Kamis, 05 November 2020

Makalah Ilmu Dan Hadist Serta Ra’Yu

A. Pendahuluan
Menurut Muhammad al-Husein al-Hanafi, pada kurun tabi’in[1] diperkirakan timbul pada era awal berdirinya Bani Umayyah dan selsai pada masa ke II H.[2] Dengan demikian abad inii ialah kala transisi antara sahabat dengan periode timbulnya Imam-imam mazhab baik dari kalangan sunni dengan tokohnya atau dari kalangan Syi’ah.

Pada priode ini dikenal dua kecenderungan dalam sistem pelegislasian aturan Islam, pertama yaitu ajaran yang condong memberikan fleksibilitas saat memutuskan aturan sebuah persoalan dan sistem ijtihadnya banyak berorientasi kepada akal sehat (ra’yi), qiyas serta kajian kepada maksud dan tujuan diturunkannya syari’at Islam. Kedua ialah pemikiran yang condong bersifat ketat ketika menetapkan hukum sebuah problem alasannya lebih mengedepankan hadis daripada pikiran sehat. Kedua kalangan yang berbeda ini dikenal dengan ahlul ra’yi dan ahlul hadis. Makalah ini akan menjajal memaparkan lebih lanjut tentang aspek-aspek yang melatar belakangi hadirnya kedua anutan tersebut, metode istinbat hukun serta tokoh-tokohnya dan sebagainya.

B. Ahl Ra’yi

1. Latar Belakang Kemunculan
Ahl Ra’yi ialah sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam memutuskan fiqh lebih banyak memakai sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, utamanya di Bashrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis bahwa hadirnya pedoman sangat dipengaruhi oleh tiga aspek, adalah:[3]

Keterikatan yang sanga besar lengan berkuasa kepada guru pertama mereka adalah Abdullah bin Mas’ud yang dalam tata cara ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering memakai ra’yu. Minimnya mereka menerima hadis nabi, hal ini dikarenakan mereka cuma memadakan hadis yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq mirip Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga meinim memakai hadis sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ra’yu juga dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadis dengan cara menunjukkan patokan-persyaratan yang sungguh sukar. Seleksi yang sangat ketat yang mereka terapkan besar lengan berkuasa kepada minimnya hadis yang dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka kerjakan ini termotivasi oleh hadirnya pemalsu-pemalsu hadis yang kala itu jumlahnya yang tidak sedikit.

Munculnya aneka macam persoalan baru yang memerlukan legitimasi hukum. Masalah-problem ini timbul dikarenakan pesatnya pertumbuhan budaya yang terjadi di Iraq kala itu, khususnya yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan dikala budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ra’yu.

2. Keitimewaan Ahl Ra’yu
Para ulama menyebutkan bahwa Ahl Ra’yu mempunyai beberapa keistimewaan tertentu, di antaranya:

Banyaknya hukum-aturan furu’iyah yang mereka tetapkan tergolong yang bercorak taqdiri yaitu hukum-hukum yang bersifat kemungkinan sebab masalahnya belum muncul dikala itu. Hal ini sangat dimungkinkan karena banyaknya peristiwa-insiden gres yang mereka peroleh khususnya yang berasal dari budaya-budaya lokal yang lebih dahulum maju daripada Islam. Munculnya masalah-dilema gres ini menunjukkan imbas terhadap produktifitas aktivitas ilmiah mereka di bidang fiqh tergolong dalam melahirkan ketentuan-ketentuan aturan terhadap persoalan yang belum terjadi.

Dalam pelegeslasian huku, mereka tidak cuma memakai makna tekstual saja, akan namun mereka juga memperhatikan apa yang menjadi alasannya adalah (illat), hikmah dan relevansi syari’at dengan kejadian konkrit. Hal ini dilakukan sebab syari’at dipandang sangat sesuai dengan logika (ma’qul ma’na) dan diturunkan untuk memperlihatkan maslahat terhadap insan.

Se-efektifnya mereka dalam mendapatkan suatu hadis dengan memperlihatkan patokan-kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadis ehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari persyaratan yang ketat dalam penukilan sebuah hadis sehingga hanya sedikit yang bisa selamat dari patokan tersebut. Hal ini dijalankan supaya sunnah nabi dapat terpelihara dengan baik, karena pada saat itu banyak sekali muncul-timbul hadis da’if dan maudhu’.

