Minggu, 23 Agustus 2020

Makalah Pengembangan Metode Pendidikan Dan Kurikulum

Pengembangan Materi Ajar Pendidikan Islam, Sumber Kurikulum Pendidikan Islam, Model Kurikulum, Pendidikan Islam Klasik, Model Kurikulum, Pendidikan Islam Modern, Model Kurikulum Pendidikan Islam Ideal

I. Pendahuluan

Pendidikan Islam bahwasanya sudah tumbuh dan berkembang sejalan dengan dakwahnya Islam yang sudah dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam mempunyai corak dan karakteristik yang berlawanan sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus-menerus pascagenerasi Nabi Muhammad saw, sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik itu dari sisi kurikulum. Untuk menjadikan pendidikan yang berarti, harus menawarkan kurikulum pendidikan yang bagus tentunya terhadap penerima ajar.

Pemikiran pendidikan klasik lebih memprioritaskan kepada guru yang menjadi subjek pendidikan, bukan terhadap murid. Sebagai aspek penentu untuk menilai tingkat kesuksesan pendidikan Islam adalah berada di tangan guru. Sebagai konsekuensinya, konsep pendidikan Islam klasik lebih banyak mengamati guru.

Kurikulum senantiasa bersifat dinamis guna lebih menyesuaikan dengan berbagai pertumbuhan yang terjadi. Setiap pendidik mesti memahami pertumbuhan kurikulum. Dalam kurikulum akan tergambar bagaimana perjuangan yang dijalankan menolong anak asuh dalam berbagi potensinya, berupa fisik, intelektual, emosional, dan sosial, keagamaan, dan sebagainya.

Kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu contoh dalam proses pendidikan sehingga setiap proses pendidikan yang diselenggarakan akan lebih terarah dan sempurna target. Dengan demikian kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu alat untuk pengembangan sumber daya manusia.

Jika dilihat dari aplikasinya, maka kurikulum pendidikan Islam berfungsi selaku ajaran yang dipakai pendidik untuk membimbing akseptor didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam lewat akumulasi sejumlah wawasan, kemampuan dan perilaku. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara sembarangan, namun hendaknya mengacu terhadap konseptualisasi insan paripurna (insan kamil) yang strateginya tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam.[1]


II. Pembahasan

A. Pengembangan Materi Ajar Pendidikan Islam

Materi pendidikan Islam berisikan Alquran, aqidah, budbahasa, fiqh dan tarikh. Materi-bahan yang diajarkan bangkit sendiri bangkit sendiri dan belum tersusun dalam the body of knowledge. Komponen tersebut merupakan hasil pembiasaan kurikulum pendidikan Islam di Madrasah Aliyah. Kecenderungan bahan Quran bernuansa normatif yang sangat kental. Materi aqidah condong normatif dan klasik. Aqidah disampaikan bertemateologis sentris. Materi fiqh masih bersifat formalistik ritualistik. Siswa dibawa pada pola ibadah vertikal dan belum sampai terhadap implementasi dan daypikir kesalehan sosial. Materi adat cuma mengetengahkan materi yang nyaris sama dengan PKn, materi budpekerti lebih terkonsentrasi pada pengayaan pengetahuan kognitif dan minim dalam pembentukan sikap serta pembiasaan (psikomotorik). Materi sejarah cenderung menunjukkan superioritas umat Islam dahulu atas umat Islam lain.

Dalam penyusunan materi latih pendidikan Islam, persoalan aktual yang dihadapi siswa selaku pengaruh dari kemajuan tekonologi, pergeseran tata nilai serta karakteristik siswa belum banyak dibahas. Sehingga diperlukan restrukturisasi bahan ajar pendidikan Islam dan pengembangan Pendidikan Islam terpadu sehingga siswa mendapatkan pengertian agama yang lebih utuh.

Dalam pengembangan materi ajar disediakan tiga model pembelajaran terpadu, yaitu:

1. Model connected (versi keterhubungan) adalag model pembelajaran terpadu yang secara sengaja diusahakan untuk menghubungkan satu rancangan dengan rancangan lain, satu topik dengan topik lain.

2. Model webded (versi jaringan keuntungan-laba), model ini merupakan pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan tematik.

3. Model integrated (versi keterpaduan), model ini ialah pembelajaran terpadu yang memakai pendekatan antar bidang studi dengan memutuskan prioritas kurikuler dan menemukan keahlian, rancangan dan perilaku yang saling tumpang tindih dalam beberapa bidang studi. Memungkinkan siswa menjadi lebih pintar dan bijak dalam merespon atau menghadapi insiden yang ada dihadapan mereka.[2]


1. Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam

Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, ialah dari kata Curir, artinya pelari.[3] Kata Curere artinya kawasan berpacu. Curri-kulum diartikan jarak yang ditempuh oleh seorang pelari dari garis star ke garis finish. Pada dikala itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk mendapatkan ijazah.[4] Dalam bahasa Arab kata kurikulum disamakan dengan kata manhaj yang bermakna jalan jelas yang dilalui oleh pendidik dan anak ajar untuk menyebarkan wawasan, keahlian dan sikap anak ajar tersebut.[5]

Pada kurun klasik, pakar pendidikan Islam memakai kata al-maddah untuk pemahaman kurikulum.[6] Karena pada periode itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang mesti diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.

