A. Pendahuluan
Dominasi Barat atas kultur-kultur negara-negara Muslim sudah mengakibatkan muncul banyak sekali reaksi. Dominasi tersebut terus berlangsung yang kebanyakan lewat penjajahan negara-negara Barat atas negara-negara Muslim. Dalam dunia pemikiran, efek hal tersebut juga sangat terasa. Kajian para pemikir-fatwa Islam pada umumnya terfokus terhadap modernisasi, rasionalisasi, perkembangan ummat Islam dan yang semacamnya. Begitulah corak biasa pedoman pada kala terbaru. Hal itu tentu saja terpengaruh oleh anutan-ajaran dan budaya Barat yang menjadi sentra studi ilmu wawasan. Muhammad Arkoun dan Isma’il Raji al-Faruqi (kadang ditulis dengan “Razi”) yakni dua orang pemikir dari kalangan ummat muslimin yang menginginkan perkembangan bagi ummat Islam dengan teori yang berlainan.
B. Muhammad Arkoun
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual
Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia ialah daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber adalah masyarakatyang tersebar di Afrika bab utara. Bahasa yang digunakan adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada era kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak orangnya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, mirip pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.
Gerakan islamisasi di kawasan bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada periode 12 memadukan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang populer itu, sempat belajar terhadap seorang sufi ternama di kawasan ini, Abu Madyan. Di antara ajaran tarekat yang meningkat ialah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.
Melalui berbagai aktivitas dan ritualisme sufisme terkenal, aneka macam komponen doktrin animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) ialah serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang penuhdengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[1]
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan aspek penting bagi pertumbuhan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa digunakan dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis dipakai dalam bahasa sekolah dan persoalan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam acara-kegiatan komunikasi di mesjid.
Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan mengerti. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa goresan pena, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah perihal kehidupan sosial dan ekonomi yang telah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab ialah alat pengungkapan tertulis tentang anutan keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah.
Bahasa Perancis ialah bahasa pemerintahan dan menjadi sarana terusan terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan lalu kalau dilema bahasa menerima perhatian besar dalam bangunan ajaran Arkoun.[2]
2. Pendidikan dan Pengalaman
Setelah simpulan sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bab barat. Sejak 1950 hingga 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di suatu sekolah menengah atas di al-Harrach, di kawasan pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 hingga 1962 dia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 hingga 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian dia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah ajaran Islam.[3]
Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi selaku anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, dia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[4]
Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, mirip Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Nasrani Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.
Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya Pemikiran Arkoun sungguh kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun yakni formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[5] Referensi utamanya yakni De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog mirip Jack Goody dan Pierre Bourdieu.[6]
Arkoun banyak meminjam konsep-desain kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-desain seperti korpus, epistema, tentang, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, yaitu bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun menunjukkan kepiawaiannya ketika secara eklektik mampu “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan kalau perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, contohnya, mampu menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dikerjakan karena selama ini semiotika belum berbagi peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berlainan dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier).
Arkoun juga bisa mencomot rancangan-rancangan dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi fatwa Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang beropini bahwa bahasa goresan pena lebih awal ketimbang mulut (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disuguhkan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan pastinya lebih awal dibandingkan dengan bahasa goresan pena (dalam bidang antropologi, pertumbuhan kebudayaan atau peradaban).
Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya selaku sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-permintaan dan kemajuan pedoman (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang sesudah mendapatkan data-data obyektif, ia mampu juga mengolah data tersebut dengan menggunakan analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur ihwal sejarah pedoman belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.
Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini cuma disebutkan karya-karya yang berhubungan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (goresan pena ihwal budpekerti/terjemahan Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei ihwal pemikiran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik logika islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan anutan ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis.
3. Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun
Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana tata cara historis terbaru menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”, kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut mampu mewakili ajaran Arkoun secara keseluruhan, meskipun beliau masih memiliki banyak karya lain. [7]
Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini adalah tata cara historisisme. Historisisme berperan sebagai tata cara rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik akal islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila sistem ini dipraktekkan pada teks-teks agama, apa yang dikejar Arkoun adalah makna-makna gres yang secara memiliki potensi bersemayam dalam teks-teks tersebut.]
Luthfi Asysaukanie mengelompokkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi tentang fatwa ini masih yakin pada tradisi sejauh diubahsuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, contohnya, membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang memiliki arti tradisi transendental, kekal dan tak berubah; 2) tradisi dengan t kecil yang yakni produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun menurun maupun hasil penafsiran atas wahyu dewa melalui teks-teks suci. Bagi Arkoun, cuma tradisi kedualah yang mampu diuji lewat kritisisme, dan hasilnya dia mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana akan dibahas, pembedaan Arkoun atas tradisi ini, juga tampakdalam bangunan metodologi “cara membaca Qur’an”nya.