3. Tokoh-Tokohnya
Beberapa tokoh yang tergolong dalam golongan ahl ra’yu yaitu selaku berikut:[4]
  • Alqamah bin Qais an-Nakha’I (w. 62 H).
  • Masruq bin Hajda al-Hamadzani (w. 63).
  • al-Qadi Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78).
  • Sa’id bin Jubair (w. 95 H).
  • al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).
4. Metode dalam Pelegeslasian Hukum Islam
Berdasarkan uraian terdahulu, jelaslah bahwa ahl ra’yu dalam pelegislasian aturan lebih banyak menggunakan ra’yu ketimbang hadis. Bila timbul sebuah duduk perkara yang membutuhkan balasan aturan maka mereka terlebih dulu mencari dalilnya di dalam Alquran. Bila ketentuan hukumnya tidak mereka dapatkan, mereka mencarinya di dalam hadis, yang dalam hal ini mereka memperlihatkan patokan yang ketat sehingga sedikit hadis-hadis yang lolos seleksi, walaupun tentu saja tidak berarti bahwa mereka tidak memakai hadis sama sekali. Apabila tidak ada hadis yang membuktikan persoalan tersebut maka mereka memakai akal budi, dan penggunaan ra’yu inilah yang banyak mereka terapkan dalam penetapan aturan.

Termasuk dari sistem daypikir yang mereka gunakan yaitu istihsan[5] ialah suatu tata cara penetapan aturan Islam yang lebih menonjolkan faktor qiyas dengan arahan terutama ditujukan kepada makna yang terkandung pada qiyas khafi’. Akan namun teladan istihsan yang mereka gunakan belum seutuh yang dikembangkan oleh imam Hanafi berserta murid-muridnya.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan yakni putusan hukum yang ditetapkan oleh Qadi Syuraih semoga orang yang diberi amanah untuk mempertahankan barang titipan memberi ganti rugi bila barang tersebut rusak di tangannya. Padahal menurut hadis nabi bahwa orang yang menjaga amanah tidak dikenakan wajib ganti rugi kalau barang titipan rusak di tangannya. Putusan hukum seperti itu yang ditetaokan oleh Syuraih bukan dikarenakan tidak meyakini keabsahan hadis tersebut, akan namun dia menatap perlu memutuskan hukuman semoga tidak terjadi peyepelean terhadap amanah yang diberikan kepadanya.[6] Dari kasusu ini terang bahwa putusan yang diambil Syuraih lebih mengedepamkan faktor ra’yu dibandingkan dengan hadis.

C. Ahl Hadis

1. Latar Belakang Kemunculan
Sesuai dengan namanya, maka ahl al-hadis ialah kalangan di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan hadis dibandingkan dengan ra’yu. Kelompok ini ialah kebalikan dari ahl ra’yu. Kelompok ini meningkat di Hijaz (Mekkah, Madinah dan Thaif) dan mendapatkan fiqh dari Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.[7] Menurut para ulama, hadirnya kalangan ini di wilayah Hijaz alasannya adalah dipengaruhi oleh beberapa aspek, diantaranya:[8]
  • adanya ketertarikan kepada metode yang dipakai guru-guru mereka terutama Abdullah bin Umar yang sangat berpengaruh berpegang pada hadis.
  • banyaknya hadis yang mereka dapatkan, karena para teman yang hiudp pada zaman nabi banyak yang tinggal di Hijaz utamanya di Mekkah dan Madinah.
  • pola hidup orang Hijaz yang sangat pribadi dan tidak sedinamis dan seheterogen di kawasan Iraq.
  • duduk perkara-problem gres yang memerlukan anutan sangat minim sekali, hal ini di samping alasannya penduduknya cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan seperti di Iraq.
2. Keistimewaan
Di antara bentuk-bentuk keistimewaan yang dimiliki golongan ahl hadis yaitu:[9]
  • Sangat besar lengan berkuasa berpegang terhadap hadis dan tidak menunjukkan persyaratan yang sangat ketat dalam penukilan hadis, alasannya mereka berpandangan bahwa riwayat yang berasal dari penduduk Hijaz yaitu siqat.
  • Tidak suka mempersoalkan atau mendiskusikan duduk perkara-persoalan yang belum timbul sebab akan mendorong penggunaan ra’yu.
  • Dalam mengetahui suatu nash, sangat berpatokan terhadap makna zahir nash dan tidak mendiskusikan lebih lanjut wacana alasan dan nasihat yang terkandung di dalam nash tersebut.
  • Tidak menggunakan ra’yu kecuali pada saat terpaksa.
3. Tokoh-Tokohnya
Di antara tokoh-tokoh ternama dari kalangan ahl al-hadis yakni para fuqaha yang tujuh, adalah:[10]
  • Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
  • al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
  • Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
  • Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
  • Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
  • Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
  • Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.).
4. Metode Legislasi Hukum
Ahl al-Hadis, sesuai dengan namanya sangat menguatamakan penggunaan hadis ketimbang ra’yu. Setiap persoalan yang timbul, mereka mencari jawabannya di dalam Quran, kalau tidak diketemukan, kemudian mereka mencarinya di dalam hadis merskipun berbentukhadis ahad, dan jika juga tidak diketemukan maka mereka tidak mengeluarkan anutan akan tetapi mereka tunda dan mencarinya dalam ucapan jama’ah sahabat dan tabi’in terutama pendapat para khalifah rasyidun dan para fuqaha yang lain.

