Makalah Pelaksanaan Pendidikan Islam Di Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Ptais)
Oleh: Hery Nugroho
I. PENDAHULUAN
Pendidikan Islam di Indonesia ditempatkan posisi strategis. Hal ini bisa dilihat dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yakni, “Pendidikan nasional berfungsi menyebarkan kesanggupan dan membentuk susila serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik supaya menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdik, piawai, inovatif, berdikari, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Meskipun dalam undang-undang tersebut tidak pribadi menyebutkan kata pendidikan Islam, tetapi secara substansi keinginan besar tertumpu pada pendidikan Islam. Yakni dapat di lihat dalam kalimat, “…..menjadi insan yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlakul karimah.” Sebagai pembagian terstruktur mengenai tujuan pendidikan nasional, kurikulum setiap pendidikan dasar, menengah dan tinggi mesti memuat pendidikan agama (UU No.20 tahun 2003 Pasal 37 ayat 1 dan 2).
Konsekuensi dari adanya UU tersebut, maka setiap jenjang harus melaksanakan pendidikan agama dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pengertian pendidikan agama dijabarkan dalam PP. No. 55 tahun 2007 wacana Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 1 ayat 1 disebutkan, pendidikan agama yaitu pendidikan yang menunjukkan wawasan dan membentuk sikap, kepribadian, dan kemampuan penerima asuh dalam mengamalkan fatwa agamanya, yang dikerjakan sedikitnya lewat mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Diantara pendidikan agama yang ada di Indonesia yakni pendidikan Islam. Dari segi penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah tinggi tinggi, menurut penulis mampu dibagi menjadi tiga macam, ialah: pertama, sekolah tinggi tinggi Islam yang diselenggarakan pemerintah. Jenis ini juga disebut dengan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), misalnya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Walisongo Semarang, STAIN Salatiga, dan lain-lain. Kedua, perguruan tinggi tinggi Islam yang diselenggarakan masyarakat atau disebut dengan Perguruan Tingi Agama Islam Swasta (PTAIS), contohnya Universitas Sultan Agung Semarang, Universitas Wahid Hasyim Semarang, Sekolah Tinggi Agama Islam Wali Sembilan Semarang, Ma’had ‘Ali yang berada di pondok pesantren dan lain-lain. Ketiga, Pendidikan Islam yang dilakukan Perguruan Tinggi Umum baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat contohnya UNDIP, UNNES, UGM, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), dan lain-lain.
Lebih khusus lagi Qomar (2007:101), membagi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dari sisi tanggung jawabnya pengelolaan, dibagi menjadi dua, yakni Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan Pergururuan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). PTAIN nyaris sepenuhnya dibiayai pemerintah, sedangkan PTAIS nyaris sepenuhnya didanai oleh masyarakat. Dalam makalah ini yang mau dibahas penulis dalah pelaksanaan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Kemudian untuk menfokuskan pembahasan tulisan ini akan dibatasi pada sejarah bangkit PTAIS, pelaksanaan, problematika, dan solusinya.
II. PEMBAHASAN
A. Sejarah berdirinya PTAIS
Pertumbuhan akademi tinggi agama Islam (PTAI) tidak lepas dari eksistensi PTAIS. Hal ini mampu dilihat awal berdirinya PTAI ternyata berasal dari PTAIS. Sebenarnya eksistensi PTAIS telah ada sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1930-an, telah timbul hasrat dan cita umat Islam Indonesia untuk mendirikan perguruan tinggi Islam. Menurut Daulay (2004:135) menyebutkan pada ketika itu Dr. Satiman bercita-cita untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam di tiga kawasan, adalah Jakarta, Solo, dan Jakarta. Kemudian sepuluh tahun berikutnya, tepatnya tanggal 9 Desember 1940 di Padang berdiri Sekolah Islam Tinggi (SIT) yang didirikan oleh persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI), meskipun pada alhasil ditutup alasannya adalah pendudukan Jepang pada tahun 1942 (Asrahah, 1999: 204).