Arkoun menganggap proyek kritik nalar Islamnya selaku tak lain dari ekspansi kepada makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik logika Islam ialah perjuangan mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri. Karena begitu sentralnya “proyek kritik nalar Islam” ini dalam bangunan pedoman Arkoun, berikut ini disajikan klarifikasi Arkoun tentang maksud dari kata “kritik” dan “logika”, dengan eksplorasi penerapannya.
Menurut pengakuannya, ungkapan “kritik logika” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik logika, orang memang tidak mudah melalaikan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet memakai istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha menimbang-nimbang (ulang secara kritis pastinya) seluruh tumpukan literatur sejarah perihal revolusi perancis. Revolusi Perancis ialah kejadian sejarah yang amat kompleks serta memiliki pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan berlawanan. Menurut Arkoun kondisi ini bisa dibandingkan dengan kejadian turunnya wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga kadang saling bertentangan satu sama lain. Ia memastikan: Peristiwa itu (Revolusi Perancis) sudah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang begitu luas semenjak dua ratus tahun lampau hingga sekarang (1789-1989). Keadaan ini mampu kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an.[8]
Adapun kata logika merujuk pada nalar sebagai fakultas dalam diri insan untuk berpikir. Manusia berpikir dengan memakai alat-alat, yakni berupa kata-kata dari suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesa tentang realitas. Akal bisa berganti, seiring dengan pertumbuhan alat-alat berpikir yang didapatkan nalar itu sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun memastikan bahwa akal bukanlah rancangan absurd yang melayang-layang di udara, beliau ialah desain faktual yang mampu berganti-rubah. Ia memiliki sejarahnya dan memang terus meyejarah.
Arkoun membedakan materi dan postulat antara nalar religius (religius reason) dan nalar filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius contohnya, ada metafor-metafor, simbol dan dongeng-cerita mitis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: yahudi, kristen dan islam, sementara nalar filosofis dipakai oleh filosof Yunani. Menurutnya, inovasi revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada kala 16, revolusi Lutherian pada masa 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) logika--dan menempatkannya dalam posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan Perancis pada masa 18, telah merubah nalar secara radikal dengan menciptakan logika “terbaru”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam. Akibatnya, akal (atau alam asumsi) umat Islam belum mampu lepas dari mental masa pertengahan yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme.
Untuk menelusuri sejarah anutan Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali seluruh lapisan geologis pedoman (akal) Arab-Islam dengan menggunakan “pisau” epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan terbaru. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah sistem aliran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik yaitu jenjang kedua yang ialah medan taklid metode berpikir umat. Sedangkan tingkatan modern ialah apa yang diketahui dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga potongan (ruputure) epistema ini, sepertinya Arkoun bermaksud untuk menerangkan term “yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought), untuk lalu dipraktekkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam.
Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan yaitu hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, sebab terang dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara fatwa agama dengan praktek kehidupan.[9]
Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pedoman Islam, Arkoun pun menyentuh jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).[10] Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika desain sunnah dan pembakuan ushul terhadap persyaratan tertentu serta pembakuan Qur’an kepada suatu mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah anutan yang tadinya “yang terpikirkan”, bermetamorfosis hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai kini, di tengah tantangan barat terbaru, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar.
Demikianlah, Arkoun menyaksikan ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan dogmatisme kurun skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih tetap bercokol dalam nalar Arab-Islam dewasa ini.
Dengan kritik historisnya, Arkoun mendapatkan karakteristik lazim akal-logika islam. Pertama, ketundukan logika-nalar terhadap wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit). Wahyu memiliki kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, karena dihadapan logika-nalar itu dia memiliki budpekerti transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang menangani manusia, sejarah dan penduduk . Kedua, penghormatan dan ketaatan terhadap otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh disanggah atau didebat, meskipun di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan pertikaian. Para imam mujtahid ini telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Alquran secara benar, tergolong istimbath aturan. Otoritas ini berkembang menjadi dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, nalar beroperasi dengan cara pandang tertentu kepada alam semesta, yang khas kurun pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi terbaru. Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) anutan Islam di tengah kancah dunia modern yaitu dekontruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.
Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir Al-Qur’an tak ubahnya mirip endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini, secara radikal Arkoun menilai sejarah tafsir selaku sajarah penggunaan Al-Qur’an selaku dalih: Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa bahu-membahu Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang mampu menyanggupi kebutuhan dan selera sebuah abad tertentu sesudah abad turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya dibandingkan dengan dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.