Apabila terdapat perbedaan pendapat di golongan fuqaha, maka dilihat siapa yang paling wara’ dan paling banyak ilmunya. Bila masih ada juga perbedaan usulan, maka mereka memilih usulan yang lebih mendekati pemahaman mereka.Dengan demikian terlihatlah bahwa ra’yu digunakan dalam kondisi terpaksa jika pada sumber-sumber aturan utama tidak diketemukan keterangannya.

D. Penutup
Ahl al-Hadis dan Ahl Ra’yi ialah dua kecenderung dalam sistem pelegislasian hukum Islam. Hal ini dikarenakan faktor sumber hadis, homoginitas dan heteroginitas masyarakatyang mendiami daerah tersebut. Ahl Hadis yang meningkat di Hijaz memiliki banyak sumber hadis sebab sahabat yang mendengar nabi lebih banyak tinggal di daerah ini, di samping itu, penduduknya juga termasuk homogen yang tentu tidak akan melahirkan terlampau banyak dilema.

Sedangkan Ahl Ra’yi yang berkembang di Iraq lebih minim mendapatkan hadis, baik alasannya sumbernya atau kehati-hatian mereka dalam menseleksi hadis sebab banyaknya hadis maudhu’. Iraq juga diketahui dengan penduduk yang heterogen dan berlatar aneka macam perdaban, percampuran perdaban inilah yang melahirkan berbagai persoalan yang memerlukan pemecahan aturan. Meski dikatakan selaku Ahli Ra’yi, mereka masih menggunakan hadis, perbedaannya dengan Ahl Hadis yaitu dalam mendahulukan ra’yu ketimbang hadis ahad yang oleh Ahl Hadis, hadis ahad didahulukan dibandingkan dengan ra’yu. Urutan sumber hukum yang digunakan oleh Ahl Hadis yaitu:
  • Quran.
  • Hadis.
  • Ijma’ (desain ijma’ pada abad II).
  • Hadis Ahad
  • Sementara sumber hukum Ahl Ra’yi yakni:
  • Quran
  • Hadis
  • Ijma’
  • Ra’yu (Qiyas, Istihsan dan sebagainya).

DAFTAR PUSTAKA
  • Ahmad, Abd al-Hay. Syazarat al-Zahab fi Akhbar Imam Mazhab, jil. I. Kairo: al-Maktabah al-Qudsy, 1350 H.
  • Fath, Ahmad Abu. Kitab al-Mukhtarat al-Fathiyat fi Tarikh al-Tasyri’ wa Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah an-Nahdhah, 1924.
  • Hanafi, Muhammad al-Husein. al-Madhkal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, jil. I. Kairo: an-Nahdhah al-Arabiyah, 1969.
  • Musa, Muhammad Yusuf. Tarikh Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Kitab, 1958.
  • Qayyim, Ibn. I’lam al-Muwaqqin, jil. I. Kairo: Munir ad-Dimasyqi, t.th.
  • Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh, t.th.
  • Syalbi, Yusuf as-Sayyid. Muhadarat fi Tarikh al-Fiqh al-Islami. Kairo: at-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1962.
  • Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jil. I. Jakarta: Wacana Ilmu, 1997.
  • Tim Penulis. Ensiklopedi Islam, jil. V. Jakarta: Ichtiar Baru, 1999.
  • Yanggo, Huzaimah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
  • Zahrah, Abu. Muhadarat fi Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyat. t.p.: Ma’hal ad-Dirasah al-Islamiyah, 1996.
Lihatlah catatan kaki makalah Ilmu dan Hadist serta Ra’yu ini.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)