Makalah Peran Pendidikan Islam dalam Pembentukan Budaya Politik
(hubungan antara pendidikan Islam dengan politik, utamanya budaya politik)
PENDAHULUAN
Salah satu faktor penting dalam pendidikan Islam yakni aspek politik. Aspek ini mengandaikan hubungan antara masyarakat (sebagai peserta asuh) dengan pemerintah, sistim pemerintah, hubungannya dengan negara, antar organisasi dan sebagainya. Atas dasar ini, antara pendidikan Islam dengan politik punya relasi bersahabat yang sulit untuk dipisahkan. Oleh sebab itu, politik pada hakikatnya adalah bab dibandingkan dengan umat manusia yang ada di wajah bumi ini. Keduanya tidak bisa dipisahkan dari keterpaduannya dengan aneka macam faktor kehidupan. Bukan saja menyangkut kehidupan satu faktor umat manusia saja baik secara sadar maupun tidak sadar, tiap insan melakukan langkah-langkah politik serta berada dalam lingkungan yang disebut sistim politik.
Di Indonesia, munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari proses modernisasi “surau” yang condong disebabkan oleh terjadinya tarik-menarik antara “kemasyarakatan” dan pengaruh orientasi organisasi. madrasah yang didirikan oleh Muhammadiyah mempunyai corak ke-Muhammadiyah-an. Demikian pula madrasah-madrasah yang dikelola oleh NU, orientasi pendidikannya niscaya menitikberatkan pada kemurnian mazhabnya. Konsekuensi dari keragaman orientasi pendidikan tersebut adalah munculnya para tokoh formal dan informal yang memiliki anutan dan pergerakan politik yang berbeda. Pendidikan mungkin bukan ialah aspek yang penting bagi timbulnya perbedaan sopan santun politik yang bersifat “intra-generasional”, namun pendidikan ialah faktor yang bersifat memilih bagi timbulnya perbedaan budaya politik yang bersifat “inter-generasional”. Institusi pendidikan bisa membentuk karakter dan kepribadian seseorang dan ujung-ujungnya memiliki paradigma berpikir yang berlawanan.
Pendidikan politik sebagaimana yang sudah diuraikan berjalan pada intens pada jenjang perguruan tinggi (universitas). Kenyataannya ini sangat mudah diketahui. Universitas memiliki mahasiswa yang sudah matang dan siap untuk terlibat secara eksklusif dalam proses-proses politik yang sedang berlangsung. Mahasiswa merupakan bagian atau lapisan masyarakat yang memiliki peluang untuk menjadi lahan rekruitmen politik. Karena itu juga mahasiswa sungguh rawan terhadap manipulasi politik. Aksi-aksi demonstrasi oleh pada umumnya mahasiswa juga tidak sepenuhnya murni. Aktivitas mahasiswa yang demikian ini, timbul khususnya bukan disebabkan pendidikan politik yang sedang berlangsung di universitas daerah mereka mengalami pendidikan. Melainkan lebih bersumber dari lembaga-forum (organisasi) extra universitas.
Pendidikan ialah agresi politik baik pada jenjang universitas, pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Karena politik merupakan aspek pendidikan. Dengan kata lain, agresi pendidikan mempunyai ciri politis dan langkah-langkah politik memiliki sifat mendidik. Dunia pendidikan secara alamiah bersifat politik. Politik ialah ruhnya pendidikan dan demikian juga berlaku pada pendidikan Islam. Pendidikan politik mempunyai kedudukan yang sangat erat dalam sejarah Islam Islam, utamanya dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Upaya untuk melaksanakan pembaruan pendidikan Islam sebagaimana dialami oleh beberapa organisasi dalam Islam dinilai sungguh politis. Dikatakan politis alasannya adalah pembaruan ataupun modermisasi pendidikan Islam di Indonesia sering memakai tangan birokrasi supaya gerakan merealisasikan keinginan pembaruan atau modernisasi tersebut mampu tercapai.
Ilmu politik Islam secara global dapat diketahui sebagaimana ilmu politik kebanyakan, hanya saja ia membatasi dirinya pada pendasaran penggalian ilham-pandangan baru politik pada sumber pokok aturan Islam, adalah Al Alquran dan sunnah Nabi SAW, sehingga jika ada pendapat bahwa semua politik itu kotor, sungguh tidak benar sama sekali. Politik adalah sebuah kebijakan yang diambil untuk kebaikan bersama. Suatu kebijakan mustahil diambil untuk tujuan yang kotor dan tidak baik. Andaikata fakta mengatakan bahwa politik itu menghadirkan kekotoran, ketidakjujuran, maka hal demikian bukanlah politik. Tapi suatu langkah-langkah kotor yang mengatasnamakan politik.
Dalam persepsi Islam, politik pendidikan nasional kita haruslah: pertama, membangun keyakinan. Tujuan pendidikan menurut Islam adalah membangun akidah manusia, mengembangkan ketakwaan, berakhlak mulia, menguasai ilmu, bederma saleh dan berbuat kebaikan. Jadi, menyaksikan kehidupan politik kita cukup umur ini, pendidikan Islam harus berbuat sesuatu untuk melahirkan sebuah budaya politisi gres yang tidak keluar dari tujuan pendidikan Islam itu. Budaya politik yang hendak mendorong para politisi kita untuk bertindak secara bersih, jujur dan pandai. Memang pastinya budaya politik yang patriotik tidak akan pernah ada. Selalu akan tetap terdapat unsur-komponen hedonistik dalam budaya politik yang “paling baik” pun. Akan tetapi, persoalannya bukan mengembangkan budaya politik yang higienis dari cacat, melainkan meminimalkan sejauh mungkin komponen-unsur hedonistik dan mengoptimumkan moral humanistic-patriotik dalam budaya politik yang hendak dibangun bangsa.
Pendidikan Islam, ialah wahana yang mesti dipergunakan untuk melahirkan generasi politik gres di kelompok muslim Indonesia yang hendak membentuk budaya politik baru. Lahirnya generasi politik yang baru di kurun depan, generasi politik yang lebih humanistik, patriotik, santun, higienis, serta pintar dibandingkan dengan generasi politik yang ada sekarang ini, amat bergantung pada dua hal: berpengaruh lemahnya harapan kita untuk melahirkan budaya politik gres dan kuat lemahnya kepercayaan kita bahwa pendidikan mampu berbuat sesuatyu untuk melahirkan generasi politik yang mau mampu berbagi budaya politik baru tadi. Mudah-mudahan goresan pena ini mampu merangsang ajaran yang segar dalam masyarakat tentang peranan pendidikan Islam dalam membentuk kala depan bangsa.
Robert L. Gullick Jr., dalam bukunya, Muhammad, The Educator, menyatakan:
Muhammad ialah seorang pendidik yang membimbing insan menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sangat sudah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong pertumbuhan Islam, sebuah revolusi sejati yang mempunyai tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang…Hanya desain pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang periode, alasannya adalah—dari sudut pragmatis—seorang yang mengangkat perilaku insan yakni seorang pangeran di antara pendidik.
Pendidikan merupakan bab kebutuhan fundamental insan (al-hâjat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap insan seperti halnya pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan perumahan. Pendidikan ialah bab dari dilema politik (siyâsah) yang diartikan selaku ri‘âyah asy-syu’ûn al-ummah (pengelolaan problem rakyat) berdasarkan ideologi yang diemban negara.
Berdasarkan pemahaman mendasar ini, politik pendidikan (siyâsah at-ta‘lîm) suatu negara sangat ditentukan oleh ideologi (persepsi hidup) yang diemban negara tersebut. Faktor inilah yang menentukan huruf dan tipologi masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian, politik pendidikan mampu dimengerti selaku seni manajemen pendidikan yang dirancang negara dalam upaya membuat mutu human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan.
Sistem pendidikan yang ditegakkan menurut ideologi sekularisme-kapitalisme atau sosialisme-komunisme dimaksudkan untuk merealisasikan struktur dan prosedur masyarakat yang sekular-kapitalis atau sosialis-komunis. Seluruh subsistem (ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, politik luar, dan dalam negeri, aturan pidana, dll.) yang menopang penduduk itu ditegakkan menurut asas ideologi yang sama; bukan yang lain. Demikian pula dengan Islam; akan membangun masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideologinya. Model masyarakat yang diciptakannya tentu saja akan berlawanan dengan masyarakat yang dibuat oleh kedua sistem ideologi di atas.