Sejalan dengan perjalanan waktu, pengertian kurikulum mulai meningkat dan cakupannya lebih luas, ialah mencakup segala aspek yang mempengaruhi langsung siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, isi (mata pelajaran), tata cara (proses berguru dan mengajar) serta penilaian.[7]

Setiap unsur dalam kurikulum tersebut sebenarnya saling berhubungan , yaitu bahwa masing-masing ialah bagian integral dari kurikulum tersebut. Komponen tujuan mengarahkan sesuatu yang mau dituju dalam proses belajar mengajar. Selanjutnya tujuan itu mengarahkan perilaku berguru mengajar yang dijalankan oleh siswa dan guru. Kemudian komponen isi memperlihatkan materi proses belajar mengajar tersebut. Komponen proses belajar mengajar mempertimbangkan kegiatan guru dalam proses berguru-mengajar. Proses berguru mengajar yaitu kegiatan dalam meraih tujuan. Proses ini disebut selaku sistem mencapai tujuan. Dan bagian yang keempat, yakni penilaian. Evaluasi merupakan penilaian untuk mengenali berapa persen tujuan tersebut mampu diraih. Jika dari penilaian itu tingkat pencapaiannya rendah, maka harus memeriksa proses mencar ilmu mengajar, kemungkinan terdapat kelemahan atau menimbang-nimbang kembali isi pengajaran.

Kurikulum pendidikan Islam mengandung bagian proses pendidikan dan semua program pendidikan yang dibarengi dan diarahkan oleh guru atau pendidik dan lembaga pendidikan dalam kegiatan pembelajaran, khususnya untuk mengarahkan penerima latih mencapai tujuan pendidikan Islam yang dicita-citakan. Tujuan ideal hidup langsung muslim yang diinginkan ialah untuk menjangkau kebahagiaan dunia dan akhirat. Firman Allah dalam surah al-Qashash ayat 77:

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri darul baka, dan janganlah kau melalaikan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat oke (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kau berbuat kerusakan di (wajah bumi), sebenarnya Allah tidak menggemari orang-orang yang berbuat kerusakan”.


B. Sumber Kurikulum Pendidikan Islam

Kurikulum yang baik dan berkaitan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam yaitu yang bersifat integrated dan komprehensif, meliputi ilmu agama dan umum, serta mengakibatkan Alquran dan Hadis selaku sumber utama pendidikan Islam.[8] Quran dan Hadis ialah sumber utama pendidikan Islam berisi kerangka dasar yang dapat dijadikan sebagai pola operasional dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam.

Dalam Quran dan Hadis didapatkan kerangka dasar yang dapat dijadikan selaku anutan operasional dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, yaitu:

1. Tauhid

Tauhid sebagai kerangka dasar utama kurikulum harus dimantapkan semenjak masih bayi, di mulai dengan memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid mirip azan atau iqamah kepada anak yang gres dilahirkan. Bila dianalisis materi azan yang dikumandangkan yaitu materi pendidikan Islam awal yang diberikan kepada seorang anak dalam transformasi dan internalisasi nilai dalam pendidikan Islam, supaya anak senantiasa terbimbing ke suasana selaras dengan hakikat penciptanya selaku pengabdi kepada Allah. Tauhid ialah prinsip utama dalam seluruh dimensi kehidupan manusia baik kekerabatan vertikal dengan Allah maupun hubungan horizontal dengan insan dan alam. Tauhid yang mirip inilah yang dapat menyusun pergaulan insan secara serasi dengan sesamanya, dalam rangka pencapaian kehidupan yang makmur dan bahagia dunia dan alam baka, termasuk di dalamnya pergaulan dalam proses pendidikan. Tauhid yang mirip inilah yang dijadikan kerangka dasar kurikulum pendidikan Islam.

2. Perintah membaca

Membaca ialah alat sistem perhubungan yang ialah syarat mutlak terwujudnya dan berkelanjutan dalam sebuah sistem sosial.

Firman Allah SWT:  

Artinya: “Bacalah! Dengan menyebut nama Tuhanmu yang membuat manusia dari segumpan darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajarkan (insan) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada insan apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-A’laq 96: 1-5).

Kelima ayat tersebut pada dasarnya mencakup kerangka kurikulum pendidikan Islam, yang dijabarkan sebagai berikut:

(1) Hal yang ditekankan dari ayat yang pertama yakni kemampuan membaca yang dihubungkan dengan nama Tuhan selaku Pencipta. Hal ini dekat relevansinya dengan ilmu naqli.

(2) Ayat yang kedua, mendorong manusia untuk mengintropeksi, memeriksa ihwal dirinya mulai dari proses insiden dirinya. Manusia ditantang untuk mengungkapkan hal itu, melalui imaginasi maupun pengalamannya.

(3) Motivasi yang terkandung dari ayat ketiga yakni supaya insan terdorong untuk mengadakan eksplorasi alam dan sekitarnya dengan kesanggupan membaca dan menulisnya.[9]

Adapun yang menjadi dasar penyusunan kurikulum pendidikan Islam yaitu sebagai berikut:

a. Dasar agama, dalam arti segala tata cara yang ada dalam masyarakat termasuk pendidikan, harus meletakkan dasar falsafah, tujuan dan kurikulumnya pada dasar agama Islam dengan segala aspeknya.

b. Dasar falsafah, dasar ini memperlihatkan pedoman bagi tujuan pendidikan Islam secara filosofis sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk nilai-nilai yang diyakini sebagai sebuah kebenaran, baik ditinjau dari sisi ontologi, epistimologi, maupun aksiologi.

c. Dasar psikologis, dasar ini menunjukkan landasan dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri pertumbuhan psikis akseptor bimbing, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya, memperhatikan kecakapan pedoman dan perbedaan abjad antara peserta didik yang satu dengan yang lain.

d. Dasar sosial, dasar ini memperlihatkan gambaran bagi kurikulum pendidikan Islam yang tercermin pada dasar sosial yang mengandung ciri-ciri masyarakat Islam dan kebudayaannya.

e. Dasar organisatoris, dasar ini menawarkan landasan dalam penyusunan materi pembelajaran beserta penyajiannya dalam proses pembelajaran.[10]


C. Model Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik

Kurikulum pendidikan Islam klasik berbeda dengan kurikulum pendidikan terbaru. Pada kurikulum pendidikan terbaru, contohnya kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, diputuskan oleh pemerintah dengan kriteria tertentu yang terdiri dari beberapa komponen: tujuan, isi, organisasi, dan strategi.[11] Pengertian dan bagian yang terdapat dalam kurikulum pendidikan modern tersebut sukar didapatkan dalam literatur-literatur kependidikan Islam klasik. Oleh alasannya itu, kurikulum pendidikan Islam klasik dimengerti dengan subjek-subjek ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan. Di samping itu pula, Al-Qur’an dijadikan sumber pokok ilmu-ilmu agama dan lazim.

Pada abad Nabi s.a.w. [611-632 M/12 SH-11 H] secara keseluruhan kurikulum mencakup training aspek jasmani, logika, dan rohani (hati).

- Nabi s.a.w. menetap di Mekkah selama 12 tahun 5 bulan 21 hari sejak kenabiannya. Pengajaran yang disampaikan selama itu ialah Quran yang mencakup iman terhadap Allah, shalat, dan akhlak.

- Pada kurun Nabi di madinah, kurikulum pendidikan terdiri dari: membaca Quran, keimanan (rukun akidah), ibadah (rukun Islam), budpekerti, dasar ekonomi, dasar politik, olah raga dan kesehatan (pendidikan jasmani), membaca serta menulis.[12]

Pada kala Khulafaurrasyidin [632-661 M/12-41 H] dan abad bani Umayyah [661-750 M/41-132 H] kurikulum itu sudah bertambah. Secara ringkas, kurikulum pendidikan Islam pada masa ini ialah sebagai berikut:

- Di kuttab, diberikan pelajaran membaca Alquran dan menghafalkannya, menulis, ibadah, dan adab.

- Di sekolah tingkat menengah dan tinggi, pengajaran mencakup: Quran dan tafsirnya, hadis dan pengumpulannya, fiqh.

Peradaban Islam mengalami puncak keemasan pada pemerintahan al-Ma’mun (813-833 M), adalah saat orang-orang Islam menerjemahkan buku-buku Yunani, Persia, India ke dalam bahasa mereka. Proyek besar ini bukan merupakan barang mubazir yang cuma menghiasi rak buku khalifah, tetapi sejarah telah menandakan dengan lahirnya para sarjana Muslim dari banyak sekali disiplin ilmu yang namanya masih dikenang hingga ketika ini.

Sejak masa awal penerjemahan ini, pendidikan Islam memiliki peluanguntuk berbagi kurikulum yang beraneka ragam, mencakup seluruh area wawasan yang diketahui di dunia Helenistik, namun Islam tidak memperlihatkan keluasan cakupannya ini dalam satu lembaga. Sebaliknya umat Islam membentuk tata cara dua jalur: formal dan non-formal.

1. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah [750-1258 M/132-656 H]

a. Kurikulum Pendidikan Rendah

Ketika membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan didapatkan adanya kesusahan. Penyebabnya yakni: pertama, alasannya adalah tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat tinggi, kecuali Al-Qur’an yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesusahan membedakan di antara fase-fase pendidikan dan lamanya mencar ilmu karena tidak ada kurun tertentu yang mengikat murid-murid untuk mencar ilmu pada setiap forum pendidikan.[13]

Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, namun cuma satu tingkat yang berawal di kuttab dan berakhir dengan diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang disertai oleh seluruh umat Islam. Secara umum di forum kuttab umumnya diajarkan membaca dan menulis di samping Al-Qur’an, shalat dan berhitung.[14] Terkadang diajarkan juga bahasa, nahwu dan arudh. Kemungkinan besar tidak ada cobaan-cobaan akhir tahun, tetapi murid-murid naik ke tingkat yang lebih tinggi atas anjuran guru-guru mereka.


Berikut pola citra dari kurikulum tingkat ini:

Al-Mufaddal bin Yazid bercerita bahwa sebuah hari ia menyaksikan anak laki-laki dari seorang wanita Baduwi. Karena terpesona pada anak itu lalu dia mengajukan pertanyaan pada ibunya. Ibunya menjawab, “bila berumur lima tahun, saya akan menyerahkan pada seorang muaddib (guru) biar dia mengajari menghafal dan membaca Al-Qur’an. Dengan demikian, ia suka akan kebangsaan bangsanya dan ia akan mencari peninggalan nenek moyangnya; apabila cukup umur, aku akan mengajarinya cara menunggang kuda sehingga beliau terlatih dengan baik, lalu dia naik kuda sambil memanggul senjata. Kemudian dia akan mondar-mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan bunyi orang-orang yang akan meminta dukungan”.[15]

Kurikulum yang ditawarkan oleh Ibn Sina untuk tingkat ini ialah mengajari Al-Qur’an, alasannya adalah dari sisi fisik dan mental bawah umur telah siap mendapatkan pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga karakter hijaiyah dan dasar agama lalu syair. Setelah anak-anak belajar Al-Qur’an dan dasar agama, lalu diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang cocok dengan kecenderungannya.

Secara rinci kurikulum yang diajarkan pada tingkat pendidikan rendah meliputi:

a) Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya.
b) Pokok-pokok agama Islam, mirip whudu, shalat, dan puasa.
c) Menulis.
d) Kisah orang-orang yang besar.
e) Membaca dan menghafal syair-syair.
f) Berhitung.
g) Pokok-pokok nahwu dan sharaf.


Pada pendidikan tingkat rendah ini, tidak memakai tata cara klasikal, tanpa kursi, meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya secara bergantian, demikian juga tidak ada patokan buku yang dipakai.

Tetapi, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukkan lazim dengan yang ada di istana. Di istana, orang renta (para pembesar istana) ialah yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk pendidikan istana adalah pidato, sejarah, pertempuran-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat. Namun tidak melupakan yang pokok, mirip Al-Qur’an, syair dan bahasa.

Kurikulum pendidikan rendah ini bermacam-macam tergantung pada tingkat keperluan masyarakat. Sebuah kurikulum dibentuk tidak terlepas dari ruang lingkup aspek sosiologis, politik, ekonomi penduduk . Di forum pendidikan penduduk lazim, orang renta kurang mempunyai peran dalam penyusunan kurikulum sebab anak mempelajari sebuah mata pelajaran tergantung pada guru yang tersedia. Hal ini menimbulkan sebuah perbedaan antara pendidikan untuk penduduk umum dan orang di istana. Jika di istana, anaknya dididik untuk menjadi seorang pemimpin yang kelak menggantikan orang tuanya. Sedang penduduk lazim sebaliknya, dengan kata lain pendidikan di istana sungguh pribadi dengan menyaksikan bukti sejarah.

Kurikulum pada tingkat ini juga tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisahkan antara kedua forum tersebut sehingga orang yang ingin belajar sesudah tingkat dasar dalam duduk perkara sastra, kajian keagamaan, hukum dan filsafat, mesti menempuh jalur sendiri dan meminta secara langsung untuk bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.


b. Kurikulum Pendidikan Menengah

Pada jenjang pendidikan menengah terdapat pelajaran-pelajaran sebagai berikut:

1. Al-Qur’an.
2. Bahasa Arab dan kesusasteraan.
3. Fiqh.
4. Tafsir.
5. Hadis.
6. Nahwu/sharaf/balaghah.
7. Ilmu-ilmu kealaman.
8. Kedokteran.
9. Musik.[16]


c. Kurikulum Pendidikan Tinggi

Secara umum forum pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas, yaitu:

1) Fakultas ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Adapun ilmu-ilmu yang dikaji fakultas ini yakni: tafsir Al-Qur’an, hadis, fiqh, ushul fiqh, nahwu/sharaf, balaghah, bahasa dan sastra Arab.

2) Fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu: mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak, ilmu-ilmu teologi, ilmu hewan, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu kedokteran.[17]

Semua mata pelajaran tersebut diajarkan di perguruan tinggi tinggi dan belum dibentuk keutamaan mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu diputuskan setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasar peluangdan bakat masing-masing sehabis praktik mengajar bertahun-tahun. Hal ini dibuktikan oleh Ibn Sina, sebagaimana dijelaskan dalam karya Thabaqat Athibba, bahwa Ibn Sina sesudah menamatkan pendidikan tingkat menengah dalam usia 17 tahun, beliau belajar lagi selama 1,5 tahun. Ibn Sina mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabi’ah (metafisik) karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn Sina menerima kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al-Amir, seperti buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan sebagainya. Ia membaca literatur-literatur tersebut hingga beliau menerima hasil yang memuaskan. Ibn Sina menuntaskan studinya dalam usia 18 tahun.

Kurikulum pendidikan tinggi (halaqah) beraneka ragam tergantung pada syaikh yang akan mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mengharuskan terhadap mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di suatu halaqah, dan berpindah dari suatu halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lainnya. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang akil balig cukup akal karena diberikan terhadap orang banyak yang tujuan terutama adalah untuk mengajarkan mereka perihal Al-Qur’an dan agama.[18]

Kurikulum pendidikan tingkat tinggi dibagi menjadi dua bab, yakni: jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-‘ulum al-aqliyah). Kurikulum pertama yaitu sejalan dengan fase di mana dunia Islam menyiapkan diri untuk mendalami problem agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu tidak hanya terbatas pada ilmu agama saja, namun dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, hadis, dan tafsir.

Kurikulum yang kedua yakni kurikulum ilmu pengetahuan, yang merupakan ciri khas fase kedua perkembangan fatwa umat Islam, yakni ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pedoman Yunani, Persia dan India. Kurikulum untuk jenis pendidikan ini ialah mantiq, ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-flora dan kedokteran.

Guru-guru pada pendidikan tinggi ini biasanya menunjukkan sertifikat atau izin (ijazah) kepada seorang mahasiswa untuk mengajarkan apa yang sudah dipelajarinya, yang kebanyakan secara pribadi berupa menghafal Al-Qur’an, menyalin tradisi-tradisi Nabi dan para sahabatnya, serta menyimpulkan pokok-pokok aturan daripadanya.

Penentuan kurikulum pada tingkat ini terletak pada ulama (orang yang mempunyai kesepakatan intelektual) dari pada kekuatan negara (orang yang mempunyai kekuasaan).


2. Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah

Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan iman menjadi pembatas ilmu pengetahuan mereka. Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat keperluan, mendirikan madrasah dianggap krusial. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini terjadi di bawah kekuasaan wazir Nizam al-Mulk (1064 M). Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk spesialis fiqh yang termahsyur dalam sebuah mazhab yang empat. Misalnya Nuruddin Mahmud bin Zanki sudah mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’i di Damaskus dan Halab. Sebuah madrasah untuk mazhab ini juga dibangun di kota Mesir.

Kurikulum madrasah berisikan:

a) Ilmu-ilmu agama, seperti: ilmu Al-Qur’an, hadis, tafsir, ushul fiqih, ilmu kalam, dan disiplin-disiplin lain yang termasuk dalam ilmu kelompok ilmu ini. Meskipun deskripsi madrasah-madrasah memperlihatkan adanya kombinasi dalam pengutamaan dan takaran yang ditempati dalam kurikulum, secara lazim golongan ilmu ini ialah bab inti dari semua kurikulum madrasah.

b) Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan untuk mendukung kajian ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi bukan menjadi bab utama dari kurikulum.

Ilmu-ilmu agama memang mendominasi kurikulum forum formal. Disiplin-disiplin yang perlu mengerti dan menerangkan makna Al-Qur’an tumbuh menjadi inti dari pengajaran hadis dan tafsir. Seni rethorika juga merupakan bab penting dari pendidikan ilmu-ilmu agama, alasannya kemampuan untuk memberikan ceramah yang membangkitkan dan ceramah ilmiah yakni salah satu tugas inti seorang ulama dalam pendidikan dan kehidupan keagamaan di penduduk . Kemahiran berbicara di tengah publik mengandung semua aspek pendidikan dan pengalaman.

Kurikulum ini dianggap selaku kurikulum madrasah tinggi, sebab sudah mengenalkan terlalu banyak pelajaran umum. Tetapi studi ilmu-ilmu abnormal tidak semua diajarkan mendetail pada tingkat madrasah atau khusus. Ada di antara ilmu-ilmu itu yang diajarkan pada tataran dasarnya saja, dan tempatnya pun tidak mesti di lembaga formal seperti madrasah. Di rumah, di istana wazir dan pejabat negara, pelajaran-pelajaran ini lebih kental dikenalkan dan didalami. Pada madrasah lazimnya yang mempunyai otoritas kekuasaan dalam pengelolaan pendidikan, khususnya penentuan kurikulum yaitu penguasa atau orang yang menawarkan harta wakafnya dalam pendirian madrasah.