Menurutnya, teladan korelasi yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dilaksanakan oleh banyak sekali latar kultural dan sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua mempunyai sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang, secara lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah yang diterima dan disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” dibandingkan dengan penelusuran suatu cara memahami. Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan kekayaan yang terkandung didalamnya.[11] Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu segi, memang membantu mengirimkan kita untuk mengerti Al-Qur’an; tetapi, di segi lain, kadang malahan merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang “menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak menyebabkan kemandegan dibandingkan dengan pencerahan dan pertumbuhan: Jadinya sekarang, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek penduduk kita di era sekarang; dihormati, tetapi pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis menjadi insiden budaya semata.[12]
Dalam konteks di atas, perlu secepatnya dicatat bahwa yang dianggap tidak berkaitan atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan pedoman yang digunakan oleh para teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an: Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan. Saya tidak berkata demikian. Harap waspada. Yang saya katakan adalah bahwa fatwa yang digunakan oleh para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak relevan. Sebab, kini kita ilmu baru mirip antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita juga mempunyai linguistik gres, tata cara sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai.[13]
Demikian komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’adat tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis ialah sangat mendesak. Berangkat dari masalah ini, Arkoun merumuskan problem: Bagaimanakah kita dapat melaksanakan penjelasan (al-idhahah at-tarikhiyyah) mirip terlihat di atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah kita mampu memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas abad?
4. Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran
C. Isma’il Razi al-Faruqi
1. Sejarah dan Latar Belakang ar-Razi
D. Penutup
Muhammad Arkoun dibesarkan dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual. Kehidupan Arkoun yang mengenal aneka macam tradisi dan kebudayaan merupakan aspek penting bagi perkembangan pemikirannya. Arkoun banyak meminjam desain-desain kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam daerah kajian Islam. Konsep-desain seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme dan sebagainya. Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan selaku sejarawan-ajaran. Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas logika Islam” dimana sistem historis terbaru menempati peran sentralnya
Metode yang ditempuh Arkoun adalah tata cara historisisme. Historisisme berperan selaku tata cara rekonstruksi makna lewat cara peniadaan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui sistem historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik akal islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun yaitu makna-makna baru yang secara memiliki potensi bersemayam dalam teks-teks tersebut. Muhamamd Arkoun ialah tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi ihwal anutan ini masih yakin pada tradisi sejauh diubahsuaikan dengan permintaan modernitas.
Mohammed Arkoun juga menyatakan, Islam akan menjangkau kejayaannya jikalau umat Islam membuka diri terhadap pluralisme fatwa, mirip pada abad awal Islam sampai kala pertengahan. Pluralisme mampu diraih jika pengertian agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam mampu bergaul dengan siapa saja.
Isma’il Raji al-Faruqi adalah seorang pemikir yang sangat populer dengan konsep integrasi antara ilmu wawasan (umum) dan agama. Dalam iman agamanya, dia tidak menyaksikan bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yaitu Quran dan Hadis.
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang beliau kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan'. Ide tersebut muncul didorong oleh pandangannya bahwa ilmu wawasan sampaumur ini betul-betul sudah sekuler dan risikonya jauh dari tauhid.
-----------------
[1] Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun wacana Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 11-13.
[2] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993, h.94.
[3] Ibid.
[4] Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun, h. 18
[5] Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998., h. 62-63.
[6] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami, h. 12-13
[7] Luthfi Assyaukany, ”Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Moderne: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 1, vol. V 1994, h. 25.
[8] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
[9] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
[10] Dikutip dari Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 69.
[11] St. Sunardi, Membaca Qur’an bareng …, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LkiS, 1996), h. 60.
[12] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, (Jakarta: INIS, 1997), h. 48.
[13] Muhammed Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, h.85.
[14] Kompas, ed. Selasa, 11 April 2000
[15] Penulis, Isma’il Raji al-Faruqi, postingan dalam www.islamlib.com didownload pada 27 oktober 2007.
[16] DR. Daud Rasyid, M.A, Harun Nasution, postingan dalam www.alislami.com didownload pada 27 oktober 2007.
[17] Lihat jurnal "Al-Muslim al-Mu'ashir" edisi no 43, tahun 1985, hlm. 102).
Dominasi Barat atas kultur-kultur negara-negara Muslim sudah mengakibatkan muncul banyak sekali reaksi. Dominasi tersebut terus berlangsung yang kebanyakan lewat penjajahan negara-negara Barat atas negara-negara Muslim. Dalam dunia pemikiran, efek hal tersebut juga sangat terasa. Kajian para pemikir-fatwa Islam pada umumnya terfokus terhadap modernisasi, rasionalisasi, perkembangan ummat Islam dan yang semacamnya. Begitulah corak biasa pedoman pada kala terbaru. Hal itu tentu saja terpengaruh oleh anutan-ajaran dan budaya Barat yang menjadi sentra studi ilmu wawasan. Muhammad Arkoun dan Isma’il Raji al-Faruqi (kadang ditulis dengan “Razi”) yakni dua orang pemikir dari kalangan ummat muslimin yang menginginkan perkembangan bagi ummat Islam dengan teori yang berlainan.
PEMBAHASAN
B. Muhammad Arkoun
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual
Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia ialah daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber adalah masyarakatyang tersebar di Afrika bab utara. Bahasa yang digunakan adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada era kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak orangnya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, mirip pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.
Gerakan islamisasi di kawasan bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada periode 12 memadukan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang populer itu, sempat belajar terhadap seorang sufi ternama di kawasan ini, Abu Madyan. Di antara ajaran tarekat yang meningkat ialah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.
Melalui berbagai aktivitas dan ritualisme sufisme terkenal, aneka macam komponen doktrin animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) ialah serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang penuhdengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[1]
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan aspek penting bagi pertumbuhan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa digunakan dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis dipakai dalam bahasa sekolah dan persoalan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam acara-kegiatan komunikasi di mesjid.
Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan mengerti. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa goresan pena, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah perihal kehidupan sosial dan ekonomi yang telah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab ialah alat pengungkapan tertulis tentang anutan keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah.
Bahasa Perancis ialah bahasa pemerintahan dan menjadi sarana terusan terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan lalu kalau dilema bahasa menerima perhatian besar dalam bangunan ajaran Arkoun.[2]
2. Pendidikan dan Pengalaman
Setelah simpulan sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bab barat. Sejak 1950 hingga 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di suatu sekolah menengah atas di al-Harrach, di kawasan pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 hingga 1962 dia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 hingga 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian dia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah ajaran Islam.[3]
Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi selaku anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, dia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[4]
Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, mirip Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Nasrani Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.
Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya Pemikiran Arkoun sungguh kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun yakni formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[5] Referensi utamanya yakni De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog mirip Jack Goody dan Pierre Bourdieu.[6]
Arkoun banyak meminjam konsep-desain kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-desain seperti korpus, epistema, tentang, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, yaitu bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun menunjukkan kepiawaiannya ketika secara eklektik mampu “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan kalau perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, contohnya, mampu menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dikerjakan karena selama ini semiotika belum berbagi peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berlainan dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier).
Arkoun juga bisa mencomot rancangan-rancangan dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi fatwa Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang beropini bahwa bahasa goresan pena lebih awal ketimbang mulut (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disuguhkan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan pastinya lebih awal dibandingkan dengan bahasa goresan pena (dalam bidang antropologi, pertumbuhan kebudayaan atau peradaban).
Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya selaku sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-permintaan dan kemajuan pedoman (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang sesudah mendapatkan data-data obyektif, ia mampu juga mengolah data tersebut dengan menggunakan analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur ihwal sejarah pedoman belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.
Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini cuma disebutkan karya-karya yang berhubungan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (goresan pena ihwal budpekerti/terjemahan Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei ihwal pemikiran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik logika islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan anutan ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis.
3. Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun
Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana tata cara historis terbaru menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”, kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut mampu mewakili ajaran Arkoun secara keseluruhan, meskipun beliau masih memiliki banyak karya lain. [7]
Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini adalah tata cara historisisme. Historisisme berperan sebagai tata cara rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik akal islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila sistem ini dipraktekkan pada teks-teks agama, apa yang dikejar Arkoun adalah makna-makna gres yang secara memiliki potensi bersemayam dalam teks-teks tersebut.]
Luthfi Asysaukanie mengelompokkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi tentang fatwa ini masih yakin pada tradisi sejauh diubahsuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, contohnya, membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang memiliki arti tradisi transendental, kekal dan tak berubah; 2) tradisi dengan t kecil yang yakni produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun menurun maupun hasil penafsiran atas wahyu dewa melalui teks-teks suci. Bagi Arkoun, cuma tradisi kedualah yang mampu diuji lewat kritisisme, dan hasilnya dia mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana akan dibahas, pembedaan Arkoun atas tradisi ini, juga tampakdalam bangunan metodologi “cara membaca Qur’an”nya.
Arkoun menganggap proyek kritik nalar Islamnya selaku tak lain dari ekspansi kepada makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik logika Islam ialah perjuangan mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri. Karena begitu sentralnya “proyek kritik nalar Islam” ini dalam bangunan pedoman Arkoun, berikut ini disajikan klarifikasi Arkoun tentang maksud dari kata “kritik” dan “logika”, dengan eksplorasi penerapannya.
Menurut pengakuannya, ungkapan “kritik logika” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik logika, orang memang tidak mudah melalaikan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet memakai istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha menimbang-nimbang (ulang secara kritis pastinya) seluruh tumpukan literatur sejarah perihal revolusi perancis. Revolusi Perancis ialah kejadian sejarah yang amat kompleks serta memiliki pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan berlawanan. Menurut Arkoun kondisi ini bisa dibandingkan dengan kejadian turunnya wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga kadang saling bertentangan satu sama lain. Ia memastikan: Peristiwa itu (Revolusi Perancis) sudah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang begitu luas semenjak dua ratus tahun lampau hingga sekarang (1789-1989). Keadaan ini mampu kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an.[8]
Adapun kata logika merujuk pada nalar sebagai fakultas dalam diri insan untuk berpikir. Manusia berpikir dengan memakai alat-alat, yakni berupa kata-kata dari suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesa tentang realitas. Akal bisa berganti, seiring dengan pertumbuhan alat-alat berpikir yang didapatkan nalar itu sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun memastikan bahwa akal bukanlah rancangan absurd yang melayang-layang di udara, beliau ialah desain faktual yang mampu berganti-rubah. Ia memiliki sejarahnya dan memang terus meyejarah.
