Makalah Islam Rasional Untuk Kebangkitan Islam
Analisa Terhadap Pemikiran dan Usaha Pembaharuan Muhammad Abduh Amir Ali dan Harun Nasution
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah kemajuan aliran Islam, terdapat suatu era di mana pedoman Islam mengalami kemandegan dan kejumudan. Ada beberapa aspek yang melatari kejumudan atau kestatisan berpikir tersebut. Salah satu faktornya ialah tercapainya titik jemu terhadap filsafat yang dianggap membawa pedoman kepada sekular. Kritik terhadap filsafat yang dilontarkan oleh al-Ghazali kepada tiga dilema metafisika filsafat[1], nantinya menjinjing efek yang signifikan kepada kestatisan tersebut.[2]
Sedangkan pengaruh dari kejumudan berfikir tersebut yakni mundurnya Islam, terjadinya penjajahan atas negara-negara muslim, terperangkapnya muslim dalam akidah ukhrawi dan sebagainya. Dari kenyataan di atas, timbullah perjuangan-usaha untuk kembali menghidupkan Islam, menyadarkan muslim dari keyakinan yang membutakan mereka dari permasalahan duniawi. Usaha kebangkitan tersebut bermuara pada rasionalitas anutan dan anutan Islam, hingga disebut Islam Rasional.[3] Pemikiran pembaharuan ini timbul dari aneka macam kepingan dunia, Mesir, India, Pakista, Turki, Iran, Indonesia dan sebagainya.
Makalah ini akan mencoba menguraikan ihwal fatwa pembaharuan tersebut dikhususkan terhadap ajaran Abduh, Harun dan Ami Ali.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ide Pembaharuan Harun Nasution: Makna Pembangunan Islam
Islam selaku agama Allah yang mutlak benar dengan gampang sepakat orang menyetujuinya. Tetapi sesudah Islam menjadi agama yang dianut masyarakat Islam sepanjang sejarah, tidaklah mudah menjawab pertanyaan tentang apa saja anutan Islam tersebut. Ada yang beropini fatwa Islam itu cuma yang tertera dalam kitab suci dan hadis nabi, sehingga Islam adalah bersifat normatif. Ada pula yang beropini selain Islam yang bersifat normatif itu, Islam juga bersipat historis, atau menurut Harun Nasution, Islam yang dilaksanakan oleh umatnya sepanjang sejarah dalam kehidupan mereka.
Menurut Harun Nasution, dalam Quran hanya ada sedikit ayat yang pengertiannya bersifat qath'i (pasti), dan berbagai yang bersipat dzanni (dugaan). Pengertian qath'i dan dzanni yang berasal dari kelompok ulama fikih ini dipakai Harun Nasution untuk semua masalah agama dalam Islam. Sehingga dia berpendapat bahwa lapangan fatwa Islam yang berasal dari dzanni al-dilalah, sangat banyak. Pengertian dzanni (praduga atau tidak pasti) terang mampu berubah sesuai kesanggupan orang dalam memformulasikannya, dan tetap dianggap benar selama tidak bertentangan dengan bagian yang bersifat qath'i (niscaya).[4]
Karena itu, Islam mampu diperbarui, yakni bab yang bersifat dzanni (tidak pasti). Karena ini banyak, maka lapangan pembaharuan Islam jadi luas sekali. Memang tidak ada pembaharuan dalam soal kewajiban salat dan ibadah haji, sebab itu sudah terang ada ayat yang bersifat qath'i yang mengaturnya. Tetapi melakukan salat dengan mikropon atau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dengan pesawat melayang, ialah bab anutan Islam yang bisa diperbaharui setiap ketika sesuai dengan teknologi yang lebih memungkinkan.
1. Pemicu pembaharuan
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, pernah Rasulullah bersabda bahwa Allah akan membangkitkan seorang pembaharu kepada umat Islam, pada setiap puncak seratus tahun, yang memperbaharui pedoman agama mereka. Hadis ini cukup terkenal di kalangan kaum modernis sepanjang periode. Dia banyak dianggap sebagai pemicu orang-orang tertentu untuk bangkit jadi pembaharu agama bagi umatnya dalam sejarah.
Berbeda dengan hal itu, Harun Nasution lebih menitikberatkan pada realita yang terjadi. Dia berasumsi bahwa pembaharuan dalam Islam baru terjadi pada kurun modern, ialah dimulai pada masa ke-18 M. Dan pada masa itu, dunia Timur, yang banyak Islam, didominasi Barat. Berbarengan dengan bidang politik dan ekonomi, umat Islam juga mesti menerima persinggungan dengan kebudayaan Barat yang disajikan terhadap mereka. Karena kebudayaan umat Islam pada umumnya masih mengalami degradasi, masuk akal saja jika kebudayaan Barat lebih lebih banyak didominasi dan banyak menguasai mereka di segala kehidupan.
Dengan adanya persinggungan dengan kebudayaan Barat itulah, sementara tokoh Islam tergerak melakukan reformasi terhadap aliran agama mereka. Mulanya dalam soal sosial, ekonomi, politik dan pertahanan, namun kemudian merebak juga ke bidang agama. Begitulah yang terjadi di Mesir, Turki dan India. Sedangkan di Indonesia, pembaharuan terjadi sesudah imbas dari negeri-negeri tersebut menjamah Nusantara di periode modern.
Dengan persepsi itulah, Harun Nasution menganggap adanya pembaharuan dalam Islam, dipicu adanya persinggungan kehidupan umat Islam dengan kebudayaan Barat yang datang ke daerah-tempat koloni mereka di Timur. Sehingga beliau mengartikan pembaharuan dalam Islam dengan pedoman atau gerakan sementara umat Islam untuk mengganti adat, asumsi, perbuatan atau institusi mereka dengan suatu yang gres sebagaimana terdapat di dunia Barat periode modern.
Sebagai contoh, jikalau sementara kaum modernis sungguh menganjurkan umat Islam semoga yakin diri menghadapi suatu masalah hidup, sebab demikianlah disarankan fatwa agama, maka dengan pengertian tersebut, anjuran kaum modernis tersebut adalah karena kemauan mereka mau mengganti sikap umat yang fatal selama ini menjadi dinamis, alasannya adalah pikiran mirip itu ada di Barat. Memang sikap seperti itu ada di antara pendapat para teolog klasik, namun hal itu baru dicari sebagai justifikasi kepada usulan yang sudah terpikirkan sebelumnya.
2. Agama rasional
Dalam sejarah filsafat, rasionalisme pernah jaya. Aliran filsafat yang mengagungkan kebenaran hasil ajaran manusia selaku kebenaran ilmiah pernah ada dalam sejarah. Kebenaran ilmiah waktu itu, memang belum ditentukan oleh kebenaran rasional plus kebenaran empiris mirip kini. Pada kurun itulah Islam lahir dan berkembang. Karena itu ada sementara tokoh Islam yang berupaya merasionalkan anutan Islam yang ditekuni mereka, agar Islam juga dianggap mempunyai kebenaran ilmiah. Mereka mengambil bagian-bagian rasional filsafat Yunani yang sudah mereka pahami untuk memformulasikan anutan agama. Hal ini terjadi, karena adanya stimulan, baik internal maupun eksternal.
3. Menghargai logika
Manusia dalam menghadapi dilema kehidupannya di tampang bumi sudah dibekali Tuhan dengan nalar, sebuah yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk lain. Dia tidak cuma mirip seulas sabut yang hanyut kemana gelombang samudera menghempaskannya. Karena itu Islam sebagai agama fitrah niscaya akan menghargai akal dalam ajarannya.
Menurut Harun Nasution Quran dan hadis Nabi juga menghargai nalar. Dia dalam pelbagai tulisannya mengutip beberapa ayat Quran yang mewajibkan umat Islam memakai logika. Begitu pula dengan hadis Nabi. Tetapi dalam sejarah pemikiran Islam, beliau mendapatkan suatu pedoman teologi yang sungguh menghargai nalar dalam segala pendapatnya, ialah Muktazilah.
Pada waktu wahyu belum diturunkan Tuhan, Muktazilah berpendapat bahwa akal insan dapat mengenali baik dan jelek suatu perbuatan dan akal mampu mewajibkan manusia mengikuti tindakan baik dan menjauhkan dirinya dari tindakan buruk, yang dianggap selaku syariat waktu itu. Hal ini --berdasarkan Harun Nasution sering membandingkannya-- tidak ditemukan pada Asy'ariyah, yang hanya mengakui akal mampu mengetahui tindakan baik dan buruk, namun tak mampu mewajibkan atau melarang manusia ihwal hal itu. Karena itu Harun Nasution menegaskan bahwa Muktazilah lebih menghargai kemampuan akal ketimbang Asy'ariyah. Sehingga pertimbangan -usulan Muktazilah bersifat lebih rasional ketimbang pendapat-pertimbangan lainnya dalam merespon persoalan-problem teologi Islam.
Dengan penemuannya ini, Harun Nasution sering mengungkapkan, Islam sebagai agama yang sungguh menghargai logika, dengan menjadikan Muktazilah sebagai prototypenya. Dia memang mengharapkan umat Islam mampu maju alasannya adalah memakai rasionalnya dalam segala bidang, karena pada kurun berkembangnya Muktazilah itu umat Islam sedang mengalami kurun keemasan dalam sejarah. Begitu pula di Barat orang pada maju, karena mereka bersikap rasional dalam kehidupan.
Sikap Muktazilah yang juga sungguh dihargai Harun Nasution ialah sikapnya yang terbuka. Aliran yang dianggap sebagai pendiri hakiki ilmu Kalam ini memang senantiasa mengadopsi pelbagai hasil pemikiran gila, seperti filsafat Yunani, yang waktu itu bisa dibilang selaku ilmu wawasan umum bagi umat Islam. Mereka gunakan komponen-bagian wawasan itu dalam memformulasikan fatwa Islam, khususnya di bidang teeologi. Hampir semua tema-tema yang dipakai dalam teologi Islam sampai kini ini, berasal dari Muktazilah yang telah menjadikan filsafat Yunani itu selaku salah satu refrensi mereka.
Selain itu Harun Nasution juga pernah mengritik Muktazilah yang tidak toleran dalam berpendapat. Meskipun mereka menghargai rasio, tetapi tidak mampu mentolerir perbedaan pertimbangan . Banyak di antara tokohnya yang saling mengkafirkan alasannya perbedaan usulan, padahal mereka diikat oleh korelasi murid dengan guru bahkan anak dengan orangtuanya. Peristiwa mihnah yang banyak menyengsarakan tokoh-tokoh ulama yang berlainan usulan dengan Muktazilah, yang dilaksanakan pada kala pemerintahan Khalifah al Mu'tashim, sering mendapat kritik tajam dari Harun Nasution. Tindakan tersebut dianggapnya tidak Islami, karena Islam sangat menghargai rasio yang digunakan dalam berpendapat.
4. Ijtihad
Dalam rangka menghormati penggunaan rasio itulah, Harun Nasution juga menghendaki supaya umat Islam melaksanakan ijtihad dan menjauhi taklid, sebuah inspirasi yang telah sering dikumandangkan kaum modernis sebelumnya. Tetapi berdasarkan Harun Nasution, pada masa ide pembaharuan beliau tersebut dilontarkan (th 1970-an), umat Islam dalam persepsinya masih belum berani berijtihad dalam memecahkan persoalan-masalah yang dihadapi mereka, karena terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan organisasi yang sangat mengikat.
Menurut pandangannya, kini batas antara kaum modernis dan tradisionalis jadi kabur, sehingga mampu terjadi tokoh yang dianggap tradisionalis lebih berani berijtihad ketimbang tokoh modenis, suatu realita yang tak perlu terjadi. Hal ini menurutnya karena makin langkanya para mujtahid yang berwenang. Mungkin alasannya inspirasi inilah dia pernah memastikan bahwa sarjana S1 bisa dianggap tukang yang bisa mengerjakan sesuatu yang dipelajarinya, sarjana S2 dianggap seorang yang ahli dan mampu secara ilmiah di bidang yang ditekuninya, sedangkan sarjana S3 dibutuhkan menjadi pelopor pandangan baru baru yang mampu dianggap selaku mujtahid di bidangnya.
Barangkali dengan banyaknya progam pasca-sarjana yang disponsorinya membuka bagi IAIN seluruh Indonesia, kelangkaan tenaga tersebut mampu tertuntaskan.
Konsep ijtihad yang berasal dari ulama fikih ini diintrodusir Harun Nasution untuk semua duduk perkara agama. Kalau dalam fikih, alasannya adalah ijtihad terhadap duduk perkara-duduk perkara fiqhiyyah, sudah menimbulkan pelbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali maka ijtihad kepada dilema-dilema dogma juga telah menjadikan pelbagai aliran, seperti Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, dan sebagainya.[5] Semua mazhab dan alian tersebut, menurut beliau, sah-sah saja dibarengi oleh umat Islam, selama tidak berlawanan dengan ayat-ayat alqurran dan hadis Nabi yang bersipat qath'i (niscaya).