Setelah klarifikasi ihwal model kurikulum pendidikan Islam periode klasik yang dipaparkan sebelumnya, ada beberapa kebijakan yang diperoleh:

1) Untuk kurikulum baik tingkat rendah maupun tingkat tinggi, tidak ada kurikulum yang terbatas, kecuali Alquran yang terdapat pada seluruh tingkat.

2) Tidak ada jangka waktu yang diberikan dalam menempuh proses mencar ilmu.
3) Diberikan kebebasan untuk menentukan guru yang disukainya.
4) Pada masa klasik, akseptor asuh ini dapat berpindah dari satu halaqah ke halaqah yang lain.
5) Kurikulum yang diberikan merupakan persiapan menuju pendidikan yang lebih tinggi.
6) Tidak ada ujian-ujian selesai tahun, namun murid-murid naik ke tingkat yang lebih tinggi atas nasehat guru-guru mereka.

7) Pada pendidikan tingkat tinggi pada periode klasik, seorang syaikh (mudarris) menunjukkan sertifikat atau izin (Ijazah) terhadap mahasiswa untuk mengajarkan apa yang sudah dipelajarinya.

8) Setiap syaikh (mudarris) bebas memilih bidang apa yang ingin ajarkan, namun terikat dengan waqfiyyah dari forum tempatnya mengajar.



D. Model Kurikulum Pendidikan Islam Modern

Kurikulum pendidikan Islam terbaru bukan hanya diketahui selaku subjek-subjek ilmu pengetahuan dan aktivitas belajarnya, tetapi mencakup segala sesuatu yang dapat menghipnotis perkembangan dan pembentukan pribadi siswa sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.

Kurikulum pendidikan Islam dikala ini tetap mengikuti prinsip-prinsip yang berlaku.[19] Prinsip tersebut antara lain: Pertama, sebuah kurikulum selain mampu menawarkan nilai keilmuan yang murni juga sebaiknya mampu memperlihatkan tuntunan kepada anak didik agar dia mampu memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sesuai dengan bakat dan keahliannya. Kedua, semestinya kurikulum pendidikan Islam dapat mengintegrasikan ilmu yang berkaitan dengan keduniaan dan aliran Islam. Aplikasi kurikulum pendidikan Islam ini dapat kita lihat di madrasah dan pesantren.

Adapun ciri-ciri umum kurikulum pendidikan Islam adalah:

1. Agama dan adat yakni tujuan utama.

2. Mempertahankan pengembangan dan tutorial kepada semua faktor langsung anak didik dari sisi intelektual, psikologi, sosial, dan spritual.

3. Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman serta acara pengajaran.[20]

Madrasah lahir selaku bentuk lain dari pendidikan umum yang memposisikan dirinya sebagai lembaga yang berciri khaskan agama Islam. Posisi ini diambil sebagai akhir kekecewaan penduduk terhadap tata cara pendidikan pesantren yang dinilai terlalu sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu-ilmu agama.

Sebagai sekolah biasa yang berciri khas agama Islam, madrasah dituntut untuk memajukan kualitas sumber daya insan, baik terkait dengan peningkatan keyakinan dan taqwa maupun ilmu wawasan dan teknologi. Dalam undang-undang No. 40 Tahun 1950 ihwal Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dalam Pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa: “Belajar di sekolah agama yang sudah menerima akreditasi Menteri Agama dianggap sudah menyanggupi keharusan berguru”.[21]

Upaya dalam rangka peran nasional di bidang pendidikan biar mampu mengembangkan Sistem Pendidikan Nasional yang integral, Departemen Agama di bawah pimpinan Dr. Mukti Ali, M.A mengeluarkan keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1975, No. 037/U/1975 dan No. 36 Tahun 1975 tanggal 24 Maret 1975 perihal kenaikan kualitas pendidikan madrasah. Keputusan bersama tersebut ialah pelaksaan dari Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1974, sesuai dengan petunjuk presiden pada sidang kabinet terbatas tanggal 26 November.

Melalui kebijakan SKB 3 Menteri wacana peningkatan kualitas pendidikan pada madrasah, dibutuhkan supaya:

(1) Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang serupa dengan sekolah lazim yang sederajat.
(2) Lulusan madrasah mampu melanjutkan ke sekolah biasa setingkat lebih atas.
(3) Siswa setingkat madrasah dapat berpindah ke sekolah biasa yang setingkat.[22]

Pengembangan madrasah ini terus berlanjut, misalnya dalam memberikan rancangan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) untuk menawarkan keseimbangan pada lulusan madrasah semoga mampu menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum secara komprehensif dengan mengajarkan kitab-kitab berbahasa aneh (terutama bahasa Arab) serta ilmu-ilmu keislaman lainnya. Agar tidak menyebabkan kerancuan tentang pendidikan madrasah aliyah dengan pendidikan menengah umum dalam konteks dikala ini.

Salah satu pengembangan model kurikulum di madrasah lebih berorientasi pada kurikulum integrasi, yang dirancang biar proses pendidikan sungguh-sungguh memenuhi maksud yang dikehendaki, yang meniadakan batas-batas antar mata pelajaran dan menyajikan materi pelajaran dalam bentuk unit atau keseluruhan. Dengan pelajaran yang menyuguhkan fakta yang tidak terlepas satu sama lain diharapkan mampu membentuk kepribadian peserta ajar yang integral, selaras dengan kehidupan sekitarnya. Ciri khas agama Islam mencakup tunjangan mata pelajaran, yaitu Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Bahasa Arab, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam.

Kebijakan yang dilaksanakan dalam perjuangan-usaha pembaharuan metode pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren antara lain:

- Mengubah kurikulum supaya berorientasi terhadap kebutuhan masyarakat.
- Peningkatan mutu guru-gurunya dan prasarana pendidikan juga diperbarui.-

- Meyakinkan kyai selaku pemilik dan sekaligus pemimpin pondok pesantren untuk berpikir nyata kepada usaha pembaharuan dan pembangunan pondok pesantren.[23]

Untuk sekolah biasa , juga diberikan ilmu-ilmu agama, walaupun jumlahnya tidak sebanyak yang terdapat di madrasah. Dalam keputusan Menteri Agama No. 68 tanggal 1 Oktober 1974 ditetapkan kurikulum pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengan Atas, yang pokok-pokok materinya terdiri dari: Hubungan insan dengan Allah SWT, hubungan insan dengan manusia, relasi insan dengan alam.[24]

Kebijakan yang dapat dilihat dalam kurikulum pendidikan Islam modern ialah:

a. Menciptakan suasana-situasi dan program tertentu dalam kurikulum pendidikan Islam untuk berbagi nilai ilahiah dan nilai insaniah, sehingga dapat membentuk norma-norma kehidupan dan melembaga pada penduduk yang mendukungnya.

b. Memberikan arah bagi akseptor bimbing, berkaitan dengan bakat, minat dan peluangyang dimilikinya.
c. Mengantarkan penerima didik untuk bisa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

d. Kurikulum pendidikan Islam diarahkan untuk memenuhi keperluan kerja. Hal ini ditujukan sesudah keluar dari lembaga sekolah, peserta latih mempunyai kemampuan dan keahlian yang profesional, berproduktif dan kreatif.

e. Membawa kurikulum supaya bisa menciptakan peserta bimbing yang cekatan, sehingga mampu membuat lapangan kerja baru yang mampu menyerap tenaga kerja khususnya dirinya dan orang lain.

Jika dilihat perbedaan kurikulum dengan era kini, maka kurikulum klasik lebih ke arah personal/individu, sedang kurikulum saat ini lebih ke arah insitusional/lembaga.


E. Model Kurikulum Pendidikan Islam Ideal

Untuk meraih tujuan ideal pendidikan Islam secara universal, maka diperlukan adanya penyusunan rencana bahan pelajaran dalam kurikulum yang diyakini sesuai dengan keperluan perorangan anak. Jika dilihat dari karakateristiknya, maka kurikulum pendidikan Islam ideal adalah:

1) lebih menonjolkan mata pelajaran agama dan budpekerti, di mana adat tersebut diambil dari Alquran dan hadis serta keteladanan para tokoh yang shaleh terdahulu.

2) Memperhatikan pengembangan seluruh faktor logika, jasmani dan rohani.

3) Memperhatikan keseimbangan antara individu dan masyarakat, dunia dan alam baka.

4) Memuat metode yang lentur, sehingga mampu diadaptasikan ke dalam banyak sekali kondisi dan lingkungan di mana kurikulum tersebut diterapkan.

5) Memuat bagian-unsur yang sesuai dengan banyak sekali tingkatan usia anak serta perilaku Islami.

Kecenderungan pembinaan kurikulum pendidikan Islam yang diaplikasikan pada periode sekarang bersumber pada hasil Konferensi pendidikan Islam Internasional pertama yang diadakan pada tahun 1977 di Makkah, kemudian pada hasil konferensi pada tahun 1980 di Istambul yang membahas ihwal kurikulum, tahun 1981 di Dakka tentang buku teks, pada tahun 1982 di Jakarta yang membahas tentang metodologi.[25]

Secara tegas mampu dikemukakan bahwa hasil kebijakan rumusan pertemuan pendidikan tersebut berorientasi terhadap usaha untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu pengetahuan biasa dan agama, alasannya menurut hasil konferensi itu, ilmu terbagi terhadap dua bagian. Pertama, ilmu-ilmu awet (perennial knowledge) yang menurut wahyu, contohnya Quran dan al-Sunnah. Kedua ilmu-ilmu yang diperoleh dari hasil pengusutan (acquired knowledge), tergolong di dalamnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu wacana alam sekitar dan aplikasinya.

Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam tersebut harus dimasukkan pada semua tingkat pendidikan. Perencanaan penyusunan materi pelajaran dalam kurikulum Islam cenderung diarahkan kepada penjabaran ilmu pengetahuan sebagaimana yang banyak diterapkan pada kala kini, adalah selaku berikut:

Ilmu yang termasuk terhadap kalangan parrenial knowledge ialah:

a. Sains imaginatif (seni Islam), seni bangunan, bahasa dan sastra.
b. Sains intelektual:Kajian sosial, filsafat, pendidikan ekonomi, politik, sejarah peradaban Islam (tergolong pandangan baru-inspirasi Islam dalam ekonomi dan kehidupan sosial), geografi, sosiologi, linguistik, psikologi (dengan merujuk kepada Alquran dan Hadis).

c. Ilmu-ilmu tentang alam sekitar: Teori filsafat ilmu, angkasa, dan lain-lain.
d. Ilmu terapan; Mekanik, kedokteran, pertanian, kehutanan, jual beli, administrasi, komunikasi dan lain-lain.[26]

Selain itu Konferensi Pendidikan Islam Internasional sudah sukses pula menyusun kurikulum berdasarkan jenjang-jenjang pendidikan selaku berikut:

(1) Tingkat rendah; pada tingkat ini materi pelajaran yang diberikan terhadap siswa meliputi:

a. Kajian perihal Quran, mencakup bacaan, qira’ah, hafalan dan pemahaman arti surah-surah tertentu sesuai dengan bahasa nasional masing-masing.

b. Diniyyah (kajian wacana Tauhid dan Fiqh).

c. Cerita-dongeng dan syair-syair yang dikhususkan untuk membentuk adab mulia, seperti berbuat baik kepada sobat, tetangga dan lainnya.

d. Geografi.
e. Matematika.
f. Bahasa Arab.
g. Ilmu perihal alam sekitar dan dasar-dasar ilmu wawasan.

(2) Tingkat menengah; subjek-subjek yang diberikan terhadap tingkat menengah ialah:

a. Kajian perihal Quran, meliputi: Bacaan, qira’ah, hafalan, dan penafsiran.
b. Hadis: Disiplin hadis yang sesuai dengan perkembangan jiwa siswa.
c. Sejarah Islam.
d. Bahasa Arab.
e. Matematika.
f. Ilmu-ilmu ihwal alam sekitar.
g. Geografi.
h. Sejarah dan kewarganegaraan; Sejarah Islam di negara siswa itu sendiri dengan penitikberatan terhadap bantuan Islam terhadap peradaban dan kebudayaan.

(3)Tingkat Perguruan Tinggi: Kurikulum pada jenjang ini mesti diletakkan atas dasar tingkat sebelumnya (rendah dan menengah) dengan tiga tujuan berikut:

a. Untuk menanamkan pemahaman yang mendalam tentang Islam dan masyarakat Islam.

b. Untuk menanamkan wawasan serta keterampilan dalam suatu bidang ilmu wawasan keagamaan dan pengetahuan umum.

c. Untuk menjamin kemajuan yang seimbang dalam langsung mahasiswa lewat mata pelajaran yang beragam.[27]

Dari kerangka dan struktur program yang mesti ditempatkan dalam kurikulum pendidikan Islam sebagaimana di sebutkan di atas, maka perlu dikaji wacana ide dan sejarah sains Islam semoga dapat menyahuti tantangan kebutuhan material dan spritual, kebudayaan Islam dan insan secara menyeluruh. Hal ini perlu dilakukan, sebab dalam Islam tidak boleh ada satu bab kecilpun dari apa yang dibutuhkan oleh pendidikan Islam yang tertinggal, sehingga harapan untuk mempercepat pertumbuhan umat Islam dan merancang budaya baru periode depan dapat dijalankan dengan mengadakan pembaharuan kepada kurikulum pendidikan Islam.


Daftar Pustaka dan Footnote

[1]Rosnita, Kurikulum Pendidikan Islam: Gagasan Pendidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas (Banda Aceh: PeNA, 2011), h. 102.

[2]Jamiludin, “Integrasi Pendidikan Islami,” Blog Jamiludin, er.com/search?q= (10 Desember 2011).

[3]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 115.

[4]Ibid.

[5]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 64.

[6]Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 115.

[7]Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, h. 54.

[8]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 155.

[9]Ibid., h. 157-158.

[10]Ibid., h. 159-160.

[11]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 5.

[12]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 58-59.

[13]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 116.

[14]Fazlur Rahman, Islam & Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, terj. Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka, 1985), h. 40.

[15]Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 117.

[16]Ibid., h. 23.

[17]Ibid., h. 24.

[18]Nata, Sejarah Pendidikan Islam, h. 119.

[19]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 33.

[20]Ibid.

[21]Abdul Rachman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 26.

[22]Ibid., h. 29.

[23]M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 102.

[24]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 133.

[25]Syafaruddin dkk, Ilmu Pendidikan Islam: Melejitkan Potensi Budaya Umat (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009), h. 107.

[26]Ibid., h. 108.

[27]Ibid.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon