Rabu, 19 Agustus 2020

Makalah Dualisme Pendidikan

A. DUALISME PENDIDIKAN

Sebelum menerangkan bagaimana dualisme pendidikan yang meningkat di Indonesia, apalagi dahulu akan diterangkan makna dari dualisme tersebut, sehingga dengan memperlihatkan klarifikasi makna dualisme tersebut diperlukan akan memperlihatkan pengertian yang utuh.

Di dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa dualisme yakni dua prinsip yang saling bertentangan[1]. Selanjutnya secara terminologi dualisme mampu diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berlainan dan saling berlawanan. Selanjutnya kata dualisme sangat bersahabat hubungannnya dengan kata dikotomi yang didefinisikan sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan[2], secara terminologi dikotomi dimengerti selaku pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yang lain, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam[3].

Selanjutnya mengenai penjelasan dualisme pendidikan, Marwan Sarijo menyatakan bahwa perumpamaan dualisme dan dikotomi mempunyai makna yang sama ialah pemisahan antara pendidikan biasa dari pendidikan agama[4].

Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa dualisme dan dikotomi yang terjadi pada pendidikan yakni adanya pemisahan tata cara pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, pemisahan antara ilmu biasa dan ilmu agama, yang pada akibatnya melahirkan pemisahan antara sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), antara mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama, yang masing-masing dianggap saling berlawanan satu dengan yang lainnya.

Pada dasarnya dualisme yang terjadi di dalam sistem pendidikan Indonesia merupakan perjalanan panjang metode pendidikan yang sudah terjadi sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Hal ini dapat ditelusuri dari sistem pendidikan yang dikerjakan oleh pemerintah Belanda pada dikala penjajahan berjalan.

Sekolah-sekolah yang diresmikan oleh Belanda, mirip sekolah kelas satu yang dikhususkan untuk anak-anak kaum aristokrat, dengan lama belajarnya lima tahun, sekolah kelas dua yang dirancang untuk merencanakan pegawai-pegawai rendah bagi kantor pemerintahan dan perusahaan Belanda, sekolah desa (Volksschool) yang mempunyai kurikulum kelas 1 : membaca dan menulis bahasa melayu dengan abjad latin, latihan bercakap, berhitung 1-20, kurikulum kelas 2 : lanjutan membaca dan menulis , kurikukul kelas 3 : ulangan, berhitung diatas 100 dan belahan sederhana.

Selain sekolah-sekolah[5] tersebut, terdapat juga sekolah-sekolah yang dibangun oleh Belanda yang dalam pelaksanaanya hanya memasukkan dan mementingkan mata pelajaran lazim, mirip :

1. Europeesche Lagere School (ELS),yang kurikulumnya mencakup : mata pelajran memabaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lainnya.

2. Hollandsche Chineesche School (HCS), yang kurikulumnya sama seperti kurikulum ELS, Hollandsche Inlandsche School(HIS) yang merupakan sekolah yang diberikan kepada masyarakat elit Indonesia, yang kurikulum terpenting sekolah ini yakni bahasa Belanda.

3. Meer Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang ialah sekolah lanjutan dari HIS, kurikulum sekolah ini menekankan kepada pengajaran bahasa Belanda, Prancis, Inggris, dan Jerman, dalam proses pembelajrannya setengah waktu dipakai untuk mempelajari bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu wawasan alam dan seperenam untuk ilmu wawasan sosial.

4. Hoogere Burger School (HBS), yang merupakan sekolah tingkat menengah, yang kurikulumnya sama seperti kurikulum HBS yang ada di Belanda.

5. Algeemene Middelbare School (AMS), sekolah yang merupakan menengah lanjutan dari MULO, yang dibagi kepada dua bagian yaitu bagian A : ilmu pengetahuan kebudayaan yang terdiri dari A1 bab kesustraan timur dan A2 bagian klasik barat, dan bab B : ilmu pengetahuan kealaman.


Dari citra pendidikan yang dilakukan di sekolah-sekolah tersebut, maka terlihat jelas bahwa Belanda melaksanakan tata cara pendidikan yang diskriminatif, yang tidak hanya membatasi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang merata sebagai mobilitas kehidupan, tetapi juga melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah tersebut yang cuma memperlihatkan pengajaran ilmu-ilmu saja.