5. Analisa
Sukar untuk menolak anggapan bahwa figur Harun Nasution dianggap selaku seorang modernis, tokoh pembaharu Islam. Dia memang dalam melakukan pembaharuan tidak mirip yang pada umumnya dikerjakan tokoh modernis lain, lewat organisasi, sosial maupun politik. Dia melontarkan ide-ilham pembaharuannya melalui IAIN Jakarta dengan pasca-sarjananya, yang kebanyakan menjadi 'kiblat' semua IAIN di Indonesia. Tetapi untuk menyampaikan semua IAIN dan pasca-sarjananya di seluruh Indonesia bercorak Harunistik, juga tidak benar. Memang telah risiko setiap modernis, ada yang pro dan kontra kepada inspirasi pembaharuannya. Namun 'rasa garam' ide Harun Nasution terasa ada pada setiap IAIN, meskipun dengan nuansa berlainan.
Membaca inspirasi pembaharuan Harun Nasution harus ditaruh secara proporsional. Mungkin saja suatu wangsit pembaharuan beberapa dekade lalu, sudah dianggap biasa sekarang, karena kemajuan dunia kian cepat. Pendapat Harun Nasution bahwa terjadinya pembaharuan dalam Islam alasannya dipicu persinggungan dengan Barat, memang sebuah kenyataan sejarah. Tetapi alasannya itulah ada orang yang menganggap Harun Nasution seorang westernis yang pro Barat, sehingga sering dianggap sebagai distributor orientalis. Sebenarnya Harun Nasution yaitu seorang muslim yang mengharapkan perkembangan bagi Islam dan kaum muslimin. Untuk itu dari mana saja umat Islam bisa mengambil pertimbangan , sebagaimana umat Islam dulu juga melakukannya.
Kegandrungan Harun Nasution kepada Muktazilah yang dianggapnya selaku suatu anutan teologi yang sangat menghargai logika (rasio) menyebabkan beliau mendapat pelbagai predikat yang tidak diharapkan, seperti pengikut Muktazilah atau Neo-Muktazilah. Sebenarnya keganderungan ini, didasari oleh observasi yang dia melaksanakan kepada aliran Syekh Muhammad Abduh, seorang modernis Mesir, yang sangat rasional dalam aneka macam naskahnya, sehingga dunia menganggapnya seorang yang berstatus di antara para filsuf dan teolog. Sebagai penyebar wangsit-ide tersebut, Harun Nasution mengikuti jejak Sayid Ahmad Khan, seorang modernis di India abad ke-19, yang digelari orang Neo-Muktazilah. Tapi Harun sendiri pernah mengakui bahwa beliau seorang Ahlissunnah yang rasional.
Kaprikornus pandangan baru pembaharuan yang dilontarkan, bukan mengajak umat Islam agar menjadi pengikut Muktazilah, namun beliau mengharapkan supaya umat Islam bersikap rasional dalam kehidupannya, alasannya agama Islam sungguh menghargai logika (rasio), sebagaimana pernah terjadi dalam sejarahnya yang cemerlang.
B. Abduh dan Kebangkitan Islam
Dunia pengabdiannya sebagai seorang pendidik dia rintis di Al-Azhar. Gebrakan pembaruan pertamanya merekomendasikan perubahan kepada Al-Azhar. Ia yakin, jika Al-Azhar diperbaiki, keadaan kaum muslimin akan membaik. Al-Azhar, dalam pandangan Abduh, telah saatnya untuk berbenah. Dan sebab itu perlu perlu diperbaiki, terutama dalam persoalan administrasi dan pendidikan di dalamnya, tergolong perluasan kurikulum, meliputi ilmu-ilmu modern, sehingga Al-Azhar mampu berdiri sejajar dengan universitas-universitas lain serta menjadi mercusuar dan pelita bagi kaum Muslimin pada zaman modern.
Muhammad Abduh sangat terpengaruh oleh pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, gurunya. Bagi Abduh, Jamaluddin Al-Afghani adalah orang yang sudah membukakan dunia Islam di hadapannya, beserta problema yang dihadapinya di zaman terbaru. Jamaluddin Al-Afghani bahkan telah mendorong dan mengarahkan Abduh untuk membuat sebuah penerbitan yang menjadi media dakwah bagi kedua orang tersebut.
Dari sini lahirlah majalah Al-Urwah at-Wutsqa. Bekerjasama dengan gurunya, Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh mengurus majalah Al-Urwah at-Wutsqa yang terbit dari Paris. Syekh Muhammad Abduh termasuk tokoh pembaru Islam yang banyak dibicarakan dan meninggalkan pengaruh yang kuat pada kaum muslimin. Abduh yaitu ulama yang mengusulkan dan membuka pintu ijtihad yang sudah usang dikunci. Walaupun ilham-pandangan baru pembaruan Abduh banyak menuai kritik, ulama ini tetap konsisten membuatkan anutan-pedoman pembaruan Islam. Abduh sangat tidak menggemari adanya ahli fikih dan ulama yang cuma menyibukkan diri dengan dilema-masalah furu’iyah dan meninggalkan duduk perkara utama umat. Abduh juga diketahui selaku tokoh yang gigih memerangi segala bentuk khurafat, beliau mengajak umat agar memurnikan doktrin mereka.
Di era Abduh dan gurunya, Al-Afghani hidup, dunia Islam mengalami kemunduran yang sungguh memprihatinkan. Wilayah Islam yang sebelumnya berada dalam naungan Khilafah Utsmaniyah dikapling-kapling oleh bangsa-bangsa Eropa. Di samping kekalahan politik dan militer, aliran Islam juga mengalami kemandegan. Di ketika itulah muncul para pemikir dan tokoh Islam yang menjajal menghidupkan kembali umat Islam dalam aneka macam sisi.
1. Ide Pembaruan
Menurut Muhammad Imarah dalam bukunya Al-A’mal Al-Kamilah li Al-Imam, inspirasi-pandangan baru pembaruan teologis yang disebarkan oleh Syekh Muhammad Abduh, didasari oleh tiga hal, ialah:[6] keleluasaan insan dalam menentukan tindakan, iman yang berpengaruh terhadap sunah Allah, dan fungsi logika yang sangat lebih banyak didominasi dalam memakai keleluasaan. Pandangan Abduh wacana tindakan insan bertolak dari satu deduksi, bahwa insan yakni mahluk yang bebas dalam menentukan perbuatannya. Namun demikian, kebebasan tersebut bukanlah keleluasaan yang tanpa batas. Setidaknya ada dua ketentuan yang berdasarkan Abduh mendasari tindakan insan, adalah : (1) insan melaksanakan perbuatan dengan daya dan kemampuannya; (2) kekuasaan Allah yakni kawasan kembali semua yang terjadi.
Muhammad Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai wawasan yang hakiki wacana dogma. Akal dalam tata cara teologi Abduh bahkan memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengenali adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di darul baka, mengetahui keharusan kepada Tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengenali keharusan membuat aturan-aturan. Namun demikian, menurutnya, akal masih memerlukan wahyu sebagai petunjuk hidup mereka. Sebab wahyu bahu-membahu mempunyai dua fungsi utama, ialah menolong akal untuk mengetahui secara rinci tentang kehidupan alam baka, dan menguatkan akal supaya bisa mendidik insan untuk hidup secara damai dalam lingkungan sosialnya.
Dalam bidang aturan, ada tiga prinsip utama ajaran Abduh, yaitu : Al-Alquran sebagai sumber syariat, memerangi taklid, dan berpegang berpengaruh pada nalar dalam mengerti ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya, syariat itu ada dua macam, yaitu; qath’i (pasti) dan zhanni (tidak niscaya). Hukum syariat jenis pertama wajib bagi setiap muslim mengenali dan mengamalkan tanpa interpretasi, alasannya adalah dia jelas tersebut dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits. Sedangkan hokum syariat jenis kedua tiba dengan penetapan yang tidak niscaya.
Jenis hukum yang tidak niscaya inilah (zhanni) yang berdasarkan Abduh menjadi lapangan ijtihad para mujtahid. Dengan demikian, berlawanan usulan yaitu sebuah kewajaran dan ialah etika insan. Keseragaman berfikir dalam semua hal ialah sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan. Bencana akan timbul dikala pertimbangan -pendapat yang berlainan tersebut dijadikan daerah berhukum dengan ‘taklid buta’ tanpa berani mengkritik dan mengajukan pendapat lain. Sikap terbaik yang harus diambil umat Islam dalam menghadapi perbedaan pertimbangan ialah dengan kembali kepada sumber aslinya, yakni Al-Qur`an dan As-Sunnah. Setiap orang yang mempunyai ilmu yang mumpuni maka beliau wajib berijtihad, sedang bagi orang awam, mengajukan pertanyaan terhadap orang yang hebat dalam agama ialah suatu keharusan.
Abduh pernah menyarankan agar para hebat fiqih membentuk tim yang bekerja untuk menyelenggarakan penelitian ihwal usulan yang terkuat di antara pendapat-pertimbangan yang ada. Keputusan tim inilah yang kemudian dijadikan pegangan umat Islam. Tim ahli fiqih tersebut, selain bertugas memfilter hasil ijtihad ulama maupun madzhab masa lalu juga menyelenggarakan reinterpretasi terhadapnya. Kaprikornus berdasarkan Abduh, bermazhab memiliki arti mencontek sistem ber-istinbath hukum. Dengan seluruh aktivitasnya ini, Muhammad Abduh bisa dikatakan telah mengangkat gambaran Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan dan keterbelakangan. Ia adalah seorang mujtahid sekaligus mujaddid, pada masanya.
Diantara wawasan intelektualnya yang sampai dikala ini masih dinikmati dan dikaji oleh umat yakni Risalah Al-Tauhid. Sementara itu, kumpulan pidato-pidato, anggapan-pikiran, dan ceramah-ceramahnya sudah ditulis oleh seorang muridnya, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, bertajuk Tafsir Al-Manar. Pemikiran-anutan Abduh tersebar ke seluruh pelosok negeri. Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak menghipnotis acuan ormas Islam, mirip Muhammadiyah. Dengan demikian, tidak berlebihan jikalau lalu Abduh dibilang sebagai figur seorang pembaru Islam yang menggerakkan kebangkitan umat. Kiprah panjang karirnya rampung ketika Sang Khalik memanggilnya untuk selamanya pada tahun 1905. Pemikirannya perihal pembaruan pendidikan Islam terus berlanjut hingga kini, menembus batasan negeri.
C. “Ketuhanan Liberal” Rasionalisme Amir Ali
Ilmu ketuhanan liberal yang menyusul perjuangan Sir Sayid Ahmad Chan mendekati Islam dengan jalan rasionalisme, mendatangkan evaluasi baru wacana kesusilaan sosial yang sudah menjadi akhlak umat Islam. Kemungkinan yang akhir ini merupakan salah satu daya tarik paling besar bagi golongan cendekiawan yang bertambah besar dengan tegas melihat keburukan sosial, yang terikat dengan kondisi selaku perhambaan, poligami, dan perceraian yang tidak teratur. Dalam hal itu, dampak perguruan tinggi jauh melintasi perbatasan Islam India dengan pernyataannya yang baru tentang amal Islam dan iktikad sosial, sebagian dalam bentuk pembelaan dan sebagian reformis.[7]
Diantara pelbagai penulis India yang mempopulerkan ilmu ketuhanan liberal dan peradaban baru tokoh yang terkemuka ialah Sayid Amir Ali, seorang Syi'ah dan seorang ahli aturan ternama, Bukunya The Spirit of Islam (Roh Islam) untuk pertama kali diterbitkan dalam tahun 1841 telah menyumbangkan kepada kesadaran politik --yang berdiri diantara kaum muslimin -- dasar penghargaan diri yang masuk logika dalam menghadapi dunia Barat. Demikian cepat gagasannya cocok dengan keadaan hati mitra seangkatannya hingga cuma sedikit saja diantara para pandai muslimin mengamati bahwa Amir Ali telah merumuskan dogma Islam dalam istilah pikiran Barat, sebagaimana sudah dijalankan sebelumnya oleh kaum nechari. Bukanlah tempatnya di sini untuk memeriksa kedudukan-kedudukannya secara terperinci, tetapi tiga diantaranya mesti dibentangkan dikarenakan telah menjadi komponen pokok fikiran Islam yang terbaru.[8]
Pertama, pemusatan yang telah kita lihat dalam pergerakan-pergerakan terbaru yang lain atas diri Muhammad saw. judul orisinil Roh Islam (The Spirit of Islam) ialah "Riwayat hidup dan pedoman Muhammad saw." (The Life and Teachings of Muhammad) cukup untuk memperlihatkan daerah pusat pemikiran tersebut dalam penjelasannya. Berlawanan dengan akidah Sufi tentang Muhammad saw. penjelasannya tidak memuat sindiran sedikit pun perihal kekeramatan; Muhammad saw. digambarkan sebagai penjelmaan dan pola kebajikan insan dalam penjelmaannya yang paling agung. Amir Ali sendiri membawa liberalismenya hingga titik pandang Quran sebagai karya Muhammad saw. Dalam hal itu, beliau tidak diikuti oleh kaum modernis umumnya yang tetap menjaga iman ortodoks bahwa Quran sekata demi sekata ialah kalam Allah orisinil.
Kedua, ajaran Muhammad saw. disajikan dalam ungkapan cita-cita sosial zaman sekarang. Empat keharusan (salat, puasa, zakat, haji) disarankan --tidak seolah-olah dibela-- atas dasar yang masuk nalar berafiliasi dengan manfaat sosial dan badaniah. Adanya perhambaan, poligami, talak, dan lain-lain kelemahan tabiat dan sosial dalam masyarakat Islam diakui, akan namun diterangkan selaku berlawanan dengan pemikiran Quran yang benar dan tanggung jawab bagi hukum-hukum tadi diletakkan di pundak ulama-ulama dan hebat fiqih yang lalu. Perhambaan ialah berlawanan dengan pedoman Alquran ihwal persamaan segala Bani Adam; poligami terlarang dengan syarat-syaratnya dalam Quran; perceraian harus seluruhnya ditolak dengan semangat pedoman dan pola Muhammad saw. Dalam tahun-tahun akhir-akhir ini, banyak negara-negara Islam sudah menyelenggarakan perundang-usul sipil untuk menyempitkan aturan perkawinan dan perceraian, sebagaimana juga dalam bidang lain dari syariat yang dilakukan dalam mahkamah Islam, meskipun cuma negara Turki yang mengambil alih aturan agama ini dengan perundang-undangan Barat murni. Perhambaan sudah dibatalkan dengan undang-undang di seluruh negara Islam kecuali Arabia, dalam pertengahan kedua masa kesembilan belas.
Ketiga, tekanan yang jatuh atas Islam, sebagai kekuatan peradaban yang progressif, kejayaan Baghdad dan Kordoba, keuntungan pelajaran dan ilmu pengetahuan, kelelaan keagamaan dan penerimaan filsafat Yunani, training rumah sakit-rumah sakit, dan wakaf-wakaf sekolah tinggi, semua itu dibandingkan dengan keadaan di Eropa waktu masa pertengahan. Bahkan muslimin pandai percaya bahwa kebangkitan baru dalam ilmu pengetahuan dan Renaissance di Eropa telah terjadi berkat dorongan dari kebudayaan Islam, dan alasannya adalah penggunaan kepandaian kecerdasan dan teknik Islam oleh sarjana dan para tukang Eropa.
DAFTAR PUSTAKA
- Ghanusi, Rusydi. Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
- Ghazali. Tahafut al-Falasifah, ditahkik Sulailam Dunya (Mesir: D±l el-Ma’±r³f, 1966.
- Gibb, Hamilton Alexander Rosskeen. Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.
- Imarah, Muhammad. al-A’mal al-Kamilah lil Imam. Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyah, 1986.
- Madjid, Nucholish (ed). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
- Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1994.
- Rasyid, Daud. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje sampai Harun Nasution. Bandung: Syaamil, 2006.
__________________
[1] Kritik ini dapat dilihat dalam karya Al-Ghazali. Tahafut al-Falasifah, ditahkik Sulailam Dunya Mesir: D±l el-Ma’±r³f, 1966.
[2] Hal ini dikarenakan bahwa dia memang merupakan tokoh yang berpengaruh pada masanya. Nucholish Madjid (ed).Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),hal. 33
[3] Rusydi al-Ghanusi, Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 25.
[4] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1994), h. 31
[5] Daud Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution (Bandung: Syaamil, 2006), h. 17-48.
[6] Muhammad Imarah, al-A’mal al-Kamilah lil Imam (Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyah, 1986), h. 165.
[7] Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: Bhratara Karya Aksara,1983), h. 76.
[8] Ibid
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon