Makalah Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Rekrutmen
oleh : Al Husaini M.Daud
Pendahuluan
Pendidikan bantu-membantu mempunyai peranan yang sungguh penting dalam membuatkan peradaban Islam dan mencapai kejayaan umat Islam. Dilihat dari objek formalnya, pendidikan memang menjadikan sarana kesanggupan insan untuk dibahas dan dikembangkannya. Dalam pengalaman sejarah, ini bila kita mau bercermin, tidak ada satu pun negara bisa meraih pertumbuhan yang hakiki tanpa disokong penyempurnaan pendidikan. Negara-negara Eropa yang populer sebagai daerah negara-negara yang majuitu bahwasanya selaku balasan dari pembangunan pendidikannya[1]. Artinya sebelum berhasil meraih kemajuan sains dan teknilogi telah diawali dengan memperbaiki system pendidikannya.
Tuntutan untuk mengembangkan kualitas pendidikan terus mengalir seiring dengan kemajuan zaman. Tidak hanya karena banyak sekali laporan yang diterima, baik dari hasil penelitian maupun berita data pendidikan yang ada. Peningkatan kualitas tersebut pun sangat diputuskan oleh kualitas input, proses, out put dan out comes.[2] Masing-masing subsistem tersebut saling mensugesti dan saling mendukung satu sama lain. Rekrutmen siswa merupakan salah satu aspek penentu kesuksesan dan mutu pendidikan. Salah-salah dalam meng-input, maka akan susah dalam mengakses proses pembelajaran, sehingga menjadikan out put yang nihil nilai. Akhirnya out comes yang diharapkan cuma sekedarnya tanpa mutu. Memang kadang masa, kita terlalu berlebihan mengharapkan sekolah selaku sponsor kesuksesan atau sebagai faktor pokok dalam mengorbit orang di tengah-tengah masyarakat.[3] Namun disadari ataupun tidak, permulaan yang baik yaitu awal dari kesuksesan berikutnya.
Esensi utama dari tujuan pendidikan Islam itu adalah merencanakan generasi muda untuk memegang peranan-oeranan tertentu dalam penduduk pada era yang hendak tiba. Lantas bagaimana generasi dimaksud bisa berdaya jikalau yang direkrut ialah insan dibawah kriteria? Atau bagaimana pendidikan Islam bisa menciptakan lulusan-lulusan yang militan dalam berfikir dan berkapasitas intelektual jika yang masuk pada lembaga pendidikan Islam yaitu penduduk opkiran dari lembaga pendidikan lain?.
Makalah mini ini menjajal membedah (walau tidak semaksimal yang dibutuhkan tetapi barangkali mampu menjadi sinar pagi yang membuka mata kita dari tidur lelap di ruang intelektual) hal sungguh prinsipil dalam memulai upaya mendatangkan sosok generasi Islam abad depan yang mumpuni dan tercerdaskan. Praktis-mudahan pecahan kecil goresan pena ini menjadi bahan kontemplasi bagi kita agar kebijakan Islam dalam merespon dunia pendidikan di periode yang akan datang menjadi lebih baik.
Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Rekrutmen Siswa
Sepanjang kesaksian anak zaman dari generasi ke generasi, kekalahan umat Islam akhir serangan Hulago Khan kepada Baghdad selaku sentra kekuasaan Islam di kurun ke 13 (1258 M) mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya dan tak luput juga nasib tragis dialami oleh dunia pendidikan.
Pasca penghancuran itu, pendidikan Islam tidak lagi mampu menjadi alternatif bagi para pelajar dan mahasiswa dalam skala internasional yang ingin memperdalam ilmu wawasan.[4] Di satu sisi nilai nilai pendidikan yang pernah disemai oleh Islam di kurun kejayaannya masih ingin dipertahankan, namun pada sisi lainnya perangkat pembelajaran tidak lagi menjanjikan untuk dimplemantasi, kerena telah hancur bareng lenyapnya kedigjayaan kekuatan Islam dikala itu.
Namun sebelumnya, mari kita coba mengintip lewat jendela sejarah untuk meneropong kiprah Rasul di masanya dalam membentuk peradaban Islam melalui pendidikan. Pasca hijrah kaum muslimin ke Yasrib (Madinah) pekerjaan besar Rasulullah yakni membina penduduk Islam yang gres terbentuk. Karena masyarakat ialah wadah dari pengembangan kebudayaan, maka bersama-sama dengan pelatihan masyarakat itu ditaruh pula dasar-dasar kebudayaan Islam sehingga terwujud sebuah penduduk Islam yang kokoh dan kuat.[5]
Lembaga utama dan pertama yang dibangun oleh Rasulullah dalam rangka training masyarakat ini yakni mesjid. Pertama mesjid yang didirikan ialah mesjid Quba, selang beberapa hari kemudian diresmikan juga mesjid Nabawi di Madinah sesudah Rasul datang di sana. Di kawasan inilah proses pembelajaran bagi kaum muslim berlangsung dengan tidak memperhatikan sistem pemilihan pada ketika rekrutment. Artinya yang mencar ilmu di mesjid tersebut ialah mereka yang baru masuk Islam. Makara kebijakan pendidikan saat itu berkisar pada materi yang diajarkan, yaitu mengerti al Quran dan hadis untuk memperdalam pengajaran aqidah, adat, mu’amalah dari cerita-cerita dalam al quran, maka atensi sehabis itu, sesuai dengan keperluan zaman, tertuju pada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum hadirnya Islam.[6] Seiring dengan hal tersebut itu, pendidikan masih dimaksudkan pada tataran pembentukan adat Islamiyah kaum muslim serta dalam tahap mempertautkan hati kaum muslimin yang masih berantakan ke dalam bingkai persuadaraan seiman dan seagama.
Hal ini mampu dimaklumi, Karena suasana dikala permulaan perkembangan agama Islam masih sangat carut marut, sehingga untuk menawarkan pengajaran-pengajaran tentang Islam, rasul menghimpun sobat-sahabat yang gres masuk Islam di rumah teman-sobat tertentu, dan yang paling populer yakni rumah milik al Arqam. Ini merupakan daerah yang pertama kali dipakai untuk mendidik umat Islam. Hal ini dikerjakan oleh nabi alasannya adalah Arqam yakni teman yang setia sekaligus lokasinya sangat bagus dan strategis terhalang dari penglihatan kafir quraisy yang berada di bukit safa.[7] Hal ini penting dijalankan untuk memberi keselamatan dan ketenangan kepada kaum muslimin yang sedang menyelenggarakan kegiatan dan pertemuan di rumah tersebut guna menerima pelajaran dari Rasulullah.
Sementara itu, Suffa (satu bagian dari mesjid yang dibangun nabi di Madinah dan disediakan selaku daerah pendidikan, terutama untuk mencar ilmu membaca, menulis, menghafal al quran dan tajwid) bukanlah satu-satunya sekolah yang ada di Madinah. Paling tidak terdapat sembilan mesjid pada abad itu dan masing-masing dari mesjid tersebut juga dimanfaatkan selaku sebuah sekolah. Pendudk sekitar mengirim belum dewasa mereka ke mesjid-mesjid lokal. Quba terletak erat dengan Madinah, dimana nabi kadang abad mendatangi dan secara eksklusif memantau sekolah yang ada di dalam mesjid itu. [8] Di sini tidak nampak ada tata cara yang khusus tentang rekrutmen akseptor asuh, malah ketika itu siapa saja yang berminat dan berhasrat untuk belajar akan ditampung tanpa ada pemungutan apapun. Karena memang saat itu kebijakan pendidikan ihwal raw input boleh dari mana saja asal mereka terpesona untuk menggali ilmu wawasan.
Sistem rekrutmen yang dilaksanakan pada waktu itu tidak menyaksikan kepada batas umur dan kompetensi siswa. Akan tetapi lebih kepada perjuangan agar kaum muslim mampu terhindar dari petaka buta karakter. Maka bisa kita lihat pada kebijakan Nabi membarter tawanan perang badar dengan mesti mengajari kaum muslimin membaca dan menulis abjad, tanpa memperhatikan berapa usia mereka, yang penting kaum muslimin tidak lagi tuna baca dan tuna tulis. Dan ini juga terjadi di halaqah-halaqah mesjid dan di rumah Arqam bin al Arqam yang merupakan bukti tak terbantahkan[9] bagaimana Rasul sangat memperhatikan pendidikan umatnya walau masih dalam skala sungguh sederhana.
Berlanjut pada zaman khulafaurrasyidin, sesuai dengan pendapat Langgulung bahwa kebijakan pendidikan perihal rekrutmen siswa pada kurun itu setali tiga uang dengan kala Nabi, artinya, tidak ada pergantian kebijakan yang signifikan baik dari sisi kurikulum, materi, pelaksanaannya maupun dari sisi pemilihan siswa. [10] sentra-sentra pendidikan abad khulafaurrasyidin danbani umayyah adalah (1) Makkah dan Madinah (Hijaz), (2) Bashrah dan Kuffah (Iraq), (3) Damsyiq dan Palestina (Syam) dan (4) Fushtath (Mesir).[11]
Namun abad kekhalifahan tata cara monarkhi dalam Islam (abad dinasti Umayyah dan Abbasiyah) pernah ada pendidikan yang khusus direkrut bawah umur para raja saja dan proses berguru berlangsung di istana. System pendidikan tersebut disebut pendidikan rendah istana. Hal ini timbul dari fatwa bahwa putra-putra khalifah dan pembesar istana harus mendapat pendidikan untuk mempersiapkan mereka agara dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan berat yang mau dipikulkan ke atas bahu mereka di abad depan.[12]
Kebijakan Pendidikan Islam ihwal Rekrutmen di Indonesia
Belum menggembirakan mutu pendidikan di Indonesia sehingga tidak mampu berkompetisi di kurun global yang memang memerlukan kehandalan kompetitif disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya raw input-nya sendiri, adalah manusia yang mau diproses di dunia pendidikan, instrumen inputnya, baik berkenaan dengan guru, kurikulum, arana fasilitas, buku dasar dan lain-lain. Selanjutnya environmental inputnya, lingkungannya, utamanya di sini adalah lingkungan social budayanya, tergolong sikap kita terhadap pendidikan.[13]
Khusus ihwal rekrutmen siswa sebagai raw inputnya, setelah dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 1989, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah yang meliputi PP. No. 27 (prasekolah), No. 28 (pendidikan dasar), No. 29 (pendidikan menengah), dan No. 30 (pendidikan tinggi), maka forum-forum pendidikan yang ada beradaptasi dengan peraturan yang dimaksud[14]. Di antaranya dengan metode penyaringan siswa-siswa yang berprestasi untuk masuk ke perguruan-sekolah tinggi tinggi Islam (seperti IAIN) melalui jalur PSB (penjaringan siswa berprestasi).
Kalau kita perhatian sistem penjaringan siswa di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia, semua mekanismenya diserahkan kepada lambaga pendidikan yang bsersangkutan untuk menata dan memilih siswa/mahasiswa selaku raw input yang akan diproses nanti di lembaganya. Biasanya kriteria seleksi berkisar pada gosip data diri objektif (akademik, hasil investigasi psikologis) dan info data diri subjektif (kesehatan, Persetujuan orang tua, pengamatan dan wawancara). Ada sekolah/sekolah tinggi tinggi yang menetapkan standar lulus seleksi di lembaganya ialah nilai cobaan nasional rata-rata minimal 8.50, nilai raport rata-rata sekurang-kurangnya8,0, nilai test akademik rata-rata minimal 8.0. sementara nilai hasil pemeriksaan psikologis seperti berikut ini; IQ mesti 125, nilai CQ harus di atas rata-rata dan test commitment pun mesti di atas rata-rata.[15]
Untuk melihat proses pencapaian hasil yang optimal terhadap outpun, siswa mesti dinilai dari awal pada proses rekrutmennya. Penilaian tersebut lewat test yang dibentuk dengan kriteria nasional yang mencakup aneka macam faktor kognitif, afektif dan psikomotorik maupun faktor psikologis yang lain. Proses akan menawarkan masukan ulang secara objektif kepada orang renta tentang anak mereka (siswa) dan terhadap kepala sekolah yang bersangkutan dan kepala sekolah yang lain perihal porfoman sekolah sehubungan dengan proses peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.[16]
Penutup
Suatu hal yang tak mampu dibantah oleh siapapun yang bertanggung-jawab atas keberlangsungan pendidikan ialah bahwa mempersiapkan tata cara pendidikan yang mudah diproses dan diakses sehingga menghasilkan outpun yang optimal yaitu suatu keniscayaan yang selalu didambakan. Hal tersebut takkan terwujud jika pada proses awal rekrutmen tidak diamati, sebab apapun ceritanya permulaan yang baik akan melahirkan akhir yang baik pula. Tapi bila proses rekrutmen siswa dalam dunia pendidikan kita tidak menjadi fokus utama maka lulusan yang diharapkan juga akan mengalami kendala.
Sayangnya, hal ini seakan kurang menerima perhatian di dunia pendidikan Islam, baik di negara-negara Islam maupun di negara kita Indonesia. Barang kali keadaan negara-negara Islam (masuk katagori negara-negara meningkat ) masih belum sampai terhadap taraf yang dimaksud. Naum perjuangan untuk itu hendaknya terus dipicu dan dikedepankan. Agar ketertinggalan kita dengan dunia barat dapat terimbangi kalaupun tidak melampaui mereka.
Mau FootNote Makalah Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Rekrutmen
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comPendidikan bantu-membantu mempunyai peranan yang sungguh penting dalam membuatkan peradaban Islam dan mencapai kejayaan umat Islam. Dilihat dari objek formalnya, pendidikan memang menjadikan sarana kesanggupan insan untuk dibahas dan dikembangkannya. Dalam pengalaman sejarah, ini bila kita mau bercermin, tidak ada satu pun negara bisa meraih pertumbuhan yang hakiki tanpa disokong penyempurnaan pendidikan. Negara-negara Eropa yang populer sebagai daerah negara-negara yang majuitu bahwasanya selaku balasan dari pembangunan pendidikannya[1]. Artinya sebelum berhasil meraih kemajuan sains dan teknilogi telah diawali dengan memperbaiki system pendidikannya.
Tuntutan untuk mengembangkan kualitas pendidikan terus mengalir seiring dengan kemajuan zaman. Tidak hanya karena banyak sekali laporan yang diterima, baik dari hasil penelitian maupun berita data pendidikan yang ada. Peningkatan kualitas tersebut pun sangat diputuskan oleh kualitas input, proses, out put dan out comes.[2] Masing-masing subsistem tersebut saling mensugesti dan saling mendukung satu sama lain. Rekrutmen siswa merupakan salah satu aspek penentu kesuksesan dan mutu pendidikan. Salah-salah dalam meng-input, maka akan susah dalam mengakses proses pembelajaran, sehingga menjadikan out put yang nihil nilai. Akhirnya out comes yang diharapkan cuma sekedarnya tanpa mutu. Memang kadang masa, kita terlalu berlebihan mengharapkan sekolah selaku sponsor kesuksesan atau sebagai faktor pokok dalam mengorbit orang di tengah-tengah masyarakat.[3] Namun disadari ataupun tidak, permulaan yang baik yaitu awal dari kesuksesan berikutnya.
Esensi utama dari tujuan pendidikan Islam itu adalah merencanakan generasi muda untuk memegang peranan-oeranan tertentu dalam penduduk pada era yang hendak tiba. Lantas bagaimana generasi dimaksud bisa berdaya jikalau yang direkrut ialah insan dibawah kriteria? Atau bagaimana pendidikan Islam bisa menciptakan lulusan-lulusan yang militan dalam berfikir dan berkapasitas intelektual jika yang masuk pada lembaga pendidikan Islam yaitu penduduk opkiran dari lembaga pendidikan lain?.
Makalah mini ini menjajal membedah (walau tidak semaksimal yang dibutuhkan tetapi barangkali mampu menjadi sinar pagi yang membuka mata kita dari tidur lelap di ruang intelektual) hal sungguh prinsipil dalam memulai upaya mendatangkan sosok generasi Islam abad depan yang mumpuni dan tercerdaskan. Praktis-mudahan pecahan kecil goresan pena ini menjadi bahan kontemplasi bagi kita agar kebijakan Islam dalam merespon dunia pendidikan di periode yang akan datang menjadi lebih baik.
Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Rekrutmen Siswa
Sepanjang kesaksian anak zaman dari generasi ke generasi, kekalahan umat Islam akhir serangan Hulago Khan kepada Baghdad selaku sentra kekuasaan Islam di kurun ke 13 (1258 M) mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya dan tak luput juga nasib tragis dialami oleh dunia pendidikan.
Pasca penghancuran itu, pendidikan Islam tidak lagi mampu menjadi alternatif bagi para pelajar dan mahasiswa dalam skala internasional yang ingin memperdalam ilmu wawasan.[4] Di satu sisi nilai nilai pendidikan yang pernah disemai oleh Islam di kurun kejayaannya masih ingin dipertahankan, namun pada sisi lainnya perangkat pembelajaran tidak lagi menjanjikan untuk dimplemantasi, kerena telah hancur bareng lenyapnya kedigjayaan kekuatan Islam dikala itu.
Namun sebelumnya, mari kita coba mengintip lewat jendela sejarah untuk meneropong kiprah Rasul di masanya dalam membentuk peradaban Islam melalui pendidikan. Pasca hijrah kaum muslimin ke Yasrib (Madinah) pekerjaan besar Rasulullah yakni membina penduduk Islam yang gres terbentuk. Karena masyarakat ialah wadah dari pengembangan kebudayaan, maka bersama-sama dengan pelatihan masyarakat itu ditaruh pula dasar-dasar kebudayaan Islam sehingga terwujud sebuah penduduk Islam yang kokoh dan kuat.[5]
Lembaga utama dan pertama yang dibangun oleh Rasulullah dalam rangka training masyarakat ini yakni mesjid. Pertama mesjid yang didirikan ialah mesjid Quba, selang beberapa hari kemudian diresmikan juga mesjid Nabawi di Madinah sesudah Rasul datang di sana. Di kawasan inilah proses pembelajaran bagi kaum muslim berlangsung dengan tidak memperhatikan sistem pemilihan pada ketika rekrutment. Artinya yang mencar ilmu di mesjid tersebut ialah mereka yang baru masuk Islam. Makara kebijakan pendidikan saat itu berkisar pada materi yang diajarkan, yaitu mengerti al Quran dan hadis untuk memperdalam pengajaran aqidah, adat, mu’amalah dari cerita-cerita dalam al quran, maka atensi sehabis itu, sesuai dengan keperluan zaman, tertuju pada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum hadirnya Islam.[6] Seiring dengan hal tersebut itu, pendidikan masih dimaksudkan pada tataran pembentukan adat Islamiyah kaum muslim serta dalam tahap mempertautkan hati kaum muslimin yang masih berantakan ke dalam bingkai persuadaraan seiman dan seagama.
Hal ini mampu dimaklumi, Karena suasana dikala permulaan perkembangan agama Islam masih sangat carut marut, sehingga untuk menawarkan pengajaran-pengajaran tentang Islam, rasul menghimpun sobat-sahabat yang gres masuk Islam di rumah teman-sobat tertentu, dan yang paling populer yakni rumah milik al Arqam. Ini merupakan daerah yang pertama kali dipakai untuk mendidik umat Islam. Hal ini dikerjakan oleh nabi alasannya adalah Arqam yakni teman yang setia sekaligus lokasinya sangat bagus dan strategis terhalang dari penglihatan kafir quraisy yang berada di bukit safa.[7] Hal ini penting dijalankan untuk memberi keselamatan dan ketenangan kepada kaum muslimin yang sedang menyelenggarakan kegiatan dan pertemuan di rumah tersebut guna menerima pelajaran dari Rasulullah.
Sementara itu, Suffa (satu bagian dari mesjid yang dibangun nabi di Madinah dan disediakan selaku daerah pendidikan, terutama untuk mencar ilmu membaca, menulis, menghafal al quran dan tajwid) bukanlah satu-satunya sekolah yang ada di Madinah. Paling tidak terdapat sembilan mesjid pada abad itu dan masing-masing dari mesjid tersebut juga dimanfaatkan selaku sebuah sekolah. Pendudk sekitar mengirim belum dewasa mereka ke mesjid-mesjid lokal. Quba terletak erat dengan Madinah, dimana nabi kadang abad mendatangi dan secara eksklusif memantau sekolah yang ada di dalam mesjid itu. [8] Di sini tidak nampak ada tata cara yang khusus tentang rekrutmen akseptor asuh, malah ketika itu siapa saja yang berminat dan berhasrat untuk belajar akan ditampung tanpa ada pemungutan apapun. Karena memang saat itu kebijakan pendidikan ihwal raw input boleh dari mana saja asal mereka terpesona untuk menggali ilmu wawasan.
Sistem rekrutmen yang dilaksanakan pada waktu itu tidak menyaksikan kepada batas umur dan kompetensi siswa. Akan tetapi lebih kepada perjuangan agar kaum muslim mampu terhindar dari petaka buta karakter. Maka bisa kita lihat pada kebijakan Nabi membarter tawanan perang badar dengan mesti mengajari kaum muslimin membaca dan menulis abjad, tanpa memperhatikan berapa usia mereka, yang penting kaum muslimin tidak lagi tuna baca dan tuna tulis. Dan ini juga terjadi di halaqah-halaqah mesjid dan di rumah Arqam bin al Arqam yang merupakan bukti tak terbantahkan[9] bagaimana Rasul sangat memperhatikan pendidikan umatnya walau masih dalam skala sungguh sederhana.
Berlanjut pada zaman khulafaurrasyidin, sesuai dengan pendapat Langgulung bahwa kebijakan pendidikan perihal rekrutmen siswa pada kurun itu setali tiga uang dengan kala Nabi, artinya, tidak ada pergantian kebijakan yang signifikan baik dari sisi kurikulum, materi, pelaksanaannya maupun dari sisi pemilihan siswa. [10] sentra-sentra pendidikan abad khulafaurrasyidin danbani umayyah adalah (1) Makkah dan Madinah (Hijaz), (2) Bashrah dan Kuffah (Iraq), (3) Damsyiq dan Palestina (Syam) dan (4) Fushtath (Mesir).[11]
Namun abad kekhalifahan tata cara monarkhi dalam Islam (abad dinasti Umayyah dan Abbasiyah) pernah ada pendidikan yang khusus direkrut bawah umur para raja saja dan proses berguru berlangsung di istana. System pendidikan tersebut disebut pendidikan rendah istana. Hal ini timbul dari fatwa bahwa putra-putra khalifah dan pembesar istana harus mendapat pendidikan untuk mempersiapkan mereka agara dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan berat yang mau dipikulkan ke atas bahu mereka di abad depan.[12]
Kebijakan Pendidikan Islam ihwal Rekrutmen di Indonesia
Belum menggembirakan mutu pendidikan di Indonesia sehingga tidak mampu berkompetisi di kurun global yang memang memerlukan kehandalan kompetitif disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya raw input-nya sendiri, adalah manusia yang mau diproses di dunia pendidikan, instrumen inputnya, baik berkenaan dengan guru, kurikulum, arana fasilitas, buku dasar dan lain-lain. Selanjutnya environmental inputnya, lingkungannya, utamanya di sini adalah lingkungan social budayanya, tergolong sikap kita terhadap pendidikan.[13]
Khusus ihwal rekrutmen siswa sebagai raw inputnya, setelah dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 1989, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah yang meliputi PP. No. 27 (prasekolah), No. 28 (pendidikan dasar), No. 29 (pendidikan menengah), dan No. 30 (pendidikan tinggi), maka forum-forum pendidikan yang ada beradaptasi dengan peraturan yang dimaksud[14]. Di antaranya dengan metode penyaringan siswa-siswa yang berprestasi untuk masuk ke perguruan-sekolah tinggi tinggi Islam (seperti IAIN) melalui jalur PSB (penjaringan siswa berprestasi).
Kalau kita perhatian sistem penjaringan siswa di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia, semua mekanismenya diserahkan kepada lambaga pendidikan yang bsersangkutan untuk menata dan memilih siswa/mahasiswa selaku raw input yang akan diproses nanti di lembaganya. Biasanya kriteria seleksi berkisar pada gosip data diri objektif (akademik, hasil investigasi psikologis) dan info data diri subjektif (kesehatan, Persetujuan orang tua, pengamatan dan wawancara). Ada sekolah/sekolah tinggi tinggi yang menetapkan standar lulus seleksi di lembaganya ialah nilai cobaan nasional rata-rata minimal 8.50, nilai raport rata-rata sekurang-kurangnya8,0, nilai test akademik rata-rata minimal 8.0. sementara nilai hasil pemeriksaan psikologis seperti berikut ini; IQ mesti 125, nilai CQ harus di atas rata-rata dan test commitment pun mesti di atas rata-rata.[15]
Untuk melihat proses pencapaian hasil yang optimal terhadap outpun, siswa mesti dinilai dari awal pada proses rekrutmennya. Penilaian tersebut lewat test yang dibentuk dengan kriteria nasional yang mencakup aneka macam faktor kognitif, afektif dan psikomotorik maupun faktor psikologis yang lain. Proses akan menawarkan masukan ulang secara objektif kepada orang renta tentang anak mereka (siswa) dan terhadap kepala sekolah yang bersangkutan dan kepala sekolah yang lain perihal porfoman sekolah sehubungan dengan proses peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.[16]
Penutup
Suatu hal yang tak mampu dibantah oleh siapapun yang bertanggung-jawab atas keberlangsungan pendidikan ialah bahwa mempersiapkan tata cara pendidikan yang mudah diproses dan diakses sehingga menghasilkan outpun yang optimal yaitu suatu keniscayaan yang selalu didambakan. Hal tersebut takkan terwujud jika pada proses awal rekrutmen tidak diamati, sebab apapun ceritanya permulaan yang baik akan melahirkan akhir yang baik pula. Tapi bila proses rekrutmen siswa dalam dunia pendidikan kita tidak menjadi fokus utama maka lulusan yang diharapkan juga akan mengalami kendala.
Sayangnya, hal ini seakan kurang menerima perhatian di dunia pendidikan Islam, baik di negara-negara Islam maupun di negara kita Indonesia. Barang kali keadaan negara-negara Islam (masuk katagori negara-negara meningkat ) masih belum sampai terhadap taraf yang dimaksud. Naum perjuangan untuk itu hendaknya terus dipicu dan dikedepankan. Agar ketertinggalan kita dengan dunia barat dapat terimbangi kalaupun tidak melampaui mereka.
Mau FootNote Makalah Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Rekrutmen
EmoticonEmoticon