Melalui observasi kepada karakteristik ideologi tersebut, jejak-langkah tata cara pendidikan yang berjalan akan gampang dimengerti. Sistem pendidikan sekular-kapitalis melahirkan strategi pendidikan sekular sehingga pada gilirannya akan menciptakan tipologi penduduk sekular-kapitalis. Begitu pula metode pendidikan sosialisme-komunis maupun Islam.
Walhasil, pemahaman ihwal abjad ideologi ini menjadi sungguh penting untuk diketahui. Ketidakpahaman terhadap ideologi yang dianut akan menjadikan pemahaman yang bias kepada seluruh tata cara yang dibangun. Hal itu berimbas pada ketidakpahaman terhadap tujuan sebuah metode pendidikan dan karakteristik insan yang hendak dibentuknya. Giliran berikutnya, tata cara pendidikan yang dijalankan hanya akan menciptakan program-acara pendidikan sebagai fasilitas trial and error dan menyebabkan penerima bimbing bagai kelinci percobaan.
Pendidikan yang sekular-materialistik dikala ini merupakan produk dari ideologi sekular yang terbukti telah gagal mengantarkan insan menjadi sosok eksklusif yang utuh, yaitu seorang insan shalih dan mushlih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang didasarkan pada ideologi sekular, yang tujuannya sekadar membentuk insan-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, individualistik dalam interaksi sosialnya, serta sinkretistik dalam agamanya.
Kedua, kerusakan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, ialah: (1) forum pendidikan formal yang lemah; tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus selaku medium pendidikan sebagaimana mestinya; (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung; (3) kondisi penduduk yang tidak kondusif.
Asas yang sekular mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memperlihatkan ruang seharusnya pada proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Guru/dosen sekadar berfungsi selaku pengajar dalam proses transfer ilmu wawasan (transfer of knowledge), tidak selaku pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu wawasan dan kepribadian (transfer of personality), alasannya memang kepribadian guru/dosen sendiri tidak lagi layak diteladani. Lingkungan fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara islami turut menumbuhkan budaya yang tidak memacu proses pembentukan kepribadian akseptor bimbing. Akhirnya, rusaklah pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Para orangtua juga tidak secara betul-betul menanamkan dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya. Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya contoh dari orangtua dalam sikap keseharian kepada anak-anaknya semakin memperparah terjadinya disfungsi rumah selaku salah satu bagian pelaksana pendidikan. Masyarakat, yang sebaiknya menjadi media pendidikan yang real, juga berperan sebaliknya, yakni menegasikan nyaris seluruh proses pendidikan di rumah dan persekolahan. Sebab, dalam masyarakat berkembang tata cara nilai sekular; mulai dari bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun tata pergaulan sehari-hari; berita-berita pada media periode juga cenderung mempropagandakan hal-hal negatif.
Oleh sebab itu, solusi problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental. Hal itu hanya mampu diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Pada tataran derivatnya, kekurangan ketiga aspek di atas teratasi dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
A. Politik Pendidikan Islam
Pendidikan dalam Islam harus kita ketahui selaku upaya mengganti manusia dengan pengetahuan ihwal sikap dan perilaku yang tepat dengan kerangka nilai/ideologi Islam. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam ialah proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu oleh ideologi/akidah Islam.
Secara niscaya, tujuan pendidikan Islam yakni menciptakan SDM yang berkepribadian Islami, dalam arti, cara berpikirnya mesti didasarkan pada nilai-nilai Islam serta berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas Islam. Metode pendidikan dan pengajarannya juga harus dirancang untuk meraih tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Kaprikornus, pendidikan Islam bukan semata-mata melaksanakan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak.
Dalam kerangka ini, diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah (negara), terhadap perilaku peserta asuh, sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi-konsepsi Islam berkenaan dengan kehidupan dan nilai-nilainya. Rangkaian berikutnya ialah tahap merealisasikannya sehingga diperlukan acara pendidikan dan kurikulum yang selaras, harmonis, dan berkesinambungan dengan tujuan di atas.
Kurikulum dibangun di atas landasan kepercayaan Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islâm dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya menerima takaran yang besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat keperluan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal). Di tingkat perguruan tinggi tinggi (PT), kebudayaan gila mampu disampaikan secara utuh. Misalnya, bahan wacana ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme dapat disampaikan untuk diperkenalkan terhadap kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilakukan, melainkan untuk dijelaskan serta diketahui cacat-cela dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Pada jenjang PT tentu saja dibuka aneka macam jurusan, baik dalam cabang ilmu keislaman ataupun jurusan yang lain mirip teknik, kedokteran, kimia, fisika, sastra, politik, dll. Dengan begitu, penerima didik dapat memilih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Dengan model metode pendidikan Islam seperti ini, kegelisahan akan munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu duniawi tidak akan terjadi. Dikotomi ilmu itu hanya terjadi pada penduduk sekular-kapitalistik, tidak dalam masyarakat Islam. Generasi yang hendak terbentuk yakni SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus mengerti nilai-nilai Islam serta berkepribadian Islam yang utuh.
Beberapa paradigma dasar bagi metode pendidikan dalam Islam yakni selaku berikut:
1. Prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan didasarkan pada dogma Islam. Tujuannya yakni membentuk sumberdaya insan terdidik dengan ‘aqliyah islâmiyah (teladan berpikir islami) dan nafsiyah islâmiyah (teladan perilaku islami).
2. Pendidikan mesti diarahkan pada pengembangan keimanan sehingga melahirkan amal salih dan ilmu yang berguna. Perhatikan bagaimana al-Alquran mengungkapkan perihal ahsanu ‘amalan atau amalan shâlihan (amal yang terbaik atau amal shalih).
3. Pendidikan ditujukan dalam rangka membangkitkan dan mengarahkan potensi-peluangbaik yang ada pada diri setiap insan selaras dengan fitrah manusia dan meminimaliasi aspek buruknya.
4. Keteladanan ialah bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah proses pendidikan. Teladan yang harus disertai yaitu Rasulullah saw. Dengan demikian, Rasulullah saw. ialah figur sentral keteladanan bagi manusia.
5. Adapun taktik dan arah kemajuan ilmu pengetahuan mampu kita lihat dalam kerangka berikut ini:
6. Tujuan utama ilmu yang dikuasai manusia adalah dalam rangka untuk mengenal Allah Swt. selaku al-Khaliq, mengagungkan-Nya, serta mensyukuri seluruh lezat yang telah diberikan-Nya.
7. Ilmu mesti dikembangkan dalam rangka membuat manusia yang cuma takut terhadap Allah Swt. semata sehingga setiap dimensi kebenaran dapat ditegakkan terhadap siapa saja tanpa pandang bulu.
8. Ilmu yang dipelajari ditujukan untuk memperoleh keteraturan tata cara, kekerabatan kausalitas, dan tujuan alam semesta.
9. Ilmu dikembangkan dalam rangka mengambil faedah dalam rangka ibadah terhadap Allah Swt. alasannya adalah Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala hal yang terdapat di langit atau di bumi untuk kemaslahatan umat manusia.
10. Ilmu yang dikembangkan dan teknologi yang diciptakan tidak ditujukan dalam rangka mengakibatkan kerusakan di tampang bumi atau pada diri insan itu sendiri.
B. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan dalam Islam ialah upaya sadar, terorganisir, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki:
1. Kepribadian Islam
Tujuan ini merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim, ialah kesabaran dalam memegang identitas kemuslimannya dalam pergaulan sehari-hari. Identitas itu terlihat pada dua aspek yang fundamental, yaitu contoh pikir (‘aqliyah) dan teladan sikap (nafsiyah) yang berpijak pada iman Islam. Paling tidak, terdapat tiga langkah untuk membentuk kepribadian Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yakni:
(1) Menanamkan kepercayaan Islam selaku sebagai ‘aqîdah ‘aqliyah—iman yang muncul dari proses anutan yang mendalam—terhadap setiap orang.
(2) Menanamkan sikap konsisten dan istiqamah terhadap setiap orang supaya cara berpikir dan kecenderungan insaninya tetap berada di atas pondasi iman yang diyakininya.
(3) Mengembangkan kepribadian dengan selalu mengajak setiap orang tekun dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah Islâmiyah dan mengamalkan tindakan yang senantiasa berorientasi pada ketaatan kepada Allah Swt.
2. Menguasai tsaqâfah islâmiyah dengan tangguh.
Islam mendorong setiap Muslim untuk menjadi insan yang cendekia dengan cara mewajibkannya untuk berguru. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi ke dalam dua klasifikasi, ialah: (1) ilmu yang fardlu ‘ain, yaitu wajib dipelajari setiap Muslim seperti: ilmu-ilmu tsaqâfah Islam yang terdiri konsepsi, inspirasi, dan aturan-hukum Islam (fiqh), bahasa Arab, sirah Nabi, Ulumul Alquran, tahfîdz al-Alquran, Ulumul Hadits, ushul fikih, dll; (2) ilmu yang dikategorikan fardhu kifayah, umumnya ilmu-ilmu yang meliputi sains dan teknologi serta ilmu terapan-keahlian seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
3. Menguasai ilmu-ilmu terapan (wawasan, ilmu, dan teknologi/PITEK).
Menguasai PITEK diperlukan supaya umat Islam bisa meraih pertumbuhan material sehingga dapat menjalankan fungsinya selaku khalifatullah di paras bumi dengan baik. Islam memutuskan penguasaan sains sebagai fardhu kifayah, adalah kewajiban yang mesti dijalankan oleh sebagian Muslim apabila ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal, ialah: (1) pengetahuan yang mengembangkan akal manusia sehingga beliau mampu memilih sebuah langkah-langkah tertentu; (2) wawasan mengenai tindakan itu sendiri.
Allah Swt. sudah memuliakan insan dengan akalnya. Allah menurunkan al-Alquran dan mengutus Rasul-Nya dengan menenteng Islam supaya dia menuntun akal insan dan membimbingnya ke jalan yang benar. Pada sisi yang lain, Islam memicu nalar untuk dapat menguasai PITEK alasannya dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan. Dalam kitab Fath al-Kabîr, juz III, contohnya, dikenali bahwa Rasulullah saw. pernah mewakilkan dua orang sahabatnya ke negeri Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata muktahir, khususnya alat perang yang berjulukan dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit dan tersusun dari roda-roda. Rasulullah saw. mengerti manfaat alat ini bagi pertempuran melawan musuh dan menghancurkan benteng musuh.
4. Memiliki keterampilan yang tepat guna dan berdayaguna.
Penguasaan kemampuan yang serba material ini merupakan tuntutan yang mesti dilaksanakan umat Islam dalam rangka pelaksanaan amanah Allah Swt. Hal ini diindikasikan dengan terdapatnya banyak nash yang mengisyaratkan setiap Muslim untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum dan kemampuan. Hal ini dihukumi sebagai fardhu kifayah.
C. Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk mengendalikan segala faktor yang berkenaan dengan tata cara pendidikan yang diterapkan; negara wajib mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:
اَلإِÙ…َامُ رَاعٍ Ùˆَ Ù‡ُÙˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَاعِÙŠَتِÙ‡ِ
Seorang imam (khalifah/ kepala negara) yakni pemelihara dan pengatur problem rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas persoalan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. kepada dunia pendidikan tampak saat beliau menetapkan para tawanan Perang Badar yang ingin bebas untuk mengajarkan baca-tulis terhadap sepuluh orang penduduk Madinah selaku tebusan atas diri mereka. Menurut aturan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (kas negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, dengan langkah-langkah membebankan pembebasan tawanan Perang Badar pada Baitul Mal (kas negara)—dengan menyuruh mereka mengajarkan baca tulis—memiliki arti Rasulullah saw. sudah mengakibatkan ongkos pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan. Dengan kata lain, dia memberi upah kepada para pengajar itu (tawanan perang) dengan harta benda yang semestinya menjadi milik kas negara.
Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk menyanggupi sarana-fasilitas pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik penduduk .
Jika kita menyaksikan sejarah kekhalifahan Islam, kita akan menyaksikan perhatian para khalifah (kepala negara) yang sungguh besar kepada pendidikan rakyatnya; demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Sebagai teladan, Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadhiyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar belum dewasa. Khalifah Umar bin al-Khaththab memperlihatkan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).
Fakta memperlihatkan terhadap kita bahwa perhatian para kepala negara kaum Muslim (khalifah) bukan cuma tertuju pada gaji para pendidik dan biaya sekolah, namun juga sarana yang lain, mirip perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Di antara perpustakaan yang populer yakni perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini menerima segala alat yang dibutuhkan secara gratis seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan, para mahasiswa yang secara rutin berguru di perpustakaan itu diberikan bantuan buku secara terencana. Seorang ulama, Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa alasannya adalah mereka mengijinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi periode kekhalifahan Islam kurun 10 Masehi. Bahkan, para khalifah menawarkan penghargaan yang sungguh besar terhadap para penulis buku, ialah memperlihatkan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang diresmikan pada masa ke-6 Hijriyah oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat kemudahan lain mirip asrama siswa, perumahan staf pengajar, daerah peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.
Media pendidikan ialah segala sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan program dan aktivitas pendidikan. Dengan demikian, majunya sarana-sarana pendidikan dalam kerangka untuk mencerdaskan umat menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Oleh karena itu, eksistensi fasilitas -fasilitas berikut harus ditawarkan:
Perpustakaan lazim, laboratorium, dan fasilitas umum yang lain di luar yang dimiliki sekolah dan PT untuk mempermudah para siswa melakukan kegiatan penelitian dalam banyak sekali bidang ilmu, baik tafsir, hadits, fikih, kedokteran, pertanian, fisika, matematika, industri, dll sehingga cuma tercipta para ilmuwan dan mujtahid.
Mendorong pendirian toko-toko buku dan perpustakaan eksklusif. Negara juga menyediakan asrama, pelayanan kesehatan siswa, perpustakaan dan laboratorium sekolah, serta beasiswa bulanan yang mencukupi keperluan siswa sehari-hari. Keseluruhan itu dimaksudkan agar perhatian para siswa tercurah pada ilmu wawasan yang digelutinya sehingga terdorong untuk mengembangkan kreativitas dan daya ciptanya.
Negara mendorong para pemilik toko buku untuk mempunyai ruangan khusus pengkajian dan diskusi yang dipandu oleh seorang alim/ilmuwan/cendekiawan. Pemilik perpustakaan langsung didorong mempunyai buku-buku modern, mengikuti diskusi karya para ulama dan hasil observasi ilmiah cendekiawan.
Sarana pendidikan lain seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dll yang mampu dimanfaatkan siapa saja tanpa harus ada izin negara.
Negara mengizinkan masyarakatnya untuk mempublikasikan buku, surat kabar, majalah, mengudarakan radio dan televisi; meskipun tidak berbahasa Arab, tetapi siaran radio dan televisi negara harus berbahasa Arab.
Negara melarang jual-beli dan ekspor-impor buku, majalah, surat kabar yang menampung bacaan dan gambar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Negara juga melarang program televisi, radio, dan bioskop yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Negara berhak menjatuhkan hukuman terhadap orang atau sekelompok orang yang mengarang sebuah tulisan yang bertentangan dengan doktrin Islam.
Seluruh surat kabar dan majalah serta pemancar radio & televisi yang sifatnya rutin milik orang aneh dilarang beredar dalam daerah Khilafah Islamiyah. Hanya saja, buku-buku ilmiah yang berasal dari mancanegara mampu beredar setelah diyakini di dalamnya tidak menjinjing ajaran-aliran yang berlawanan dengan Islam.
Daftar Pustaka
1. Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafâhîm Islâmiyyah. Dar al-Bayariq.
2. Al-Khalidi, Mahmud. 1996. Hukm Islâm fî Ra’sumâliyyah. Jordania: Maktabah al-Risalah Al-Haditsah.
3. Al-Mawardi, Imam. 1996. Al-Ahkâm as-Sulthaniyyah. Beirut: Al-Maktab al-Islami.
4. An Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizhâm al-Islâm. t.tp.: t.p.
5. An-Nabhani, Taqiyuddin.1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz 1 & 2. Lebanon-Beirut: Dar al-Ummah.
6. Gullick Jr, Robert R. t.t. Muhammad The Educator.
7. Lasch, Christhopher. 1979. The Culture of Narcissism. New York: Warner Books.
8. Hizbut Tahrir Indonesia. 2002. Bunga Rampai Syariat Islam.
9. Hizbut Tahrir. 1963. Muqaddimah Dustur. t.tp.: t.p.
10. Thompson, John B.1984. Studies in The Theory of Ideology. London: Polity Press.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon