Pendekatan pendidikan nilai yang berkembang memiliki faktor penitikberatan yang berlainan, serta memiliki kekuatan dan kelemahan yang relatif berlainan pula. Berbagai tata cara pendidikan dan pengajaran yang digunakan oleh berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang mampu dipakai juga dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti. Hal tersebut sejalan dengan pemberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang proses pembelajarannya memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pelaksanaan program-program Pendidikan Budi Pekerti perlu diikuti dengan keteladanan guru, orang bau tanah, dan orang cukup umur pada umumnya. Lingkungan sosial yang aman bagi para siswa, baik dalam keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat juga memberikan bantuan positif dalam penerapan pendidikan kebijaksanaan pekerti secara holistik.
lima pendekatan yang pada umumnya dipakai dalam pendidikan nilai, ialah: (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) pendekatan kemajuan etika kognitif (cognitive tabiat development approach), (3) pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Pada makalah ini hanya membicarakan ihwal pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), yaitu suatu pendekatan yang memberi pemfokusan pada penanaman nilai-nilai dalam diri siswa. Melalui pendekatan ini tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa, dan (2) berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak cocok dengan nilai-nilai yang dikehendaki. Untuk mendukung pendekatan ini, lazimnya dipakai tata cara keteladanan, penguatan konkret dan negatit simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
B. terkandung dalam nlai-nilai kebersamaan antara lain:
Komunikasi dan saling pemahaman. Dengan adanya kebersamaan, ladang yang subur mampu terjadi bagi kelangsungan komunikasi.
Arah pandang dan langkah menuju visi. Kebersamaan menyatukan arah pandang. Dengan begitu, mampu menyebabkan suatu modal yang tertuju pada visi untuk yang merealisasikan suatu misi.
Pembentukan tim dan efektivitas kerja. Dengan modal kebersamaan, pembentukan tim-tim kerja jadi lebih mudah.
Kesatupaduan untuk stabilitas yang dinamis. Kebersamaan ialah sarana dasar untuk terwujudnya stabilitas yang dinamis dalam suatu asosiasi.
Kondusif bagi keterbukaan. Dengan adanya kebersamaan mampu menumbuhkannya rasa keterbukaan adalah dengan adanya pertukaran asumsi, ide, dan kritik dalam pelakasanaan yang lebih baik.
Sharing and caring. Hanya dalam suasana yang nilai-nilai kebersamaannya berkembang, sebuah inovasi yang kritis dan kretif mampu tercipta.
Keberadaan nilai-nilai kebersamaan dalam zaman dimana teknologi berperan besar sangatlah diharapkan. Hal ini dikarenakan oleh besarnya kemungkinan kompetisi di dunia yang mau terjadi.
C. Pengertian Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) yakni sebuah pendekatan yang memberi penitikberatan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam banyak sekali literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak cocok dengan kemajuan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan insan berlawanan karena perbedaan waktu dan daerah. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut dia, setiap generasi memiliki hak untuk memilih nilainya sendiri. Oleh alasannya itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan kawasan dan zamannya.[1]
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan
Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976) disadari atau tidak disadari pendekatan ini dipakai secara meluas dalam berbagai penduduk , terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama mempunyai kecenderungan yang berpengaruh untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-acara pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan anutan yang menampung nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh alasannya adalah itu, proses pendidikannya mesti bertitik tolak dari pemikiran atau nilai-nilai tersebut. Seperti diketahui bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam fatwa agama sudah terang, niscaya, dan harus diimani. Ajaran agama wacana berbagai faktor kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan ialah dasar penting dalam pendidikan agama.[2]
Penanaman nilai merupakan ruhnya penyelenggaraan pendidikan.Oleh alhasil teladan-pola pendidikan hendaknya mengembangan dan menyadarkan siswa terhadap nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan, kearifan dan kasih sayang selaku nilai-nilai universal yang dimiliki semua agama. Pendidikan juga berfungsi untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan secara spesifik sesaui dogma agama. Maka setiap pembelajaran yang dijalankan hendaknya selalu diintegrasikan dengan wacana nilai di atas, sehingga menghasilkan anak ajar yang berkepribadian utuh, yang bisa mengintegrasikan keilmuan yang dikuasai dengan nilai-nilai yang diyakini untuk mengatasi banyak sekali permasalahn hidup dan sistem kehidupan insan.