Semangat berdirinya Sekolah Tinggi Islam juga tumbuh di Jawa, yaitu pada bulan April 1945, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) menggelar pertemuan dengan memanggil para ulama dan intelektual untuk mempersiapkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam (Darwis, 2006: 26). Ulama dan intelektual yang hadir dalam konferensi tersebut yaitu KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, KH. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Anwar Cokroaminoto, Dr. Satiman, KH. Ahmad Sanusi, dan KH. Kahar Mudzakir.
Diantara hasil pertemuan ialah dibentuknya panitia perencana Sekolah Tinggi Islam (STI) yang diketuai Muhammad Hatta. Hasil kerja panitia tersebut yaitu didirikannya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1945. Tujuan didirikannya STI yaitu untuk mencetak ulama intelek yakni sosok muslim intelektual yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas dan mendalam dan sekaligus menguasai ilmu wawasan umum yang dibutuhkan penduduk modern.
Dalam kemajuan berikutnya, keadaan Jakarta tidak memungkin diselenggarakannya pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan Belanda menduduki kembali Kota Jakarta, terpaksa STI di Jakarta dipindahkan ke Yogyakarta dengan nama Universitas Islam Indonesia (UII) dan dibuka tanggal 10 Maret 1948 (Darwis, 2006: 26). Pada saat itu UII memiliki empat fakultas, adalah Fakultas agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Pendidikan, dan Fakultas Ekonomi.
Dari UII sudah mengukir dalam sejarah dalam memulai pengembangan lembaga pendidikan forum pendidikan tinggi Islam di Indonesia dengan menyerahkan Fakultas Agama UII terhadap Negara, balasannya menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950 (Hasjmy, 1979: 31). Hal serupa juga terjadi pada UII Cabang Surakarta (sebelumnya bernama Perguruan Tinggi Islam Indonesia) tiga fakultas biasa bersama dengaan beberapa fakultas dari swasta yang lain dan IKIP Negeri yang telah ada menjadi Universitas Negeri Surakarta (UNS) Surakarta.
Dari klarifikasi di atas, dapat dikenali bahwa keberadaan PTAIS memperlihatkan bantuan terhadap pertumbuhan PTAIN di Indonesia. Sehingga keberadaan PTAIS tidak dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan penduduk .
B. Pelalaksanaan Pendidikan Islam di PTAIS
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 155 Tahun 2004 perihal Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta yang menyangkut tentang Pembinaan, Pengawasan dan Pemberdayaan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) secara fungsional yaitu menjadi tugas dan tanggung jawab Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Agama Islam. Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam (Kopertais) memiliki tanggung dan fungsi melaksanakan pengawasan, pengendalian dan training kepada penyelenggaraan PTAIS yang mencakup: pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian terhadap masyarakat.
Menurut data Direktorat Pendidikan Tinggi Islam tahun 2006, terdapat 511 Perguruan Tinggi Agama Islam yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini terdiri dari empat klasifikasi, adalah:
1. Universitas Islam Negeri (UIN) sebanyak 6;
2. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) sebanyak 12;
3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) sebanyak 32;
4. Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) sebanyak 461.
Program-acara studi tersebut berisikan dua kelompok besar yaitu Program Studi Ilmu-ilmu Keislaman (Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah, Adab) dan Program Studi Ilmu-ilmu Umum (Kedokteran, Psikologi, Ekonomi, Sains dan Teknologi, Sosial Humaniora, dan Ilmu Pengetahuan Alam).
Sedangkan jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta di Jawa Tengah terdapat 32 dengan tiga bentuk, ialah pertama, Insitut Agama Islam ada 2 forum. Kedua, Sekolah Tinggi Agama Islam ada 21 forum. Ketiga, Fakultas Agama Islam ada 9 lembaga. (Kopertais, 2009:2) Adapun acara studi yang diselenggarakan PTAIS di lingkungan Kopertais Wilayah X Jawa Tengah ada 68 prodi, ialah:
1. Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) diselenggarakan 25 PTAIS;
2. Prodi Pendidikan Guru MI (PGMI) diselenggarakan 5 PTAIS;
3. Prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA) diselenggarakan 3 PTAIS;
4. Prodi Mu’amalat diselenggarakan oleh 1 PTAIS;
5. Prodi Perbankan Syari’ah diselenggarakan oleh 1 PTAIS;
6. Prodi Ekonomi Islam diselenggarakan oleh 1 PTAIS;
7. Prodi Akhwalul Syakhsyiyah (AS) diselenggarakan oleh 14 PTAIS;
8. Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam diselenggarakan oleh 5 PTAIS
9. Prodi Perbandingan Agama diselenggarakaan oleh 1 PTAIS;
10. Prodi Tafsir Hadis diselenggarakan oleh 2 PTAIS;
(Sumber: Data Prodi PTAIS di lingkungan Kopertais Wilayah X Jawa Tengah tahun 2009)
Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) tergolong PTAIS, didirikan dalam rangka untuk menjawab tantangan ke depan, ialah mencetak sarjana yang memilki kualifikasi dalam bidang agama Islam. Sesuai dengan pembidangan di atas, alumni PTAI yakni sarjana yang tergolong ke dalam tataran keilmuan yang teoriritis dan implementatif. Sebagai ciri keilmuan yang teoritis dan implementatif ialah kemampuan yang tidak semata-mata implementatif, tetapi juga memilki kemampuan konseptual, yang berciri khas analitik.
Keahlian analitik diharapkan alasannya adalah mereka berhadapan dengan pergeseran sosial secara terus menerus yang pastinya juga mengharuskan perubahan paradigma dalam berpikir. Ilmu-ilmu agama mempunyai kaitan dengan dunia sosial-antropologis, bahkan politik dan ekonomi, sehingga pengembangan keilmuan Islam juga harus tertata dengan baik. Sehubungan dengan itu, maka produk PTAIS akan memilki profil selaku sarjana yang mempunyai kesanggupan untuk melakukan analisis kepada pergantian-perubahan sosial-relegius berdasarkan pendekatan keilmuan yang relevan.
Peranan pendidikan tinggi dalam pengembangan sumber daya manusia mampu dicirikan pada tiga hal. Pertama, mencetak insan yang bertanggung jawab. Menurut Azizi (2001: 122), bahwa ada kaitan antara fitrah, darul baka dan tanggung jawab. Setiap perbuatan pasti ada tanggung jawabnya yang berkonsekuensi di darul baka. Tanggung jawab tidak hanya sekedar administratif di dunia, namun lebih jauh secara substantif di darul baka. Melalui tanggung jawab inilah akan tercipta budbahasa sosial, alasannya adalah setiap tindakan dalam bentuk apapun akan memiliki nilai tanggung jawab baik dunia maupun akhirat.
Kedua, tugas kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir mengajarkan pada kita bahwa ilmu pengetahuan yaitu fasilitas untuk membebaskan, dalam arti bahwa melalui kesanggupan berpikir insan diajarkan untuk mendapatkan (discovery) perihal sesuatu dalam bidangnya. Kebebasan dalam konteks ini yakni keleluasaan untuk menemukan sesuatu, merevisi, atau menguatkan sebuah dalil, teori dan rancangan yang sudah ada untuk kemaslahatan.
Ketiga, penguasaan terhadap kompetensi. Pendidikan harus mengarahkan penerima asuh pada keahlian tertentu sehingga menjadi sarana untuk mengakses kehidupan. Oleh alasannya adalah itu maka pendidikan tinggi mesti dirancang untuk merealisasikan sarjana yang profesional sesuai dengan keahliannya. Sedangkan dalam budi strategis sekolah tinggi tinggi Islam tergolong PTAIS, menurut Feisal (1995: 155) adalah:
- Membina dan memperbarui keimanan mahasiswa sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam yang bersumber kepada Al-Alquran, As-Sunah, dan ijtihad atau anutan skolastik yang menggambarkan cara berfikir normatif dan berfikir deskriptif empiris;
- Mengembangkan rasa, perilaku, dan adab yang tepat dengan nilai-nilai agama yang universal;
- Mengembangkan kemampuan intelektual sehingga mampu berpikir ilmiah rasional dan logis;
- Mengembangkan keterampilan-keahlian tertentu untuk dapat secara faktual menyelesaikan problem yang dihadapinya sehari-hari.
Sementara itu, pelaksanaan pendidikan Islam di PTAIS tidak lepas peran serta penduduk . Sebagian penduduk di Indonesia masih menatap agama sebagai hal yang urgen dalam kehidupan. Oleh sebab itu mengetahui dan mengerti masalah agama ialah hal yang wajib. Maka masuk akal jika di Indonesia terdapat beberapa pesantren dan lembaga pendidikan Islam dengan jumlah santri yang relatif banyak. Kondisi mirip itu mampu menunjang kuantitas mahasiswa PTAIS. Sehingga PTAIS tidak sampai kekurangan mahasiswa.
Pada sisi lain, penduduk Indonesia relatif paternalistik sehingga keterikatan pada tokoh masyarakat atau kyai masih besar. Dalam konteks ini, kyai merupakan status yang dihormati dengan aneka macam peran yang dimainkan dalam penduduk . Ketokohan dan kepemimpinan kyai sebagai akhir dari status yang disandangnya, sudah memberikan betapa kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadiannya (kharisma) dalam memimpin pesantren dan masyarakat.
Hal ini mampu dilihat bagaimana seorang kyai mampu membangun tugas strategisnya sebagai pemimpin penduduk nonformal lewat komunikasi intensif dengan penduduk . Kyai dengan karisma yang dimilikinya tidak cuma dikategorikan selaku elit agama, namun juga selaku pemimpin (tokoh sentral) dalam masyarakat yang mempunyai otoritas tinggi. Karisma kyai merupakan karunia yang diperoleh dari latihan (riyadlah) dan anugerah Tuhan. (Turner, 1984: 168) Sehingga apa yang menjadi keinginandan pertimbangan kyai, akan disertai dan dipatuhi oleh masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, kyai ialah sumber legetimasi yang berpeluang bagi PTAIS. Sehingga pencitraan PTAIS bisa dibangun dari sini.
C. Problematika pelaksanaan Pendidikan Islam di PTAIS
Diakui atau tidak, sekarang ini kualitas PTAIS masih kalah dengan PTAIN. Image yang semacam ini pasti tidak menguntungkan posisi PTAIS yang dikategorikan selaku peringkat kedua. Dari jumlah PTAIS hanya terdapat beberapa perguruan tinggi yang dibilang patut, selebihnya masih di bawah patokan. Permasalahan-permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di PTAIS ialah:
a. PTAIS belum menjadi opsi utama kandidat mahasiswa
Selama ini kebanyakan calon mahasiswa (input) yang masuk PTAIS yakni mereka yang gagal dalam ajang masuk di Perguruan Tinggi Negeri dan PTAIN. Sehingga bisa dibilang bahwa mereka yang masuk PTAIS ialah mahasiswa yang kurang bermutu baik dari segi intelegensinya maupun ekonominya. Akibatnya pastinya lulusan (out put) pendidikan menjadi kurang maksimal.
Menurut data Kopertais wilayah X, ditemukan ada PTAIS di Jawa Tengah yang jumlah mahasiswa kurang dari seratus orang. Misalnya, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Kamal Sarang Rembang jumlah mahasiswa 22 orang, FAI Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) jumlah mahasiswa 45 orang, Sekolah Tinggi Ilmu Ushuludin Chozinatul Ulum Blora jumlah mahasiswa 50 orang, Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Kebumen jumlah mahasiswa 65 orang, STAI Sufyan Tsauri Majenang memiliki mahasiswa sebanyak 75 orang, STAI Al-Husain Magelang mempunyai mahasiswa sebanyak 81 orang.
b. banyak dosen yang belum memenuhi peran keprofesionalan
Dalam UU No. 14 Tahun 2005 perihal guru dan dosen Pasal 60, disebutkan dosen harus memenuhi peran perofesional, ialah melaksanakan pendidikan, observasi, dan dedikasi terhadap masyarakat; merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menganggap dan mengecek hasil pembelajaran; meningkatkan dan membuatkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi penerima latih dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-seruan, hukum, dan aba-aba etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu dalam kualifikasi pendidikan, dosen harus berpendidikan sekurang-kurangnya yaitu S2. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 46 ayat 2 bahwa, dosen memiliki kualifikasi akademik minimum: lulusan program magister untuk acara diploma atau program sarjana; dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Kondisi di lapangan, masih ada temuan dosen yang mengajar di PTAIS, kualifikasi pendidikannya di bawah standar.
c. Sarana dan prasarana yang belum mencukupi.
Sarana dan prasarana merupakan aspek penting dalam proses pembelajaran disamping aspek-faktor lainnya. Sarana dan prasarana yang memadai akan menyebabkan suasana akademik dan proses pembelajaran menjadi aman dan sistematis. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai proses belajar dan mengajar tidak akan berlangsung dengan baik. Sarana dan prasarana, khususnya sarana belajar dan mengajar, ialah hal yang esensial.
Kondisi riil, fasilitas dan prasarana yang dimiliki PTAIS termasuk masih minim. Padahal, keberadaan sebuah pendidikan tinggi sangat diputuskan oleh eksistensi sarana dan prasarana pendidikannya, seperti ruang perkuliahan, perpustakaan dengan ruangan dan koleksi buku yang mencukupi, laboratorium pembelajaran yang memadai.
d. Proses belajar dan mengajar yang belum berkualitas.
Ada indikasi banyak PTAIS yang kurang serius dalam melaksanakan proses pembelajaran. Kekurangseriusan dalam proses pembelajaran bisa disebabkan oleh beberapa aspek, seperti: kekurangsiapan tenaga pengajar (dosen tidak profesional) sehingga menjadikan mahasiswa kurang aktif mengikuti perkuliahan. Mahasiswa cuma pasif menyimak dosen menawarkan ceramah. Atau juga penyelenggaraan kelas jauh, yang tanpa memperhatikan kualitas pembelajaran.
e. Penguasaan bahasa arab mahasiswa PTAIS pada umumnya sangatlah lemah, padahal bahasa Arab merupakan alat pokok untuk memahami al-Alquran dan al-Hadits serta kitab-kitab keagamaan klasik. (Isna, 2001: 16) Sebenarnya, tidak hanya penguasaan bahasa arab, berdasarkan penulis juga bahasa Inggris.
D. Solusi Masalah Pelaksanaan Pendidikan Islam di PTAIS
Dari masalah-persoalan yang dihadapi PTAIS di atas, harus secepatnya dicarikan penyelesaian, diantaranya:
a. menarik minat mahasiswa untuk masuk PTAIS.
Langkah yang mampu dijalankan oleh PTAIS yakni mempertahankan kualitas lulusannya dengan baik. Maksudnya, lulusannya mampu diterima di masyarakat dan senantiasa dicari pengguna lulusan, yaitu penduduk . Untuk bisa meraih hal tersebut, tentunya mutu lulusan mesti dijaga. Jangan hanya menghasilkan sarjana yang tidak memiliki komptensi. Akibatnya, hanya memperbesar pengangguran yang terdidik. Sebaliknya, bila mutu lulusan dijaga dengan baik, bukan hal yang tidak mungkin PTAIS tersebut akan selalu dibanjiri peminat.
b. memajukan profesionalisme dosen
Langkah yang mampu dilakukan untuk mengembangkan profesionalisme dosen adalah dengan menciptakan iklim akademik yang aman bagi dosen untuk membuatkan peran keprofesional dosen. Misalnya pihak yayasan untuk mendorong dosen terbiasa meneliti dengan cara menfasilitasi pendirian penerbitan jurnal observasi. Selain itu, santunan stimulus bagi dosen yang dapat menulis di jurnal yang diakui nasional maupun internesional diberikan insentif yang layak.
Kemudian untuk memajukan kualifikasi pendidikan dosen, pihak yayasan perlu mendorong dosen agar melanjutkan pendidikan setidaknya mempunyai kualifikasi pendidikan, ialah minimal mesti magister (S-2), atau doktor S3 bahkan menerima gelar puncak akademik, adalah guru besar (professor). Pendanaan studi lanjut bagi dosen bisa saja berasal dari anggran PTAIS sendiri, atau memberikan usulan untuk mengikuti seleksi beasiswa S2/S3 yang diselenggarakan aneka macam instansi pemerintah baik Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan Nasional atau swasta.
c. Melengkapi fasilitas dan prasarana
Kelengkapan sarana prasarana perlu ditingkatkan terus menerus. Karena, dengan fasilitas prasarana yang lengkap akan mendorong kualitas PTAIS tersebut. Misalnya, dalam perkuliahan bahasa Arab atau Inggris perlu ada laboratorium bahasa. Atau juga laboratorium micro teaching yang bermaksud selaku kawasan latihan guru mengajar sebelum nantinya menggeluti ke kelas sesunggunya.
Untuk melengkapi sarana prasarana perlu adanya dana yang cukup. Pendanaan ini bisa berasal dari mahasiswa, atau yayasan, atau pemerintah, atau pihak swasta, atau juga dapat digalang dari sumber dana melalui pemetaan ekonomi para konglomerat (aghniya’) dan dilanjutkan dengan penyadaran akan pentingnya pendidikan tinggi Islam.
Pendidikan tinggi ialah investasi insan. Memang, harus diakui bahwa masih banyak orang mempertanyakan wacana efektivitas invesatasi lewat pendidikan, khususnya efektifitasnya dalam menawarkan nilai timbal balik bagi ekonomi individu dan penduduk . Pendidikan dalam kenyataannya masih belum mampu menjadi sarana investasi yang menggiurkan bagi banyak orang, khususnya PTAIS yang berbasis pendidikan humaniora. PTAIS lebih memberikan tentang ”bagaimana menjadi orang baik” dan kurang menawarkan ”bagaimana menjadi orang memiliki kegunaan”.
d. memajukan mutu pembelajaran di kelas
Dosen sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sungguh kuat dalam proses berguru mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan dosen sangat menentukan kelancaran proses berguru mengajar di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Dosen mesti cerdik menjinjing akseptor didik kepada tujuan yang mau diraih.
Oleh kesannya, dosen mesti menguasai bahan pengajaran, menguasai beberapa metode pengajaran sehingga beliau bisa memakai metode yang cocok dengan suasana dan kondisi penerima ajar, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam pembaruan pendidikan, keterlibatan dosen mulai dari penyusunan rencana penemuan pendidikan hingga dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peranan yang sangat besar bagi keberhasilan sebuah penemuan pendidikan. (Muhaimin, 2005 :120) Bagi dosen yang belum bisa mewujudkan kelas yang menawan, bisa saja dosen tersebut dikirim untuk mengikuti shourt course (pendidikan singkat) di dalam maupun mancanegara.
e. Meningkatkan penguasaan bahasa Arab dan Inggris.
Pada era 21 menimbulkan tantangan internasional dan perspektif global. Model mahasiswa internasional dan pertukaran program fakultas di akademi tinggi menjadi tren. (Syafaruddin, 2005: 329) Karenanya, untuk memenangi tantangan internasional tersebut, penguasaan bahasa aneh (Arab maupun Inggris) ialah syarat mutlak. Bahkan, kalau mampu tidak cuma kedua bahasa ajaib tersebut, tetapi ditambah dengan bahasa ajaib lainnya misalnya, mandarin. Karena sekarang ini bahasa mandarin banyak dipelajari seiring kemajuan yang dialami negeri Cina.
Daftar Pustaka
- Ariefin, M. 1994. Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat. Jakarta: Golden Trayong Press.
- Asrohah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Nasional.
- Azizy, A, Qadri, 2001 Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat), Semarang, Semarang: Aneka Cipta.
- Darwis, Djamaluddin, 2006, Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam dan Kelembagaan, Semarang: RaSAIL.
- Daulay, Haidar, Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana.
- Feisal, Jusuf Amir, 1995, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
- Hasjmy, A, 1979, Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
- Idi, Abdullah & Suharto, Toto, 2006, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Isna, Mansur, 2001 Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
- Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah X Jawa Tengah (a), 2009, Data Program Studi PTAIS di Lingkungan Wilayah X Jawa Tengah Tahun 2009. Semarang: Kopertais.
- Koordinatorat Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah X Jawa Tengah (b), 2009, Data Prodi PTAIS di lingkungan Kopertais Wilayah X Jawa Tengah tahun 2009, Semarang: Kopertais.
- Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah dan Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2005.
- Nur Syam, Institusi Sosial di tengah Perubahan, Jenggala Pustaka Utama, 2004, Surabaya.
- PP. No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan.
- Qomar, Mujamil, 2007, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
- Syafaruddin, 2005, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press.
- Turner, S, Bryan, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber, Terj. Machnun Husein, Rajawali, Jakarta, 1984.
- UU No. 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional.
- UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
EmoticonEmoticon