. Di sini adalah sebuah perkara jelek yang nampak, seperti rasa mual yang disebabkan oleh rasa obat itu di mana pasien mencaci obatnya sebagai jelek, alasannya pasien tidak mengetahuinya.[26]
Miskawaih beropini bahwa kebaikan ialah hal yang mampu diraih oleh insan dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berhubungan dengan tujuan diciptakannya insan. Sedangkan keburukan ialah penghambat insan mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berbentukkemalasan dan keengganan mencari kebaikan.[27]
Ia berikutnya membagi jenis kebaikan pokok dan tindakan jahat. jenis kebajikan pokok tersebut: kearifan, sederhana, berani, gemar memberi, dan adil. Sementara kebalikan dari tindakan baik di atas yakni, kurang pandai, rakus, pengecut, dan lalim.
Manusia menurut perilakunya mampu dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang bagus dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, kelompok ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya ialah mayoritas, sama sekali tidak akan condong kepada kebaikan. Di antara kelompok tersebut ada kelompok yang mampu beralih kepada kebaikan dan kejahatan, alasannya adalah pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
Miskawaih tidak menjelaskan dengan rinci siapa orang-orang yang masuk dalam tiga klasifikasi tersebut. Namun secara implisit, mungkin kita mampu mengatakan bahwa para nabi dan rasul serta orang-orang yang dimuliakan dan disucikan Allah, masuk dalam klasifikasi yang pertama, yaitu kelompok insan yang awalnya baik dan tidak akan condong terhadap kejahatan. Sementara golongan kedua dan ketiga ialah klasifikasi insan awam dan lazim.
KESIMPULAN
1. Etika ialah gambaran rasional tentang hakekat dan dasar tindakan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang memilih klaim bahwa tindakan dan keputusan tersebut secara akhlak diperintahkan atau tidak boleh.
2. Etika Islam ialah pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara etika Yunani dan budpekerti yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan suatu bentuk baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat adat, di mana budbahasa sebagai desain-rancangan mudah menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian akhlak.
3. Para filosof muslim, nyaris semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang mesti diketahui terlebih dulu ialah wawasan perihal jiwa.
4. Akhlak itu adalah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak butuhberfikir menumbuhkan tindakan-tindakan dan tingkah laris insan.
5. Kebaikan ialah hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berhubungan dengan tujuan diciptakannya insan. Sedangkan kejelekan merupakan penghambat insan mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berbentukkemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
- A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995
- Ahmad Amin, Ethika (Ilmu Akhlak), alih bahasa: Farid Ma’ruf, Bulan Bintang, Jakarta, 1995
- Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995
- Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996
- Harun Nasution, Filsafat & Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973
- Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965
- Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
- Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M. Hashem, Lentera, Jakarta, 1994
- Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985
- Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995
------------------
[1] Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M. Hashem, Lentera, Jakarta, 1994, h. 15
[2]Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xv
[3] Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985, h. 18
[4] Ibid., h. xvii
[5] Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996, h. 13
[6] Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965, h. 560
[7] Hamzah Ya’kub, Op cit.,
[8] Ibid., h. 11
[9] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, h. 147
[10] Ibid.,
[11] Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, h. 27-28
[12] Madjid, h. 2
[13] Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xix
[14] Dalam al-Qur’an dibilang jiwa (ruh/nafs-jiwa) menjadi sumber hidup dan diambil dari tuhan (lihat: QS. Shad: 71-72) dan bahwa jiwa itu ialah belakang layar Tuhan pada makhluknya, yang oleh sebab itu jikalau manusia tidak mampu mengetahui hakekatnya, maka tidaklah mengherankan. (lihat: QS. al-Isra’: 85) al-Qur’an juga mengumumkan perihal “jiwa penegur” (al-nafs al-lawwamah) yang membenci kepada tindakan-tindakan rendah (QS. al-Qiyamah: 1-2) kemudian perihal tingkatan jiwa tertinggi, adalah “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muthmainnah) (QS. al-Fajr: 27) dan kawasan kembali semua jiwa adalah Tuhan (QS. al-Zumar: 42). Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 121
[15] Harun Nasution, Filsafat & mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 18
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 126
[17] Hamzah Ya’kub, h. 92
[18] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terjemahan. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1997, h. 36
[19] Ibid., h. 43-44
[20] Hamzah Ya’kub., h. 91
[21] Ibid., h. 92
[22] Muthahhari., h. 85
[23] Ahmad Hanafi, h. 159
[24] Ibid.,
[25] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995, h. 215-217
[26] Ibid., h. 218
[27] Ibn Miskawaih., h. 40-41
[28] Hamzah Ya’kub., h. 90
EmoticonEmoticon