Pada dasarnya pendidikan nilai itu hanya mampu diwujudkan atau dijabarkan dalam sebuah kebersamaan. Oleh karena itu, untuk melakukannya hampir mustahil tanpa rasa empati dan penghargaan terhadap orang lain, terhadap segala sesuatu di lingkungan alam dan lingkungan sosial, yang mengerucut pada penghargaan terhadap kehidupan. Sementara empati tak mungkin timbul tanpa kepekaan kepada aneka macam persoalan tanpa sekat-sekat ras, etnis, agama, kelompok, dan yang lain.
Nilai ialah integritas hidup seseorang yang akan tercermin dalam pilihannya: cara berpakaian, teman-sobat yang dipilih pasangan hidup, interaksi sosial, danbagaimana kekerabatan keluarga dengan saudara-saudaranya. Pendidikan nilai membantubanyak orang untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak diprioritaskan, mana yang perlu dan mana tidak perlu.[3]
C. Metode Penanaman Nilai
Metode yang digunakan dalam pendekatan penanaman nilai antara lain: Indoktrinisasi, keteladanan, penguatan faktual dan negatif, simulasi, bermain peranan, dan lain-lain. Penjelasan dari beberapa metode yang dipakai dalam pendekatan penanaman nilai yaitu :
1. Indoktrinasi
Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini telah banyak menuai kritik dari para ahli pendidikan. Akan tetapi pendekatan ini masih mampu digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi Siswoyo (2005:72) menyatakan bahwa untuk menolong belum dewasa agar mampu berkembang menjadi akil balig cukup akal, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin semenjak dini lewat interaksi guru dan siswa.Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah mempunyai nilai-nilai keistimewaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan terhadap anak. Aturan mana yang boleh dilaksanakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan disampaiakan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka beliau dikenai eksekusi, akan tetapi bukan berbentukkekerasan.
2. Metode Keteladan
Sabda Nabi Muhammad S.A.W. :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا.
Artinya: Hadis dari Abdullah ibn Yusuf, katanya Malik memberitakan pada kami dari Amir ibn Abdullah ibn Zabair dari ‘Amar ibn Sulmi az-Zarâqi dari Abi Qatadah al-Anshâri, bahwa Rasulullah saw. salat sambil membawa Umâmah binti Zainab binti Rasulullah saw. dari (pernikahannya) dengan Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abdu Syams. Bila sujud, dia menaruhnya dan jikalau berdiri dia menggendongnya. (al-Bukhari, 1987, I: 193)
Hadis di atas tergolong syarîf marfû’ dengan kualitas perawi yang sebagian terdiri dari şiqah mutqinũn, ra’su mutqinũn, şiqah dan perawi berjulukan Qatadah ialah sahabat Rasulullah saw. (CD Room, Kutub at-Tis’ah).
Menurut al-Asqalâni, ketika itu orang-orang Arab sungguh membenci anak perempuan. Rasulullah saw. menginformasikan pada mereka perihal kemuliaan kedudukan anak perempuan. Rasulullah saw. memberitahukannya dengan langkah-langkah, ialah dengan menggendong Umamah (cucu Rasulullah saw.) di pundaknya ketika salat. Makna yang dapat dipahami bahwa sikap tersebut dikerjakan Rasulullah saw. untuk menentang kebiasaan orang Arab yang membenci anak wanita. Rasulullah saw. menyelisihi kebiasaan mereka, bahkan dalam salat sekalipun. (Al-Asqalani, 1379H: 591-592). Hamd, menyampaikan bahwa pendidik itu besar di mata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena anak latih akan memalsukan dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya, maka wajiblah guru menunjukkan contoh yang baik. (al-Hamd, 2002: 27).
Memperhatikan kutipan di atas mampu diketahui bahwa keteladanan mempunyai arti penting dalam mendidik, keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik, jika pendidiknya baik, ada kemungkinan anak didiknya juga baik, karena murid meniru gurunya. Sebaliknya jikalau guru berperangai jelek, ada kemungkinan anak didiknya juga berperangai jelek.
Rasulullah saw. merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan lewat tindakannya dan lalu menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah swt., bagaimana bersikap sederhana, bagaimana duduk dalam salat dan do’a, bagaimana makan, bagaimana tertawa, dan lain sebagainya, menjadi teladan bagi para sobat, sekaligus ialah bahan pendidikan yang tidak pribadi. Mendidik dengan teladan (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam kehidupannya, merupakan cerminan kandungan Quran secara utuh, sebagaimana firman Allah swt. berikut:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا.
Artinya: Sesungguhnya sudah ada pada (diri) Rasulullah itu suri acuan yang bagus bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir zaman dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33: 21).
Al-Baidhawi (Juz 5: 9), memberi makna uswatun hasanah pada ayat di atas yaitu perbuatan baik yang dapat dicontoh. Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan menjadi tata cara yang ampuh dalam membina kemajuan anak didik. Keteladanan sempurna, yaitu keteladanan Rasulullah saw., yang mampu menjadi acuan bagi pendidik selaku teladan utama, sehingga dibutuhkan anak bimbing memiliki figur pendidik yang mampu dijadikan panutan.[4]
Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan menjadi tata cara yang ampuh dalam membina perkembangan anak latih. Keteladanan tepat, yaitu keteladanan Rasulullah saw., yang dapat menjadi acuan bagi pendidik selaku contoh utama, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figur pendidik yang mampu dijadikan panutan.
3. Metode Penguatan Positif dan Negatif
Prinsip mencar ilmu yang berhubungan dengan umpan bailk dan penguatan utamanya ditekankan oleh teori belajar Operant Conditionong dari B.F. Skinner. Kalau pada teori Conditionong yang diberikan keadaan yaitu stimulusnya, maka pada Operant Conditioning yang diperkuat adalah responsnya. Siswa akan belajar lebih bergairah kalau mengenali dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil, apalagi hasil yang bagus, akan ialah umpan balik yang menggembirakan dan besar lengan berkuasa baik untuk usaha belajar berikutnya. Namun dorongan mencar ilmu itu menurut B.F. Skinner tidak saja oleh penguatan yang mengasyikkan namun juga yang tidak mengasyikkan. Atau dengan kata lain penguatan aktual ataupun negatif mampu memperkuat berguru (Gage dan Barliner, 1984:272).Sebagai contoh siswa yang berguru dengan betul-betul dan menerima nilai yang bagus dalam ulangan, maka nilai yang bagus akan mendorong anak untuk berguru lebih giat lagi. Sebaliknya, anak yang mendapatkan nilai yang buruk pada waktu ulangan akan merasa cemas tidak naik kelas. Karena takut tidak naik kelas, maka anak tersebut terdorong untuk belajar lebih giat lagi. Dalam hal ini nilai jelek dan rasa takut akan mendorong anak tersebut untuk mencar ilmu lebih ulet. Inilah yang disebut dengan penguatan negatif dan di sini siswa mencoba untuk menghindar dari peristiwa yang tidak menggembirakan. Format sajian mampu berbentuktagnya jawab, diskusi, eksperimen, tata cara penemuan, dan sebagainya merupakan cara belajar terjadinya umpan balik dan penguatan.[5]
4. Metode Simulasi
Simulasi merupakan tata cara training yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang seperti dengan kondisi yang bekerjsama (KBBI 2002:1068). Bagi penduduk kita istilah ini telah tidak ajaib lagi, mengingat model simulasi pernah dilakukan atau bahkan berjaya di abad pemasyarakatan anutan penghayatan pengamalan Pancasila (P4) di tahun 1980 an. Dalam rangka penanaman nilai-nilai pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn), utamanya dalam penghayatan sebuah tema kompetensi dasar seorang guru PKn mampu menerapkan sistem simulasi ini.[6]
5. Bermain Peranan
Bermain peranan yakni sebuah versi pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memperoleh makna diri (jati diri) di dunia social dan memecahkan problem dengan pertolongan golongan. Proses bermain tugas ini dapat memperlihatkan teladan kehidupan perilaku insan yang berkhasiat sebagai sarana bagi siswa untuk:
a. Menggali perasaannya
b. Memperoleh wangsit dan pemahaman yang kuat terhadap perilaku, nilai dan persepsinya
c. Mengembangkan kemampuan dan perilaku dalam memecahkan problem
d. Mendalami mata pelajaran dengan banyak sekali macam cara.[7]
Prosedur bermain tugas terdiri atas sembilan langkah adalah
Pemanasan. Guru berusaha memeperkenalkan siswa pada permasalahan yang mereka sadari sebagai suatu hal yang perlu mereka pelajari dan kuasai. Selanjutnya guru menggambarkan persoalan dengan terang disertai acuan, baik yang timbul dari inspirasi siswa atau sengaja disiapkan guru.
Memilih pemain(partisipan). Siswa dan guru membicarakan karakter dari setiap pemain dan menentukan siapa yang mau memainkannya.
Menata panggung. Guru perlu berdiskusi dengan siswa dimana dan bagaimana peran itu akan dimainkan. Apa saja kebutuhsn ysng dibutuhkan. Penataan penggung dapat sederhana atau kompleks. Penataan panggung yang paling sederhana yaitu cuma membahas scenario yang menggambarkan urutan permainan tugas. Sementara penataan panggung yang lebih kompleks mencakup aksesoris lain seperti kostum dan lain-lain.
Guru menunjuk beberapa siswa selaku pengamat. Pengamat juga mesti terlibat aktif dalam permainan tugas.
Permainan tugas dimulai. Permaianan tugas dilaksanakan secara spontan. Pada mulanya akan banyak siswa yang masih galau memainkan perannya atau bahkan tidak cocok dengan peran yang seharusnya beliau kerjakan. Jika permainan tugas sudah terlalu jauh keluar jalur, guru mampu menghentikannya untuk secepatnya masuk kelangkah berikutnya.
Guru bareng siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan evaluasi kepada peran-peran yang dilaksanakan. Usulan perbaikan akan timbul. Mungkin akan ada siswa yang meminta untuk berubah peran. Atau bahkan alur cerotanya akan sedikit berganti.
Permainan tugas diulang. Pada permainan peran yang kedua ini akan lebih baik alasannya sisa dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan skenario.
Pembahasan diskusi dan evaluasi yang lebih diarahkan pada realitas. Mengapa demikian? Karena pada ketika permainan peran dikerjakan, banyak tugas yang melebihi batas realita. Contoh seorang siswa yang memerankan tugas orang tua yang galak. Kegalakan yang dilaksanakan orang tua ini mampu dijadikan bahan diskusi.
Siswa diajak untuk berbagi pengalaman ihwal tema permainan peran yang telah dilaksanakan dan dilanjutkan dengan menciptakan kesimpulan.[8]
D. Tujuan Pendekatan Penanaman Nilai
Menurut Huitt tujuan pendekatan nilai adalah untuk :
1. Menginternalisasikan nilai-nilai ke dalam diri akseptor latih.
2. Merubah nilai-nilai yang dipedomani penerima bimbing agar lebih erat direfleksikan nilai-nilai tertentu yang dikehendaki.[9]
Pendekatan ini mengusahakan semoga siswa mengenal dan mendapatkan nilai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan : pengenal opsi, memilih pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri.[10]
KESIMPULAN
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) yaitu sebuah pendekatan yang memberi pementingan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Metode yang dipakai dalam pendekatan penanaman nilai antara lain: keteladanan, penguatan nyata dan negatif, simulasi, bermain peranan, dan lain-lain. Tujuan dari penanaman nilai adalah : Menginternalisasikan nilai-nilai ke dalam diri penerima bimbing, Merubah nilai-nilai yang dipedomani peserta latih semoga lebih akrab direfleksikan nilai-nilai tertentu yang diinginkan
[1] Lihat Zaim Elmubarok,Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung : Alfabeta : 2007 ), h. 61-62
[2] Ibid, h. 62
[3] http://www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi/Jurnal/No_026/pendekatan_pendidikan_teuku_ramli.htm
[4] http://eko87kurnia.multiply.com/journal/item/14
[5] http://eko87kurnia.multiply.com/journal/item/14
[6] http://eko87kurnia.multiply.com/journal/item/14
[7]er.com/search?q=nilai-sosial
[8] er.com/search?q=nilai-sosial
[9] Lihat W. Huitt, Value: Educational Psychology Interactive (Valdosta GA: Valdosta State University, 2004).
[10] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Bandung : Bumi Aksara, 2006).
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comPelaksanaan program-program Pendidikan Budi Pekerti perlu diikuti dengan keteladanan guru, orang bau tanah, dan orang cukup umur pada umumnya. Lingkungan sosial yang aman bagi para siswa, baik dalam keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat juga memberikan bantuan positif dalam penerapan pendidikan kebijaksanaan pekerti secara holistik.
lima pendekatan yang pada umumnya dipakai dalam pendidikan nilai, ialah: (1) pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) pendekatan kemajuan etika kognitif (cognitive tabiat development approach), (3) pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Pada makalah ini hanya membicarakan ihwal pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), yaitu suatu pendekatan yang memberi pemfokusan pada penanaman nilai-nilai dalam diri siswa. Melalui pendekatan ini tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa, dan (2) berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak cocok dengan nilai-nilai yang dikehendaki. Untuk mendukung pendekatan ini, lazimnya dipakai tata cara keteladanan, penguatan konkret dan negatit simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
B. terkandung dalam nlai-nilai kebersamaan antara lain:
Komunikasi dan saling pemahaman. Dengan adanya kebersamaan, ladang yang subur mampu terjadi bagi kelangsungan komunikasi.
Arah pandang dan langkah menuju visi. Kebersamaan menyatukan arah pandang. Dengan begitu, mampu menyebabkan suatu modal yang tertuju pada visi untuk yang merealisasikan suatu misi.
Pembentukan tim dan efektivitas kerja. Dengan modal kebersamaan, pembentukan tim-tim kerja jadi lebih mudah.
Kesatupaduan untuk stabilitas yang dinamis. Kebersamaan ialah sarana dasar untuk terwujudnya stabilitas yang dinamis dalam suatu asosiasi.
Kondusif bagi keterbukaan. Dengan adanya kebersamaan mampu menumbuhkannya rasa keterbukaan adalah dengan adanya pertukaran asumsi, ide, dan kritik dalam pelakasanaan yang lebih baik.
Sharing and caring. Hanya dalam suasana yang nilai-nilai kebersamaannya berkembang, sebuah inovasi yang kritis dan kretif mampu tercipta.
Keberadaan nilai-nilai kebersamaan dalam zaman dimana teknologi berperan besar sangatlah diharapkan. Hal ini dikarenakan oleh besarnya kemungkinan kompetisi di dunia yang mau terjadi.
C. Pengertian Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) yakni sebuah pendekatan yang memberi penitikberatan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam banyak sekali literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak cocok dengan kemajuan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan insan berlawanan karena perbedaan waktu dan daerah. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut dia, setiap generasi memiliki hak untuk memilih nilainya sendiri. Oleh alasannya itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan kawasan dan zamannya.[1]
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan
Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976) disadari atau tidak disadari pendekatan ini dipakai secara meluas dalam berbagai penduduk , terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama mempunyai kecenderungan yang berpengaruh untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-acara pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan anutan yang menampung nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh alasannya adalah itu, proses pendidikannya mesti bertitik tolak dari pemikiran atau nilai-nilai tersebut. Seperti diketahui bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam fatwa agama sudah terang, niscaya, dan harus diimani. Ajaran agama wacana berbagai faktor kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan ialah dasar penting dalam pendidikan agama.[2]
Penanaman nilai merupakan ruhnya penyelenggaraan pendidikan.Oleh alhasil teladan-pola pendidikan hendaknya mengembangan dan menyadarkan siswa terhadap nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan, kearifan dan kasih sayang selaku nilai-nilai universal yang dimiliki semua agama. Pendidikan juga berfungsi untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan secara spesifik sesaui dogma agama. Maka setiap pembelajaran yang dijalankan hendaknya selalu diintegrasikan dengan wacana nilai di atas, sehingga menghasilkan anak ajar yang berkepribadian utuh, yang bisa mengintegrasikan keilmuan yang dikuasai dengan nilai-nilai yang diyakini untuk mengatasi banyak sekali permasalahn hidup dan sistem kehidupan insan.
Pada dasarnya pendidikan nilai itu hanya mampu diwujudkan atau dijabarkan dalam sebuah kebersamaan. Oleh karena itu, untuk melakukannya hampir mustahil tanpa rasa empati dan penghargaan terhadap orang lain, terhadap segala sesuatu di lingkungan alam dan lingkungan sosial, yang mengerucut pada penghargaan terhadap kehidupan. Sementara empati tak mungkin timbul tanpa kepekaan kepada aneka macam persoalan tanpa sekat-sekat ras, etnis, agama, kelompok, dan yang lain.
Nilai ialah integritas hidup seseorang yang akan tercermin dalam pilihannya: cara berpakaian, teman-sobat yang dipilih pasangan hidup, interaksi sosial, danbagaimana kekerabatan keluarga dengan saudara-saudaranya. Pendidikan nilai membantubanyak orang untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak diprioritaskan, mana yang perlu dan mana tidak perlu.[3]
Metode yang digunakan dalam pendekatan penanaman nilai antara lain: Indoktrinisasi, keteladanan, penguatan faktual dan negatif, simulasi, bermain peranan, dan lain-lain. Penjelasan dari beberapa metode yang dipakai dalam pendekatan penanaman nilai yaitu :
1. Indoktrinasi
Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini telah banyak menuai kritik dari para ahli pendidikan. Akan tetapi pendekatan ini masih mampu digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi Siswoyo (2005:72) menyatakan bahwa untuk menolong belum dewasa agar mampu berkembang menjadi akil balig cukup akal, maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin semenjak dini lewat interaksi guru dan siswa.Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah mempunyai nilai-nilai keistimewaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan terhadap anak. Aturan mana yang boleh dilaksanakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan disampaiakan secara tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka beliau dikenai eksekusi, akan tetapi bukan berbentukkekerasan.
2. Metode Keteladan
Sabda Nabi Muhammad S.A.W. :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا.
Artinya: Hadis dari Abdullah ibn Yusuf, katanya Malik memberitakan pada kami dari Amir ibn Abdullah ibn Zabair dari ‘Amar ibn Sulmi az-Zarâqi dari Abi Qatadah al-Anshâri, bahwa Rasulullah saw. salat sambil membawa Umâmah binti Zainab binti Rasulullah saw. dari (pernikahannya) dengan Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abdu Syams. Bila sujud, dia menaruhnya dan jikalau berdiri dia menggendongnya. (al-Bukhari, 1987, I: 193)
Hadis di atas tergolong syarîf marfû’ dengan kualitas perawi yang sebagian terdiri dari şiqah mutqinũn, ra’su mutqinũn, şiqah dan perawi berjulukan Qatadah ialah sahabat Rasulullah saw. (CD Room, Kutub at-Tis’ah).
Menurut al-Asqalâni, ketika itu orang-orang Arab sungguh membenci anak perempuan. Rasulullah saw. menginformasikan pada mereka perihal kemuliaan kedudukan anak perempuan. Rasulullah saw. memberitahukannya dengan langkah-langkah, ialah dengan menggendong Umamah (cucu Rasulullah saw.) di pundaknya ketika salat. Makna yang dapat dipahami bahwa sikap tersebut dikerjakan Rasulullah saw. untuk menentang kebiasaan orang Arab yang membenci anak wanita. Rasulullah saw. menyelisihi kebiasaan mereka, bahkan dalam salat sekalipun. (Al-Asqalani, 1379H: 591-592). Hamd, menyampaikan bahwa pendidik itu besar di mata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena anak latih akan memalsukan dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya, maka wajiblah guru menunjukkan contoh yang baik. (al-Hamd, 2002: 27).
Memperhatikan kutipan di atas mampu diketahui bahwa keteladanan mempunyai arti penting dalam mendidik, keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik, jika pendidiknya baik, ada kemungkinan anak didiknya juga baik, karena murid meniru gurunya. Sebaliknya jikalau guru berperangai jelek, ada kemungkinan anak didiknya juga berperangai jelek.
Rasulullah saw. merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan lewat tindakannya dan lalu menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah swt., bagaimana bersikap sederhana, bagaimana duduk dalam salat dan do’a, bagaimana makan, bagaimana tertawa, dan lain sebagainya, menjadi teladan bagi para sobat, sekaligus ialah bahan pendidikan yang tidak pribadi. Mendidik dengan teladan (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam kehidupannya, merupakan cerminan kandungan Quran secara utuh, sebagaimana firman Allah swt. berikut:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا.
Artinya: Sesungguhnya sudah ada pada (diri) Rasulullah itu suri acuan yang bagus bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir zaman dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33: 21).
Al-Baidhawi (Juz 5: 9), memberi makna uswatun hasanah pada ayat di atas yaitu perbuatan baik yang dapat dicontoh. Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan menjadi tata cara yang ampuh dalam membina kemajuan anak didik. Keteladanan sempurna, yaitu keteladanan Rasulullah saw., yang mampu menjadi acuan bagi pendidik selaku teladan utama, sehingga dibutuhkan anak bimbing memiliki figur pendidik yang mampu dijadikan panutan.[4]
Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan menjadi tata cara yang ampuh dalam membina perkembangan anak latih. Keteladanan tepat, yaitu keteladanan Rasulullah saw., yang dapat menjadi acuan bagi pendidik selaku contoh utama, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figur pendidik yang mampu dijadikan panutan.
3. Metode Penguatan Positif dan Negatif
Prinsip mencar ilmu yang berhubungan dengan umpan bailk dan penguatan utamanya ditekankan oleh teori belajar Operant Conditionong dari B.F. Skinner. Kalau pada teori Conditionong yang diberikan keadaan yaitu stimulusnya, maka pada Operant Conditioning yang diperkuat adalah responsnya. Siswa akan belajar lebih bergairah kalau mengenali dan mendapatkan hasil yang baik. Hasil, apalagi hasil yang bagus, akan ialah umpan balik yang menggembirakan dan besar lengan berkuasa baik untuk usaha belajar berikutnya. Namun dorongan mencar ilmu itu menurut B.F. Skinner tidak saja oleh penguatan yang mengasyikkan namun juga yang tidak mengasyikkan. Atau dengan kata lain penguatan aktual ataupun negatif mampu memperkuat berguru (Gage dan Barliner, 1984:272).Sebagai contoh siswa yang berguru dengan betul-betul dan menerima nilai yang bagus dalam ulangan, maka nilai yang bagus akan mendorong anak untuk berguru lebih giat lagi. Sebaliknya, anak yang mendapatkan nilai yang buruk pada waktu ulangan akan merasa cemas tidak naik kelas. Karena takut tidak naik kelas, maka anak tersebut terdorong untuk belajar lebih giat lagi. Dalam hal ini nilai jelek dan rasa takut akan mendorong anak tersebut untuk mencar ilmu lebih ulet. Inilah yang disebut dengan penguatan negatif dan di sini siswa mencoba untuk menghindar dari peristiwa yang tidak menggembirakan. Format sajian mampu berbentuktagnya jawab, diskusi, eksperimen, tata cara penemuan, dan sebagainya merupakan cara belajar terjadinya umpan balik dan penguatan.[5]
Simulasi merupakan tata cara training yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang seperti dengan kondisi yang bekerjsama (KBBI 2002:1068). Bagi penduduk kita istilah ini telah tidak ajaib lagi, mengingat model simulasi pernah dilakukan atau bahkan berjaya di abad pemasyarakatan anutan penghayatan pengamalan Pancasila (P4) di tahun 1980 an. Dalam rangka penanaman nilai-nilai pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn), utamanya dalam penghayatan sebuah tema kompetensi dasar seorang guru PKn mampu menerapkan sistem simulasi ini.[6]
5. Bermain Peranan
Bermain peranan yakni sebuah versi pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memperoleh makna diri (jati diri) di dunia social dan memecahkan problem dengan pertolongan golongan. Proses bermain tugas ini dapat memperlihatkan teladan kehidupan perilaku insan yang berkhasiat sebagai sarana bagi siswa untuk:
a. Menggali perasaannya
b. Memperoleh wangsit dan pemahaman yang kuat terhadap perilaku, nilai dan persepsinya
c. Mengembangkan kemampuan dan perilaku dalam memecahkan problem
d. Mendalami mata pelajaran dengan banyak sekali macam cara.[7]
Prosedur bermain tugas terdiri atas sembilan langkah adalah
Pemanasan. Guru berusaha memeperkenalkan siswa pada permasalahan yang mereka sadari sebagai suatu hal yang perlu mereka pelajari dan kuasai. Selanjutnya guru menggambarkan persoalan dengan terang disertai acuan, baik yang timbul dari inspirasi siswa atau sengaja disiapkan guru.
Memilih pemain(partisipan). Siswa dan guru membicarakan karakter dari setiap pemain dan menentukan siapa yang mau memainkannya.
Menata panggung. Guru perlu berdiskusi dengan siswa dimana dan bagaimana peran itu akan dimainkan. Apa saja kebutuhsn ysng dibutuhkan. Penataan penggung dapat sederhana atau kompleks. Penataan panggung yang paling sederhana yaitu cuma membahas scenario yang menggambarkan urutan permainan tugas. Sementara penataan panggung yang lebih kompleks mencakup aksesoris lain seperti kostum dan lain-lain.
Guru menunjuk beberapa siswa selaku pengamat. Pengamat juga mesti terlibat aktif dalam permainan tugas.
Permainan tugas dimulai. Permaianan tugas dilaksanakan secara spontan. Pada mulanya akan banyak siswa yang masih galau memainkan perannya atau bahkan tidak cocok dengan peran yang seharusnya beliau kerjakan. Jika permainan tugas sudah terlalu jauh keluar jalur, guru mampu menghentikannya untuk secepatnya masuk kelangkah berikutnya.
Guru bareng siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan evaluasi kepada peran-peran yang dilaksanakan. Usulan perbaikan akan timbul. Mungkin akan ada siswa yang meminta untuk berubah peran. Atau bahkan alur cerotanya akan sedikit berganti.
Permainan tugas diulang. Pada permainan peran yang kedua ini akan lebih baik alasannya sisa dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan skenario.
Pembahasan diskusi dan evaluasi yang lebih diarahkan pada realitas. Mengapa demikian? Karena pada ketika permainan peran dikerjakan, banyak tugas yang melebihi batas realita. Contoh seorang siswa yang memerankan tugas orang tua yang galak. Kegalakan yang dilaksanakan orang tua ini mampu dijadikan bahan diskusi.
Siswa diajak untuk berbagi pengalaman ihwal tema permainan peran yang telah dilaksanakan dan dilanjutkan dengan menciptakan kesimpulan.[8]
D. Tujuan Pendekatan Penanaman Nilai
Menurut Huitt tujuan pendekatan nilai adalah untuk :
1. Menginternalisasikan nilai-nilai ke dalam diri akseptor latih.
2. Merubah nilai-nilai yang dipedomani penerima bimbing agar lebih erat direfleksikan nilai-nilai tertentu yang dikehendaki.[9]
Pendekatan ini mengusahakan semoga siswa mengenal dan mendapatkan nilai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan : pengenal opsi, memilih pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri.[10]
KESIMPULAN
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) yaitu sebuah pendekatan yang memberi pementingan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Metode yang dipakai dalam pendekatan penanaman nilai antara lain: keteladanan, penguatan nyata dan negatif, simulasi, bermain peranan, dan lain-lain. Tujuan dari penanaman nilai adalah : Menginternalisasikan nilai-nilai ke dalam diri penerima bimbing, Merubah nilai-nilai yang dipedomani peserta latih semoga lebih akrab direfleksikan nilai-nilai tertentu yang diinginkan
DAFTAR PUSTAKA
- Banks, J.A. 1985. Teaching strategies for the social studies. New York: Longman.
- Raths, L.E., Harmin, M. & Simon, S.B. 1978. Values and teaching: working with values in the classroom. Second Edition. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
- Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Bandung : Bumi Aksara, 2006).
- Superka, D.P. 1973. A typology of valuing theories and values education approaches.
- Doctor of Education Dissertation. University of California, Berkeley.
- Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. 1976. Values education sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.
- http://eko87kurnia.multiply.com/journal/item/14
- er.com/search?q=nilai-sosial
[1] Lihat Zaim Elmubarok,Membumikan Pendidikan Nilai, (Bandung : Alfabeta : 2007 ), h. 61-62
[2] Ibid, h. 62
[3] http://www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi/Jurnal/No_026/pendekatan_pendidikan_teuku_ramli.htm
[4] http://eko87kurnia.multiply.com/journal/item/14
[5] http://eko87kurnia.multiply.com/journal/item/14
[6] http://eko87kurnia.multiply.com/journal/item/14
[7]er.com/search?q=nilai-sosial
[8] er.com/search?q=nilai-sosial
[9] Lihat W. Huitt, Value: Educational Psychology Interactive (Valdosta GA: Valdosta State University, 2004).
[10] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Bandung : Bumi Aksara, 2006).
EmoticonEmoticon