Arkoun membedakan materi dan postulat antara nalar religius (religius reason) dan nalar filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius contohnya, ada metafor-metafor, simbol dan dongeng-cerita mitis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: yahudi, kristen dan islam, sementara nalar filosofis dipakai oleh filosof Yunani. Menurutnya, inovasi revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada kala 16, revolusi Lutherian pada masa 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) logika--dan menempatkannya dalam posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan Perancis pada masa 18, telah merubah nalar secara radikal dengan menciptakan logika “terbaru”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam. Akibatnya, akal (atau alam asumsi) umat Islam belum mampu lepas dari mental masa pertengahan yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme.
Untuk menelusuri sejarah anutan Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali seluruh lapisan geologis pedoman (akal) Arab-Islam dengan menggunakan “pisau” epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan terbaru. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah sistem aliran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik yaitu jenjang kedua yang ialah medan taklid metode berpikir umat. Sedangkan tingkatan modern ialah apa yang diketahui dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga potongan (ruputure) epistema ini, sepertinya Arkoun bermaksud untuk menerangkan term “yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought), untuk lalu dipraktekkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam.
Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan yaitu hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, sebab terang dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara fatwa agama dengan praktek kehidupan.[9]
Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pedoman Islam, Arkoun pun menyentuh jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).[10] Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika desain sunnah dan pembakuan ushul terhadap persyaratan tertentu serta pembakuan Qur’an kepada suatu mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah anutan yang tadinya “yang terpikirkan”, bermetamorfosis hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai kini, di tengah tantangan barat terbaru, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar.
Demikianlah, Arkoun menyaksikan ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan dogmatisme kurun skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih tetap bercokol dalam nalar Arab-Islam dewasa ini.
Dengan kritik historisnya, Arkoun mendapatkan karakteristik lazim akal-logika islam. Pertama, ketundukan logika-nalar terhadap wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit). Wahyu memiliki kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, karena dihadapan logika-nalar itu dia memiliki budpekerti transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang menangani manusia, sejarah dan penduduk . Kedua, penghormatan dan ketaatan terhadap otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh disanggah atau didebat, meskipun di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan pertikaian. Para imam mujtahid ini telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Alquran secara benar, tergolong istimbath aturan. Otoritas ini berkembang menjadi dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, nalar beroperasi dengan cara pandang tertentu kepada alam semesta, yang khas kurun pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi terbaru. Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) anutan Islam di tengah kancah dunia modern yaitu dekontruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.
Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir Al-Qur’an tak ubahnya mirip endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini, secara radikal Arkoun menilai sejarah tafsir selaku sajarah penggunaan Al-Qur’an selaku dalih: Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa bahu-membahu Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang mampu menyanggupi kebutuhan dan selera sebuah abad tertentu sesudah abad turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya dibandingkan dengan dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.
Menurutnya, teladan korelasi yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dilaksanakan oleh banyak sekali latar kultural dan sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua mempunyai sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang, secara lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah yang diterima dan disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” dibandingkan dengan penelusuran suatu cara memahami. Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan kekayaan yang terkandung didalamnya.[11] Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu segi, memang membantu mengirimkan kita untuk mengerti Al-Qur’an; tetapi, di segi lain, kadang malahan merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang “menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak menyebabkan kemandegan dibandingkan dengan pencerahan dan pertumbuhan: Jadinya sekarang, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek penduduk kita di era sekarang; dihormati, tetapi pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis menjadi insiden budaya semata.[12]
Dalam konteks di atas, perlu secepatnya dicatat bahwa yang dianggap tidak berkaitan atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan pedoman yang digunakan oleh para teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an: Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan. Saya tidak berkata demikian. Harap waspada. Yang saya katakan adalah bahwa fatwa yang digunakan oleh para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak relevan. Sebab, kini kita ilmu baru mirip antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita juga mempunyai linguistik gres, tata cara sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai.[13]
Demikian komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’adat tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis ialah sangat mendesak. Berangkat dari masalah ini, Arkoun merumuskan problem: Bagaimanakah kita dapat melaksanakan penjelasan (al-idhahah at-tarikhiyyah) mirip terlihat di atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah kita mampu memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas abad?
4. Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran
Mohammed Arkoun Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri kepada pluralisme anutan, seperti pada abad permulaan Islam sampai era pertengahan. Pluralisme bisa diraih kalau pengertian agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam mampu bergaul dengan siapa saja. Menurut Arkoun dalam pembukaan seminar "Konsep Islam dan Modern ihwal Pemerintahan dan Demokrasi" di Jakarta, Senin (10/4), bahwa k olonialisme secara fisik memang telah berakhir. Namun, paling tidak, aliran ummat muslim masih terjajah, tidak ikut terbaru yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan oleh umat Islam,"
Arkoun mengungkapkan, humanisme di Arab timbul pada era ke-10 di Irak dan Iran, pada saat hadirnya gerakan yang besar lengan berkuasa untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis kepada manusia. Para andal teologi, aturan, ilmuwan, dan jago-andal filsafat berkumpul dalam Majelis Malam. Ketika mengatakan dan bertukar fikiran, mereka saling berhadapan wajah, yang diketahui dengan ungkapan munadharah.
Namun, memasuki kurun ke-13, umat Islam mulai melewatkan filsafat maupun debat teologi. Selama ini, umat Islam diajar bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik, bahwa Islam adalah daulah (kerajaan). Dalam kapasitaasnya selaku seorang ahli sejarah peradaban Islam, beliau mengatakan bahwa aliran tersebut yaitu keliru. Dalam Islam klasik, berdasarkan Arkoun, saat debat didasarkan pada pendekatan keanekaragaman budaya, keanekaragaman aliran, dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan Alquran dan mengelaborasi dengan aturan yang didasarkan pada teks suci.
Dengan tetap menjaga pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata Arkoun. Islam dalam teologi harus menjaga kebebasan bagi setiap muslim untuk ikut serta dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.
Menurut Arkoun, umat Islam mampu membandingkan dengan agama Katolik secara teologis dan agama Katolik secara politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi politik yang tidak dikelola oleh Gereja Katolik. Teologi Protestan merupakan teologi modern, alasannya setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci.
Sebenarnya, umat Islam memperoleh era yang bisa memperlihatkan impian besar akan hadirnya kembali keanekaragaman dalam berpikir pada saat munculnya negara-negara gres pascakolonial. Namun, sayang, peluang itu hilang. Islam lalu dipergunakan lebih selaku alat politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam keanekaragaman.
Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, di mana membangun demokrasi tidak cuma berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada insan. Menurut beliau, hadirnya Uni Eropa ialah sebuah lompatan sejarah. Ada suatu ruang gres kewarganegaraan dengan membuka peluang insan dari seluruh cuilan bumi untuk mendapatkan kewarganegaraan. Ada sebuah gaya baru pemerintahan yang berdiri di atas bangsa. "Ini revolusi dalam level politik," kata Arkoun seraya menyertakan bahwa model ini bisa diadopsi oleh negara-negara muslim dan berjumpa dengan pengalaman Eropa dalam perspektif humanisme.
Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa aneh, sejarah ,dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. Ia mengajak terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua ajaran.
Menjawab pertanyaan tentang harapan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan Ketetapan (Tap) No 25/MPRS/ 1966 ihwal pembubaran PKI dan larangan mengembangkan fatwa marxisme/komunisme, Arkoun mengatakan, komunis ialah versi politik yang digunakan Uni Soviet untuk mengalahkan demokrasi terbaru yang berkembang di Eropa. "Jika Anda membaca filsafat Karl Marx dan Hegel, Anda akan berhenti mengutuk filsafat yang dijadikan dasar paham komunis. Ini yang mungkin diperkenalkan Presiden Indonesia selaku langkah awal menuju demokrasi yang terbaru," ungkapnya.
Arkoun mencontohkan impian pemerintah Maroko memajukan status perempuan. Partai Islam menolak planning pemerintah, namun sebagian yang lain mendapatkannya. Hukum terbaru didasarkan pada kedaulatan individu. Apakah kita mau meninggalkan Sariat Islam dengan menghargai kedaulatan individu itu.
Dalam Islam, tegas Arkoun, ada yang disebut munadharah (tukar pikiran). Munadharah adalah jantung demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa munadharah, karena dalam munadharah setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya.[14]
C. Isma’il Razi al-Faruqi
1. Sejarah dan Latar Belakang ar-Razi
Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektualisme universal. Konsep dan teorinya wacana penggabungan ilmu wawasan sudah mengilhami berdirinya aneka macam megaproyek keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia.
Berkat ia pula jadwal besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan' sampai sekarang berkembang dan meningkat di berbagai negara, meski untuk itu harus menuai angin kencang kritik dan kecaman. Proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al Afghani pun dilanjutkannya, walau akibatnya tak maksimal.
Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok bakir yang sangat dihormati dan disegani banyak sekali golongan intelektual dan ilmuwan, Islam dan Barat, ini dilahirkan di kawasan Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921. Saat itu, negerinya memang tak separah dan setragis kini, yang menjadi sasaran senjata canggih pemerintahan zionis, Israel. Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab, saat Faruqi dilahirkan.
Al Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon semenjak 1926 hingga 1936. Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University, di Beirut. Gelar sarjana muda pun beliau gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun, sebelum hasilnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, sampai ia pun hijrah ke Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan bersungguh-sungguh menekuni dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat beliau raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana. Tak cuma itu, Al Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun.
Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan, sebab terlibat aktivitas Central Institute for Islamic Research.
Setahun lalu, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple, Philadelphia, selaku guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi tersebut.
Selain itu, beliau juga menjadi guru besar tamu di aneka macam negara, seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran. Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga tamat hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.[15]
2. Pemikiran
Ilmuwan yang ikut membidani aneka macam kajian ihwal Islam di berbagai negara --Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi-- ini sangat terkenal dengan rancangan integrasi antara ilmu pengetahuan (lazim) dan agama.[16] Dalam doktrin agamanya, beliau tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, ialah Alquran dan Hadis.
"Bukan seperti sekarang, dikala dunia Barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan, namun pertumbuhan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tak lain alasannya adanya pemisahan dan dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama," kilahnya.
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang dia kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu wawasan',[17] itu dituangkan dalam banyak goresan pena, baik di majalah, media yang lain, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam aneka macam bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus postingan sudah dipublikasikan. Di antara karyanya yang terpenting adalah: A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (Atlas Budaya Islam), Islam and Cultural (keduanya sudah di Indonesiakan).
Gagasan 'Islamisasi ilmu pengetahuan' tak hanya beliau perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika Serikat. Kini, lembaga bergengsi dan berkualitas itu mempunyai banyak cabang di berbagai negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Namun pemikirannya juga menyebabkan pro-kontra di kalangan ilmuwan Muslim dan Barat.
Hal demikian tak menjadikannya larut dalam kritikan. Suara-bunyi sumbang itu malah ia kelola sedemikian rupa sehingga berpeluang menjadi stimulasi pengembangan pemikirannya tersebut. Tak cukup dengan IIIT saja, ia dirikan pula The Association of Muslim Social Scientist pada 1972. Kedua lembaga internasional yang didirikannya itu mempublikasikan jurnal Amerika perihal Ilmu-ilmu Sosial Islam.
Berbagai aktivitas ini ia kerjakan semata didorong oleh pandangannya bahwa ilmu pengetahuan akil balig cukup akal ini sungguh-sungguh telah sekuler dan akibatnya jauh dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan 'resep' pengobatan semoga kemajuan dan wawasan tidak berjalan kebablasan di luar jalur etik, melalui desain Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan wawasan.
Pemikirannya perihal Pan-Islamisme (Persatuan Negara-negara Islam) pun tak kalah penting. Seakan tak merasa risih dan pesimis, pedoman Pan-Islamismenya terus didengungkannya di tengah berkembangnya negara-negara nasional di dunia Islam akil balig cukup akal ini. Al Faruqi tak sependapat dengan berkembangnya nasionalisme yang membuat umat Islam terpecah-pecah.
Baginya, sistem khilafah (kekhalifahan Islam) ialah bentuk negara Islam yang paling sempurna. "Khilafah yaitu prasyarat mutlak bagi tegaknya paradigma Islam di tampang bumi. Khilafah ialah induk dari lembaga-lembaga lain dalam masyarakat. Tanpa itu, lembaga-forum lain akan kehilangan dasar pijaknya," tegasnya.
Dengan terbentuknya khilafah, jelasnya, keanekaragaman tidak mempunyai arti akan lenyap. Dalam pandangannya, khilafah tetap bertanggung jawab melindungi keanekaragaman. Bahkan, khilafah wajib melindungi pemeluk agama lain, seperti Katolik, Yahudi dan lain sebagainya. "Tak ada paksaan dalam Islam," katanya. Menurutnya, negara-negara Islam yang ada saat ini akan menjadi provinsi-provinsi federal dari suatu khilafah yang bersifat universal yang mesti senantiasa diperjuangkan.
Dalam bidang perbandingan agama, bantuan aliran Al Faruqi tak kecil. Karyanya A Historical Atlas of Religion of the World, oleh banyak kalangan dipandang sebagai buku patokan dalam bidang tersebut. Dalam karya-karyanya itulah, ia selalu memaparkan pedoman ilmiahnya untuk meraih saling pengertian antarumat beragama, dan pengertian intelektual terhadap agama-agama lain. Baginya, ilmu perbandingan agama memiliki kegunaan untuk membersihkan semua bentuk praduga dan salah pengertian untuk membangun persahabatan antara sesama manusia.
Karena itu pula, Al Faruqi beropini bahwa Islam tidak menentang Yahudi. Yang ditentang Islam adalah Zionisme. Antara keduanya (Yahudi dan Zionisme) terdapat perbedaan fundamental. Ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan Zionisme, menurutnya, begitu rumit, beragam, dan amat krusial, sehingga simpel tidak terdapat cara untuk menghentikannya tanpa sebuah kekerasan perang. Dalam hal ini, negara zionis harus dihancurkan. Sebagai jalan keluarnya, orang-orang Yahudi diberi hak berdomisili di mana saja mereka kehendaki, sebagai warga negara bebas. Mereka harus diterima dengan baik di negara Muslim.
Lantaran pemikirannya inilah, kalangan Yahudi tidak bahagia dengannya. Nasib tragis pun menimpa diri dan keluarganya, saat meletus serangan teroris di Eropa Barat, yang kemudian merembet pada kerusuhan di AS pada 1986. Gerakan anti-Arab serta semua yang berbau Arab dan Islam begitu marak dipelopori beberapa kalangan tertentu yang usang memendam perasaan tak bahagia kepada Islam dan warga Arab. Dalam serangan oleh kalangan tak dikenal itulah, Al Faruqi dan istrinya, Dr Lois Lamya, serta keluarganya tewas. Untuk mengenang jasa-jasa, usaha, dan karyanya, organisasi masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA) mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al Faruqi Memorial Fund, yang berencana melanjutkan harapan 'Islamisasi ilmu pengetahuan'
D. Penutup
Muhammad Arkoun dibesarkan dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual. Kehidupan Arkoun yang mengenal aneka macam tradisi dan kebudayaan merupakan aspek penting bagi perkembangan pemikirannya. Arkoun banyak meminjam desain-desain kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam daerah kajian Islam. Konsep-desain seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme dan sebagainya. Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan selaku sejarawan-ajaran. Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas logika Islam” dimana sistem historis terbaru menempati peran sentralnya
Metode yang ditempuh Arkoun adalah tata cara historisisme. Historisisme berperan selaku tata cara rekonstruksi makna lewat cara peniadaan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui sistem historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik akal islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun yaitu makna-makna baru yang secara memiliki potensi bersemayam dalam teks-teks tersebut. Muhamamd Arkoun ialah tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi ihwal anutan ini masih yakin pada tradisi sejauh diubahsuaikan dengan permintaan modernitas.
Mohammed Arkoun juga menyatakan, Islam akan menjangkau kejayaannya jikalau umat Islam membuka diri terhadap pluralisme fatwa, mirip pada abad awal Islam sampai kala pertengahan. Pluralisme mampu diraih jika pengertian agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam mampu bergaul dengan siapa saja.
Isma’il Raji al-Faruqi adalah seorang pemikir yang sangat populer dengan konsep integrasi antara ilmu wawasan (umum) dan agama. Dalam iman agamanya, dia tidak menyaksikan bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yaitu Quran dan Hadis.
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang beliau kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan'. Ide tersebut muncul didorong oleh pandangannya bahwa ilmu wawasan sampaumur ini betul-betul sudah sekuler dan risikonya jauh dari tauhid.
Daftar Pustaka
- Arkoun, Mohammed, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994.
- ___________, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994.
- ________________, Berbagai Pembacaan Qur’an. Jakarta: INIS, 1997.
- _______________, Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an.
- Esack, Farid, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997.
- jurnal "Al-Muslim al-Mu'ashir" edisi no 43, tahun 1985.
- Kompas, ed. Selasa, 11 April 2000.
- Meuleman, Johan H., Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993.
- _________________, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun. Yogyakarta: LkiS, 1996.
- Penulis, Isma’il Raji al-Faruqi, artikel dalam www.islamlib.com didownload pada 27 oktober 2007.
- Putro, Suadi, Mohammad Arkoun wacana Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina, 1996.
- Rasyid, Daud, Harun Nasution, artikel dalam www.alislami.com didownload pada 27 oktober 2007.
- Syaukani, Luthfi, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998.
- ______________, Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Moderne: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 1, vol. V 1994.
-----------------
[1] Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun wacana Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 11-13.
[2] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993, h.94.
[3] Ibid.
[4] Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun, h. 18
[5] Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998., h. 62-63.
[6] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami, h. 12-13
[7] Luthfi Assyaukany, ”Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Moderne: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 1, vol. V 1994, h. 25.
[8] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
[9] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
[10] Dikutip dari Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 69.
[11] St. Sunardi, Membaca Qur’an bareng …, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LkiS, 1996), h. 60.
[12] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, (Jakarta: INIS, 1997), h. 48.
[13] Muhammed Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, h.85.
[14] Kompas, ed. Selasa, 11 April 2000
[15] Penulis, Isma’il Raji al-Faruqi, postingan dalam www.islamlib.com didownload pada 27 oktober 2007.
[16] DR. Daud Rasyid, M.A, Harun Nasution, postingan dalam www.alislami.com didownload pada 27 oktober 2007.
[17] Lihat jurnal "Al-Muslim al-Mu'ashir" edisi no 43, tahun 1985, hlm. 102).
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon