BAB I
PENDAHULUAN
Paradigma pendidikan di abad depan yakni pendidikan yang demokratis dan pendidikan yang demokratis cuma mampu diwujudkan dalam penduduk , bangsa dan negara yang juga demokratis. Demokrasi, termasuk demokrasi pendidikan, memang tidak menyembuhkan berbagai penyakit pembangunan, termasuk untuk menerima pendidikan yang berkualitas, namun demokrasi memperlihatkan peluang terbaik bagi terlaksananya keadilan dan terhormatinya harkat dan martabat kemanusiaan. Pendidikan yang demokratis akan menghasilkan lulusan yang bisa berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mensugesti pengambilan keputusan kebijakan publik.
Sampai saat ini, pendidikan yang demokratis masih merupakan harapan yang belum terwujud. Dalam undang-undang tata cara pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 bab III pasal 4 ayat 1 dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Namun dalam kenyataan masih terdapat fenomena pendidikan yang tidak demokratis, misalnya fenomena kurang memadainya mutu proses dan produk pendidikan. Gambaran pendidikan dikala ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Proses pendidikan didominasi oleh penyampaian berita bukan pemrosesan gosip. (2) Proses pendidikan masih berpusat pada kegiatan mendengarkan dan menghafalkan, bukan interpretasi dan makna terhadap apa yang dipelajari dan upaya membangun pengetahuan. (3) Proses pendidikan masih didominasi oleh guru/dosen yang otoriter (4) Selama ini siswa diposisikan sebagai objek, belum menempati kedudukannya selaku subyek, sehingga kurang ada potensi bagi siswa/mahasiswa untuk berkreasi, memberi peluang untuk mengembangkan dan memberikan kesanggupan yang beragam.
A.Kebudayaan Sebagai Isi Pendidikan
Kebudayaan ialah pemersatu social, pemersatu soasial ini dapat berbentukkekayaan social termasuk ilmu wawasan, iktikad, akhlak istiadat, keterampilan, nilai-nilai, sikap, tingkh laku serta cara berfikir golongan social yang diperoleh oleh anggota masyarakat (Ansyar,1989:49).
Secara umum ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan menentapkan sistem hidup yang diakui dan diterima serta dibanggakan anggota penduduk , tergolong didalamnya faktor-aspek kehidupan yang mudah terlihat mirip barang-barang produksi, organisasi politik dan institusi sosial, mata pencaharian, bentuk-bentuk pakaian, makanan, permainan, music, acara-acara memelihara dan membesarkan anak, upacara keagamaan dan cara-cara kenegaraan. Menurut Linton (Ansyar, 1989:52 -53) bahwa semua kebudayaan dapat dibagi menjadi tiga elemen penting, adalah selaku berikut :
1.Universal
Struktur kebudayaan universal ialah semua nilai-nilai, keyakinan, dan akhlak istiadat yang dianut semua anggota penduduk cukup umur, mirip berkaitan dengan bahasa, kuliner, agama, dan lain-lain.
2. Khusus
Klasifikasi aspek kebudayaan khusus ini berhubungan dengan tingkat kelas sosial (tinggi, menengah, rendah) atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) atau umur (anak-anak, cukup umur, dan akil balig cukup akal).
3.Alternatif
Budaya alternative adalah aspek-faktor kepercayaan, tingkah laris atau tindak tandukyang berlawanan atau bertentangan dengan norma-norma biasa berlaku dimasyarakat yakni yang universal dan khusus.
Karena kebudayaan menetapkan sistem berbuat para warganya, maka mampu diketahui bahwa kebudayaan juga membentuk kepribadian. Dengan kata lain, setiap individu harus berbuat sesuai dengan pola-acuan tingkah laku yang ditetapkan kebudayaannya. Implikasi pernyataan ini adalah pendidikan dimana saja berfungsi untuk membentuk kepribadian sosial individu. Kaprikornus, setiap kebudayaan bertujuan membuat setiap anggota masyarakatnya menjadi tipe orang berkepribadian ideal yakni seseorang yang memiliki nilai-nilai, karakteristik, perilaku, tingkah laris yang cocok dengan ketentuan kebudayaannya. Dari uraian diatas mampu disimpulkan bahwa kebudayaan sungguh berperan dalam mengisi pendidikan untuk membentuk kepribadian dan watak individu dalam sosialisasi di lingkungannya.
B.Demokrasi dalam Perspektif Pendidikan
Demokrasi, secara etimologi, berasal dari bahasa Latin, dari akar kata demos yang memiliki arti rakyat dan cratos yang bermakna kekuasaan, sehingga secara sederhana demokrasi mampu diartikan sebagai kedaulatan ditangan rakyat. Secara terminologi, sebagaimana disampaikan Sparingga, demokrasi yaitu pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dikerjakan langsung oleh mereka atau wakil-wakilnya yang dipilih lewat penyeleksian bebas. Prinsip utama demokrasi yakni (a) kedaulatan di tangan rakyat, (b) pemerintahan berdasarkan kesepakatan dari mereka yang diperintah, (c) kekuasaan lebih banyak didominasi, (d) hak-hak minoritas, (e) jaminan hak-hak azasi manusia, (f) penyeleksian yang bebas dan jujur, (g) persamaan di depan hokum, (h) proses hukum yang masuk akal, (i) pembatasan pemerintahan secara konstitusional, (j) pluralisme dalam aspek sosial ekonomi dan politik, (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, koordinasi dan mufakat.
Bagaimana desain demokrasi dalam perspektif pendidikan? Demokrasi pada dasarnya mengakui setiap warga negara sebagai eksklusif yang unik, berbeda satu sama lain dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Demokrasi menunjukkan peluang yang luas bagi pelaksanaan dan pengembangan peluangmasing-masing individu tersebut, baik secara fisik maupun mental spiritual. Demokrasi juga mengakui bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Karena itu, pendidikan yang demokratis yakni pendidikan yang menempatkan peserta asuh sebagai individu yang unik berlawanan satu sama lain dan mempunyai peluangyang perlu diwujudkan dan dikembangkan semaksimal mungkin. Untuk itu pendidikan yang demokratis mesti memperlihatkan treatmen berbeda kepada target didik yang berlainan sesuai dengan karakteristik masing-masing. Pendidikan yang demokratis juga menuntut partisipasi aktif peserta ajar bareng guru dalam merencanakan, berbagi dan melaksanakan proses berguru-mengajar. Partisipasi orang renta dan penduduk juga amat penting dalam mendesain, mengembangkan dan melaksanakan proses pendidikan tersebut.
Demokrasi, dalam lingkup pendidikan, ialah pengukuhan terhadap individu penerima bimbing, sesuai dengan harkat dan martabat akseptor latih itu sendiri, alasannya demokrasi yaitu alami dan manusiawi. Ini berarti bahwa observasi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan mesti mengakui dan menghargai kemampuan dan karakteristik individu peserta latih. Tidak ada komponen paksaan atau mencetak siswa yang tidak cocok dengan harkatnya.
Dengan demikian, demokrasi berarti perilaku saling menghargai, saling menghormati, toleransi terhadap pihak lain tergolong pengendalian diri dan tidak egois. Dalam proses pendidikan, semua pihak yang terkait menyadari akan alam atau atmosfir yang bernuansa saling menghargai tersebut, yaitu antara guru dengan guru, antara guru dengan siswa dan antara guru dengan pihak-pihak anggota masyarakat tergolong orang renta dan lain-lain. Ini berarti bahwa dalam semangat demokrasi seorang mesti tunduk terhadap keputusan bersama atau janji bareng . Tidak terjadi keharusan penerimaan tanpa unsur paksaan, namun kesepakatan bareng yang akan menjadi sikap mereka semua. Dengan kata lain, seseorang menerima keputusan bersama dengan rasa lapang dada alasannya menomerduakan kepentingan eksklusif dan tunduk kepada permintaan kesejahteraan lazim .
Demokrasi dalam pendidikan dan pembelajaran memakai pengertian equal opportunity for all. Artinya, anak bimbing menerima kesempatan yang serupa dalam menerima peluang dan perlakuan pendidikan. Guru memberikan peluang yang serupa terhadap setiap individu untuk mengikuti setiap acara pendidikan.
C.Hubungan Pendidikan dan Demokrasi
Dalam kaitan antara pendidikan dan demokrasi terdapat dua pendapat yang saling bertentangan. Pertama, muncul di lingkungan penganut paham demokrasi liberal yang menentang sekolah dijadikan sebagai instrumen sosialisasi politik yang menguntungkan penguasa. Sebab, pendidikan akan menciptakan lulusan yang tidak memiliki kemandirian dan cenderung menjadi robot. Menurut kalangan ini pendidikan harus ditempatkan selaku instrumen untuk mengembangkan adab demokratis, mengembangkan daya kritis, mendorong semangat untuk mengejar pengetahuan dan selalu menjunjung harkat dan martabat manusia. Kedua, menyatakan bahwa pendidikan ialah sebuah instrumen untuk berbagi kesadaran, sikap dan sikap politik dengan keinginan siswa menjadi warga masyarakat yang bagus. Dalam pandangan ini pendidikan sebagai alat sosialisasi politik merupakan kenyataan yang tidak perlu disangkal lagi. Dewasa ini tidak ada satupun negara yang tidak menggunakan pendidikan sebagai instrumen sosialisasi politik, bahkan di Barat (AS) sekalipun yang dianggap selaku jagoan Demokrasi dan HAM. Mereka tetap menyebabkan pendidikan selaku alat indoktrinasi politik. Dalam buku-buku teks Civics senantiasa ditekankan bahwa metode kapitalitas paling baik dan tata cara lain buruk. Demikian juga dalam setiap buku diuraikan bahwa kehidupan negara-negara sedang berkembang masih sungguh udik.
Demokrasi dan pendidikan, bahwasanya, saling berkaitan satu sama lain dan memiliki bubungan timbal balik. Misalnya: pendidikan kalau dimaknai suatu proses santunan untuk berbagi seluruh potensi penerima bimbing, maka pendidikan harus dikerjakan secara demokratis (sering disebut dengan istilah demokrasi pendidikan). Pendidikan yang demokratis memiliki ciri adanya suasana mencar ilmu yang berkemampuan maksimal menumbuhkan potensi akseptor ajar untuk tujuan tertentu. Begitu juga sebaliknya, biar nilai-nilai demokrasi (hak-hak asasi), kebebasan, keadilan, persamaan dan keterbukaan) dapat diketahui dan mempunyai penerima asuh, maka perlu pendidikan. Pendidikan tersebut berfungsi menanamkan nilai-nilai demokrasi terhadap penerima bimbing (pendidikan demokrasi atau pendidikan wacana demokrasi).
D.Mewujudkan Demokrasi Lewat Pendidikan
Pendidikan mempunyai cakupan luas, jalur sekolah, luar sekolah dan keluarga. Pendidikan sekolah sendiri terdiri atas jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Untuk merealisasikan demokrasi dalam dan lewat sekolah, menurut John Dewey, sekolah mesti mengerjakan tiga fungsi berikut, (1) sekolah harus memberikan lingkungan yang disederhanakan dari kebudayaan kompleks yang ada, yakni diseleksi dari segi fundamental yang mampu diserap oleh akil balig cukup akal, (2) sekolah sejauh mungkin mengeliminasi sisi-sisi yang tidak baik dari lingkungan yang ada, menghapus hal-hal yang remeh dan tak berguna dari abad lampau dan memilih yang terbaik dan memungkinkan bawah umur menjadi warga negara yang lebih baik dan membentuk penduduk masa depan yang lebih maju dan sejahtera, (3) sekolah hendaknya menyeimbangkan berbagai unsur dalam lingkungan sosial serta mengusahakan biar masing-masing individu menerima potensi untuk melepaskan dirinya dari keterbatasan-keterbatasan kelompok sosial dimana dia lahir.
Konsep tersebut sesuai dengan paradigma pendidikan sistematik organik yang menyatakan bahwa proses pendidikan formal tata cara persekolahan mesti mempunyai empat ciri sebagai berikut: (1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran dibandingkan dengan mengajar, (2) Pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel, (3) Pendidikan memperlakukan penerima asuh selaku individu yang mempunyai karakteristik khusus dan mandiri dan (4) Pendidikan merupakan proses yang berkelanjutan dan selalu berinteraksi dengan lingkungan.
Dengan demikian, perwujudan sekolah yang mensosialisakan paham dan perilaku demokratis, seperti ditulis Zamroni, mampu dikaji berdasar empat faktor: (1) aspek status siswa, berorientasi pada pendidikan modern yang memiliki perkiraan bahwa pendidikan berjalan dari lahir hingga mati. Artinya, sekolah yakni kehidupan itu sendiri dan sebaliknya kehidupan itu adalah sekolah atau pendidikan. Karena itu, sekolah ialah kehidupan riel siswa itu sendiri bukan kawasan menyiapkan siswa bagi kehidupan mendatang. Hal ini sesuai dengan pertimbangan John Dewey sebagaimana dikutip Zamroni, school is not preparation for life but life itself (sekolah bukan bekal untuk hidup tetapi kehidupan itu sendiri). Implikasi dari orientasi ini yakni anak ajar merupakan subyek dalam proses pendidikan. Kehidupan sosial siswa ialah sumber transformasi kehidupan. Peran penting dalam proses pendidikan bukan terletak pada mata pelajaran yang diberikan, melainkan terletak pada aktivitas sosial siswa sendiri.
Orientasi pendidikan modern ini memberikan pementingan dan daerah berkembangnya kreativitas, kemandirian, toleransi dan tanggung jawab siswa. (2) aspek fungsi guru: yaitu bahwa guru sebagai fasilitator dan motivator. Fungsi guru ini akan muncul jikalau siswa berstatus selaku subyek dalam proses pendidikan, alasannya adalah sebagai fasilitator dan motivator guru akan lebih banyak bersifat tut wuri handayani dengan memberikan dorongan dan motivasi agar siswa dapat memperluas kemampuan pandang untuk mengembangkan berbagai alternatif dalam aktivitas kehidupan dan memperkuat kemauan untuk mendalami serta berbagi apa yang telah dipelajari dalam proses pendidikan. (3) Dimensi Materi Pendidikan: yakni materi pendidikan bersifat persoalan oriented, guru memberikan bahan pengajaran berangkat dari masalah riel yang dihadapi siswa dan lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian materi yang bersifat teoritis akan dihubungkan dengan realitas kehidupan siswa. Guru dituntut berperan aktif, kreatif dan berani membawa isue-isue kontroversial ke dalam proses berguru mengajar. Adapun para siswa mendapat potensi untuk mendiskusikan isue-isue yang sensitif tersebut. (4) Dimensi Manajemen Pendidikan: adalah manajemen yang bersifat desentralisasi ialah kebijakan pendidikan lebih banyak ditentukan pada level tempat, level sekolah dan level kelas. Dengan desentralisasi ini kreativitas dan daya inovatif guru sungguh diperlukan. Dimensi manajemen yang bersifat desentralisasi dipraktekkan apabila dimensi siswa selaku subyek pendidikan, fungsi guru sebagai dinamisator dan fasilitator dan materi pengajaran bersifat dilema oriented.
Orientasi pendidikan dengan keempat faktor yang dikemukakan Zamroni tersebut akan merealisasikan praktek pendidikan yang demokratis dan akan menciptakan lulusan individu yang demokratis, kreatif, tolerans dan mampu berdiri diatas kaki sendiri. Ciri-ciri lulusan seperti ini akan sangat berperan merealisasikan penduduk demokratis.
E.Membangun Sistem Pendidikan Demokratis
Impian pendidikan berkualitas cuma mampu diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan dan demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Namun, kenyatannya kehidupan yang demokratis masih lebih merupakan impian daripada kenyataan.
Konsep metode pendidikan yang demokratis terkait dengan bagaimana pendidikan tersebut disiapkan, dirancang dan dikembangkan sehingga memungkinkan terwujudnya ciri-ciri atau nilai-niklai demokrasi. Ini juga bersifat umum dalam arti mengemas metode pendidikan dengan seluruh unsur, yaitu kurikulum, bahan pendidikan, sarana prasarana, lingkungan siswa, guru dan tenaga pendidikan lainnya, proses pendidikan dan lainnya. Bisa juga bersifat khusus ialah pengemasan unsur-komponen tertentu dari metode pendidikan tersebut mislanya bagaimana kurikulum atau bahan pelajaran atau proses berguru mengajar dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan dan memungkinkan terbentuknya nilai-nilai demokrasi.
Dalam membuatkan metode pendidikan yang demokratis di Indonesia, perlu mengamati tujuh butir yang merupakan prinsip-prinsip dalam prosedur-mekanisme yang demokratis dan mencerminkan persepsi serta jalan hidup demokratis yang diinginkan. Tujuh butir tersebut: (1) mengutamakan kepentingan penduduk , (2) tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, (3) mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bareng , (4) musyawarah untuk meraih mufakat diliputi semangat kekeluargaan, (5) mempunyai i'tikad baik dan rasa tanggung jawab mendapatkan dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah, (6) musyawarah yang dijalankan dengan logika sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, (7) keputusan yang diambil mesti mampu dipertanggung-jawabkan secara susila terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Sistem pendidikan yang demokratis tersbeut perlu diperjelas secara makro di tingkat nasional yang berlaku untuk seluruh Indonesia atau tingkat mikro di lingkungan sekolah atau kelas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun tata cara pendidikan yang demokratis sebagaimana yang dinyatakan Sadiman, selaku berikut.
1.Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga mampu memberikan ruang gerak bagi sekolah/kawasan tertentu untuk menyesuaikan dengan keadaan dan keperluan lokal tanpa harus kehilangan orientasi nasional dan global. Kurikulum juga harus menggariskan adanya mata pelajaran-mata pelajaran yang menggiring suasana demokratis dalam proses belajar mengajar dan pada gilirannya mampu menanamkan nilai-nilai demokratis pada diri anak asuh.
2.Tidak ada keharusan bagi sekolah atau forum pendidikan untuk memakai bahan belajar tertentu. Idealnya diberi kebebasan memilih sendiri materi mencar ilmu (buku dan media) yang mereka nilai baik. Bahan belajar sendiri juga harus dibungkus dengan mengakui bahwa setiap siswa berlawanan satu sama lain dengan kelebihan dan kekurangannya memungkinkan adanya interaksi aktif dan menempatkan target didik selaku subyek bukan obyek pendidikan.
3.Sarana prasarana pendidikan pun mesti menunjang terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam praktek pendidikan atau berguru mengajara sehari-hari. Misalnya: ruang kelas dengan meja bangku bangku tidak kaku namun mempunyai keleluasaan yang tinggi, perpustakaan mempunyai koleksi warna-warni yang tidak saja memotivasi siswa untuk mengunjungi dan membaca namun juga memberikan alternatif pilihan sumber mencar ilmu. Perpustakaan, baik perpustakaan kelas maupun perpustakaan sekolah hendaknya menjadi bagian yang menyatu dengan proses belajar mengajar di kelas. Sebagai individu anak hendaknya mempunyai berbagai kebutuhan, maka sekolah atau lembaga pendidkan haruslah bisa memberikan lingkungan mencar ilmu yang mampu menyanggupi kebutuhan biologis (kuliner, minuman, rasa aman dan daerah istirahat), kebutuhan psikologis dan keperluan sosial (komunikasi dan interaksi dengan sesama insan).
4.Sebagai bagian metode pendidikan, guru harus bersikap demokratis. Guru harus bisa mendapatkan perbedaan, menghargai pendapat siswa tidak memaksakan kehendak, merasa paling tahu dan membuat situasi berguru yang demokratis. Peran guru bukan selaku satu-satunya sumber mencar ilmu sebab sudah/semakin banyak sumber mencar ilmu lain di sekeliling kehidupan anak.
5.Proses pendidikan atau berguru mengajar hendaknya merefleksikan nilai-nilai demokrasi.
Berkaitan dengan desain kelima, Arief S. Sadiman menerangkan bahwa proses pembelajaran yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi ialah sebagai berikut
(a)Menempatkan anak ajar selaku individu yang unik. Mereka memiliki minat, talenta, efisiensi alat indra, kecerdasan, cara merespon pelajaran yang diberikan, ketrampilan dan sikap berlawanan satu sama lain sehingga perlu diberikan treatmen yang berlainan. Proses pendidikan hendaknya mampu membuat rancangan diri yang faktual pada anak asuh. Masing-masing anak harus merasa mampu, kondusif dan memperoleh tempatnya masing-masing di dalam penduduk sekolah. Tidak ada anak yang unknown semua baik yang bakir maupun yang lemah semua mendapat perhatian.
(b)Pembelajaran hendaknya bersifat perorangan dalam arti tiap siswa mendapatkan cara penanganan sesuai dengan aksara masing-masing. Apabila hal ini masih susah dilaksanakan maka mampu ditempuh cara pengelompokan siswa menurut prestasi “acheivement grouping”. Kelompok ini bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan masing-masing individu. Strategi ini dimaksudkan memberi potensi pada anak untuk meningkatkan diri sejalan dengan kecepatan belajarnya.
(c)Sebagai konsekuensi dari pembelajaran perorangan tersebut perlu diterapkan tata cara maju berkelanjutan “continuous progress”. Pelaksanaan sistem ini memungkinkan siswa menyelesaikan pendidikan lebih cepat, lebih lambat atau sempurna pada waktunya. Sistem maju berkesinambungan membuka potensi secara luas bagi perkembangan eksklusif anak sebab anak mampu maju tanpa kendala, kelas atau tingkatan tidak lagi merupakan barrier untuk terus maju. Sistem ini tidak saja akan menguntungkan anak, akan tetapi juga mampu menjadi pemicu peningkatan atau percepatan-achievement.
(d)Demokrasi menghargai kebebasan individu untuk mengekspresikan diri namun tetap menghargai norma dan budbahasa. Proses pendidikan di sekolah bisa merealisasikan hal ini dengan sengaja dan memperlihatkan paling tidak satu jam belajar bebas “independent study” setiap minggunya. Dalam pelajaran ini anak berguru bertanggungjawab atas kebebasan yang diberikan. Dengan memakai perpustakaan dan sumber berguru lain, anak berguru mengarahkan diri, menolong diri, disiplin dan menertibkan diri. Dengan mencari aktivitas yang cocok dengan keperluan dan tahap kemajuan masing-masing anak berusaha memenuhi keperluan. Pelajaran ini juga melatih siswa menghargai waktu, mengembangkan kemampuan anak untuk mengarahkan diri (self direction), mendisiplinkan diri (self discipline), menguasai diri (self control), membantu diri sendiri (self help), mengandalkan diri (self reliance) dan merepotkan diri (self activity).
(e)Untuk menghilangkan tumbuhnya perilaku individualistis perlu disiapkan pelajaran golongan. Proses belajar dalam golongan ini tidak saja membina perilaku toleransi anak tetapi juga memberi kesempatan untuk mengadakan interaksi sosial, berguru bahwa masih ada orang di luar diri sendiri, bersikap terbuka kepada pergantian dan saling membantu.
(f)Proses belajar mengajar mesti memberi kesempatan anak ajar untuk mengekspresikan dirinya baik lesan maupun tertulis. Untuk metodologi pembelajaran yang diseleksi harus memungkinkan hal tersebut. Misalnya: diskusi, seminar, observasi, eksperimen individual maupun kelompok dan sebagainya. Pelajaran mengarang yang sementara ini diabaikan karena berat dalam mengoreksi justru harus ditingkatkan dan diamati. Tata krama secara lesan dan tertulis mesti dipelajari anak. Dalam kaitan ini terasa penting perpustakaan yang terpadu dengan proses berguru mengajar di kelas.
(g)Peran serta aktif anak asuh tidak saja digalang dalam proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah, namun juga menetapkan tata tertib atau hukum yang harus ditaati sendiri. Juga dalam acara mirip mengurus majalah sekolah. Ini terang ialah cerminan hidup demokratis.
(h)Grafik prestasi kelas dan grafik prestasi eksklusif yang dipasang di kelas menunjukkan posisi masing-masing anak dalam mata pelajaran tertentu. Keterbukaan ini mengajarkan pada anak kejujuran untuk mengakui kekurangan atau kelemahan diri dan kelemahan atau kelebihan orang lain sekaligus memotivasi anak untuk meningkatkan diri dan motivasi berprestasi.
(i)Evaluasi dalam pendidikan yang demokratis tidak hanya menganggap prestasi siswa namun juga menganggap kinerja para guru/pendidik dan tata cara secara keseluruhan. Guru hendaknya berjiwa besar atau berlapang dada untuk menerima evaluasi dari siswa dengan tujuan mengembangkan mutu pendidikan di forum tersebut.
1.Makna demokrasi dalam pendidikan mengandung unsur kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian untuk mengembangkan kepercayaan diri sekaligus kesadaran akan kekurangan kemampuan individu sehingga melakukan pekerjaan sama dengan individu lain ialah kewajiban dalam kehidupan masyarakat. Kebebasan mempunyai makna perlu dikembangkan visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan pluralitas penduduk , bukan cuma mementingkan invidu atau golongan dan menjadikan pertentangan. sebab itu keleluasaan harus diiringi dengan rasa tanggung jawab.
2.Demokrasi dan pendidikan merupakan dua perumpamaan yang saling berkaitan satu sama lain karena nilai demokrasi untuk difahami dan dimiliki masyarakat mesti melalui pendidikan, begitu juga sebaliknya agar pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang mempunyai kemandirian, daya kritis, dinamis, susila demokratis dan senantiasa menjunjung harkat dan martabat insan, maka pendidikan mesti dikerjakan dengan demokrasi.
3.Indikator lembaga pendidikan yang demokratis yaitu (a) manajemen pendidikan bersifat desentralisasi yaitu kebijakan pendidikan lebih banyak diputuskan pada level daerah, level sekolah dan level kelas; (b) bahan pendidikan bersifat problem oriented, dimana guru menyampaikan bahan pengajaran berangkat dari persoalan riel yang dihadapi siswa dan lingkungannya dengan pendekatan konstruktivistik; (c) Siswa merupakan subyek dalam proses pendidikan (penerima asuh) dan (d) guru sebagai fasilitator, dinamisator dan motivator yang lebih banyak bersifat tutwuri handayani dengan menunjukkan motivasi kepada siswa untuk mengembangkan kemandiriannya, kreativitasnya dan toleransinya.
4.Dalam membangun tata cara pendidikan yang demokratis di Indonesia melibatkan seluruh pelaku pendidikan dalam merencanakan, merancang dan membuatkan forum pendidikan yang berlandaskan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi Pancasila. Nilai demokrasi harus melekat pada seluruh komponen pendidikan ialah nilai demokrasi menempel pada guru, peserta didik, kurikulum, sarana pendidikan, proses pendidikan dan lingkungan pendidikan.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comSampai saat ini, pendidikan yang demokratis masih merupakan harapan yang belum terwujud. Dalam undang-undang tata cara pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 bab III pasal 4 ayat 1 dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Namun dalam kenyataan masih terdapat fenomena pendidikan yang tidak demokratis, misalnya fenomena kurang memadainya mutu proses dan produk pendidikan. Gambaran pendidikan dikala ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Proses pendidikan didominasi oleh penyampaian berita bukan pemrosesan gosip. (2) Proses pendidikan masih berpusat pada kegiatan mendengarkan dan menghafalkan, bukan interpretasi dan makna terhadap apa yang dipelajari dan upaya membangun pengetahuan. (3) Proses pendidikan masih didominasi oleh guru/dosen yang otoriter (4) Selama ini siswa diposisikan sebagai objek, belum menempati kedudukannya selaku subyek, sehingga kurang ada potensi bagi siswa/mahasiswa untuk berkreasi, memberi peluang untuk mengembangkan dan memberikan kesanggupan yang beragam.
BAB II
PEMBAHASAN
Kebudayaan ialah pemersatu social, pemersatu soasial ini dapat berbentukkekayaan social termasuk ilmu wawasan, iktikad, akhlak istiadat, keterampilan, nilai-nilai, sikap, tingkh laku serta cara berfikir golongan social yang diperoleh oleh anggota masyarakat (Ansyar,1989:49).
Secara umum ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan menentapkan sistem hidup yang diakui dan diterima serta dibanggakan anggota penduduk , tergolong didalamnya faktor-aspek kehidupan yang mudah terlihat mirip barang-barang produksi, organisasi politik dan institusi sosial, mata pencaharian, bentuk-bentuk pakaian, makanan, permainan, music, acara-acara memelihara dan membesarkan anak, upacara keagamaan dan cara-cara kenegaraan. Menurut Linton (Ansyar, 1989:52 -53) bahwa semua kebudayaan dapat dibagi menjadi tiga elemen penting, adalah selaku berikut :
1.Universal
Struktur kebudayaan universal ialah semua nilai-nilai, keyakinan, dan akhlak istiadat yang dianut semua anggota penduduk cukup umur, mirip berkaitan dengan bahasa, kuliner, agama, dan lain-lain.
2. Khusus
Klasifikasi aspek kebudayaan khusus ini berhubungan dengan tingkat kelas sosial (tinggi, menengah, rendah) atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) atau umur (anak-anak, cukup umur, dan akil balig cukup akal).
3.Alternatif
Budaya alternative adalah aspek-faktor kepercayaan, tingkah laris atau tindak tandukyang berlawanan atau bertentangan dengan norma-norma biasa berlaku dimasyarakat yakni yang universal dan khusus.
Karena kebudayaan menetapkan sistem berbuat para warganya, maka mampu diketahui bahwa kebudayaan juga membentuk kepribadian. Dengan kata lain, setiap individu harus berbuat sesuai dengan pola-acuan tingkah laku yang ditetapkan kebudayaannya. Implikasi pernyataan ini adalah pendidikan dimana saja berfungsi untuk membentuk kepribadian sosial individu. Kaprikornus, setiap kebudayaan bertujuan membuat setiap anggota masyarakatnya menjadi tipe orang berkepribadian ideal yakni seseorang yang memiliki nilai-nilai, karakteristik, perilaku, tingkah laris yang cocok dengan ketentuan kebudayaannya. Dari uraian diatas mampu disimpulkan bahwa kebudayaan sungguh berperan dalam mengisi pendidikan untuk membentuk kepribadian dan watak individu dalam sosialisasi di lingkungannya.
B.Demokrasi dalam Perspektif Pendidikan
Demokrasi, secara etimologi, berasal dari bahasa Latin, dari akar kata demos yang memiliki arti rakyat dan cratos yang bermakna kekuasaan, sehingga secara sederhana demokrasi mampu diartikan sebagai kedaulatan ditangan rakyat. Secara terminologi, sebagaimana disampaikan Sparingga, demokrasi yaitu pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dikerjakan langsung oleh mereka atau wakil-wakilnya yang dipilih lewat penyeleksian bebas. Prinsip utama demokrasi yakni (a) kedaulatan di tangan rakyat, (b) pemerintahan berdasarkan kesepakatan dari mereka yang diperintah, (c) kekuasaan lebih banyak didominasi, (d) hak-hak minoritas, (e) jaminan hak-hak azasi manusia, (f) penyeleksian yang bebas dan jujur, (g) persamaan di depan hokum, (h) proses hukum yang masuk akal, (i) pembatasan pemerintahan secara konstitusional, (j) pluralisme dalam aspek sosial ekonomi dan politik, (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, koordinasi dan mufakat.
Bagaimana desain demokrasi dalam perspektif pendidikan? Demokrasi pada dasarnya mengakui setiap warga negara sebagai eksklusif yang unik, berbeda satu sama lain dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Demokrasi menunjukkan peluang yang luas bagi pelaksanaan dan pengembangan peluangmasing-masing individu tersebut, baik secara fisik maupun mental spiritual. Demokrasi juga mengakui bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Karena itu, pendidikan yang demokratis yakni pendidikan yang menempatkan peserta asuh sebagai individu yang unik berlawanan satu sama lain dan mempunyai peluangyang perlu diwujudkan dan dikembangkan semaksimal mungkin. Untuk itu pendidikan yang demokratis mesti memperlihatkan treatmen berbeda kepada target didik yang berlainan sesuai dengan karakteristik masing-masing. Pendidikan yang demokratis juga menuntut partisipasi aktif peserta ajar bareng guru dalam merencanakan, berbagi dan melaksanakan proses berguru-mengajar. Partisipasi orang renta dan penduduk juga amat penting dalam mendesain, mengembangkan dan melaksanakan proses pendidikan tersebut.
Demokrasi, dalam lingkup pendidikan, ialah pengukuhan terhadap individu penerima bimbing, sesuai dengan harkat dan martabat akseptor latih itu sendiri, alasannya demokrasi yaitu alami dan manusiawi. Ini berarti bahwa observasi pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan mesti mengakui dan menghargai kemampuan dan karakteristik individu peserta latih. Tidak ada komponen paksaan atau mencetak siswa yang tidak cocok dengan harkatnya.
Dengan demikian, demokrasi berarti perilaku saling menghargai, saling menghormati, toleransi terhadap pihak lain tergolong pengendalian diri dan tidak egois. Dalam proses pendidikan, semua pihak yang terkait menyadari akan alam atau atmosfir yang bernuansa saling menghargai tersebut, yaitu antara guru dengan guru, antara guru dengan siswa dan antara guru dengan pihak-pihak anggota masyarakat tergolong orang renta dan lain-lain. Ini berarti bahwa dalam semangat demokrasi seorang mesti tunduk terhadap keputusan bersama atau janji bareng . Tidak terjadi keharusan penerimaan tanpa unsur paksaan, namun kesepakatan bareng yang akan menjadi sikap mereka semua. Dengan kata lain, seseorang menerima keputusan bersama dengan rasa lapang dada alasannya menomerduakan kepentingan eksklusif dan tunduk kepada permintaan kesejahteraan lazim .
Demokrasi dalam pendidikan dan pembelajaran memakai pengertian equal opportunity for all. Artinya, anak bimbing menerima kesempatan yang serupa dalam menerima peluang dan perlakuan pendidikan. Guru memberikan peluang yang serupa terhadap setiap individu untuk mengikuti setiap acara pendidikan.
C.Hubungan Pendidikan dan Demokrasi
Dalam kaitan antara pendidikan dan demokrasi terdapat dua pendapat yang saling bertentangan. Pertama, muncul di lingkungan penganut paham demokrasi liberal yang menentang sekolah dijadikan sebagai instrumen sosialisasi politik yang menguntungkan penguasa. Sebab, pendidikan akan menciptakan lulusan yang tidak memiliki kemandirian dan cenderung menjadi robot. Menurut kalangan ini pendidikan harus ditempatkan selaku instrumen untuk mengembangkan adab demokratis, mengembangkan daya kritis, mendorong semangat untuk mengejar pengetahuan dan selalu menjunjung harkat dan martabat manusia. Kedua, menyatakan bahwa pendidikan ialah sebuah instrumen untuk berbagi kesadaran, sikap dan sikap politik dengan keinginan siswa menjadi warga masyarakat yang bagus. Dalam pandangan ini pendidikan sebagai alat sosialisasi politik merupakan kenyataan yang tidak perlu disangkal lagi. Dewasa ini tidak ada satupun negara yang tidak menggunakan pendidikan sebagai instrumen sosialisasi politik, bahkan di Barat (AS) sekalipun yang dianggap selaku jagoan Demokrasi dan HAM. Mereka tetap menyebabkan pendidikan selaku alat indoktrinasi politik. Dalam buku-buku teks Civics senantiasa ditekankan bahwa metode kapitalitas paling baik dan tata cara lain buruk. Demikian juga dalam setiap buku diuraikan bahwa kehidupan negara-negara sedang berkembang masih sungguh udik.
Demokrasi dan pendidikan, bahwasanya, saling berkaitan satu sama lain dan memiliki bubungan timbal balik. Misalnya: pendidikan kalau dimaknai suatu proses santunan untuk berbagi seluruh potensi penerima bimbing, maka pendidikan harus dikerjakan secara demokratis (sering disebut dengan istilah demokrasi pendidikan). Pendidikan yang demokratis memiliki ciri adanya suasana mencar ilmu yang berkemampuan maksimal menumbuhkan potensi akseptor ajar untuk tujuan tertentu. Begitu juga sebaliknya, biar nilai-nilai demokrasi (hak-hak asasi), kebebasan, keadilan, persamaan dan keterbukaan) dapat diketahui dan mempunyai penerima asuh, maka perlu pendidikan. Pendidikan tersebut berfungsi menanamkan nilai-nilai demokrasi terhadap penerima bimbing (pendidikan demokrasi atau pendidikan wacana demokrasi).
D.Mewujudkan Demokrasi Lewat Pendidikan
Pendidikan mempunyai cakupan luas, jalur sekolah, luar sekolah dan keluarga. Pendidikan sekolah sendiri terdiri atas jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Untuk merealisasikan demokrasi dalam dan lewat sekolah, menurut John Dewey, sekolah mesti mengerjakan tiga fungsi berikut, (1) sekolah harus memberikan lingkungan yang disederhanakan dari kebudayaan kompleks yang ada, yakni diseleksi dari segi fundamental yang mampu diserap oleh akil balig cukup akal, (2) sekolah sejauh mungkin mengeliminasi sisi-sisi yang tidak baik dari lingkungan yang ada, menghapus hal-hal yang remeh dan tak berguna dari abad lampau dan memilih yang terbaik dan memungkinkan bawah umur menjadi warga negara yang lebih baik dan membentuk penduduk masa depan yang lebih maju dan sejahtera, (3) sekolah hendaknya menyeimbangkan berbagai unsur dalam lingkungan sosial serta mengusahakan biar masing-masing individu menerima potensi untuk melepaskan dirinya dari keterbatasan-keterbatasan kelompok sosial dimana dia lahir.
Konsep tersebut sesuai dengan paradigma pendidikan sistematik organik yang menyatakan bahwa proses pendidikan formal tata cara persekolahan mesti mempunyai empat ciri sebagai berikut: (1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran dibandingkan dengan mengajar, (2) Pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel, (3) Pendidikan memperlakukan penerima asuh selaku individu yang mempunyai karakteristik khusus dan mandiri dan (4) Pendidikan merupakan proses yang berkelanjutan dan selalu berinteraksi dengan lingkungan.
Dengan demikian, perwujudan sekolah yang mensosialisakan paham dan perilaku demokratis, seperti ditulis Zamroni, mampu dikaji berdasar empat faktor: (1) aspek status siswa, berorientasi pada pendidikan modern yang memiliki perkiraan bahwa pendidikan berjalan dari lahir hingga mati. Artinya, sekolah yakni kehidupan itu sendiri dan sebaliknya kehidupan itu adalah sekolah atau pendidikan. Karena itu, sekolah ialah kehidupan riel siswa itu sendiri bukan kawasan menyiapkan siswa bagi kehidupan mendatang. Hal ini sesuai dengan pertimbangan John Dewey sebagaimana dikutip Zamroni, school is not preparation for life but life itself (sekolah bukan bekal untuk hidup tetapi kehidupan itu sendiri). Implikasi dari orientasi ini yakni anak ajar merupakan subyek dalam proses pendidikan. Kehidupan sosial siswa ialah sumber transformasi kehidupan. Peran penting dalam proses pendidikan bukan terletak pada mata pelajaran yang diberikan, melainkan terletak pada aktivitas sosial siswa sendiri.
Orientasi pendidikan modern ini memberikan pementingan dan daerah berkembangnya kreativitas, kemandirian, toleransi dan tanggung jawab siswa. (2) aspek fungsi guru: yaitu bahwa guru sebagai fasilitator dan motivator. Fungsi guru ini akan muncul jikalau siswa berstatus selaku subyek dalam proses pendidikan, alasannya adalah sebagai fasilitator dan motivator guru akan lebih banyak bersifat tut wuri handayani dengan memberikan dorongan dan motivasi agar siswa dapat memperluas kemampuan pandang untuk mengembangkan berbagai alternatif dalam aktivitas kehidupan dan memperkuat kemauan untuk mendalami serta berbagi apa yang telah dipelajari dalam proses pendidikan. (3) Dimensi Materi Pendidikan: yakni materi pendidikan bersifat persoalan oriented, guru memberikan bahan pengajaran berangkat dari masalah riel yang dihadapi siswa dan lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian materi yang bersifat teoritis akan dihubungkan dengan realitas kehidupan siswa. Guru dituntut berperan aktif, kreatif dan berani membawa isue-isue kontroversial ke dalam proses berguru mengajar. Adapun para siswa mendapat potensi untuk mendiskusikan isue-isue yang sensitif tersebut. (4) Dimensi Manajemen Pendidikan: adalah manajemen yang bersifat desentralisasi ialah kebijakan pendidikan lebih banyak ditentukan pada level tempat, level sekolah dan level kelas. Dengan desentralisasi ini kreativitas dan daya inovatif guru sungguh diperlukan. Dimensi manajemen yang bersifat desentralisasi dipraktekkan apabila dimensi siswa selaku subyek pendidikan, fungsi guru sebagai dinamisator dan fasilitator dan materi pengajaran bersifat dilema oriented.
Orientasi pendidikan dengan keempat faktor yang dikemukakan Zamroni tersebut akan merealisasikan praktek pendidikan yang demokratis dan akan menciptakan lulusan individu yang demokratis, kreatif, tolerans dan mampu berdiri diatas kaki sendiri. Ciri-ciri lulusan seperti ini akan sangat berperan merealisasikan penduduk demokratis.
E.Membangun Sistem Pendidikan Demokratis
Impian pendidikan berkualitas cuma mampu diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan dan demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Namun, kenyatannya kehidupan yang demokratis masih lebih merupakan impian daripada kenyataan.
Konsep metode pendidikan yang demokratis terkait dengan bagaimana pendidikan tersebut disiapkan, dirancang dan dikembangkan sehingga memungkinkan terwujudnya ciri-ciri atau nilai-niklai demokrasi. Ini juga bersifat umum dalam arti mengemas metode pendidikan dengan seluruh unsur, yaitu kurikulum, bahan pendidikan, sarana prasarana, lingkungan siswa, guru dan tenaga pendidikan lainnya, proses pendidikan dan lainnya. Bisa juga bersifat khusus ialah pengemasan unsur-komponen tertentu dari metode pendidikan tersebut mislanya bagaimana kurikulum atau bahan pelajaran atau proses berguru mengajar dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan dan memungkinkan terbentuknya nilai-nilai demokrasi.
Dalam membuatkan metode pendidikan yang demokratis di Indonesia, perlu mengamati tujuh butir yang merupakan prinsip-prinsip dalam prosedur-mekanisme yang demokratis dan mencerminkan persepsi serta jalan hidup demokratis yang diinginkan. Tujuh butir tersebut: (1) mengutamakan kepentingan penduduk , (2) tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, (3) mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bareng , (4) musyawarah untuk meraih mufakat diliputi semangat kekeluargaan, (5) mempunyai i'tikad baik dan rasa tanggung jawab mendapatkan dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah, (6) musyawarah yang dijalankan dengan logika sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, (7) keputusan yang diambil mesti mampu dipertanggung-jawabkan secara susila terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Sistem pendidikan yang demokratis tersbeut perlu diperjelas secara makro di tingkat nasional yang berlaku untuk seluruh Indonesia atau tingkat mikro di lingkungan sekolah atau kelas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun tata cara pendidikan yang demokratis sebagaimana yang dinyatakan Sadiman, selaku berikut.
1.Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga mampu memberikan ruang gerak bagi sekolah/kawasan tertentu untuk menyesuaikan dengan keadaan dan keperluan lokal tanpa harus kehilangan orientasi nasional dan global. Kurikulum juga harus menggariskan adanya mata pelajaran-mata pelajaran yang menggiring suasana demokratis dalam proses belajar mengajar dan pada gilirannya mampu menanamkan nilai-nilai demokratis pada diri anak asuh.
2.Tidak ada keharusan bagi sekolah atau forum pendidikan untuk memakai bahan belajar tertentu. Idealnya diberi kebebasan memilih sendiri materi mencar ilmu (buku dan media) yang mereka nilai baik. Bahan belajar sendiri juga harus dibungkus dengan mengakui bahwa setiap siswa berlawanan satu sama lain dengan kelebihan dan kekurangannya memungkinkan adanya interaksi aktif dan menempatkan target didik selaku subyek bukan obyek pendidikan.
3.Sarana prasarana pendidikan pun mesti menunjang terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam praktek pendidikan atau berguru mengajara sehari-hari. Misalnya: ruang kelas dengan meja bangku bangku tidak kaku namun mempunyai keleluasaan yang tinggi, perpustakaan mempunyai koleksi warna-warni yang tidak saja memotivasi siswa untuk mengunjungi dan membaca namun juga memberikan alternatif pilihan sumber mencar ilmu. Perpustakaan, baik perpustakaan kelas maupun perpustakaan sekolah hendaknya menjadi bagian yang menyatu dengan proses belajar mengajar di kelas. Sebagai individu anak hendaknya mempunyai berbagai kebutuhan, maka sekolah atau lembaga pendidkan haruslah bisa memberikan lingkungan mencar ilmu yang mampu menyanggupi kebutuhan biologis (kuliner, minuman, rasa aman dan daerah istirahat), kebutuhan psikologis dan keperluan sosial (komunikasi dan interaksi dengan sesama insan).
4.Sebagai bagian metode pendidikan, guru harus bersikap demokratis. Guru harus bisa mendapatkan perbedaan, menghargai pendapat siswa tidak memaksakan kehendak, merasa paling tahu dan membuat situasi berguru yang demokratis. Peran guru bukan selaku satu-satunya sumber mencar ilmu sebab sudah/semakin banyak sumber mencar ilmu lain di sekeliling kehidupan anak.
5.Proses pendidikan atau berguru mengajar hendaknya merefleksikan nilai-nilai demokrasi.
Berkaitan dengan desain kelima, Arief S. Sadiman menerangkan bahwa proses pembelajaran yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi ialah sebagai berikut
(a)Menempatkan anak ajar selaku individu yang unik. Mereka memiliki minat, talenta, efisiensi alat indra, kecerdasan, cara merespon pelajaran yang diberikan, ketrampilan dan sikap berlawanan satu sama lain sehingga perlu diberikan treatmen yang berlainan. Proses pendidikan hendaknya mampu membuat rancangan diri yang faktual pada anak asuh. Masing-masing anak harus merasa mampu, kondusif dan memperoleh tempatnya masing-masing di dalam penduduk sekolah. Tidak ada anak yang unknown semua baik yang bakir maupun yang lemah semua mendapat perhatian.
(b)Pembelajaran hendaknya bersifat perorangan dalam arti tiap siswa mendapatkan cara penanganan sesuai dengan aksara masing-masing. Apabila hal ini masih susah dilaksanakan maka mampu ditempuh cara pengelompokan siswa menurut prestasi “acheivement grouping”. Kelompok ini bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan masing-masing individu. Strategi ini dimaksudkan memberi potensi pada anak untuk meningkatkan diri sejalan dengan kecepatan belajarnya.
(c)Sebagai konsekuensi dari pembelajaran perorangan tersebut perlu diterapkan tata cara maju berkelanjutan “continuous progress”. Pelaksanaan sistem ini memungkinkan siswa menyelesaikan pendidikan lebih cepat, lebih lambat atau sempurna pada waktunya. Sistem maju berkesinambungan membuka potensi secara luas bagi perkembangan eksklusif anak sebab anak mampu maju tanpa kendala, kelas atau tingkatan tidak lagi merupakan barrier untuk terus maju. Sistem ini tidak saja akan menguntungkan anak, akan tetapi juga mampu menjadi pemicu peningkatan atau percepatan-achievement.
(d)Demokrasi menghargai kebebasan individu untuk mengekspresikan diri namun tetap menghargai norma dan budbahasa. Proses pendidikan di sekolah bisa merealisasikan hal ini dengan sengaja dan memperlihatkan paling tidak satu jam belajar bebas “independent study” setiap minggunya. Dalam pelajaran ini anak berguru bertanggungjawab atas kebebasan yang diberikan. Dengan memakai perpustakaan dan sumber berguru lain, anak berguru mengarahkan diri, menolong diri, disiplin dan menertibkan diri. Dengan mencari aktivitas yang cocok dengan keperluan dan tahap kemajuan masing-masing anak berusaha memenuhi keperluan. Pelajaran ini juga melatih siswa menghargai waktu, mengembangkan kemampuan anak untuk mengarahkan diri (self direction), mendisiplinkan diri (self discipline), menguasai diri (self control), membantu diri sendiri (self help), mengandalkan diri (self reliance) dan merepotkan diri (self activity).
(e)Untuk menghilangkan tumbuhnya perilaku individualistis perlu disiapkan pelajaran golongan. Proses belajar dalam golongan ini tidak saja membina perilaku toleransi anak tetapi juga memberi kesempatan untuk mengadakan interaksi sosial, berguru bahwa masih ada orang di luar diri sendiri, bersikap terbuka kepada pergantian dan saling membantu.
(f)Proses belajar mengajar mesti memberi kesempatan anak ajar untuk mengekspresikan dirinya baik lesan maupun tertulis. Untuk metodologi pembelajaran yang diseleksi harus memungkinkan hal tersebut. Misalnya: diskusi, seminar, observasi, eksperimen individual maupun kelompok dan sebagainya. Pelajaran mengarang yang sementara ini diabaikan karena berat dalam mengoreksi justru harus ditingkatkan dan diamati. Tata krama secara lesan dan tertulis mesti dipelajari anak. Dalam kaitan ini terasa penting perpustakaan yang terpadu dengan proses berguru mengajar di kelas.
(g)Peran serta aktif anak asuh tidak saja digalang dalam proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah, namun juga menetapkan tata tertib atau hukum yang harus ditaati sendiri. Juga dalam acara mirip mengurus majalah sekolah. Ini terang ialah cerminan hidup demokratis.
(h)Grafik prestasi kelas dan grafik prestasi eksklusif yang dipasang di kelas menunjukkan posisi masing-masing anak dalam mata pelajaran tertentu. Keterbukaan ini mengajarkan pada anak kejujuran untuk mengakui kekurangan atau kelemahan diri dan kelemahan atau kelebihan orang lain sekaligus memotivasi anak untuk meningkatkan diri dan motivasi berprestasi.
(i)Evaluasi dalam pendidikan yang demokratis tidak hanya menganggap prestasi siswa namun juga menganggap kinerja para guru/pendidik dan tata cara secara keseluruhan. Guru hendaknya berjiwa besar atau berlapang dada untuk menerima evaluasi dari siswa dengan tujuan mengembangkan mutu pendidikan di forum tersebut.
BAB III
PENUTUP
1.Makna demokrasi dalam pendidikan mengandung unsur kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian untuk mengembangkan kepercayaan diri sekaligus kesadaran akan kekurangan kemampuan individu sehingga melakukan pekerjaan sama dengan individu lain ialah kewajiban dalam kehidupan masyarakat. Kebebasan mempunyai makna perlu dikembangkan visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan pluralitas penduduk , bukan cuma mementingkan invidu atau golongan dan menjadikan pertentangan. sebab itu keleluasaan harus diiringi dengan rasa tanggung jawab.
2.Demokrasi dan pendidikan merupakan dua perumpamaan yang saling berkaitan satu sama lain karena nilai demokrasi untuk difahami dan dimiliki masyarakat mesti melalui pendidikan, begitu juga sebaliknya agar pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang mempunyai kemandirian, daya kritis, dinamis, susila demokratis dan senantiasa menjunjung harkat dan martabat insan, maka pendidikan mesti dikerjakan dengan demokrasi.
3.Indikator lembaga pendidikan yang demokratis yaitu (a) manajemen pendidikan bersifat desentralisasi yaitu kebijakan pendidikan lebih banyak diputuskan pada level daerah, level sekolah dan level kelas; (b) bahan pendidikan bersifat problem oriented, dimana guru menyampaikan bahan pengajaran berangkat dari persoalan riel yang dihadapi siswa dan lingkungannya dengan pendekatan konstruktivistik; (c) Siswa merupakan subyek dalam proses pendidikan (penerima asuh) dan (d) guru sebagai fasilitator, dinamisator dan motivator yang lebih banyak bersifat tutwuri handayani dengan menunjukkan motivasi kepada siswa untuk mengembangkan kemandiriannya, kreativitasnya dan toleransinya.
4.Dalam membangun tata cara pendidikan yang demokratis di Indonesia melibatkan seluruh pelaku pendidikan dalam merencanakan, merancang dan membuatkan forum pendidikan yang berlandaskan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi Pancasila. Nilai demokrasi harus melekat pada seluruh komponen pendidikan ialah nilai demokrasi menempel pada guru, peserta didik, kurikulum, sarana pendidikan, proses pendidikan dan lingkungan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
- Ansyar, Mohammad. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta : Depdikbud Dikti.
- Depdiknas. 2003. Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pustaka Widyatama.
- Djohar. 2003. Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Jogjakarta: LESFI.
- Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Jogjakarta: Safiria Insania Press,
- Sadiman, Arif S.2001. Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan yang Demokratis Ditinjau dari Segi Aspek Kebijakan, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang.
- Sudana Degeng, I Nyoman. 2001. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Demokratisasi Belajar, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang.
- Suhardjono. 2000. Haruskah Demokrasi Belajar Menggunakan Konstruktivistik, Malang: IPTP.
- Sparingga, Daniel. 2000. Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan yang Demokratis Ditinjau dari Segi Sosiologi, Malang: IPTP.
- Kusuma, Iskandar Wiryo. 2001. Demokratisasi Belajar dan Pembelajaran Ditinjau dari Segi Pengalaman Empirik, Malang: Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang.
- Zamroni. 2001. Pendidikan untuk Demokratisasi, Tantangan Menuju Civil Society, Jogjakarta: Bigraf Publishing.
- ________, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jogjakata: Bigraf, 2001.
- Zanti Arbi, Sutan. 2001. Pengantar kepada Filsafat Pendidikan, Jakarta: Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
EmoticonEmoticon