Mengenai larangan pelajaran agama untuk diajarkan di sekolah-sekolah tersebut Mulyanto Sumardi, sebagaimana yang dikutip oleh Haidar menerangkan bahwa pemerintahan Belanda Memiliki sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah, ini dinyatakan dalam pasal 179 (2) IS (Indische Staatsregeling), dan dalam beberapa ordonasi, secara singkat dinyatakan sebagai berikut : pengajaran lazim yaitu netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati dogma agama masing-masing, pengajaran agama cuma boleh berlaku di luar jam sekolah[6].

Dari penjelasan Mulyanto tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda pada waktu itu ialah pendidikan yang menekan khususnya kepada penduduk islam, ialah pengutamaan yang dikerjakan pemerintahan Belanda dengan memberlakukan ordonansi guru.

Pemerintahan Belanda mengeluarkan ordonansi yang pertama pada tahun 1905, dimana ordonansi tersebut mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin apalagi dulu, sebelum melaksanakan tugasnya selaku guru agama. Sedangkan ordonansi yang kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mengharuskan guru agama untuk melaporkan diri[7].

Kebijakan pendidikan Belanda yang memberlakukan ordonansi guru tersebut menunjukkan pementingan pada penduduk muslim pada saat itu, hal ini dilaksanakan Belanda sebagai usaha untuk meredam kemajuan pemahaman agama Islam dan sepak terjang guru agama Islam yang memperluas pengembangan agama Islam lewat kegiatan pendidikan. Hal ini dikerjakan pihak Belanda bukan tanpa alasan, melainkan kegundahan mereka bila pemahaman agama Islam berkembang maka ini akan mampu melahirkan sebuah gerakan sosial agama terutama Islam yang menciptakan sikap sentimen anti penjajahan yang sekaligus mendorong perilaku anti pemerintahan Belanda. Mengenai hal ini Nurhayati Djamas menerangkan bahwa paranoid pemerintahan Belanda kepada perkembangan Islam pastinya sungguh berargumentasi mengingat berbagai perlawanan yang timbul dari masyarakat Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh hal-hal yang bersifat keagamaan, seperti perlawanan dari gerakan tarekat dalam peristiwa Cianjur, Cilegon, dan garut yang dianggap membahayakan bagi pemerintahan Belanda[8].

Pada saat penduduk muslim Indonesia merasa stress dengan adanya kebijakan pemerintahan Belanda tersebut, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang selain mengajarkan ilmu-ilmu biasa juga mengajarkan agama. Sekolah-sekolah tersebut dipelopori oleh organasasi Islam yang ada pada dikala itu, seperti organisasi Jami’at Khair yang mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905, walaupun sekolah tersebut bukanlah sekolah agama tetapi selain mengajarkan pelajaran biasa juga mengajarkan pelajaran agama. Dikalangan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, mirip MULO met de Qur’an.

Dengan adanya sekolah-sekolah yang diresmikan oleh organisasi Islam pada ketika itu yang tidak cuma memperlihatkan pengajaran pelajaran-pelajaran biasa saja melainkan juga mmberikan pengajaran pelajaran agama memberikan agin segar bagi sistem pendidikan Indonesia, setidaknya sekolah-sekolah tersebut merupakan cikal bakal lahirnya sekolah yang ingin keluar dari sistem dualisme pendidikan Belanda, meskipun diakui bahwa sekolah sekolah tersebut masih lebih banyak memperlihatkan perhatiannya terhadap pelajaran biasa dari pada pelajaran agama, namun terlepas dari hal itu, kita mesti menyadari bahwa gebrakan yang dijalankan organisasi-organisasi Islam pada saat itu merupakan manuver yang luar biasa sehingga perlu diberikan apresiasi yang tinggi.

Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, nampaknya kebijakan pendidikan tidak lagi mendiskriminasi pendidikan agama (Islam), pada dikala itu ada upaya mengakui pendidikan agama (Islam) selaku bagian dari metode pendidikan nasional yang mempunyai hak menerima perhatian dari pemerintahan.

Hal ini merupakan implementasi dari sila pertama Pancasila yang ialah ideologi bangsa yang berbunyi ketuhanan yang maha Esa, untuk mengimplematasikan sila tersebut pemerintahan membentuk departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946, yang mempunyai peran khususnya yaitu mengurusi masalah kehidupan beragama bagi seluruh penduduk Indonesia, salah satu diantaranya yakni problem pendidikan agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh departemen agama ini tidak cuma terbatas pada sekolah-sekolah agama mirip pesantren dan madrasah, namun juga menyangkut sekolah-sekolah lazim.

Selanjutnya Haidar mencatat upaya-upaya untuk melakukan pendidikan agama di sekolah biasa sudah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), diantara usulan tubuh tersebut kepada kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan adalah termasuk persoalan pengajaran agama madrsah dan pesantren[9].

Mengenai hal ini Haidar juga memaparkan seruan badan pekerja tersebut, sebagaimana yang ia kutip dari Soegarda Poerbakawatja selaku berikut :

Pengaajran agama hendaknya mendapat tempat yang terencana seksama, sampai cukup menerima perhatian yang seharusnya, dengan tidak menghemat kemerdekaan kelompok-kelompok yang berkehendak mengikuti akidah yang dipilihnya. Tentang cara melakukan ini oke kementrian menyelenggarakan perundingan dengan tubuh pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya ialah satu alat dan sumber pendidikan dan penderdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia lazimnya hendaklah pula mendapat perhatian dan santunan yang konkret dengan berbentuktuntunan dan pemberian dari pemerintahan[10].


Dari penjelasan ini menawarkan adanya fakta bahwa pemerintahan Indonesia ingin mengeluarkan pendidikan agama dari belenggu metode dualisme pendidikan, meskipun perjuangan tersebut belum sepenuhnya menunjukkan impian yang niscaya terhadap pengahpusan dualisme pendidikan, sehingga perlu beberapa kebijakan pemerintah yang lain kepada pendidikan yang selanjutnya kebijakan pemerintah tersebut dari tahun ke tahun hingga ketika ini mengalami perubahan dan perbaikan untuk melepaskan diri dari belenggu dualisme pendidikan yang begitu mengental sebelum kemerdekaan.


B. INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA DAN UMUM

Pasca kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintahan menunjukkan kesempatan untuk menetralisir dualisme pendidikan. Hal ini bermakna bahwa eksistensi pendidikan agama menerima pinjaman dari pemerintahan dalam pelaksanaan di sekolah-sekolah.

Dilain pihak bergotong-royong pendidikan agama di Indonesia telah berlangsung cukup usang, hal ini digambarkan dengan perilaku hidup masyarakat Indonesia yang begitu kental dengan kehidupan yang agamis, apalagi pendidikan Islam yang telah berjalan semenjak masuknya agama tersebut di Indonesia, walaupun pada mulanya pendidikan islam tidaklah berlangsung secara institusional atau sifatnya yang masih nonformal, tetapi dikemudian hari pendidikan Islam tersebut berkembang dengan tumbuhnya forum-lembaga formal pendidikan Islam mirip pesantren dan madrasah.

Pendidikan agama pada dasarnya bermaksud untuk menunjukkan pendidikan yang menumbuhkembangkan potensi akal, potensi hati (jiwa) dan juga peluangskill yang tepat dengan tuntutan agama. Sehingga pendidikan agama tersebut haruslah diberikan pada kurikulum setiap sekolah. Usaha memasukkan kurikulum agama di dalam pendidikan sekolah pasca kemerdekaan dilakukan berkat permintaan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya.


REFERENSI
  • Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989 
  •  Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991 
  •  Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Amissco, 1996 
  •  Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Pesantren, Yogyakarta : PT.Tiara Wacana Yogya,2000 
  •  Nurhayati Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta : Rajawali Pers, 2008
________________
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), cet. 2, hlm. 214
[2]Ibid
[3] Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), hlm. 104.
[4]Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 22
[5] Untuk mengenali isu wacana sekolah-sekolah tersebut baca Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Pesantren, (Yogyakarta : PT.Tiara Wacana Yogya,2000).
[6] Haidar, Ibid, h.49
[7] Haidar, Ibid. Mengenai ordonansi guru Baca juga Nurhayati Jamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008). h.176-180.
[8] Nurhayati Djamas, Ibid, h. 178-179
[9] Haidar, Ibid, h. 52
[10] Ibid.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon